Di dalam ruangan luas dengan pencahayaan temaram, Jonathan duduk di kursi kulit hitam di balik meja besar. Tangannya mengepal, wajahnya menunjukkan ekspresi tegang. Sebuah rokok menyala di antara jarinya, ia bahkan tidak tertarik untuk menghisapnya.Di depannya, ada beberapa anak buahnya berdiri dalam posisi tegap, menunggu perintah lebih lanjut. Salah satu dari mereka, pria berbadan tegap dengan luka bekas sayatan di pipi, melangkah maju dan memberikan laporan.“Bos, kami masih belum menemukan keberadaannya. Tapi … kami sudah mendapatkan jejaknya.”Mata Jonathan menyipit tajam. Ia menggerakkan jari-jarinya di atas meja, tanda ketidaksabarannya semakin memuncak.“Cepat temukan dia,” suaranya terdengar dingin.“Baik, Bos!” anak buahnya menjawab serempak.Jonathan bersandar di kursinya, lalu mengembuskan napas panjang. Matanya menatap tajam ke arah layar komputer yang menampilkan beberapa rekaman CCTV. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari keberadaan seseorang.Jonathan mer
Michael memukul setir mobil dengan keras, menggeram penuh frustrasi. Dia tak punya waktu untuk memikirkan ini sekarang. Yang harus ia lakukan saat ini adalah kembali ke mansion dan menjelaskan semuanya pada Sahira.Michael tak peduli berapa kecepatan mobilnya saat ini. Yang ia inginkan hanyalah sampai di mansion secepat mungkin.Michael menginjak pedal gas dalam-dalam, membuat mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan malam yang sepi. Rasa panik dan marah bercampur menjadi satu dalam dadanya.“Sahira ... maafkan aku ....”Michael harus segera menemui wanita itu dan menjelaskan segalanya.Setelah menempuh jarak panjang, akhirnya mobilnya berhenti di depan mansion, Michael segera keluar tanpa membuang waktu. Ia berjalan cepat melewati halaman depan dan langsung memasuki rumah dengan langkah tergesa.Begitu memasuki ruang tengah, matanya langsung menangkap sosok Evelyn yang duduk santai di sofa, menyesap segelas wine dengan ekspresi tenang, seolah tidak peduli dengan apa pun yan
“Si-siapa kalian?”“Aku, Jonathan ... Jonathan Alexander.”“saya tidak kenal, tolong jangan menggangguku!”Haidar merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat pria yang mengaku bernama Jonathan Alexander menarik kerah bajunya dengan kasar.“Apa kau tidak ingat, hah?!” bentak Jonathan. “Lima tahun lalu, kau menculik seorang bocah kecil bernama Jasmine! Di mana dia sekarang?! Di mana adikku?!”Haidar menelan ludah. Tubuhnya terasa menggigil. Dia tidak tahu jika keluarga dari gadis itu, mencarinya. Dan kini berdiri di hadapannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan,” ucap Haidar dengan suara bergetar. Dia berpura-pura tidak tahu.Jonathan semakin kesal. Tangannya yang besar mencengkeram kerah Haidar lebih erat, lalu menariknya hingga kaki Haidar hampir terangkat dari tanah.“Jangan pura-pura bodoh, Haidar!” suara Jonathan rendah dan mengancam. “Atau aku akan membunuhmu, mencincang dagingmu dan melemparnya ke kandang buaya sekarang juga!”Haidar merasa tubuhnya sema
“K-Kamu ...” Orang itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Jonathan tersenyum. “Halo, Jasmine, kita bertemu lagi.” Sahira mengepalkan kedua tangannya, menatap pria dewasa yang terkenal kejam di depannya. “Ma-mau apa kamu?” dia merasa ketakutan. Tubuhnya menggigil hebat. Dia mundur selangkah kebelakang. “Jangan takut, Jasmine, aku tidak akan menyakitimu.” “Namaku Sahira! Bukan Jasmine.” “Tidak. Namamu Jasmine, bukan Sahira. Pria tua itu telah menipumu.” “Siapa, maksudmu?” “Haidar. Dia telah menculikmu saat berusia 5 5tahun.” Sahira menggeleng tak percaya, “Itu tidak mungkin! Ayahku bukan seorang penjahat.” “Jasmine percayalah. Aku kakakmu.” Sahira menggeleng kuat, tak percaya pria yang pernah hampir melecehkannya adalah keluarganya. “Tidak, kamu bukan kakakku!” “Aku kakakmu Jasmine, aku telah mencarimu selama bertahun-tahun. Dan kini, aku baru mengetahui kebenarannya.” Jonathan mengambil sesuatu di sakunya, lalu menyerahkan sebuah foto usang p
