Hari ketiga di Bali, Renata kembali menghabiskan waktunyabersama Tara. Padahal Wenda yang mengajaknya berlibur ke sini untuk menenangkan diri dan bersenang-senang bersama. Namun kenyataannya Wenda terlalu sibuk melakukan pemotretan bersama agensinya, sebagai gantinya Wenda meminta Tara untuk menemani Renata berlibur menikmati Bali dan keindahan alamnya.
Setelah mengenal Tara selama beberapa hari, Renata dapat menilai pria itu adalah orang yang menyenangkan. Tara bisadiajak membicarakan banyak hal dan bercanda. Tara juga tak mudah tersinggung dengan kalimat-kalimat makian yang kadang terlontar dari mulutnya. Renata merasa cocok dan dapat berteman dengan Tara.
Renata dan Tara mengelilingi Bali, menjelajahi berbagaitempat wisata, menjajal hampir semua kuliner enak dan menikmati pertunjukkan seni ataupun pameran yang tengah diadakan. Tara itu menyukai seni dan alam, sedang Renatamenyukai kuliner dan pemandangan.
Sesekali mereka berdebat tentang tempat tujuan yang akan mereka kunjungi, dan diakhiri dengan gunting, batu, kertas untuk menentukan tempat pilihan siapa yang akan dikunjungi. Kekanakan memang, tapi mereka menikmatinya.
Bohong kalau Tara bilang ia tidak tertarik dengan Renata, karena nyatanya hatinya selalu berdesir saat melihat senyum ataupun tawa bahagia Renata.
Renata itu cantik, memiliki sifat yang dewasa walaupun kadang sifat kekanakannya muncul. Tidak hanya cantik, Renata juga pintar. Tara melihatnya dari cara wanita itu menjelaskan tempat wisata pada seorang turis asing menggunakan bahasa Inggris dengan lancar. Renata bahkan bisa mengingat nama-nama jalan yang telah mereka lalui dengan baik, padahal Tara yang sudah sering bolak-balik Jakarta dan Bali saja tidak begitu mengingatnya.
Diam-diam Tara jadi membayangkan, bagaimana jika ia dan Renata memiliki anak nantinya? Pasti akan tampan ataupun cantik, dan pintar seperti Renata. Terdengar menggelikan, tapi Tara tetap ingin membayangkannya. Apa bisa dirinya ini membuat Renata jatuh cinta? Apa bisa dirinya yang berengsek ini mendapatkan bidadari sebaik Renata? Kalau dipikir-pikir tidak ada perempuan baik yang ingin mendapatkan pasangan berengsek. Terlebih perempuan pintar seperti Renata.
Tara tersenyum kecut, kemudian kembali fokus memperhatikan Renata yang tengah asik memfoto pemandangan sekitar. Mereka kini berada di sebuah purayang dibuka untuk umum sebagai salah satu destinasi wisata di Bali. Renata berhasil memenangkan gunting, batu, kertas, itu alasan mengapa mereka bisa berada disini. Renata berdalih ingin melihat patung Arca secara langsung mumpung dirinya berada di Bali.
Tara hanya bisa meringis pasrah menuruti keinginan Renata yang terdengar sangat norak. Memangnya patung Arca tidak ada di Jakarta? Walaupun cantik, ternyata Renata memiliki sifat kampungan juga. Tara tertawa sendiri karena mengatai Renata dalam hati.
Renata menoleh memperhatikan Tara yang tengah tertawa sendirian, kemudian bergidik ngeri. Apa mungkin Tarakerasukan roh dari patung Arca? Konon katanya patung berwujud manusia itu suka berisi roh-roh halus tak kasat mata.
Jika Tara kerasukan roh, lalu bagaimana Renata akan pulang?
Renata melangkah mendekati Tara, lalu dengan sengaja menampar pipi pria itu cukup keras.
“Awh! Apa sih? Dateng-dateng main nampol aja!” protes Tara sambil memegangi pipinya.
Renata tersenyum kaku. “Sorry... kukira kau kerasukan roh halus, habis ketawa-ketawa sendiri sih. Kan serem dilihatnya hehe...”
