Michael duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah lantai. Sudah dua minggu sejak Sahira menghilang, dan tidak ada satu pun jejak yang bisa dia temukan. Setiap sudut telah digeledah, setiap orang yang berpotensi mengetahui keberadaan wanita itu telah diinterogasi—tetapi tetap saja nihil.Pintu kamar diketuk, lalu Lucas masuk dengan ekspresi serius. “Bos, nanti malam ada pertemuan bisnis di Hotel Lavigne.”Michael hanya mengangguk tanpa semangat.Lucas sempat menatapnya, ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya membungkuk hormat dan keluar dari kamar.Michael menghela napas panjang. Saat itulah ponselnya bergetar di atas meja. Nama Sergio muncul di layar.Dia langsung mengangkatnya. “Ada apa?” tanyanya datar.Di ujung sana, suara Sergio terdengar ceria. “Hei, Kakak! Kenapa nada suaramu seperti orang yang baru kehilangan dompet?”Michael mendesah. “Aku sedang tidak mood bercanda, Sergio.”“Tentu saja tidak,” Sergio terkekeh. “Tapi aku tetap ingin mengucapkan selamat!
“Sahira ....” lirihnya.Apa-apaan ini, kenapa dia datang bersama Jonathan sang musuh?Jonathan masuk, dengan tangan Sahira yang melingkar di lengannya. Semua para pebisnis mulai menyapa Jonathan.Michael mengepalkan tangan kuat, saat Sahira ikut tertawa bersama Jonathan. Kenapa wanita itu tampak senang?Michael tidak bisa menunggu lebih lama. Setelah semua yang terjadi, setelah dua minggu pencarian yang sia-sia, kini Sahira berdiri di hadapannya—dan dia tidak akan membiarkan kesempatan ini menghilang begitu saja.Dengan langkah mantap, dia berjalan mendekati Sahira, mengabaikan tatapan tamu lain yang mulai menyadari ketegangan yang terjadi. Jonathan yang berdiri di samping wanita itu menatapnya dengan senyum mengejek, seolah menikmati kekacauan ini.“Sahira,” suara Michael dalam dan berat, mengandung perintah yang tak bisa diabaikan.Namun, Sahira tetap diam, seakan tidak mendengar. Ia justru menoleh ke arah pria di sampingnya—Albert, salah satu orang kepercayaan Jonathan, dan terseny
Sahira meneguk sampanye di tangannya, lalu tersenyum tipis saat Jonathan dengan santai menggoda rekan kerjanya. Malam ini berjalan sesuai rencananya—Michael sudah dibuat murka, dan dia ingin memastikan pria itu benar-benar tenggelam dalam rasa sakit dan cemburu.Setelah beberapa saat, Sahira menyadari ada noda saus yang menempel di gaunnya. Ia berbisik pelan ke telinga Jonathan, “Kakak, aku ke kamar mandi sebentar.”Jonathan yang tengah asyik mengobrol dengan rekan kerjanya hanya menoleh sekilas dan mengangguk. “Hati-hati, sayang,” ucapnya pelan, lalu kembali fokus pada percakapan bisnis mereka.Salah satu rekan kerja Jonathan melirik kepergian Sahira, lalu bertanya dengan penasaran, “Siapa wanita itu? Aku baru melihatnya.”Jonathan menyeringai santai. “Kenapa? Dia sangat cantik, bukan?”Rekan kerjanya tertawa kecil. “Iya, dia sangat menggoda. Apa dia pacarmu, Pak Jonathan?”“Bukan,” jawab Jonathan cepat, matanya berbinar penuh kebanggaan. “Dia adikku.”“Wah, menakjubkan,” ujar pria i
Malam sudah larut. Langit kelam membentang tanpa bintang, seolah alam semesta ikut merasakan kekelaman yang menyelimuti hati Michael.Di dalam mansion megahnya, ruang tinju menjadi saksi bisu atas amarah yang tak terbendung. Suara hantaman brutal terdengar berulang kali, menggetarkan ruangan.Michael berdiri di tengah ruangan, napasnya memburu, dadanya naik turun tak beraturan. Tangan kanannya terangkat tinggi, lalu menghantam samsak di depannya dengan kekuatan penuh. BUGG!Samsak bergoyang keras, tapi itu belum cukup.BUGG!Ia memukul lagi, lebih keras, lebih brutal. Napasnya membakar tenggorokan, keringat membasahi wajah dan tubuhnya, namun ia tidak peduli.Di kepalanya, bayangan itu terus muncul.Sahira …Di pelukan Jonathan!Tertawa, tersenyum, menatap pria itu dengan kelembutan yang dulu hanya untuknya.Sahira …Menyuapi Jonathan dengan penuh kasih, menggumamkan kata-kata manis yang membuat darahnya mendidih."Jonathan, kau sangat baik … aku bersyukur bisa bersamamu daripada ber
