Yogi duduk dengan tenang di kursi kerjanya. Kedua netranya memandang lurus ke depan, mengenang pertemuan pertama antara dirinya dengan Renata.
Renata begitu cantik seperti dewi, bahkan ketika ia hanya duduk diam tanpa ekspresi. Yogi bersyukur dipertemukan dengan Renata, terlebih menjadi pria yang dapat menikahi wanita itu.
Pertemuan pertama mereka adalah saat makan malam keluarga, membahas urusan perusahaan yang berujung perjodohan keduanya. Renata dengan anggun memperkenalkan diri sebagai putri tunggal keluarga Kenya. Salah satu keluarga terpandang di Jakarta. Memiliki bisnis perhotelan, industri kosmetik, hingga pendidikan universitas berlabel unggulan.
Ayah Yogi ternyata sedang menang lotre saat Ayah Renata menerima usulan untuk menjodohkan Yogi dengan Renata. Yogi tau persis bahwa ayahnya itu sedang berusaha menaikkan tahta dan memperkaya diri.
Jatuh cinta pada pandangan pertama. Yogi tidak pernah mempercayai itu, tapi akhirnya runtuh saat bertemu dengan Renata. Yogi terpesona dengan kecantikkan Renata, menyukai sikap anggun dan mencintai wanita itu layaknya seorang laki-laki kepada wanita. Yogi berharap Renata juga memiliki perasaan yang sama sepertinya.
Yogi merasa bahagia saat Renata menyetujui perjodohan mereka. Perjodohan yang dibangun untuk memperluas bisnis keluarga masing-masing. Tetapi semua harapan yang Yogi impi-impikan itu musnah saat Renata memintanya untuk membuat perjanjian sebelum hari pernikahan mereka. Renata meminta setelah mereka menikah, mereka harus menghargai perasaan satu sama lain dan tidak melakukan pengkhianatan.
Bukankah pasangan suami dan istri memang harus melakukan itu?
Kenyataan menyakitkan didapatkan oleh Yogi saat menyadari ternyata Renata tidak pernah mencintainya. Wanita cantik itu hanya menganggap pernikahan mereka sebuah kesepakatan, hitam di atas putih.
Yogi paham. Mungkin dengan seiring berjalannya waktu, Renata dapat membuka hati untuk membalas perasaannya. Tapi harapan itu kembali hancur saat Renata menolak dengan tegas untuk tidak melakukan hubungan 'intim' layaknya pasangan suami dan istri yang telah sah secara hukum dan agama.
'Aku tida bisa melakukan hubungan itu dengan orang yang tidak aku cintai', ucap Renata disertai wajah dinginnya.
Yogi memakluminya, ini masih terlalu awal untuknya bisa memiliki Renata dengan utuh.
Yogi mulai berpikir jika yang Renata lakukan adalah permainan tarik ulur. Yogi akan mengikutinya, dia akan menunggu Renata dengan sabar, hingga wanita itu bisa membalas perasaannya.Sampai tak terasa usia pernikahan mereka telah menginjak tahun kedua. Dimana keluarga Yogi meminta seorang penerus dan Renata tidak bisa memberikannya. Renata bukannya tidak bisa hamil, hanya saja wanita cantik itu benar-benar tidak bisa melakukan hubungan suami dan istri dengan Yogi.
Tidak ada perasaan cinta diantara mereka, bagaimana mungkin memiliki anak tanpa adanya perasaan cinta diantara mereka? Lalu bagaimana nanti mereka akan membesarkan anak itu?
Renata selalu memikirkan hal itu, yang berarti ia tidak akan pernah bisa memberikan Yogi seorang anak selama dirinya tidak mencintai Yogi.
Renata tidak ingin mengambil risiko jika nanti anak yang terlahir tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, yaitu kasih sayang dan cinta yang utuh dari kedua orang tuanya. Renata mungkin terlihat egois karena keputusannya, tapi ini adalah keputusan terbaik baginya.
Yogi tersadar dari lamunannya. Pria itu tersenyum kecut menyadari fakta bahwa dua tahun usia pernikahannya dengan Renata, dirinya masih belum mampu membuat wanita itu jatuh hati padanya.
Yogi mengambil foto pernikahannya yang terletak di atas meja. Mengusap lembut wajah Renata yang tersenyum bahagia dalam potret itu, walaupun kenyataannya itu hanyalah sebuah senyum palsu.