Tara mendengus kesal, lalu berbalik meninggalkan Renata yang langsung berteriak memanggil namanya.
“Ayok buruan balik, lama-lama disini aku bisa kerasukan beneran!”
Renata berlari kecil menyusul Tara yang terus melangkah menjauh darinya.
“Ih tungguin!!!”
Tara berbalik, namun tak menghentikan langkah kakinya. Pria itu berjalan mundur sambil memandangi Renata yang berlari kecil menyusulnya. “Dasar kaki pendek, jalan pun lambat,” ledeknya.
“Ih awas kau ya!”
“Awas apa? Heh?” tanya Tara sambil menatap Renata dengan tatapan remeh.
Renata cemberut, lalu mempercepat langkah kakinya untuk menyusul Tara. Melihat wajah kesal Renata membuat Tara terbahak sambil terus melangkah mundur. Karena tak melihat jalan, Tara tersandung dan jatuh ke tanah dengan posisi duduk.
Renata terkejut dan langsung berlari mendekat untuk menolong Tara. “Kau baik-baik saja?” tanyanya yang terdengar khawatir.
Tara menepuk-nepuk tangannya untuk membersihkan pasir yang menempel, setelahnya ia menatap Renata yang ikut membersihkan pasir di bagian celananya.
“I’m okay Ren,” jawabnya sambil tersenyum.
Renata beralih menatap wajah Tara. “Kau itu ceroboh,” ujarnya lalu beranjak berdiri. “Ayo berdiri.” Renata mengulurkan tangannya pada Tara.
Tara tersenyum semakin lebar melihat sikap perhatian Renata padanya. Segera ia menyambut uluran tangan Renata dan beranjak berdiri.
“Thank you,” ucapnya.
Renata mengangguk kecil.
“Laper gak?”
“Iya.”
“Ke Jimbaran mau? Ada resto enak di sana, sekalian lihat sunset.”
“Boleh.”
“Yuk!” Tara menggenggam erat tangan Renata, lalu berjalan menarik perempuan itu menuju parkiran mobil.
***
Sesampainya di Jimbaran, Tara dan Renata langsung memasuki resto yang terlihat cukup ramai. Well, resto ini terkenal di daerah Jimbaran sebagai resto terenak karena tidak pelit bumbu pada masakannya. Ini bahkan sudah kali ketujuh Tara makan disini, rasa masakannya benar-benar nagih.
“Mau pesan apa?”
“Yang rekomen apa? Aku baru pertama ke sini, jadi gak tau mana yang enak.”
“Semuanya enak tau. Gini deh, kamu suka seafood apa? Ikan, udang, atau cumi-cumi?”
“Aku suka semua, gimana dong?”
“Ya udah pesan semuanya aja gimana? Nanti kita sharing aja biar bisa habis semuanya.”
“Ide bagus. Ternyata kamu pinter juga ya?”
“Tara emang pinter, plus ganteng.”
“Dih narsis haha...” Renata tertawa geli akan tingkah Tara yang kelewat percaya diri itu.
“Mbak pesan semua menu seafood ini ya, minumnya orange squash 2 sama nasi 2 porsi.”
“Baik Mas, mohon ditunggu.” ucap pelayan yang sedari tadi setia menunggu Tara dan Renata memilih menu makanan, bahkan dengan terpaksa pelayan itu harus mendengar percakap tidak penting mereka berdua.
Setelah pelayan pergi, Renata dan Tara menjadi hening. Keduanya melihat ke arah lautan lepas sambil mendengar suara deburan ombak yang terasa menenangkan.
“Aku suka banget sama Bali, bikin betah.”
“Bali indah banget. Banyak sih wisata alam di Indonesia ini, tapi bagiku Bali itu istimewa.”
“Kenapa gitu?” tanya Tara yang kini beralih untuk menatap wajah cantik Renata dibawah pantulan langit sore.
“Bali itu tempat Mama dan Papa aku bertemu. Mereka bilang Bali itu kayak kota Paris, kota yang romantis. Setelah denger cerita gimana Mama dan Papa ketemu, aku sempet berpikir pengen nikah di Bali. Haha sayang gak kesampaian.”
“Gak kesampaian?”