Keesokan harinya.Michael berjalan memasuki kantor dengan langkah tegas, setiap gerakannya memancarkan aura gelap yang membuat suasana seketika menegang. Para karyawan yang sebelumnya sibuk bekerja kini mulai membisiki satu sama lain. Sejak kejadian malam itu, sejak Sahira pergi, Michael berubah. Dia menjadi bos yang galak dan sensitif.Tidak ada lagi senyum, tidak ada lagi toleransi. Semua harus berjalan sesuai kehendaknya, atau mereka akan merasakan akibatnya."Dia semakin mengerikan sekarang.""Aku dengar-dengar dia bahkan tidak tidur, hanya bekerja dan berlatih setiap malam."Bisikan-bisikan itu sampai ke telinganya. Michael berhenti di tengah ruangan, matanya menyapu tajam seisi kantor, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada dua karyawan yang saling berbisik dengan wajah cemas."Kalian berdua," suaranya terdengar dingin dan datar. "Keluar. Sekarang!""T-Tapi, Tuan Michael—""Kalian dipecat!"Mereka membeku, ketakutan terpancar dari wajah mereka. "Tapi, Pak?""Tidak ada tapi-t
Cahaya rembulan jatuh samar di antara dedaunan yang tertata rapi di taman belakang mansion Jonathan. Sahira melangkah pelan, menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa bosan yang menggelayuti pikirannya. Hembusan angin malam membelai kulitnya, membawa aroma mawar dan embun yang mulai turun. Namun, di tengah keheningan itu, ada sesuatu yang terasa ganjil.Instingnya yang terlatih membuatnya berhenti sejenak. Seperti ada sepasang mata yang mengawasi. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak menemukan apa pun selain semak-semak yang bergoyang perlahan diterpa angin.Sebuah bunyi lirih terdengar—seakan ada sesuatu yang bergerak di balik pepohonan. Sahira semakin waspada. Tangannya mengepal, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Ia melangkah lebih dalam ke taman, melewati air mancur kecil yang gemericiknya samar di antara kesunyian.Tiba-tiba, sosok bayangan melompat dari balik pepohonan!Sahira refleks melangkah mundur, matanya langsung menangkap s
Malam hari.Angin berembus pelan di luar mansion Jonathan. Di dalam, Sahira duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar pakaian yang ingin dibelinya. Ia merasa butuh sesuatu yang baru setelah semua kejadian menegangkan beberapa hari terakhir.Ia menoleh ke arah Jonathan yang sedang duduk di kursi berhadapan dengannya. Pria itu sedang sibuk dengan laptopnya, membaca laporan dari anak buahnya tentang situasi di lapangan.“Kak Joe,” panggil Sahira pelan.Jonathan mendongak dari layar laptopnya. “Apa?”Sahira menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin pergi ke mall. Aku butuh beberapa pakaian baru.”Jonathan langsung menutup laptopnya dan menatapnya tajam. “Sekarang?”Sahira mengangguk. “Ya. Aku butuh udara segar juga.”Jonathan menyandarkan punggungnya ke kursi dan menyilangkan tangan di dada. “Kau tidak bisa pergi sendiri.”Sahira mendesah, sudah menduga jawaban itu. “Aku hanya ingin belanja sebentar, bukan pergi ke medan perang.”Jonathan mena