"Aku sayang kamu, Ren."
***
Renata seharian ini sibuk mendaftarkan dokumen pernikahan Yogi dan Jola. Bersyukur ada Wenda yang dengan setia menemaninya. Syawenda Lara Jean, sahabat sekaligus tunangan dari adik tiri Yogi.
Rasanya dunia ini begitu sempit. Bisa-bisanya Wenda, sahabat Renata dari bangku sekolah menengah atas itu, ternyata adalah tunangan dari adik tiri suaminya. Dimana Wenda berusia dua tahun lebih tua dari Awan.
Saat Renata dan Wenda mengetahui fakta tersebut, mereka berdua langsung tertawa dengan keras. Menertawakan takdir yang telah dibuat oleh Yang Mahakuasa. Benang merah terus membuat mereka bertemu dan terikat menjadi sebuah keluarga.
Sebenarnya Renata menyesal meminta sahabatnya itu untuk menemaninya, karena Wenda terus-menerus memaki dirinya wanita bodoh, wanita gila, wanita idiot dan berbagai sumpah serapah lainnya karena mau berbagi suami dengan wanita lain.
Renata berusaha menulikan pendengarannya dari suara bising Wenda. Berusaha untuk fokus membaca dokumen pernikahan Yogi dan Jola yang sebentar lagi selesai. Renata dan Wenda masih ada di kantor catatan sipil saat ini, setelahnya mereka akan pergi ke gereja.
"Wen, diamlah. Kau seharusnya menyemangatiku, bukan memarahiku. Kau tau ini keputusan tersulit yang kubuat." ucap Renata yang sudah lelah mendengar semua omelan Wenda.
Wenda menghela napas kasar, lalu menjetikkan jarinya pada dahi Renata. Membuat Renata mengaduh kesakitan. "Sudah tau sulit, kenapa nekat sih?"
"Tidak ada pilihan lain bodoh."
"Kan bisa adopsi anak."
"Mulutmu enak sekali bicara, kau pikir keluarga Diandra mau menerimanya?"
"Ck, kenapa juga kita harus terikat dengan keluarga itu sih?"
"Kenyataannya, kau jatuh cinta pada putra mereka, Wen."
"Memangnya kau tidak jatuh cinta pada Yogi?" tanya Wenda.
Renata terdiam, sepertinya ia sudah salah bicara. Dirinya tidak mungkin menjawab secara jujur bahwa ia memang belum mencintai Yogi, bahkan saat usia pernikahan mereka telah menginjak tahun kedua.
Renata tersenyum kecil. "Menurutmu seperti apa?"
Wenda mendecak kesal. "Kalian terlihat baik-baik saja, sampai hari ini ada wanita bodoh yang mengurus dokumen pernikahan suaminya dengan wanita lain."
"Jika kau tidak ikhlas menemaniku tak apa, pulanglah."
"Hey, kau marah padaku?"
"Bahkan hanya melihat wajahmu sekarang, aku ingin marah!"
"RENA!"
"Ck, bagaimana mungkin adik iparku yang tampan itu mencintaimu, heh?"
"Haha, tentu saja karena aku cantik dan sexy."
"Kalau begitu biar kubuat rusak wajah cantikmu itu."
"Akan kupatahkan tangan kurusmu itu!"
"Sudahlah. Berdebat denganmu hanya membuang energi, ayo sekarang kita ke gereja!"
***
Jola tidak bisa fokus dalam menjalani perkuliahan hari ini. Otaknya terus meruntuki keputusan karena menerima permintaan Renata. Jola sadar, ternyata ketakutannya selama ini terjawab sudah.
Perasaan mengganjal yang selalu menghantuinya akhirnya terungkap. Ternyata dibalik semua perasaan gelisahnya akan kebaikan yang diberikan oleh Renata dan Yogi, ia harus rela menyewakan rahimnya. Lebih tepatnya menjual anaknya pada pasangan suami istri itu.
Seketika mata Jola memanas dan bersiap untuk meneteskan bulir-bulir air mata. Gadis itu tak bisa lagi menahan tangisnya yang seketika pecah. Rasanya Jola ingin melaporkan pasangan suami istri itu ke kantor polisi karena telah membuatnya menjual darah dagingnya sendiri. Tapi sayangnya Jola tidak bisa melakukan hal itu, ia tidak bisa menyakiti perasaan Renata yang terlihat sangat bahagia saat ia menyetujui permintaan wanita itu.
