"Assalamualaikum." Diri ini berdiri di ambang pintu, mencari keberadaan bocah-bocah kecil yang sedari tadi meminta makan pada ayahnya, pak Slamet."Wa alaikum salam, eh Mbak sudah selesai beli pulsanya?" tanya pak Slamet. Seraya mempersilahkan aku masuk."Masuk, Mbak. Istri saya masih dikamar, sedang menyusui si bontot." ujarnya sembari menggelar tikar usang. Ruang tamu dengan lantai sudah pecah-pecah dan berpasir, tidak layak dikatakan sebuah rumah."Udah, Pak. Anak-anak mana?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Mereka lagi tidur, Mbak," jawab pak Slamet. Aku sempat berfikir, 'apakah untuk menghalau rasa lapar, jadi anak-anaknya disuruh tidur saja?'"Pak, ini saya bawa nasi bungkus. Tolong bangunkan saja mereka. Kasian juga tidur dalam keadaan perut masih lapar." Aku sodorkan bungkusan plastik yang berisikan nasi bungkus dan ayam goreng serta soto medan."Terima kasih banyak, Mbak. Saya tidak tau bagaimana cara membalas kebaikan Anda," ujar pak Slamet, terlihat matany
Hari ini becak motor yang aku pesan untuk pak Slamet sudah selesai dimodifikasi. Sekarang lelaki paruh baya tersebut, sudah bisa narik kendaraan roda tiga itu dengan mesin, tidak lagi mendayung."Mbak Sinta, terima kasih telah banyak membantu saya sekeluarga, semoga Allah membalas kebaikan mbak Sinta denga rezeki yang berlimpah," ungkap pak Slamet."Terima kasih, Pak atas doanya," jawabku."Ayo, anak-anak ada yang mau naik becak keliling kota, gak." tawarku pada ketiga anak pak Slamet. Sebelum mengais rezeki di kota, alangkah baiknya menyenangkan hati anak-anak dahulu. Semoga dengan begitu rezeki pak Slamet akan semakin lancar."Bapak tenang aja, ya? Bensinnya full tank!" ujarku menjawab kekhawatiran di wajah lelaki beranak empat itu."Gak usah, Mbak. Kami sudah terlalu banyak merepotkan mbak Sinta," ujar lelaki berambut ikal itu tertunduk. Terlalu banyak beban yang dipikul itu semua terlihat dari tatapan matanya."Bukan saya yang isi kok, Pak. Itu bonus dari agen karena kita sudah me
Hari ini, aku mengajak ketiga anak pak Slamet untuk berjalan-jalan mengelilingi kota dengan mobil yang baru aku beli beberapa minggu yang lalu. Mereka berebutan duduk di kursi paling depan. "Kak, aku minta duduk di depan aja. Ya kan, Tante." Mereka satupun tidak ada yang mau kalah, aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua anak pak Slamet. Sementara Rina tidak banyak menuntut. Dia bersedia duduk dimana saja. Yang penting bisa sampai ke tujuan dengan selamat katanya. "Gak boleh. Kakak duluan yang duduk di depan," ucap Rangga seraya mendorong Aska sang adik. "Rangga, Aska. Jangan begitu, Nak. Kalian berdua kenapa berantem saja sih." sentak bu Marni kesal. "Mau duduk di depan atau belakang gak ada beda. Tetap kalian itu sampenya bersamaan kan?" Mereka berdua mengangguk dan akhirnya yang duduk di depan bukan Rangga atau Aska melainkan Rina. "Bu Marni kami berangkat dulu ya. Besok anak-anak saya antar pulang. Insya Allah." kataku pada bu Marni yang sedang menggendong anak
"Kak Agnes, apa kabarnya?" Berusaha menyapa mantan kakak iparku, mengharap beliau sudah melupakan semua masalah yang pernah terjadi diantara kami."Baik, Sin. Kamu sendiri apa kabarnya?" jawabnya ramah seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman."Kabar baik juga, Kak. Niken sini sama Tante, Sayang." Aku melambaikan tangan mengajak Niken untuk mendekat. Walau bagaimanapun Niken itu merupakan anak dari abangku, penerus generasi Hadiningrat.Niken mendekati kami dengan takut-takut. Mungkin masih teringat bagaimana kami telah membuat dia terluka di masa lalu. Aku menyesal telah menganiaya dia, sungguh kejam aku dimasa itu. Semoga saja mereka sudah memaafkan segala kesalahanku di masa lalu."Ibu, apa kabar? Ibu sehat kan?" tanyanya seraya berjalan mendekati ibu yang sedang berdiri di dekat petugas karcis dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ibu menyambutnya dengan setengah hati."Sehat," jawab ibu kurang ramah. Mungkin ibu masih sakit hati terhadap kak Agnes."Rangga, Aska, Rina, sini
Hari ini, Sinta akan datang berkunjung ke rumahku. Katanya dia kangen bermain dengan Niken dan ingin bersilaturrahmi, mempererat hubungan yang pernah terputus dimasa lalu.TokTok Tok"Assalamualaikum," terdengar suara yang tidak asing lagi di telingaku."Wa alaikum salam," jawabku dari dalam seraya melangkahkan kaki menuju pintu dan membukanya."Sinta? Baru sampe ya? Kamu sendirian saja?" tanyaku seraya mengedarkan pandangan mencari keberadaan kawan yang menemani Sinta. Ternyata dia memang sendirian kemari."Iya, Kak. Aku sendirian. Ibu gak bisa ikut, gak ada yang menunggu warung." jawabnya."Oh ya udah. Masuk yuk." ajakku seraya mengapit tangan kurusnya dan menuntun duduk di kursi ruang tamu.Sinta ikut berjalan masuk ke dalam dan kami duduk berhadapan. Rasanya canggung juga, selama ini bagaikan musuh bebuyutan tetapi hari ini kami berdua bagaikan sahabat lama yang sudah lama tidak pernah bertemu."Kamu kelihatan sangat kurus sekarang, Sin. Kamu sehat-sehat saja kan?" tanyaku khawa
Setelah mendapat remisi, akhirnya aku bisa bebas bersyarat. Dengan hati bahagia aku bisa kembali menghirup udara bebas.Ingin segera pulang dan menjumpai Siska sang belahan jiwa.Malam berganti terasa begitu lama. Membayangkan berdua melepaskan rindu yang sudah sekian lama kupendam sendiri.Mata ini susah untuk kupejam. Akhirnya aku mengambil mushaf alquran dan membaca surah yasin berulang kali sampai mata ini bisa terpejam.Pagi menyapa dan aku menyambutnya dengan riang gembira karena hari ini merupakan hari terakhir aku berada di sel tahanan ini dan semoga aku tidak akan kembali lagi kemari.Setelah berkemas akhirnya aku keluar juga dari hotel prodeo. Bagaikan mimpi buruk aku berada di sana.Segera aku keluar dengan suka cita. Tak berapa lama ada taxi lewat dan aku menyetopnya. Diri ini tidak seperti tahanan yang lain, sering dikunjungi keluarga dan saat bebas begini di jemput oleh keluarga, istri dan anak. Diri ini bagaikan sebatang kara di muka bumi ini."Pak, ke alamat ini ya?"
Saat aku kembali ke rumah, ibu kelihatan murka. Mukanya cemberut, memandang dengan tatapan ingin menerkam. "Puas kau sudah membuat malu keluarga. Puas?" Tangan ibu mendorong tubuh ini hingga terhuyung dan menabrak dinding."Rama minta maaf, Bu. Rama bersalah telah membuat Ibu malu," ujarku tertunduk."Kamu pikir cukup dengan minta maaf? Kamu tau kenapa kami pindah kemari? Itu semua karena ulahmu!" sarkas wanita berdaster motif bunga-bunga itu penuh emosi."Jadi Rama harus berbuat apa supaya Ibu bisa memaafkan kesalahan Rama, Bu?" Tubuh ini lelah ditambah dengan beban pikiran, membuat aku semakin tidak ada keinginan untuk melanjutkan hidup ini. Seandainya bunuh diri itu tidak berdosa dan ada jaminan masuk syurga, mungkin aku sudah melakukannya."Pergi kau dari rumah ini. Aku tak sudi mempunyai anak seperti kamu," racau ibu dengan suara delapan oktaf."Bu, aku sudah hancur, aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Sekarang aku sedang berada di titik terendah, Bu. Tolonglah untuk sementara R
Aku harus mencari kerja. Tidak mungkin hanya mengandalkan dari bantuan jamaah setiap hari. Aku bukan pengemis, tubuh ini pun masih kuat untuk bekerja. Bukan juga orang cacat yang butuh dikasihani.Aku bergegas keluar dan berjalan kaki untuk menawarkan tenagaku ke rumah-rumah. Mungkin mereka membutuhkan tukang kebun atau sebagai buruh kasar."Bu, butuh tukang kebun?" tanyaku pada ibu penghuni rumah mewah yang sedang menjemur pakaian di samping rumahnya."Maaf, Pak. Untuk saat ini kami tidak memerlukan tukang kebun." jawab wanita berkerudung syari tersebut dengan tersenyum ramah.Satu persatu rumah aku datangi untuk menawari jasaku tetapi satupun belum ada yang membutuhkan tenaga ku, mungkin mereka takut karena maraknya perampokan, jadi mereka tidak berani asal terima lelaki asing untuk bekerja di rumahnya.Sudah satu jam aku berjalan tetapi hasilnya nihil. Entah kemana lagi aku harus mencari pekerjaan, kaki sudah sangat letih. Bagaimanapun aku harus mendapat uang untuk makanku sehari-