Jola melakukan tugasnya seperti hari-hari sebelumnya, hanya saja sekarang tugasnya bertambah dengan mengurus semua keperluan Yogi. Jola merasa kehidupannya saat ini seperti sebuah mimpi. Jola tidak pernah berpikir akan menikah diusia muda, bahkan dalam mimpi sekali pun. Bagi Jola mengumpulkan banyak uang adalah tujuan hidupnya, sedang pernikahan itu ibarat bonus dari Tuhan untuknya. Meskipun kenyataannya pernikahan yang Jola jalani saat ini hanyalah sebuah pernikahan kontrak untuk melahirkan seorang anak, namun pernikahan antara dirinya dan Yogi merupakan pernikahan yang sah baik secara hukum dan agama.
Jola menghela napas panjang, pikirannya bercabang tak menentu. Jola memikirkan bagaimana nasibnya ke depan setelah dirinya melahirkan anak untuk Yogi dan Renata. Jika kontrak pernikahan ini selesai, maka dirinya akan menjadi seorang janda diusianya yang bahkan masih berkepala dua. Jola mendesah kecewa, kenapa baru sekarang pikiran menjadi seorang janda diusia itu terlintas. Kenapa saat ia membuat keputusan kemarin, pikiran logis itu tak terlitas diotaknya? Dirinya lebih menggunakan hati daripada logika pada saat itu. Memang benar ya, penyesalan itu datangnya selalu belakangan.
Bolehkah Jola menyesalinya sekarang? Memberikan darah dagingnya lalu menyandang status janda sangatlah menyedihkan. Rasanya kenapa Jola seperti menjadi seorang korban? Walaupun dirinya akan dibayar oleh Renata, tetap saja nasib yang akan diterimanya kelak sangatlah menyedihkan.
Memikirkan tentang nasibnya mendatang, seketika mata Jola memanas. Air matanya menetes begitu saja. Jola menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan rasa penyesalan yang terlintas dalam benaknya. Jola tidak boleh menyesali keputusannya.
Jola menyeka air matanya dengan kasar, menghela napas berat ia kemudian beranjak keluar dari kamarnya. Sekarang sudah sore, saatnya Jola menyiapkan makan malam lalu membersihkan dirinya. Walaupun hanya menjadi istri kontrak, Jola tetap ingin melayani Yogi seperti Renata melayaninya. Setelah memasak makan malam, Jola akan membersihkan diri dan berdandan dengan cantik untuk menyambut kepulangan Yogi.
“Jalani pernikahan singkat ini dengan ikhlas, maka rasa penyesalan itu tidak akan datang. Semangat Jola, kau pasti bisa. Satu tahun tidak akan terasa lama jika kau ikhlas.” gumam Jola menyemangati dirinya sendiri.
***
Yogi melangkahkan kakinya memasuki rumah. Mengedar pandang ke seisi rumah, Yogi tidak mendapati kehadiran istri mudanya itu di ruang tamu. Yogi akhirnya melangkahmemasuki dapur, mungkin saja istrinya itu sedang memasakuntuk makan malam. Tapi ternyata keadaan dapur juga kosong dan di meja makan telah tersedia menu makan malam.
Tanpa sadar Yogi menarik sedikit sudut bibirnya, dalam hati ia memuji Renata yang tidak salah memilih wanita untuk menjadi ibu pengganti yang akan melahirkan keturunan keluarga Diandra. Menghela napas sesaat, Yogi akhirnya memilih memasuki kamarnya untuk membersihkan diri.
Selesai membersihkan diri, Jola keluar dari kamar danmenuruni satu persatu anak tangga. Jola memilih mengenakan kaos putih over size polos dan celana pendek hitam dengan rambut yang dicepol tinggi. Penampilan rumahan yang biasa dikenakan gadis muda seusianya. Niat awalnya yang ingin berdandan akhirnya ia urungkan. Jola tidak ingin Yogi berpikir bahwa dirinya tengah berusaha untuk menggoda. Cukup kejadian semalam saja saat bibirnya ini dengan polosnya mengajak sang suami untuk tidur bersama. Jangan sampai dirinya ini melakukan hal berlebih yang akan membuat Yogi merasa risih akan kehadirannya.
