Denny melambaikan tangannya begitu melihat Diana yang berjalan masuk ke dalam kafe. Wanita itu terlihat sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diwarnai pirang, kacamata berlensa coklat menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih. Siapa yang menyangka di pinggang ramping itu pernah melahirkan empat orang anak.
“Sorry, Den. Nidurin anak-anak dulu, repot kalau harus membawa mereka.” Diana menghenyakkan body aduhainya di kursi kafe paling pojok yang dipilih Denny.“Gak apa-apa, aku juga baru tiba kok,” jawab Denny sambil tersenyum tipis. Padahal ia sudah satu jam menunggu di kafe itu.“Kamu mau makan apa, Diana?” Denny menyodorkan buku menu makanan ke hadapan Diana.“Aku pesan minuman aja deh, barusan habis makan di rumah.”“Jus alpukat?” “Kamu masih aja ingat sama minuman kesukaanku?” senyum Diana memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi, membuat Denny diam-diam menelan salivanya.“Iya, dong. Aku mengingat semua kesukaanmu, semua yang ada padamu.” Denny mengunci tatapan mata Diana.Diana memalingkan wajahnya ke tempat lain dengan rasa bersalah. Ia tidak menyangka Denny masih mengingat semua tentang dirinya, padahal sudah tujuh tahun berlalu.“Kamu sekarang kerja di mana, Den?” Diana mengalihkan pembicaraan.“Di perusahaan leasing mobil,” jawab Denny singkat.“Terus di sini kamu sendirian?”“Iya, tapi sebentar lagi akan ada teman hidupku.”“Oh, kamu akan menikah? Selamat ya, kalau begitu.” Diana mengulurkan tangannya untuk memberi ucapan selamat. Disambut dengan senyuman pria di hadapannya. Tanpa disangka Diana, mantan pacarnya itu malah mencium tangannya dengan lembut. Bibir kenyal laki-laki itu terasa hangat menyentuh ujung jemarinya.“Ih, kamu apaan sih, Den? Ntar kalau ada yang kenal denganku, melihatnya gimana?” Diana menarik dengan cepat tangannya yang masih dalam genggaman tangan kekar pria masa lalunya itu. “Maaf, Diana. Aku tidak bisa mengontrol emosiku.” “Hm … jadi apa maksudmu mengajakku datang ke sini, Den? Aku gak bisa lama-lama. Sebentar lagi anak-anakku segera bangun tidur dan mereka pasti akan nyariin aku.” Diana melihat jam tangan yang melingkar di tangan mulusnya.“Gak ada maksud apa-apa, Diana. Aku masih kangen saja sama kamu. Kemarin sore kita cuma sebentar bertemunya. Aku belum puas mengobrol denganmu.” “Tapi setelah ini kita tidak baik untuk bertemu lagi seperti ini, Den. Aku adalah istri seseorang dan ibu dari empat orang anak,” ucap Diana tegas.“Aku melihatmu tidak bahagia, Diana,” ujar Denny dengan berani. Ditatapnya dengan tajam mata yang berpendar begitu mendengar ucapannya barusan.“Ngawur kamu, Den. Itu tidak benar. Aku bahagia. Buktinya anak-anakku sudah empat orang sekarang.” Diana membantah sambil berdiri dari duduknya.“Itu bukan jaminan, Diana,” jawab Denny bersikukuh. “Aku pulang dulu, terima kasih atas minumannya. Tolong jangan menghubungiku lagi, Den.” Diana bersiap ingin berlalu ketika didengarnya laki-laki dihadapannya bicara,” jika kamu butuh seseorang, jangan lupa menghubungi aku, Diana. Aku selalu ada untukmu.”Diana terpana sesaat menatap pria berdagu belah yang ada di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang, melihat kegigihan mantan pacarnya yang sejak dulu masih saja menjadi budak cinta untuk dirinya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Diana melenggang pergi dari hadapan Denny yang masih menatapnya tak berkedip.*** [Diana, aku belum bisa pulang ke Samarinda, ya? Masih ada yang harus diurus di Berau.] “Duh, belum kelar juga, Mas? Ini sudah lebih dari seminggu, lho?” rengek Diana begitu menerima panggilan dari suaminya. [Kamu harus terbiasa, Diana. Kalau proyek di Berau ini deal, kita akan sering berpisah seperti ini.] “Astagaa, aku ikut ke Berau kalau begitu. Gak mau aku jauh-jauh kayak gini,” balas Diana keras kepala. [Ah, kamu kayak anak kecil aja, oh ya, anak-anak gimana? Sehat ‘kan?] “Anak-anak semua sehat, aku yang gak sehat,” keluh Diana. [Kamu sakit apa? Udah ke dokter belum?] “Sakit rindu, memangnya ada dokter jual obatnya.” Diana mendengar Reynaldi terbahak di seberang sana. [Sabar, kamu cari kegiatan apa lah, biar gak pikirin rindu terus. Udah ya, ini mau ketemuan sama pemilik lahan nih.] Diana belum menjawab apa-apa ketika suaminya sudah langsung memutuskan panggilannya. “Mas Rey kebiasaan, orang belum selesai ngomong udah main putusin aja,” gumam Diana dengan wajah merengut.“Hari libur begini enaknya kemana, ya? Masa akhir pekan mau rebahan di rumah aja,” pikir Diana sembari membuka layar ponselnya.Aplikasi hijaunya sudah terlihat banyak chat yang belum dibuka.
