“Kami sudah menemukan keberadaan orang yang ibu maksud.” Seseorang menghubungi Celine untuk melaporkan sesuatu. Tak banyak bertanya lagi, Celine pun segera bersiap meluncur ke tempat yang disebutkan oleh orang-orang bayarannya itu. Sementara itu di tempat lain, Narendra rupanya sedang berkunjung ke rumah Rani. Keduanya kini nampak tengah serius ngobrol di teras rumah berpagar cukup tinggi itu. Di lingkungan sekitarnya, Rani memang termasuk warga yang cukup tertutup. Bertahun-tahun tinggal di kompleks yang terbilang elit itu, dia sama sekali tak berbaur dengan warga sekitarnya. Sayangnya, tak banyak yang mempedulikan itu juga karena lingkungannya memang terdiri dari banyak warga yang individualist. Bagi Rani sendiri, dia bukannya ingin mengeksklusifkan diri dari warga sekitar. Dia hanya menyadari statusnya yang merupakan istri kedua yang disimpan oleh seorang pengusaha kaya di daerah itu. Dia tak ingin terlihat mencolok untuk menghindari masalah untuk dirinya sendiri nantinya. Ber
Celine akhirnya memutuskan untuk membawa Narendra ke rumahnya. Sesampainya di sana, dia pun segera menyuruh orang-orang bayarannya untuk menyeret lelaki itu ke kamar tamu.“Apakah perlu kita ikat dia biar nggak bikin masalah, Bu?” Salah seorang diantara mereka bertanya. Celine menggeleng. ”Tidak perlu. Kalian boleh pergi sekarang. Akan ku hubungi lagi jika aku butuh,” kata wanita itu kemudian. Narendra yang beberapa saat yang lalu dilempar dengan kasar ke kursi tamu, kini terlihat sedang meringis menahan nyeri di lengannya yang sempat dicekal sangat kasar oleh dua orang suruhan Celine tadi. Dari luar, sayup sayup didengarnya suara mesin mobilnya yang berhenti. Dia sangat hafal suara mesin mobilnya dan sangat yakin bahwa salah satu orang suruhan Celine telah membawa mobilnya ke rumah itu. Sejujurnya Narendra sangat ciut nyali dengan orang-orang suruhan Celine itu. Dengan badan-badan yang tegap dan berotot, Narendra yakin tubuhnya remuk dengan mudah jika istrinya itu memerintahkan pa
Sadar dari pingsannya, asisten rumah tangga Rani segera berlari ke jalanan meminta bantuan beberapa tetangga dan satpam kompleks pun segera menolong dan membawa mereka ke rumah sakit. Kondisi Rani yang lumayan parah karena sempat mengeluarkan darah dari hidung dan beberapa bagian tubuhnya.Saat kemudian wanita itu sadarkan diri, Agnia adalah orang yang pertama kali diingatnya. Asisten rumah tangganya yang sudah membaik dan bisa menunggunya di kamar perawatan, langsung mencarikan ponsel yang tadi sempat dibawanya serta kerumah sakit. “Kenapa nggak kasih tahu bapak aja, Bu?” usul asistennya itu. Sejenak Rani berpikir, tapi kemudian menggeleng. Tidak mungkin dia ceritakan kejadian yang menimpanya itu pada suaminya. Lelaki itu pasti akan membatasi ruang geraknya jika sampai tahu bahwa istrinya justru mencari penyakit berhubungan dengan orang-orang bermasalah. “Tidak usah. kalau bapak telpon nanti, kamu jangan bilang soal kejadian ini, ya?”Asisten itupun mengangguk setuju, walau sebenar
Setelah terdiam beberapa saat lamanya, akhirnya Rani yang selalu banyak akal mengatakan sesuatu yang membuat Agnia shock.“Sepertinya nggak ada salahnya kamu terima tawaran Dewo kali ini, Ni.”“Apa?!” Agnia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin Rani menyarankan padanya untuk menerima tawaran Dewo, padahal selama ini dia yang paling gencar memberi masukan untuk segera melepaskan diri dari lelaki itu. “Kamu sadar sama yang kamu katakan, Ran?”“Iya Ni, aku sadar sesadar sadarnya. Ini demi kebaikanmu. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, bagaimana nanti anak-anakmu?”“Maksud kamu apa sih, Ran? Negara ini punya hukum. Masa’ orang segampang itu mau mencelakai orang? Udahlah jangan khawatir, yang penting aku kan udah nggak ada hubungan apa-apa sama Narendra.””Kamu nggak ngerti sih Ni betapa seramnya wanita bernama Celine itu. Aku heran deh bagaimana mungkin Narendra dulu bisa memutuskan untuk menikah dengannya.” “Kamu bilang dia ka
“Nanti malam kamu nginep sini kan?” Sri menghampiri Dewo yang sudah bersiap ke kantor. “Sepertinya malam ini nggak bisa. Kamu tahu kan kemarin keluargaku marah karena mereka akhirnya tahu hubungan kita gara-gara anak bungsuku?” Dewo mengingatkan Sri dengan cerita hari sebelumnya bahwa Aqilla menolak untuk dibawa ke tempat wanita itu, hingga membuat Pak Sapto dan Bu Sapto pun marah padanya. “Aku harus hati-hati sekarang, Sri. Pelan-pelan aku akan memberi pengertian pada mereka tentang hubungan mereka. Toh hubunganku dengan istriku juga sudah tidak mungkin diperbaiki lagi. Aku yakin mereka akan memahaminya juga nanti.”Sri langsung cemberut mendengarkan penjelasan panjang lebar Dewo. “Sampai kapan? Kalau mereka tidak mau merestui hubungan kita dan malah menjodohkanmu dengan wanita lain lagi, gimana?”Dewo tertawa melihat tingkah wanita di depannya. Kini dia pun harus berhati-hati menghadapi sikap Sri. Tentu dia tidak bisa seenaknya memperlakukan wanita itu semuanya seperti dulu. Sri ad
Agnia terpaksa harus berjalan ke depan restoran setelah menerima pesan dari driver taksi online agar menunggunya di pinggir jalan. Sebelum taksi itu datang, Agnia masih sempat melihat mobil Dewo melewatinya, bahkan Naya dan Aqilla juga sempat melambaikan tangan ke arahnya dan mengatakan sampai jumpa.Saat mobil itu menghilang di tikungan jalan, Agnia baru kembali fokus ke ponselnya. Taksinya baru akan sampai beberapa menit kemudian. Lalu Agnia memutuskan untuk duduk dulu di halte yang kebetulan tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan dia melangkah, walau masih dengan sesekali meringis karena merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Hanya beberapa meter saja sebelum Agnia mencapai tempat duduk halte, tiba-tiba sebuah mobil berhenti mendadak di dekatnya. Kemudian dengan gerakan cepat dan tak pernah diduga oleh Agnia, dua orang turun dan langsung mengangkat tubuh lemahnya itu untuk kemudian dibawa masuk ke dalam mobil berwarna hitam tersebut. Antara sadar dan tidak, Agnia meringi
Jam sudah menunjuk pukul 8 malam saat Bu Wira menutup jendela rumahnya. Sekali lagi dia berusaha mencoba menghubungi ponsel putri bungsunya, tapi masih saja tidak aktif.“Telpon saja Dewo. Tanyakan apa Agni masih bersamanya atau tidak,” usul Pak Wira. Bu Wira pun menurut. Setelah mendudukkan diri di samping suaminya yang duduk di kursi tamu, Bu Wira segera menghubungi menantunya. “Ada apa, Bu?” Suara Dewo sudah terdengar mengantuk saat mengangkat telepon dari ibu mertuanya.“Apa Agni masih sama kamu, Wo?”“Agni? Ya enggak lah, Bu. Kami pulang habis maghrib tadi. Maaf tadi aku nggak bisa antar dia pulang tadi, karena aku takut anak-anak malah mau ikut ibunya. Memangnya kenapa, Bu?”“Habis maghrib? Tapi sampai sekarang belum sampai rumah, Wo.”“Masa’?” Dewo tak terlalu kaget. Nada suaranya terdengar biasa-biasa saja walau mengucapkan kata tak percaya. “Coba Ibu telpon saja dulu,” sarannya.“Sudah puluhan kali Ibu telpon. Hp nya nggak aktif, Wo. Awal tadi masih nyambung, tapi terus mati
Dewo kelimpungan hari itu karena tak jua mendapat kabar tentang Agnia. Simon sama sekali belum menghubunginya, sementara ibu mertuanya terus menelpon dan menangis mengkhawatirkan anaknya. Di kantor pun, Dewo masih harus melayani pesan dan telepon dari Sri yang sudah mulai rewel.“Nggak bisa, Sri. Hari ini aku ada urusan yang sangat penting. Tapi nanti aku akan segera menemuimu setelah semuanya beres.”“Ada apalagi sih, Wo? Jangan bilang kamu mau mengurusi istrimu yang sakit itu!” gertak wanita di seberang.“Agnia menghilang, Sri.” Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Dewo memutuskan untuk berterus terang saja. Dia pikir dia akan lebih mudah menjelaskan hal-hal berikutnya jika dia jujur pada Sri sekarang. Tapi ternyata dugaannya salah.Sri justru mengamuk mengetahui bahwa Dewo ternyata masih terus mengikuti kondisi istrinya itu. “Biarkan saja hilang.lalu apa pedulimu? Kamu kan sudah mau bercerai dengannya?”“Kamu benar. Tapi jangan lupakan anak-anakku,Sri. Mereka juga harus aku pikirk