Pagi itu, Diana terbangun duluan, sang suami masih dalam posisi memeluknya dari belakang. Pelan, Diana meraba sesuatu yang menyentuh kulitnya. Sesuatu yang membuat Diana merasa terbakar.
"Ayo, ambil itunya," bisik Rey yang ternyata sudah terbangun karena ulah istrinya.
Diana tidak perlu berdiri mengambil barang yang diminta sang suami dari laci meja riasnya, ia dengan cepat mengambil benda kecil yang sudah disiapkannya di bawah bantal setiap malam. Ia harus disiplin sendiri kalau tidak ingin anak kelima mereka akan hadir. Si bungsu baru berusia enam bulan saat ini.
Diana memang sangat subur, sekali saja berhubungan suami istri tanpa memakai pengaman, bulan depan dipastikan ia akan hamil. Terbukti dari dua orang anak terakhirnya yang lahir setahun sekali. Begitu juga dengan anak pertama dan anak keduanya yang berjarak hanya setahun saja. Diana sudah pernah memakai alat kontrasepsi, tapi tubuhnya tidak cocok dengan salah satu alat tersebut. Akhirnya, hanya si latex itulah yang dipakai setiap kali mereka bercinta.
Usai melakukan kegiatan suami istri itu, Rey segera berlalu ke kamar mandi, tanpa ada ciuman singkat atau pelukan hangat untuk sang istri yang masih terkulai lemas di ranjang. Diana pun tidak mempermasalahkan ketidakpedulian suaminya itu, rona wajahnya malah terlihat sangat bahagia. Meski Rey tidak terlalu antusias dalam kegiatan suami istri itu, tapi fisiknya yang kuat mampu membuat sang istri puas berkali-kali. Wanita cantik bertubuh seksi itu harus bekerja keras sendiri. Ia tidak peduli, meski terlihat seperti wanita nakal. Hanya bercinta dengan Rey, satu-satunya kegiatan yang bisa membuatnya bertahan dalam menjalani rumah tangga dengan cinta tak berimbang itu.
***
Jika kau bilang cinta saja sudah cukup
Itu salahJika kau pikir sayang juga sudah cukupKau keliruCoba sempatkan 'tuk lihat isi hatikuApakah diriku bahagia selama ini?Bisakah kau sedikit peka?Ku butuh waktu dan perhatianSuara nyanyian dari pemenang Indonesian Idol itu sudah yang ke sekian kalinya didengarkan Diana. Nada dan liriknya serasa cocok sekali dengan perasaannya selama ini. Menikah selama tujuh tahun tidak membuatnya merasa bahagia menjalani kehidupan berumah tangga dengan sang suami. Pacaran selama tiga bulan, lalu menikah, kemudian menjalani hari-hari yang membosankan.
Padahal dulu, wanita berusia tiga puluh tahun itu sangat berharap perkawinannya akan berjalan sesuai dengan keinginannya karena bisa menikah dengan laki-laki idamannya. Reynaldi yang ganteng, berbadan atletis dengan sikap yang cool, membuat Diana benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah lelah dibucinin oleh beberapa orang pacar sebelumnya, ia jadi muak dan ingin mencari pasangan yang membuatnya menjadi budak cinta. Sosok itu adalah Rey yang mahal tersenyum dan dingin terhadap para wanita. Diana masih teringat ketika Rey melamarnya tujuh tahun yang lalu.
"Diana, aku ingin kita menikah saja, kamu siap?" Ucapan Rey membuat Diana merasa melambung tinggi ke udara. Tanpa ada ucapan 'aku mencintamu' dari Rey sebelumnya, tiba-tiba pria pujaannya itu mengajak menikah.
"Oh, My God, mimpi apa aku semalam, bisa dilamar oleh laki-laki impianku ini." Diana bicara dalam hati dengan rasa bahagia tak terkira.
"Aku siap jadi istrimu, Mas Rey," jawab Diana dengan wajah merona bahagia. Kencan selama tiga bulan, meski hanya sekedar makan malam, nonton, dan jalan-jalan, sudah cukup bagi Diana untuk memutuskan menjadi istri Reynaldi Yahya--seorang pengusaha tambang batubara yang berusia dua puluh delapan tahun. Diana merasa mereka akan menjadi pasangan yang ideal nantinya. Ia memang butuh seorang pendamping yang lebih tua dari dirinya yang baru berusia dua puluh tiga tahun.