“Heum, ya gitu deh.” Renata tersenyum tipis, merasa ragu untuk membuka jati dirinya pada Tara. Entah kenapa Renata tak ingin Tara tau bahwa dirinya ini telah menikah.
“Kamu sendiri, kenapa tergila-gila banget sama Bali?” tanya Renata mengalihkan pembicaraan.
“Yah, Bali itu terasa damai aja. Aku suka nanganin proyek pembangunan di Bali biar bisa bolak-balik ke sini. Capek di Jakarta, penuh banget. Berasa kayak aku gak bisa napas dengan leluasa di sana.”
“Lebay banget! Kamu gak bakal mati tinggal di Jakarta, masih banyak pohon untuk menghasilkan oksigen. Lagian kalau kamu gak bisa napas, uang kamu kan banyak buat beli tabung oksigen.”
“Ren, gak lucu. Lagian ya, kalau ada oksigen gratis di Bali, kenapa aku harus keluarin uang buat beli tabung oksigen di Jakarta?”
“Duh pusing ya bicara sama pembisnis, logikanya luas banget.”
Tara tersenyum mendengar ucapan Renata barusan.
“Ren,”
“Apa?”
“Satu tambah satu berapa?”
“Gak lulus sekolah ya? Gitu aja gak tau.”
“Jawab aja kenapa sih?”
“Yaudah satu tambah satu itu...” Renata menggantungkan ucapannya sambil menatap wajah Tara dan tersenyum kecil. “Aku sayang kamu hahaha...”
Tara terdiam di tempatnya, seketika pikirannya terasa kosong. Bisa-bisanya Renata mengucapkan kalimat itu, walaupun hanya kalimat candaan. Namun itu berhasil membuat jantung Tara berdebar cepat.
“Ih bodoh!” balas Tara lalu mengalihkan pandangannya dari Renata.
“Lah kok bodoh sih? Bener kan? Kamu tadi itu mau ngegombalkan? Udah ngaku aja!”
“Ngaku apa?”
“Ya ngaku kalau kamu itu mau ngegombal tadi.” Jawab Renata dengan nada gemas.
Tara tersenyum miring, lalu menatap Renata dengan tenang. “Lain tau. Satu tambah satu ya dualah. Kamu ini bodohnya natural sekali.”
Renata ternganga mendengar ucapan Tara. Bisa-bisanya pria yang berusia dua tahun dibawahnya itu mengejeknya bodoh. Kurang ajar sekali. Mengembuskan napas kesal, Renata memilih menatap ke arah lautan biru dan mengabaikan keberadaan Tara.
“Dih ngambek.”
“Jangan ngambek, ntar tambah jelek loh.”
“Itu napa bibir dimanyun-manyunin? Makin jelek aja.”
Renata terus mengabaikan Tara yang berusaha menggodanya. Kalimat demi kalimat godaan Tara lontarkan untuk membujuk Renata agar tak merajuk lagi padanya. Sampai akhirnya makanan pesanan mereka datang, Renata masih mengabaikan Tara.
“Duh sepinya,” sindir Tara yang masih berusaha membujuk Renata.
“Gini deh, kamu mau apa? Bakal aku turutin, asal kamu gak ngambek lagi.”
Renata melirik ke arah Tara. “Apapun yang aku mau?” tanyanya.
Tara mengangguk.
“Ummm, temenin nyalon.”
“Gampanglah, kemanapun kamu mau pasti aku turutin.”
“Okey deal.”
“Udah ya ngambeknya, jangan diemin aku lagi.”
Renata tersenyum geli mendengar ucapan Tara barusan.
“Dih, ngeledek ya?”
“Udah gak kuat aku nahan ketawa dari tadi.”
“Dasar. Tunggu aja pembalasanku.”
“Iya ditungguin deh,” balas Renata dengan nada mengejek.
Tara beneran jadi gemas pada Renata. Bisa tidak perempuan ini tak membuatnya tertarik? Tara terus merasa tertarik pada Renata, apapun yang perempuan itu lakukan selalu membuat Tara penasaran dan ingin mengetahui lebih banyak tentangnya. Rasanya sangat menyenangkan menghabiskan waktu di Bali bersama Renata.
Bali dan Renata adalah perpaduan sempurna bagi Tara. Oh God, bisakah Tara mendapatkan perempuan ini?
—TO BE CONTINUED—
Jola berdiri di depan gerbang kampusnya, menunggu Yogi datang menjemputnya sesuai dengan pembicaraan mereka semalam. Jujur saja, Jola merasa gugup untuk melakukan pemeriksaan ke dokter hari ini. Jola takut jika ternyata dirinya tak sesehat yang seharusnya untuk menjadi seorang ibu. Well, selama ini Jola tak pernah memeriksakan kesehatannya. Boro-boro mau periksa kesehatan, untuk makan saja Jola kesulitan. “Ola,” Jola menoleh, dilihatnya Falan yang berjalan menghampirnya. “Hey,” sapa Jola dengan nada kaku. “Kok berdiri di sini? Nungguin angkot? Mau aku anter pulang aja?” “Eh, gak perlu Falan. Aku lagi nunggu dijemput kok hehe,” “Dijemput? Sama siapa?” “Sama... Mbak Renata dong hehe,” jawab Jola berbohong. Rasanya sangat tak mungkin jika Jola memberitahu Falan bahwa yang menjemputnya adalah sang suami. “Oh, okay. Aku temenin mau?” “Gak usah. Bentar lagi Mbak Renata sampai kok, kamu duluan aja.”
Seperti yang direncanakan Yogi kemarin, hari ini mereka akan berangkat ke Bogor untuk berlibur. Jola merasa antusias, karena sejujurnya ia tidak pernah pergi berlibur. Hidup pas-pasan membuatnya harus mengubur semua hal-hal menyenangkan dalam hidup, termasuk pergi liburan. Semalam Yogi membantu Jola untuk menyiapkan barang apa saja yang perlu mereka bawa untuk pergi berlibur. Jika Yogi tak membantunya, mungkin Jola hanya akan membawa dompet dan ponselnya saja. Jola tak pernah pergi berlibur, jadi menurutnya selama ia membawa dompet dan ponsel, semua akan baik-baik saja. Mendengar penuturan Jola yang begitu polos, Yogi tertawa dan langsung membantu gadis itu untuk mengepack barang-barangnya. Mengingat kejadian semalam membuat Jola tersenyum tanpa sadar. Yogi mulai bersikap hangat padanya, dan Jola menyukai hal itu. Selama empat hari Renata pergi meninggalkan mereka, Jola dan Yogi menghabiskan banyak waktu bersama. Jola jadi tau b
Seusai menikmati makan malam di resto, Jola dan Yogi duduk berdua di teras vila yang menghadap pada kolam renang kecil. Jola melipat kedua kakinya, bersembunyi di balik selimut cokelat yang diberikan oleh Yogi. Sedang pria itu hanya duduk bersila dengan sebatang rokok yang terselip di jari tangannya. Jola baru tau jika Yogi seorang perokok.“Aku hanya merokok sesekali, itu pun jika ingin.” buka Yogi sambil menoleh pada Jola.“Jadi berhenti menatapku seperti itu,” lanjutnya.Jola gelagapan. Tak sadar jika sedari tadi ia memperhatikan Yogi. “Ma—maaf,” cicitnya sambil menunduk malu.Yogi terkekeh kecil, membuat Jola meliriknya.“Kau itu lucu.”“Aku?”“Hn.”Jola menatap bingung ke arah Yogi. “Lucu gimana?” tanyanya.Yogi membuang putung rokoknya ke kolam renang.“Mas, gak baik buang sampah sembarangan.”“
Renata dan Tara tengah duduk berdua di balkon kamar hotel milik Tara. Pandangan mata mereka tak lepas dari langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Sebotol vodka menemani obrolan mereka malam ini. Tara berdehem, lalu meletakan gelas minumannya di meja. "Wanna play some game?" Tara menawarkan sebuah permainan. "What's the game?" tanya Renata sambil memandang wajah Tara yang duduk di sebelahnya. Permainan apa yang diinginkan pria ini. "Truth or Drunk?" Renata tertawa hingga kedua matanya membentuk bulan sabit.