Matahari yang sudah terbenam setengah membuat pencahayaan di dalam rumah menjadi remang-remang. Jola segera mencari saklar lampu rumah dan menekan tombol on.Setelahnya Jola berniat untuk menutup semua tirai jendela,tanpa sengaja matanya melihat mobil Yogi yang sudah terparkir di garasi. Ternyata suaminya itu sudah pulang kerja. Jola buru-buru menyelesaikan kegiatannya itu agar ia bisa bersiap di ruang makan untuk menyambut suaminya karena sebentar lagi jam makan malam.
Belum selesai Jola menyelesaikan kegiatannya untuk menutup semua tirai rumah, Yogi sudah lebih dulu keluar dari kamarnya yang berada dekat dengan ruang tengah. Jola menatap penampilan Yogi yang terlihat cukup menggiurkan. Yogi terlihat sangat tampan dengan rambutnya yang acak-acakan dan sedikit basah, sepertinya pria itu belum menyisir rambutnya. Yogi mengenakan pajamas lengan panjang berwarna abu-abu dimana dua kancing bagian atasnya tidak terkancing sehingga dada pria itu sedikit terbuka.
Ya Tuhan... Jola hampir kehilangan fokusnya saat melihat sedikit dada Yogi itu, susah payah Jola berusaha untukmengontrol dirinya. Bahaya jika mulut polosnya itu berucap,
'Mas terlihat sangat tampan dan sexy'.Mau ditaruh dimana wajah Jola nanti? Baru saja tadi Jola mewanti-wantidirinya untuk tidak bersikap berlebihan pada Yogi. Sepertinya Jola harus membuat remot kontrol untuk dirinya ini, agar tak meloloskan kalimat-kalimat kurang ajar yang saat ini tengah menari-nari indah dalam pikirannya.
"Kau sedang apa di situ?" tanya Yogi yang menyadari bahwa Jola tengah menatapnya dari dekat jendela ruang tengah.
Jola mengerjapkan matanya, kemudian berdehem kecil.
"Ah, aku habis menutup tirai M—mas." jawab Jola dengan nada gugup.
Yogi mengangguk kecil lalu melanjutkan langkahnya menuju meja makan. "Ayo makan malam," ajaknya.
Jola menghela napas lega saat suaminya itu tidak merespon nada gugupnya barusan. Ternyata ada gunanya juga memiliki suami yang bersikap dingin dan cuek. Jola akhirnya segera menyusul Yogi ke ruang makan untuk makan malam bersama.
Selesai menikmati makan malam dan merapikan meja makan, Jola melangkah menuju tangga untuk kembali ke kamarnya.
“Jola,” panggil Yogi yang membuat langkah kaki Jola terhenti.
“Ya Mas?” balas Jola sambil menoleh ke arah Yogi yang tengah duduk di ruang tengah.
“Bisa kita bicara?”
“Ya.” Jola mengangguk patuh kemudian berjalan mendekati suaminya itu.
Setelah Jola duduk di hadapannya, Yogi langsung menatap wajah Jola dengan serius.
“Ada apa ya Mas?” tanya Jola yang merasa gugup karena tatapan mata Yogi yang tajam padanya.
“Seperti pasangan suami dan istri pada umumnya, aku rasa kita perlu bicara sebelum memutuskan untuk memiliki anak.”
“Oh, iya. Lalu apa yang ingin Mas bahas?”
“Pertama, kita harus ke rumah sakit untuk memeriksa kesahatan dan akan lebih baik jika kita mengikuti program kehamilan yang disarankan oleh dokter.”
“Ya, aku setuju Mas. Memang sebaiknya kita lakukan konsultasi dulu dengan dokter.”
“Besok kau kuliah?”
“Ya, aku ada kelas pagi dan selesai pukul satu siang.”
“Kita ke rumah sakit setelah kau selesai kuliah. Aku akan menjemputmu di kampus.”
“Baiklah, aku akan menghubungi Mas saat jam kuliahku sudah selesai.”
Yogi mengangguk paham.
“Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, boleh aku kembali ke kamar untuk beristirahat?" tanya Jola.
"Kau tidak mengajak suamimu ini?" ujar Yogi yang malah balik bertanya pada Jola.
"Hah?" respon Jola dengan ekspresi bingungnya.
Yogi mengerucutkan bibirnya karena kesal melihat respon Jola.
Jola melipat bibirnya ke dalam, berusaha untuk menahan tawanya yang ingin meledak akibat wajah merengut suaminya. Yogi terlihat sangat menggemaskan.
Jola berdehem kecil, lalu mengulurkan tangannya pada Yogi. Melirik uluran tangan Jola, Yogi hanya diam sambil menaikan alisnya sebelah.
“Apa?” tanyanya ketus.
Jola tersenyum kecil menerima respon cuek Yogi. "Ayo tidur Mas. Mas butuh istirahat untuk pergi bekerja besok." ucap Jola kalem.
Yogi tersenyum mendengarnya, lalu meraih tangan Jola dan menggenggamnya dengan erat. Mereka berdua beranjak menuju kamar Jola yang berada di lantai dua.
—TO BE CONTINUED—
Hari ketiga di Bali, Renata kembali menghabiskan waktunyabersama Tara. Padahal Wenda yang mengajaknya berlibur ke sini untuk menenangkan diri dan bersenang-senang bersama. Namun kenyataannya Wenda terlalu sibuk melakukan pemotretan bersama agensinya, sebagai gantinya Wenda meminta Tara untuk menemani Renata berlibur menikmati Bali dan keindahan alamnya. Setelah mengenal Tara selama beberapa hari, Renata dapat menilai pria itu adalah orang yang menyenangkan. Tara bisa
Jola berdiri di depan gerbang kampusnya, menunggu Yogi datang menjemputnya sesuai dengan pembicaraan mereka semalam. Jujur saja, Jola merasa gugup untuk melakukan pemeriksaan ke dokter hari ini. Jola takut jika ternyata dirinya tak sesehat yang seharusnya untuk menjadi seorang ibu. Well, selama ini Jola tak pernah memeriksakan kesehatannya. Boro-boro mau periksa kesehatan, untuk makan saja Jola kesulitan. “Ola,” Jola menoleh, dilihatnya Falan yang berjalan menghampirnya. “Hey,” sapa Jola dengan nada kaku. “Kok berdiri di sini? Nungguin angkot? Mau aku anter pulang aja?” “Eh, gak perlu Falan. Aku lagi nunggu dijemput kok hehe,” “Dijemput? Sama siapa?” “Sama... Mbak Renata dong hehe,” jawab Jola berbohong. Rasanya sangat tak mungkin jika Jola memberitahu Falan bahwa yang menjemputnya adalah sang suami. “Oh, okay. Aku temenin mau?” “Gak usah. Bentar lagi Mbak Renata sampai kok, kamu duluan aja.”
Seperti yang direncanakan Yogi kemarin, hari ini mereka akan berangkat ke Bogor untuk berlibur. Jola merasa antusias, karena sejujurnya ia tidak pernah pergi berlibur. Hidup pas-pasan membuatnya harus mengubur semua hal-hal menyenangkan dalam hidup, termasuk pergi liburan. Semalam Yogi membantu Jola untuk menyiapkan barang apa saja yang perlu mereka bawa untuk pergi berlibur. Jika Yogi tak membantunya, mungkin Jola hanya akan membawa dompet dan ponselnya saja. Jola tak pernah pergi berlibur, jadi menurutnya selama ia membawa dompet dan ponsel, semua akan baik-baik saja. Mendengar penuturan Jola yang begitu polos, Yogi tertawa dan langsung membantu gadis itu untuk mengepack barang-barangnya. Mengingat kejadian semalam membuat Jola tersenyum tanpa sadar. Yogi mulai bersikap hangat padanya, dan Jola menyukai hal itu. Selama empat hari Renata pergi meninggalkan mereka, Jola dan Yogi menghabiskan banyak waktu bersama. Jola jadi tau b
Seusai menikmati makan malam di resto, Jola dan Yogi duduk berdua di teras vila yang menghadap pada kolam renang kecil. Jola melipat kedua kakinya, bersembunyi di balik selimut cokelat yang diberikan oleh Yogi. Sedang pria itu hanya duduk bersila dengan sebatang rokok yang terselip di jari tangannya. Jola baru tau jika Yogi seorang perokok.“Aku hanya merokok sesekali, itu pun jika ingin.” buka Yogi sambil menoleh pada Jola.“Jadi berhenti menatapku seperti itu,” lanjutnya.Jola gelagapan. Tak sadar jika sedari tadi ia memperhatikan Yogi. “Ma—maaf,” cicitnya sambil menunduk malu.Yogi terkekeh kecil, membuat Jola meliriknya.“Kau itu lucu.”“Aku?”“Hn.”Jola menatap bingung ke arah Yogi. “Lucu gimana?” tanyanya.Yogi membuang putung rokoknya ke kolam renang.“Mas, gak baik buang sampah sembarangan.”“
Renata dan Tara tengah duduk berdua di balkon kamar hotel milik Tara. Pandangan mata mereka tak lepas dari langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Sebotol vodka menemani obrolan mereka malam ini. Tara berdehem, lalu meletakan gelas minumannya di meja. "Wanna play some game?" Tara menawarkan sebuah permainan. "What's the game?" tanya Renata sambil memandang wajah Tara yang duduk di sebelahnya. Permainan apa yang diinginkan pria ini. "Truth or Drunk?" Renata tertawa hingga kedua matanya membentuk bulan sabit.