Mungkin hanya dua tahun pertama saja Diana merasakan kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan berumah tangga dengan Rey. Namun, sejak anak keduanya lahir, ia merasa sudah mulai bosan. Sifat tak acuhnya Rey yang awalnya ia sukai, ternyata malah akhirnya membuat Diana merasa tak bahagia. Rey benar-benar tak peduli padanya dan asyik dengan dunianya sendiri. Malah untuk nafkah batin mereka saja, harus Diana yang memulai duluan, meraba semua bagian sensitif dari sang suami.
***
"Mas, ntar siang kita ajak anak-anak jalan-jalan ke mall, yuk. Aku juga pengen jalan-jalan sama kamu, Mas. Sejak Jane lahir, kita belum pernah lagi keluar bersama." Diana mengajak suaminya yang sedang sarapan bersamanya di pagi hari Minggu itu.
"Aku gak bisa, ada janji pergi mancing sama Ivan," jawab Rey sembari mengelap mulutnya dengan tisu. Ia sudah mengakhiri sarapannya, padahal makanannya masih tersisa sepertiga lagi di piring.
Lelaki yang kini berusia tiga puluh lima tahun itu dengan cuek mengambil rokoknya dan berlalu ke teras depan rumah mewah mereka.
Diana menatap kepergian sang suami dengan hati yang sakit. Entah apa salahnya, sehingga Rey memperlakukannya seperti itu. Padahal tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski sudah melahirkan sebanyak empat kali, Diana selalu sukses mengembalikan berat tubuhnya ke berat normalnya. Senam rutin dan yoga yang selalu dijalaninya setiap hari, membuat wanita berusia tiga puluh tahun itu tetap cantik dan langsing."Awas kamu, Mas. Aku akan bikin kamu menyesal suatu hari nanti," desis Diana dengan mata yang menyala. Kedua tangannya pun terkepal kencang di atas meja makan.
****
“Diana!” Seseorang memanggil wanita yang sedang asyik memilih-milih sepatu yang ada di hadapannya.
“Denny? Ya, ampun ... kemana aja selama ini? Sudah lama sekali ya, kita gak ketemu!” Diana berseru kaget begitu dilihatnya seorang pria tampan tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Mantan pacar Diana tujuh tahun yang lalu sebelum menikah dengan Reynaldi.
“Aku pulang ke Balikpapan begitu lulus kuliah dulu, tapi setahun terakhir ini aku tinggal di Samarinda lagi karena kerjaan,” jawab Denny sembari menyodorkan tangannya mengajak Diana bersalaman. Mata bermanik hitam itu menatap tajam wajah wanita yang sangat ia cintai dulu.
“Kamu sama siapa, Den? Kok sendirian?” Diana bertanya begitu dilihatnya tidak ada orang lain bersama Denny.
“Aku memang masih sendiri, belum punya pendamping sejak seseorang tiba-tiba memutuskan hubungan kami karena tertarik dengan pria lain.” Denny menjawab sedikit ketus.
“Hm … maaf ya, Den, kalau yang kamu maksud itu aku.” Diana menatap dengan rasa bersalah laki-laki yang tampak semakin tampan dan mapan. Sangat jauh berbeda kala masih menjadi pacarnya dulu.
“Mama …!” Terdengar teriakan dua anak kecil yang berlari datang menghampiri Diana dan Denny yang masih berdiri saling bertatapan.
“Eh, Tian, Kevin, kalian kok berdua? Mbak Sinta dan Mbak Ella mana?” tanya Diana kepada kedua anaknya yang berusia enam tahun dan lima tahun.
“Tuh!” Si sulung Tian menunjuk dua orang babysitter yang berjalan dengan kepala mencari-cari. Sinta mendorong trolly Kellan--anak ketiga Diana yang berusia satu setengah tahun. Balita laki-laki itu duduk di trolly-nya. Sedangkan Ella mendorong troly Jane—si bungsu yang baru berusia enam bulan. Bayi cantik itu tampak tidur pulas dalam trolly-nya.