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mobil yang ditumpangi Sahira dan Jonathan memasuki gerbang besar sebuah rumah megah. Sahira menatap ke luar jendela, matanya membelalak melihat bangunan kokoh dengan arsitektur klasik yang mencerminkan kemewahan. Pilar-pilar tinggi berdiri gagah di depan rumah, sedangkan halaman luasnya dipenuhi dengan taman yang tertata rapi, lengkap dengan air mancur di tengahnya. Saat mobil berhenti di depan pintu utama, seorang pelayan bergegas membukakan pintu untuk mereka. Jonathan turun lebih dulu, lalu melangkah ke sisi lain untuk membantu Sahira keluar. “Selamat datang di rumahmu, Jasmine,” ujar Jonathan sambil tersenyum. Sahira meliriknya sekilas, masih belum terbiasa dengan panggilan itu. Ia tidak membalas, hanya mengikuti langkah kakaknya menuju dalam rumah. Begitu melewati pintu besar yang diukir dengan detail rumit, Sahira semakin terkejut melihat interiornya. Langit-langit tinggi dihiasi lampu kristal yang megah, sementara lan
Di sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap ke kota, Michael duduk di balik meja kayunya yang elegan. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme yang tak beraturan, ekspresi wajahnya penuh amarah yang ditahan. Sudah berjam-jam ia mencari tahu keberadaan Sahira, namun hingga kini belum ada hasil yang memuaskan. Rasa frustrasi semakin menghimpit dadanya, menciptakan bara dalam pikirannya yang sewaktu-waktu bisa meledak.Pintu ruangan terbuka, dan Lucas melangkah masuk dengan wajah serius. Pria berambut cepak itu berjalan cepat, lalu berhenti di depan meja Michael.“Aku punya informasi,” ucapnya tegas.Michael langsung mendongak, matanya menyipit tajam. “Cepat katakan.”Lucas menarik napas sebelum melanjutkan, “Seseorang melihat Sahira di rumah lamanya. Dia bertemu dengan seorang pria di sana.”Michael tersentak, punggungnya menegang. “Siapa pria itu?” tanyanya dengan suara dingin yang mengandung ancaman.Lucas menggeleng pelan. “Aku tidak tahu pasti, Bos. Tapi
Sahira berdiri tegak dengan busur panah di tangannya, menatap target di depannya dengan penuh konsentrasi. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, tapi itu tak mengganggunya.Jonathan berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat, mengawasi setiap gerakan adiknya.“Kuatkan genggamanmu,” ucapnya tegas. “Tarik talinya lebih dalam, jangan ragu.”Sahira menarik napas dalam, lalu mencoba mengikuti instruksi Jonathan. Dia menarik tali busur dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menahan beban panah yang siap melesat. Namun, saat ia melepaskan anak panah, tembakannya meleset jauh dari target.Prak!“Ahh!”Sahira mendesah frustrasi.“Aku tidak bisa, Kak Joe.”Jonathan tersenyum tipis, melangkah lebih dekat dan menepuk bahunya dengan lembut.“Kau pasti bisa, sayang. Hanya butuh latihan dan keyakinan.”Sahira menggigit bibirnya, lalu kembali mengambil anak panah baru. Dia menenangkan dirinya, mencoba membuang jauh rasa gugup dan ketakutannya.“Fokus,” bisik Jonathan di telinganya.Sahira m
Michael duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah lantai. Sudah dua minggu sejak Sahira menghilang, dan tidak ada satu pun jejak yang bisa dia temukan. Setiap sudut telah digeledah, setiap orang yang berpotensi mengetahui keberadaan wanita itu telah diinterogasi—tetapi tetap saja nihil.Pintu kamar diketuk, lalu Lucas masuk dengan ekspresi serius. “Bos, nanti malam ada pertemuan bisnis di Hotel Lavigne.”Michael hanya mengangguk tanpa semangat.Lucas sempat menatapnya, ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya membungkuk hormat dan keluar dari kamar.Michael menghela napas panjang. Saat itulah ponselnya bergetar di atas meja. Nama Sergio muncul di layar.Dia langsung mengangkatnya. “Ada apa?” tanyanya datar.Di ujung sana, suara Sergio terdengar ceria. “Hei, Kakak! Kenapa nada suaramu seperti orang yang baru kehilangan dompet?”Michael mendesah. “Aku sedang tidak mood bercanda, Sergio.”“Tentu saja tidak,” Sergio terkekeh. “Tapi aku tetap ingin mengucapkan selamat!
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.“Yang pertama,” bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, “aku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”Sahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!“Yang kedua … aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.”“Aku ... tidak bisa.”“Kamu pasti bisa sayang.”Tiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. “Kurang ajar!” gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.…" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannya—seolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.“Maaf, Tuan .…” bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk meja—suara dentuman menggelegar. “Tidak,” gu
Beberapa jam kemudian.Langit mulai menggelap. Gedung tempat konferensi dijaga ketat, dilingkari garis polisi, dan masih dipenuhi suara sirene serta petugas yang lalu lalang. Beberapa tamu VIP dievakuasi ke hotel-hotel aman, media masih menyebarkan berita soal ledakan misterius, dan publik mulai berspekulasi—apakah ini serangan teror, atau percobaan pembunuhan politik-bisnis.Michael duduk di ruang tunggu yang dibuat darurat di dalam mobil lapis baja. Luka di pelipisnya telah diperban, tapi luka di hatinya, rasa cemas, amarah, dan rasa frustrasi—jauh lebih dalam.Lucas kembali dengan ponsel di tangan, wajahnya tegang. “Bos … kita baru saja dapat kabar.”Michael menoleh cepat. “Apa? Sahira?”Lucas mengangguk. “Iya. Dia … dia sudah pergi. Setengah jam yang lalu. Pakai pesawat pribadinya.”Michael diam sejenak. Matanya menyipit, napasnya tertahan.“Apa?”“Dia pergi, Bos,” ulang Lucas. “Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.”Michael mendengus keras, matanya memerah oleh emosi. “Bre
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.“Terima kasih atas sambutannya,” ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini … bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.”Suara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lama—luka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan
Angin malam menerpa wajah Michael yang pucat, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke laut, satu tangan menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, sementara tangan lainnya memegang gelas kristal berisi bourbon yang nyaris kosong. Di hadapannya, ombak bergulung pelan diterpa cahaya bulan, seolah ikut menyaksikan kegundahan hati seorang pria yang selama ini dikenal tak terkalahkan di dunia bisnis.Matanya kosong menatap lautan yang luas. Setiap tegukan alkohol membakar tenggorokannya, tapi rasa itu tak sebanding dengan perih di dadanya.Wajah Sahira atau Alexa terus terbayang dalam pikirannya. Tangisannya. Tatapan bencinya. Kata-kata penolakannya yang dingin saat dia mencoba menyentuhnya tadi sore.Michael menenggak sisa minumannya dan menaruh gelas itu di atas meja kecil di samping kursi rotan.Tak!Pintu balkon terbuka perlahan. Suara langkah kaki berat menggema dari belakangnya. David muncul, membawa selembar map dan ekspresi serius seperti