Menyusul Jola ke kamar, Yogi bisa melihat istrinya itu merikuk di dalam selimut. Lagi-lagi niat jahilnya untuk menggoda Jola terlintas. Pria itu naik ke atas ranjang, bergerak mendekat pada Jola dan menarik turun selimut yang menutupinya. “Kau malu?” tanyanya yang langsung mendapat tatapan sinis dari Jola. “Wow, tatapanmu menakutkan.” Jola berbalik sambil menatap suaminya itu dengan serius. “Apa menyenangkan menggodaku?” tanyanya yang terdengar kesal. “Ya. Pipimu yang memerah ini.” Yogi mengusap pipi bulat Jola, perlahan ia mendekatkan wajahnya dan menyatukan bibirnya dengan bibir ranum Jola. Damn. Jola terdiam, tubuhnya seketika kaku dan tak bisa digerakan. Yogi merubah posisinya jadi menindih tubuh Jola, satu tangannya digunakan sebagai tumpuan sedang tangannya yang lain masih memegang pipi Jola dan mengusapnya dengan lembut. Sapuan lidah Yogi yang hangat pada permukaan bibir Jola membuat akal sehat gadis it
"Aku sudah tau.” “Apa?” Renata menatap wajah Tara dengan tatapan kosong, terlihat seperti anak kecil yang baru saja ketahuan berbohong oleh orang tuanya. “Aku sudah tau, bodoh." ujar Tara mengulang ucapannya disertai kekehan kecil karena melihat wajah terkejut Renata. "Kau tau siapa aku ‘kan?" Tara tersenyum miring menatap Renata yang terlihat gelisah di tempatnya. Dengan ragu, Renata mengangguk kecil. Kenapa ia bisa sebodoh ini? Harusnya Renata ingat bahwa Tara bukanlah orang biasa. Dia adalah anak dari pemilik perusahaan paling berpengaruh di Jakarta. Semua yang diinginkan Tara dapat terpenuhi, termasuk data diri Renata. Tara tidak harus bersusah payah untuk mencari tahu tentang Renata, hanya perlu meminta orang suruhannya untuk melakukannya. Tara memajukan tubuhnya, menyentuh kedua pundak Renata. Pria itu lantas menatap wajah Renata dengan serius lalu tersenyum hangat. "Aku tidak peduli dengan statusmu. Aku juga tau jika kau dan sua
“Kau lelah?” tanya Yogi setelah memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Setelah puas berkeliling Bogor dan menjajal berbagai jenis makanan enak, akhirnya pasangan Yogi dan Jola pulang ke Jakarta. Sampai di kota metropolitan ini, sang mentari sudah bertukar tugas dengan sang rembulan. Perlajanan tak begitu lama lantaran jarak Jakarta dan Bogor tidaklah jauh. Jola menggeleng pelan sambil tersenyum hangat. “Tidak,” balasnya singkat, lalu melepas seatbelt yang melingkari tubuhnya. Yogi hanya mengangguk lalu membuka pintu mobilnya dan keluar, lalu disusul oleh Jola. Keduanya melangkah mendekati pintu utama, Jola memasukan kunci dan memutarnya. Namun kunci itu tak bergerak dan dengan mudah Jola dapat membuka pintu, seakan pintu tidaklah terkunci. Persaan takut seketika menyelimuti hati Jola. Apa di rumahnya ada orang? Apa rumahnya dimasuki oleh maling? Jola ingat betul sudah mengunci rumahnya kemarin sebelum berlari menyusul Yogi masuk ke dalam mobil