Diana melambaikan tangan begitu melihat kedua babysitter itu datang mendekat ke arah mereka.
“Maaf, Bu. Tadi Tian dan Kevin tiba-tiba saja lari, untung kami gak kehilangan jejak.” Sinta langsung minta maaf begitu tiba di hadapan Diana.
“Gak apa-apa, mungkin karena mereka lihat saya.” Diana tersenyum memaklumi pengasuh anak-anaknya itu. Tadi ia memang meninggalkan mereka sebentar di arena bermain anak-anak yang tidak terlalu jauh dari tempat ia memilih-milih sepatu.
“Ini anak kamu semua, Diana?” tanya Denny dengan wajah tak percaya. Matanya menatap heran wanita cantik dan langsing yang bediri di hadapannya itu. Wajah yang tidak banyak berubah dari ketika masih menjadi kekasihnya tujuh tahun yang lalu. Malah tampak lebih cantik dan seksi saat ini.
“Iya, Den.” Diana menjawab sedikit tersipu malu karena kepergok Denny ternyata ia terlalu subur.
“Hm ... produktif sekali, ya?” gumam Denny. Diana mendengarnya, membuat ia semakin malu.
“Mama? Tian lapar,” rengek gadis ciliknya.
“Kevin mau makan pizza, Ma!” teriak Kevin tak mau kalah dari sang kakak.
“Iya, ya, Sayang. Ayuk, kita makan pizza.” Diana menenangkan kedua anaknya sembari menggandeng tangan mereka.
“Den, aku pamit dulu ya, mau ajak anak-anak makan siang dulu,” ucap Diana kepada pria yang masih berdiri bengong.
“Oh, hm … Diana, boleh aku yang traktir kalian makan pizza?” tanya Denny penuh harap, meski masih ada kekesalan di hatinya terhadap Diana, tapi rasa ingin tahu tentang kehidupan mantan pacarnya itu cukup besar.
“Rame begini, Den?” Diana tertawa kecil.
“Gak apa-apa, gak bakalan bikin aku bangkrut, kok,” jawab Denny ikut tertawa.
“Ya, udah, ayuk.” Diana langsung berjalan bersama kedua anaknya. Diikuti oleh kedua babysitter yang mendorong trolly bayi.
“Suamimu kok gak ikut nemenin, Diana?” tanya Denny yang duduk di hadapan sang mantan begitu mereka tiba di restoran pizza.
“Lagi mancing dia,” jawab Diana santai. Ia sibuk menyuapi Kellan yang duduk di kursi khusus anak-anak.
Tian dan Kevin yang sudah bisa makan sendiri duduk bersama kedua babysitter di meja sebelah mereka. Sang adik bayi masih tertidur pulas di trolly-nya.
“Kamu bahagia menikah dengan laki-laki itu, Diana?” tanya Denny pelan. Matanya tiada lepas menatap wanita yang namanya masih awet di hatinya, meski sudah tak terhitung entah berapa orang wanita cantik yang sudah dipacari dan dikencaninya selama tujuh tahun terakhir ini. Wanita-wanita itu hanya sekedar mampir mengisi kekosongan hatinya setelah ditinggal kawin oleh Diana, cinta pertamanya.
Diana menatap Denny sejenak, ia tak menjawab, malah kemudian kembali asyik menyuapi anaknya. Sesekali potongan pizza itu juga masuk ke mulutnya. Tidak luput dari perhatian Denny yang lebih tertarik memperhatikan Diana daripada menghabiskan potongan pizza di piringnya.
“Aku langsung pulang dulu ya, Den. Anak-anak udah pada ngantuk, nih.” Diana langsung pamit begitu makanan mereka sudah habis semua.
“Aku antar, ya?” Denny masih berat melepas Diana pergi. Ia masih menyimpan rindu yang mendalam untuk wanita cantik di hadapannya itu.
“Gak usah deh, tadi aku bawa mobil sendiri. Makasih ya, Den, atas makan siangnya.” Kali ini Diana yang duluan mengajak bersalaman.