Jola teringat saat semalam Renata ke kamarnya, meminta data dirinya untuk melengkapi syarat dokumen pernikahan. Jika hari ini Renata selesai mendaftarkan pernikahannya dan telah mendapatkan tanda tangan dari pendeta di gereja, maka hari ini Jola telah sah menjadi istri kedua dari Prayogi Kalingga Diandra.
Jola mengusap wajahnya dengan kasar. Sudah terlambat baginya untuk menyesali nasib buruk ini. Tuhan memang selalu memberinya nasib yang buruk.
Saat ini hidup Jola memang bercukupan, itu semua berkat Renata dan Yogi yang membiayai hidupnya. Tapi sekarang batin Jola merasa tertekan, ia membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu yang jahat karena telah tega menjual anaknya demi sebuah kehidupan yang layak.
Jola ingin kabur sekarang juga tapi rasanya percuma, karena Renata pasti akan mencarinya hingga ke ujung dunia sekalipun.
Jola merasakan sesuatu yang dingin menyentuh dahinya. Gadis itu membuka kedua matanya yang sedari terpejam karena merasakan pening.
Dilihatnya Falan berdiri di hadapannya sambil menyodorkan sekaleng cola dingin, pantas saja tadi dahinya merasakan sesuatu yang dingin. Jola tersenyum kecil lalu menerima cola pemberian Falan.
"Kenapa di sini?" tanya Falan yang kini sudah mendudukkan dirinya di samping Jola.
Mereka berdua sedang duduk di bawah pohon besar yang berada di halaman belakang kampus mereka.
"Bukankah di sini terasa menenangkan?" tanya Jola lalu meneguk minuman sodanya setelah berhasil membukanya.
"Hm, enak untuk tidur saat sedang bolos," sahut Falan sambil berusaha menyamankan posisinya untuk bersandar di batang besar pohon.
"Berhentilah bolos, kau bisa tidak lulus ujian nanti."
"Kau sendiri sering bolos bukan?"
"Mulai lagi, dasar tidak ingin disalahkan!" Jola memasang wajah kesalnya, membuat Falan terkekeh kecil melihatnya.
Tangan Falan bergerak mengacak surai hitam milik Jola. Kenapa rasanya seperti ia dan Jola sudah lama tak bertemu? Jola terlihat semakin cantik, kulit wajahnya menjadi lebih cerah dari sebelumnya.
"Kau terlihat semakin cantik, wanita itu pasti merawatmu dengan baik." komentar Falan yang kini mengusap surai panjang Jola dengan lembut.
“Mbak Rena memang sangat baik. Aku merasa bersyukur telah bertemu dengannya.”
“Aku turut senang mendengarnya. Bukankah Tuhan begitu baik padamu karena telah mengirimkan Mbak Rena itu padamu?”
Jola terdiam lalu mengalihkan pandangannya dari Falan. “Y—ya, Tuhan sangat baik padaku. Sepertinya semua doa-doaku selama ini telah terkabul dengan hadirnya Mbak Rena hehehe...”
"Syukurlah," ujar Falan merasa lega. Sejak pertama kali Falan bertemu dengan Jola, ia sangat ingin membantunya, namun semua terkendala biaya. Falan hanya pemuda biasa yang terlahir dari keluarga sederhana, hanya usaha kost-kostan yang dimiliki keluarganya untuk bertahan hidup setelah sang ayah meninggal dunia.
“Bagaimana keadaan di kost?” tanya Jola mengganti topik obrolan mereka. Jola tidak ingin Falan tau tentang permintaan Renata padanya untuk menjadi istri kedua.
“Terasa sepi karena kau tidak ada.”
“Sepi karena tidak ada lagi yang bisa kau jahili bukan?”
“Hahaha ya, tidak ada lagi yang bisa aku cubit seperti ini!” Falan mencubit pipi bulat Jola hingga membuat gadis itu memekik kesal.
“Lepaskan Falan!!!” pekik Jola sambil berusaha melepaskan tangan Falan dari pipinya.
Falan akhirnya melepaskan tangannya dari pipi Jola sambil tertawa puas. Melihat wajah kesal Jola menjadi hal favoritnya.