Menyusul Jola ke kamar, Yogi bisa melihat istrinya itu merikuk di dalam selimut. Lagi-lagi niat jahilnya untuk menggoda Jola terlintas. Pria itu naik ke atas ranjang, bergerak mendekat pada Jola dan menarik turun selimut yang menutupinya. “Kau malu?” tanyanya yang langsung mendapat tatapan sinis dari Jola. “Wow, tatapanmu menakutkan.” Jola berbalik sambil menatap suaminya itu dengan serius. “Apa menyenangkan menggodaku?” tanyanya yang terdengar kesal. “Ya. Pipimu yang memerah ini.” Yogi mengusap pipi bulat Jola, perlahan ia mendekatkan wajahnya dan menyatukan bibirnya dengan bibir ranum Jola. Damn. Jola terdiam, tubuhnya seketika kaku dan tak bisa digerakan. Yogi merubah posisinya jadi menindih tubuh Jola, satu tangannya digunakan sebagai tumpuan sedang tangannya yang lain masih memegang pipi Jola dan mengusapnya dengan lembut. Sapuan lidah Yogi yang hangat pada permukaan bibir Jola membuat akal sehat gadis it
"Aku sudah tau.” “Apa?” Renata menatap wajah Tara dengan tatapan kosong, terlihat seperti anak kecil yang baru saja ketahuan berbohong oleh orang tuanya. “Aku sudah tau, bodoh." ujar Tara mengulang ucapannya disertai kekehan kecil karena melihat wajah terkejut Renata. "Kau tau siapa aku ‘kan?" Tara tersenyum miring menatap Renata yang terlihat gelisah di tempatnya. Dengan ragu, Renata mengangguk kecil. Kenapa ia bisa sebodoh ini? Harusnya Renata ingat bahwa Tara bukanlah orang biasa. Dia adalah anak dari pemilik perusahaan paling berpengaruh di Jakarta. Semua yang diinginkan Tara dapat terpenuhi, termasuk data diri Renata. Tara tidak harus bersusah payah untuk mencari tahu tentang Renata, hanya perlu meminta orang suruhannya untuk melakukannya. Tara memajukan tubuhnya, menyentuh kedua pundak Renata. Pria itu lantas menatap wajah Renata dengan serius lalu tersenyum hangat. "Aku tidak peduli dengan statusmu. Aku juga tau jika kau dan sua
“Kau lelah?” tanya Yogi setelah memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Setelah puas berkeliling Bogor dan menjajal berbagai jenis makanan enak, akhirnya pasangan Yogi dan Jola pulang ke Jakarta. Sampai di kota metropolitan ini, sang mentari sudah bertukar tugas dengan sang rembulan. Perlajanan tak begitu lama lantaran jarak Jakarta dan Bogor tidaklah jauh. Jola menggeleng pelan sambil tersenyum hangat. “Tidak,” balasnya singkat, lalu melepas seatbelt yang melingkari tubuhnya. Yogi hanya mengangguk lalu membuka pintu mobilnya dan keluar, lalu disusul oleh Jola. Keduanya melangkah mendekati pintu utama, Jola memasukan kunci dan memutarnya. Namun kunci itu tak bergerak dan dengan mudah Jola dapat membuka pintu, seakan pintu tidaklah terkunci. Persaan takut seketika menyelimuti hati Jola. Apa di rumahnya ada orang? Apa rumahnya dimasuki oleh maling? Jola ingat betul sudah mengunci rumahnya kemarin sebelum berlari menyusul Yogi masuk ke dalam mobil
Pagi pukul enam, Jola terbangun dari tidur nyenyak. Ia segera mandi dan bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ketika Jola tiba di dapur, dilihatnya Renata yang tengah sibuk memasak sarapan. Dengan langkah ragu dan memasang senyum terbaiknya, Jola melangkah perlahan menghampiri Renata dan menyapa wanita itu yang sedang sibuk dengan peralatan memasaknya. "Mbak,” panggil Jola dengan suara lembutnya. Renata menoleh, tersenyum manis membalas sapaan Jola barusan. Beberapa hari Jola tidak bertemu dengan wanita cantik yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya itu, membuat Jo