“Sebentar, tolong tulis nomor Hp-mu dulu.” Denny malah menyodorkan ponselnya ke tangan Diana.
Diana menatap ragu benda pipih yang berpindah ke tangannya. Namun, nomor ponselnya tetap diketik, lalu diserahkan kembali ke pemiliknya.
Kemudian terdengar suara nyanyian sang juara Indonesian Idol yang lagunya sangat disukai Diana. Itu suara dering ponsel Diana dari dalam tas selempang miliknya.
“Itu nomorku.” Denny mematikan ponselnya, lalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Hati-hati di jalan,” ujarnya lagi sambil menggengam erat tangan halusnya Diana. Senyum di wajah tampannya tampak sangat mempesona.
Diana menganggukkan kepalanya dengan rasa haru, melihat perhatian kecil dari Denny, mantan pacar yang begitu menggilainya dulu.
Diana baru akan merebahkan tubuhnya di pembaringan berukuran besar yang ada dalam kamarnya, ketika ponselnya di atas nakas berbunyi. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Mungkin Mas Rey yang telpon,” pikir Diana buru-buru mengambil ponselnya.Namun, ternyata itu panggilan dari Denny, sang mantan yang siang tadi ditemuinya di mall. “Hallo ... ada apa telpon malam-malam, Den?" tanya Diana pelan. [Iseng aja! Hm ... aku tebak pasti suamimu belum pulang, 'kan?] “Kok, kamu tahu?” tanya Diana seperti orang bodoh. [Ya, tahulah. Kalau ada suamimu, mana berani kamu mengangkat teleponku, iya, 'kan?] “Kamu mau apa, Den? Mau terus mengejekku?” tanya Diana ketus ketika terdengar Denny tertawa geli. [Maaf, Diana. Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin bertemu kamu lagi besok siang, bisa 'kan?] “Buat apa, Den? Aku tuh udah istri orang dan beranak empat, untuk apa kamu masih mau menemuiku?” [Karena aku tahu kamu gak bahagia, Diana.] “Siapa bilang? Aku bahagia,
Denny melambaikan tangannya begitu melihat Diana yang berjalan masuk ke dalam kafe. Wanita itu terlihat sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diwarnai pirang, kacamata berlensa coklat menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih. Siapa yang menyangka di pinggang ramping itu pernah melahirkan empat orang anak.“Sorry, Den. Nidurin anak-anak dulu, repot kalau harus membawa mereka.” Diana menghenyakkan body aduhainya di kursi kafe paling pojok yang dipilih Denny.“Gak apa-apa, aku juga baru tiba kok,” jawab Denny sambil tersenyum tipis. Padahal ia sudah satu jam menunggu di kafe itu.“Kamu mau makan apa, Diana?” Denny menyodorkan buku menu makanan ke hadapan Diana.“Aku pesan minuman aja deh, barusan habis makan di rumah.”“Jus alpukat?”“Kamu masih aja ingat sama minuman kesukaanku?” senyum Diana memamerkan gigi
“Denny? Kamu juga datang?” Diana berusaha untuk tenang dari pesona sang mantan yang dulu sangat jauh berbeda. Kini sosok Denny benar-benar berbeda. Tidak pecicilan dan berantakan seperti saat mereka masih pacaran masa kuliah dulu.“Aku juga alumni kampus kita ‘kan?” tegur Denny dengan senyum smirk-nya.“Hm … iya, sih. Soalnya reuni tahun-tahun lalu kamu gak pernah datang.”“Belum tertarik, baru kali ini kepengen datang.”“Pasangannya mana, nih? Kok laki-laki setampan kamu datang sendiri,” goda Diana berusaha menghilangkan kekakuan antara mereka.“Udah ada kamu ‘kan yang jadi pasanganku malam ini, buktinya kamu juga datang sendiri.” Denny tertawa lebar hampir seperti mengejek.Diana bingung mau menjawab apa, untung saja matanya melihat Riska datang menghampiri.&l
“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Santi--babysitter anaknya serta si bungsu yang menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.Sesaat kemudian Diana bangkit dari tidurnya dan mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor terakhir yang menghubunginya tadi.[Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?]“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.[Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.]“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?&rdqu
Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu
Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adala
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?