“Denny ngapain lagi sih, masih aja miscall dan ngirim chat-chat. Udah dibilangin juga, jangan berharap lebih jauh lagi.” Diana mengomel dalam hati begitu melihat banyak pesan dari sang mantan pacar. Diana mengabaikan saja tanpa membaca atau membalas pesan dari Denny. Ia kemudian malah tertarik dengan pesan Riska--teman akrabnya ketika masih kuliah dulu. Ia segera menghubungi ponsel temannya itu. [Hallo, Diana, datang ya, ke acara reuni kampus kita ntar malam.] “Jam berapa acaranya? Duh, kok malam Minggu sih? Bukannya besok siang aja hari Minggu,” balas Diana. [Gak apa-apalah, Diana, ‘kan membawa pasangan. Ya, ajak lho, suami gantengmu.] “Nah, itu dia. Mas Rey masih di Berau, belum pulang,” keluh Diana. [Hm … apa kamu mau aku samperin ntar malam?] “Atau aku gak usah ikut aja, ya, Ris? Males banget ntar cuma jadi nyamuk kamu dan suamimu.” Padahal Diana sebenarnya sangat ingin ikut di acara reuni yang sudah diadakan selama dua tahun terakhir ini. Untung Rey mau menemaninya setiap acara itu dilaksanakan. Hanya kali ini saja sang suami tidak bisa menemani. [Yah, ikut dong? Gak seru kalau primadona kampus kita dulu tidak hadir, hahaha.] “Bisa aja kamu ngerayu, Ris. Ya udah, ntar aku usahain datang deh, gak usah dijemput! Aku bawa mobil sendiri aja,” putus Diana sembari membayangkan serunya bertemu dengan teman-teman lamanya. Ia tidak bisa melewatkan begitu saja. Suara riang Riska di seberang sana juga membuat Diana jadi ikut tersenyum lebar.*** Diana menghubungi berkali-kali nomor ponsel suaminya, tapi hanya nyanyian suara Judika yang terus terdengar. Akhirnya dengan kesal ia mengirim pesan, meminta izin kepada sang suami, bahwa ia akan pergi ke acara reuni kampusnya. “Bodolah, kalau nanti Mas Rey marah. Salah sendiri itu Hp gak diangkat,” gerutu Diana sembari mengambil kunci mobil di meja riasnya. Sekitar setengah jam di perjalanan, Diana tiba di lokasi acara yang diadakan di Hotel Aston Samarinda. Ia langsung menuju ruangan yang sudah dipesan panitia. Suara musik langsung terdengar ketika ia masuk ke ruangan itu. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu yang sudah tertutup kembali. Mata indahnya memindai seluruh ruangan yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatannya. “Akhirnya kamu datang, Diana, setelah tidak membaca pesan-pesanku samasekali,” sambut seseorang yang tiba-tiba sudah berada di sisinya. Diana cukup kaget melihat Denny yang sudah berdiri di sampingnya. Ia benar-benar tidak menyadarinya. Sosok beralis tebal dengan sorot mata tajam bak elang mengincar mangsa. Bibir tipis merah dan seksi. Rahang kokoh serta tegas. Juga satu lagi yang mungkin membuat semua wanita ingin melemparkan diri ke pelukan badan tinggi tegap dan gagah, wajahnya yang tampan mempesona. Mata keduanya bersobok, saling mengunci.“Denny? Kamu juga datang?” Diana berusaha untuk tenang dari pesona sang mantan yang dulu sangat jauh berbeda. Kini sosok Denny benar-benar berbeda. Tidak pecicilan dan berantakan seperti saat mereka masih pacaran masa kuliah dulu.“Aku juga alumni kampus kita ‘kan?” tegur Denny dengan senyum smirk-nya.“Hm … iya, sih. Soalnya reuni tahun-tahun lalu kamu gak pernah datang.”“Belum tertarik, baru kali ini kepengen datang.”“Pasangannya mana, nih? Kok laki-laki setampan kamu datang sendiri,” goda Diana berusaha menghilangkan kekakuan antara mereka.“Udah ada kamu ‘kan yang jadi pasanganku malam ini, buktinya kamu juga datang sendiri.” Denny tertawa lebar hampir seperti mengejek.Diana bingung mau menjawab apa, untung saja matanya melihat Riska datang menghampiri.&l
“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Santi--babysitter anaknya serta si bungsu yang menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.Sesaat kemudian Diana bangkit dari tidurnya dan mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor terakhir yang menghubunginya tadi.[Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?]“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.[Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.]“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?&rdqu
Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu
Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adala
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.“Hallo ….” Diana menjawab pelan.
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?