Jola cemberut sambil menatap kesal ke arah Falan, namun pemuda itu malah semakin ketas menertawainya. Seketika Jola ingat bahwa ia harus segera kembali pulang, lebih tepatnya menjauh dari Falan sebelum pria itu menanyakan banyak hal padanya.
Jola melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul lima sore. Gadis itu berdehem kecil, lalu memasang wajah menyesalnya. "Falan, sorry. Aku harus segera kembali ke rumah sebelum malam," ucapnya berbohong, dan Falan hanya mengiyakan.
Pemuda itu membiarkan Jola beranjak pergi meninggalkannya.
***
Jola baru saja menutup pagar besar rumah yang ia tempati selama delapan hari ini. Langkahnya melambat, begitupun dengan wajahnya terlihat lesu seperti orang yang belum mendapat asupan nutrisi selama berhari-hari.
Pandangan mata Jola bertemu dengan netra kecil milik Yogi. Pria itu baru saja keluar dari mobilnya yang sudah terparkir rapi di garasi rumah. Jola menghela napas sejenak, lalu tersenyum kecil pada Yogi. Ia dan Yogi tidak dekat untuk saling menyapa satu sama lain.
Sesekali Jola berusaha tersenyum, mencoba bersikap sopan pada pria yang lebih tua darinya itu. Sedangkan Yogi hanya diam menatap Jola tanpa sepatah kata, walaupun sesekali pria itu mengangguk kecil sebagai respon untuk senyuman yang diberikan oleh Jola.
Jola berlalu begitu saja setelah tersenyum pada Yogi. Gadis manis itu langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya, sementara Yogi masih memperhatikan kepergian Jola dari tempatnya berdiri.
Rasanya sangat aneh bukan? Mereka akan menjadi suami dan istri, tapi untuk saling bertegur sapa saja, rasanya sangat sulit. Bagaimana nantinya mereka akan membuat Diandra kecil?
Jola merebahkan tubuhnya di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang pada sosok Yogi. Pria itu bersikap dingin padanya, bahkan hanya sekedar membalas senyumnya saja Yogi terlihat enggan.
Bagaimana mereka bisa menjalani sebuah pernikahan jika Yogi masih bersikap dingin pada Jola. Terlebih bagaimana caranya Jola mengandung keturunan untuk keluarga Diandra, jika Yogi saja seakan jijik padanya.
'Hah, aku memikirkan apa sih? Kenapa sudah membayangkan untuk memiliki anak?'
--To be continued--
Setelah makan malam, Renata dan Yogi memilih untuk masuk ke dalam kamar mereka. Meninggalkan Jola sendiri yang tengah membersihkan meja makan seorang diri.Sebelumnya Renata sudah berpamitan pada Jola, karena merasa tidak enak membiarkan gadis itu untuk membersihkan meja makan sendiri. Tapi Jola tetaplah gadis polos yang baik hati, ia berkata'tidak apa-apa'sambil menyunggingkan senyum manisnya.Renata dan Yogi duduk bersebelahan dalam satu sofa panjang. Renata meraih sebuah map merah yang merupakan akta pernikahan Yogi dan Jola. Wanita itu menyerahkan map merah itu pada Yogi.Yogi menghela napas berat lalu meraih map merah itu, perlahan ia membukanya dan mulai membacanya baik-baik.Hari ini Yogi dan Jola telah sah menjadi pasangan suami dan istri secara hukum, untuk secara agama Yogi hanya perlu melakukan pemberkatan di hadapan pendeta.Yogi menatap wajah Renata. Wanita cantik itu tersenyum dengan tulus padanya, seolah menandak
--Bali. Renata dan Wenda sampai di Bali dan langsung menuju ke hotel untuk beristirahat. Renata merebahkan tubuhnya, merentangkan kedua tangan dan kakinya seolah ranjang ini hanyalah miliknya. Wenda sampai berdecak kesal melihatnya, lalu menarik kaki pendek Renata untuk menggeser tubuh mungil sahabatnya supaya dirinya bisa ikut berbaring di ranjang. "Ren, malamnaikyuk! Kamu tuh butuh hiburan, coba dehone night slee,."ujar Wenda sambil mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Renata. Renata membulatkan matanya dan menatap wajah Wenda dengan kesal. "ONSkepalamu!! Enggak ya! Kalau cuma minum, ayok!" "Ck, denger ya, kamu minum sampai gak sadarkan diri. Bangun-bangun sudah di kamar orang lain dalam keadaannaked, sama sajaONSbodoh!" "Aku tidak akan mabuk, tenang saja. Aku ini sudahpro." "Sepertinya otakmu memang suda