Malah hari.Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.Jonathan berdiri di depan jendela besar di ruang kerja, memandangi halaman yang mulai dipenuhi oleh orang-orangnya. Lencana tengkorak itu masih ada di genggamannya, seperti bara yang terus membakar kemarahannya.Di belakangnya, Sahira masih berdiri dengan ekspresi penuh keraguan. Ia mengenal Jonathan selama satu bulan ini, sebagai sosok yang tidak akan mundur jika sudah mengambil keputusan, tapi kali ini taruhannya terlalu besar."Apa kau benar-benar ingin melakukan ini, Kak Joe?" Sahira akhirnya bersuara, suaranya terdengar ragu.Jonathan mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu, menatapnya dalam. “Kau sendiri yang melihat apa yang terjadi hari ini, Sahira. Orang itu hampir membunuhmu.”Sahira menggigit bibirnya. Ia tidak bisa menyangkal fakta itu. Jika Jonathan tidak cepat menangani situasi, mungkin sekarang dia sudah mati di tangan anak buah Michael. Tapi tetap saja, menyerang Michael secara langsung membuatnya gamang.“Kau b
Berita itu menyebar seperti api membakar ilalang kering—cepat, tak terhentikan, dan mengguncang semua pihak. Pagi hari, semua media nasional menayangkan satu headline yang sama.[Michael Nathaniel, CEO Muda Terkaya Asia, Kecelakaan Maut di Tol Selatan!]Rekaman dari drone polisi memperlihatkan mobil sport hitam mewah yang ringsek tak berbentuk, terguling di samping pembatas jalan, dengan serpihan logam dan kaca berserakan di mana-mana. Wajah Michael tak tampak jelas di dalam video, hanya sosok tubuh tergolek tak sadarkan diri yang segera ditandu ke ambulans.***Di Apartemen.Alexa menjatuhkan gelas kristal yang baru saja hendak dia angkat. Air bening dan pecahan kaca berhamburan di lantai, tapi dia tak peduli. Napasnya memburu, dadanya naik turun seperti baru saja berlari maraton.“Tidak mungkin …,” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara.Namun berita itu terpampang nyata di layar televisi 70 inci di hadapannya, dengan gambar close-up wajah Michael dari masa lalu dan laporan live dari
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.“Yang pertama,” bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, “aku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”Sahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!“Yang kedua … aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.”“Aku ... tidak bisa.”“Kamu pasti bisa sayang.”Tiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. “Kurang ajar!” gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.…" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannya—seolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.“Maaf, Tuan .…” bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk meja—suara dentuman menggelegar. “Tidak,” gu
Beberapa jam kemudian.Langit mulai menggelap. Gedung tempat konferensi dijaga ketat, dilingkari garis polisi, dan masih dipenuhi suara sirene serta petugas yang lalu lalang. Beberapa tamu VIP dievakuasi ke hotel-hotel aman, media masih menyebarkan berita soal ledakan misterius, dan publik mulai berspekulasi—apakah ini serangan teror, atau percobaan pembunuhan politik-bisnis.Michael duduk di ruang tunggu yang dibuat darurat di dalam mobil lapis baja. Luka di pelipisnya telah diperban, tapi luka di hatinya, rasa cemas, amarah, dan rasa frustrasi—jauh lebih dalam.Lucas kembali dengan ponsel di tangan, wajahnya tegang. “Bos … kita baru saja dapat kabar.”Michael menoleh cepat. “Apa? Sahira?”Lucas mengangguk. “Iya. Dia … dia sudah pergi. Setengah jam yang lalu. Pakai pesawat pribadinya.”Michael diam sejenak. Matanya menyipit, napasnya tertahan.“Apa?”“Dia pergi, Bos,” ulang Lucas. “Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.”Michael mendengus keras, matanya memerah oleh emosi. “Bre
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.“Terima kasih atas sambutannya,” ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini … bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.”Suara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lama—luka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan