"Kak Agnes, apa kabarnya?" Berusaha menyapa mantan kakak iparku, mengharap beliau sudah melupakan semua masalah yang pernah terjadi diantara kami."Baik, Sin. Kamu sendiri apa kabarnya?" jawabnya ramah seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman."Kabar baik juga, Kak. Niken sini sama Tante, Sayang." Aku melambaikan tangan mengajak Niken untuk mendekat. Walau bagaimanapun Niken itu merupakan anak dari abangku, penerus generasi Hadiningrat.Niken mendekati kami dengan takut-takut. Mungkin masih teringat bagaimana kami telah membuat dia terluka di masa lalu. Aku menyesal telah menganiaya dia, sungguh kejam aku dimasa itu. Semoga saja mereka sudah memaafkan segala kesalahanku di masa lalu."Ibu, apa kabar? Ibu sehat kan?" tanyanya seraya berjalan mendekati ibu yang sedang berdiri di dekat petugas karcis dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ibu menyambutnya dengan setengah hati."Sehat," jawab ibu kurang ramah. Mungkin ibu masih sakit hati terhadap kak Agnes."Rangga, Aska, Rina, sini
Hari ini, Sinta akan datang berkunjung ke rumahku. Katanya dia kangen bermain dengan Niken dan ingin bersilaturrahmi, mempererat hubungan yang pernah terputus dimasa lalu.TokTok Tok"Assalamualaikum," terdengar suara yang tidak asing lagi di telingaku."Wa alaikum salam," jawabku dari dalam seraya melangkahkan kaki menuju pintu dan membukanya."Sinta? Baru sampe ya? Kamu sendirian saja?" tanyaku seraya mengedarkan pandangan mencari keberadaan kawan yang menemani Sinta. Ternyata dia memang sendirian kemari."Iya, Kak. Aku sendirian. Ibu gak bisa ikut, gak ada yang menunggu warung." jawabnya."Oh ya udah. Masuk yuk." ajakku seraya mengapit tangan kurusnya dan menuntun duduk di kursi ruang tamu.Sinta ikut berjalan masuk ke dalam dan kami duduk berhadapan. Rasanya canggung juga, selama ini bagaikan musuh bebuyutan tetapi hari ini kami berdua bagaikan sahabat lama yang sudah lama tidak pernah bertemu."Kamu kelihatan sangat kurus sekarang, Sin. Kamu sehat-sehat saja kan?" tanyaku khawa
Setelah mendapat remisi, akhirnya aku bisa bebas bersyarat. Dengan hati bahagia aku bisa kembali menghirup udara bebas.Ingin segera pulang dan menjumpai Siska sang belahan jiwa.Malam berganti terasa begitu lama. Membayangkan berdua melepaskan rindu yang sudah sekian lama kupendam sendiri.Mata ini susah untuk kupejam. Akhirnya aku mengambil mushaf alquran dan membaca surah yasin berulang kali sampai mata ini bisa terpejam.Pagi menyapa dan aku menyambutnya dengan riang gembira karena hari ini merupakan hari terakhir aku berada di sel tahanan ini dan semoga aku tidak akan kembali lagi kemari.Setelah berkemas akhirnya aku keluar juga dari hotel prodeo. Bagaikan mimpi buruk aku berada di sana.Segera aku keluar dengan suka cita. Tak berapa lama ada taxi lewat dan aku menyetopnya. Diri ini tidak seperti tahanan yang lain, sering dikunjungi keluarga dan saat bebas begini di jemput oleh keluarga, istri dan anak. Diri ini bagaikan sebatang kara di muka bumi ini."Pak, ke alamat ini ya?"