Yogi berdiri di depan pintu kamar milik Jola, tangannya sudah beberapa kali terangkat untuk mengetuk pintu berwarna putih itu, tetapi kembali ia turunkan. Sejujurnya hati Yogi masih ragu. Bagaimana caranya untuk mengajak Jola bicara dengannya? Yogi mengacak surai hi
Tara menepati janjinya untuk menjemput Renata ke hotel dan mengajak wanita cantik itu untuk bersenang-senang di pantai pagi ini. Sesampainya di pantai, Renata langsung berlari-lari kecil sambil merentangkan kedua tangannya. Wanita cantik itu memang sangat menyukai pantai karena udaranya terasa
Jola melakukan tugasnya seperti hari-hari sebelumnya, hanya saja sekarang tugasnya bertambah dengan mengurus semua keperluan Yogi. Jola merasa kehidupannya saat ini seperti sebuah mimpi. Jola tidak pernah berpikir akan menikah diusia muda, bahkan dalam mimpi sekali pun. Bagi Jola mengumpulkan banyak uang adalah tujuan hidupnya, sedang pernikahan itu ibarat bonus dari Tuhan untuknya. Meskipun kenyataannya pernikahan yang Jola jalani saat ini hanyalah sebuah pernikahan
Hari ketiga di Bali, Renata kembali menghabiskan waktunyabersama Tara. Padahal Wenda yang mengajaknya berlibur ke sini untuk menenangkan diri dan bersenang-senang bersama. Namun kenyataannya Wenda terlalu sibuk melakukan pemotretan bersama agensinya, sebagai gantinya Wenda meminta Tara untuk menemani Renata berlibur menikmati Bali dan keindahan alamnya. Setelah mengenal Tara selama beberapa hari, Renata dapat menilai pria itu adalah orang yang menyenangkan. Tara bisa
Jola berdiri di depan gerbang kampusnya, menunggu Yogi datang menjemputnya sesuai dengan pembicaraan mereka semalam. Jujur saja, Jola merasa gugup untuk melakukan pemeriksaan ke dokter hari ini. Jola takut jika ternyata dirinya tak sesehat yang seharusnya untuk menjadi seorang ibu. Well, selama ini Jola tak pernah memeriksakan kesehatannya. Boro-boro mau periksa kesehatan, untuk makan saja Jola kesulitan. “Ola,” Jola menoleh, dilihatnya Falan yang berjalan menghampirnya. “Hey,” sapa Jola dengan nada kaku. “Kok berdiri di sini? Nungguin angkot? Mau aku anter pulang aja?” “Eh, gak perlu Falan. Aku lagi nunggu dijemput kok hehe,” “Dijemput? Sama siapa?” “Sama... Mbak Renata dong hehe,” jawab Jola berbohong. Rasanya sangat tak mungkin jika Jola memberitahu Falan bahwa yang menjemputnya adalah sang suami. “Oh, okay. Aku temenin mau?” “Gak usah. Bentar lagi Mbak Renata sampai kok, kamu duluan aja.”
Seperti yang direncanakan Yogi kemarin, hari ini mereka akan berangkat ke Bogor untuk berlibur. Jola merasa antusias, karena sejujurnya ia tidak pernah pergi berlibur. Hidup pas-pasan membuatnya harus mengubur semua hal-hal menyenangkan dalam hidup, termasuk pergi liburan. Semalam Yogi membantu Jola untuk menyiapkan barang apa saja yang perlu mereka bawa untuk pergi berlibur. Jika Yogi tak membantunya, mungkin Jola hanya akan membawa dompet dan ponselnya saja. Jola tak pernah pergi berlibur, jadi menurutnya selama ia membawa dompet dan ponsel, semua akan baik-baik saja. Mendengar penuturan Jola yang begitu polos, Yogi tertawa dan langsung membantu gadis itu untuk mengepack barang-barangnya. Mengingat kejadian semalam membuat Jola tersenyum tanpa sadar. Yogi mulai bersikap hangat padanya, dan Jola menyukai hal itu. Selama empat hari Renata pergi meninggalkan mereka, Jola dan Yogi menghabiskan banyak waktu bersama. Jola jadi tau b