Saat aku kembali ke rumah, ibu kelihatan murka. Mukanya cemberut, memandang dengan tatapan ingin menerkam. "Puas kau sudah membuat malu keluarga. Puas?" Tangan ibu mendorong tubuh ini hingga terhuyung dan menabrak dinding."Rama minta maaf, Bu. Rama bersalah telah membuat Ibu malu," ujarku tertunduk."Kamu pikir cukup dengan minta maaf? Kamu tau kenapa kami pindah kemari? Itu semua karena ulahmu!" sarkas wanita berdaster motif bunga-bunga itu penuh emosi."Jadi Rama harus berbuat apa supaya Ibu bisa memaafkan kesalahan Rama, Bu?" Tubuh ini lelah ditambah dengan beban pikiran, membuat aku semakin tidak ada keinginan untuk melanjutkan hidup ini. Seandainya bunuh diri itu tidak berdosa dan ada jaminan masuk syurga, mungkin aku sudah melakukannya."Pergi kau dari rumah ini. Aku tak sudi mempunyai anak seperti kamu," racau ibu dengan suara delapan oktaf."Bu, aku sudah hancur, aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Sekarang aku sedang berada di titik terendah, Bu. Tolonglah untuk sementara R
Aku harus mencari kerja. Tidak mungkin hanya mengandalkan dari bantuan jamaah setiap hari. Aku bukan pengemis, tubuh ini pun masih kuat untuk bekerja. Bukan juga orang cacat yang butuh dikasihani.Aku bergegas keluar dan berjalan kaki untuk menawarkan tenagaku ke rumah-rumah. Mungkin mereka membutuhkan tukang kebun atau sebagai buruh kasar."Bu, butuh tukang kebun?" tanyaku pada ibu penghuni rumah mewah yang sedang menjemur pakaian di samping rumahnya."Maaf, Pak. Untuk saat ini kami tidak memerlukan tukang kebun." jawab wanita berkerudung syari tersebut dengan tersenyum ramah.Satu persatu rumah aku datangi untuk menawari jasaku tetapi satupun belum ada yang membutuhkan tenaga ku, mungkin mereka takut karena maraknya perampokan, jadi mereka tidak berani asal terima lelaki asing untuk bekerja di rumahnya.Sudah satu jam aku berjalan tetapi hasilnya nihil. Entah kemana lagi aku harus mencari pekerjaan, kaki sudah sangat letih. Bagaimanapun aku harus mendapat uang untuk makanku sehari-
"Dek, kenapa lama sekali." tanya Raka membuat aku jadi salah tingkah. Penampilannya terlihat berkelas. Pakaian mahal melekat ditubuhnya, membuat aku jadi minder melihat mereka bertiga. Hidup kami saat ini bagaikan langit dan bumi. Atau bagaikan keset dan berlian."Mas Raka. Apa kabarnya." ujarku seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman dan di sambut dengan tatapan dingin."Baik.""Maaf tadi saya ngobrol dengan Niken. Rindu, sudah lama tidak berjumpa dengannya. Bagaimanapun Niken kan anak kandung saya." ujarku tersenyum ramah."Hmmm." Raka tidak memberi respon apa-apa. Seakan aku ini nyamuk diluar kelambu yang sedang menganggu dan minta masuk kedalam kehidupannya. "Kalau sudah selesai nanti bilang saja, ya. Papa nunggu di cafe ocean." pamit Raka pada Niken dan Agnes. Sementara dia tidak menoleh sedikitpun ke arahku."Iya. Mas. Ini sudah mau siap, kok. Tinggal bayaran saja." ujar Agnes seraya merogoh dompet yang berada dalam tas mewahnya.Setelah membayar Agnes dan Niken akhirnya men
Malam ini, entah kenapa mata sangat susah untuk terlelap. Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu. Semenjak bertemu dengan Niken di toko tadi siang, ada kerinduan menyusup ke relung hati yang paling dalam.Hanya kepada Nya tempat mengadu, betapa aku sangat merindukan buah hati, darah dagingku. Betapa diri ini sangat menyesali perbuatan di masa lalu yang telah menjauhkan di Niken dari hidupku.Hari ini seperti biasa, aku bangun di pagi yang cerah. Perlahan-lahan membuka mata, tapi hati ini terasa berat. Pikiran ini terus mengingat anak semata wayangku. Bapak mana yang tidak merindukan anak yang sudah lama tidak berjumpa? Siapa yang tidak merindukan putri yang penuh cahaya dan keceriaan.Saat salat, aku selalu berdoa untuknya, berharap bahwa apa pun yang dia lakukan diluar sana, dia akan merasa bahagia dan selalu berada dalam lindungan-Nya.Setiap langkah ku di hari ini dipenuhi dengan kenangan tentang Niken. Suara tawanya yang manis dan mata jelitanya yang cemerlang selalu mengisi hati
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku