Jam sudah menunjuk pukul 8 malam saat Bu Wira menutup jendela rumahnya. Sekali lagi dia berusaha mencoba menghubungi ponsel putri bungsunya, tapi masih saja tidak aktif.“Telpon saja Dewo. Tanyakan apa Agni masih bersamanya atau tidak,” usul Pak Wira. Bu Wira pun menurut. Setelah mendudukkan diri di samping suaminya yang duduk di kursi tamu, Bu Wira segera menghubungi menantunya. “Ada apa, Bu?” Suara Dewo sudah terdengar mengantuk saat mengangkat telepon dari ibu mertuanya.“Apa Agni masih sama kamu, Wo?”“Agni? Ya enggak lah, Bu. Kami pulang habis maghrib tadi. Maaf tadi aku nggak bisa antar dia pulang tadi, karena aku takut anak-anak malah mau ikut ibunya. Memangnya kenapa, Bu?”“Habis maghrib? Tapi sampai sekarang belum sampai rumah, Wo.”“Masa’?” Dewo tak terlalu kaget. Nada suaranya terdengar biasa-biasa saja walau mengucapkan kata tak percaya. “Coba Ibu telpon saja dulu,” sarannya.“Sudah puluhan kali Ibu telpon. Hp nya nggak aktif, Wo. Awal tadi masih nyambung, tapi terus mati
Dewo kelimpungan hari itu karena tak jua mendapat kabar tentang Agnia. Simon sama sekali belum menghubunginya, sementara ibu mertuanya terus menelpon dan menangis mengkhawatirkan anaknya. Di kantor pun, Dewo masih harus melayani pesan dan telepon dari Sri yang sudah mulai rewel.“Nggak bisa, Sri. Hari ini aku ada urusan yang sangat penting. Tapi nanti aku akan segera menemuimu setelah semuanya beres.”“Ada apalagi sih, Wo? Jangan bilang kamu mau mengurusi istrimu yang sakit itu!” gertak wanita di seberang.“Agnia menghilang, Sri.” Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Dewo memutuskan untuk berterus terang saja. Dia pikir dia akan lebih mudah menjelaskan hal-hal berikutnya jika dia jujur pada Sri sekarang. Tapi ternyata dugaannya salah.Sri justru mengamuk mengetahui bahwa Dewo ternyata masih terus mengikuti kondisi istrinya itu. “Biarkan saja hilang.lalu apa pedulimu? Kamu kan sudah mau bercerai dengannya?”“Kamu benar. Tapi jangan lupakan anak-anakku,Sri. Mereka juga harus aku pikirk
Muka Sri memerah usai melihat rekaman percakapan suara Dewo di HP sahabatnya.Atun sampai ngeri membayangkan kemarahan yang akan meledak setelah itu.“Sabar, Sri. Sabar ya, Sri. Makanya kan dulu aku juga udah pernah bilang sama kamu, laki-laki di dunia ini tuh semua sama, Sri. Jangan dipercaya seratus persen.” Atun mulai bicara dengan nada ragu. Mukanya terlihat takut-takut menatap wanita di depannya.“Diam kamu, Tun!” Dan nyali Atun pun langsung ciut mendengar itu. “Aku lagi nggak butuh nasehat atau pendapat kamu. Kamu diam aja lah! Nggak usah berkomentar. Tugas kamu cuma melaksanakan tugasku. Sudah, itu saja!” Sri menatap tajam sahabatnya yang semakin mengkerut di tempat duduknya.“Iya, Sri. Maafkan aku. Aku nggak maksud begitu tadi. Ya sudah ya, kalau begitu aku pulang dulu saja. Aku harus jemput anakku pulang sekolah.” Wanita itu lalu bangkit untuk berpamitan. “Eh iya Sri, kalau kamu perlu bantuan lagi, bilang saja. Aku dan suamiku akan selalu siap bantuin kamu kok,” lanjutnya seb
“Kapan rencana kita kembali ke rumah, Nya?” Irma memberanikan diri untuk bertanya malam itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi untuk majikannya di teras rumah.Celine terlihat tak suka dengan pertanyaan pelayannya itu. “Ada apa? Apa kamu sudah tidak mau menemaniku lagi?” katanya ketus.“Bu-kan begitu, Nya. Saya hanya tidak tahu dan penasaran untuk apa kita ke sini,” ucap Irma sedikit gugup, karena takut terkena marah oleh wanita itu.“Aku masih menunggu Narendra ke sini. Sepertinya dia tak punya nyali untuk datang ke sini menyelamatkan gund*iknya,” ujar Celine setengah menggeram. Diseruputnya kopi yang masih terlihat panas di tangannya. Irma bahkan tak melihat wanita berusia 50 tahunan itu mendinginkan dahulu minumannya. Pun Celine sama sekali tak terlihat kepanasan.Saat majikannya mengajak menemani ke Villa Biru sore hari itu, Irma memang tak tahu menahu apa tujuannya. Wanita itu hanya mendengar beberapa kali Celine mengajak bicara orang-orang yang entah siapa di ponselnya. Sat
Malam itu, Celine memutuskan untuk bermalam di villa. Namun meski sudah beristirahat di kamar terbesar dan ternyaman yang ada di dalam villa itu, Celine tetap tak bisa memejamkan mata. belum ada kabar sedikitpun dari Narendra dan itu sangat membuatnya gelisah. Walaupun pada awalnya, dia begitu senang mengetahui bahwa suaminya itu cukup pengecut untuk bisa bertemu dengannya di villa itu. Di kamar lantai atas, Celine bisa menatap ke bawah dengan leluasa dari jendela ke arah belakang rumahnya. Saat pandangannya sengaja dilempar ke ruang bekas gudang yang beberapa hari lalu difungsikan sebagai kamar sederhana, hati wanita itu menjadi kecut. Seharusnya Narendra sudah berada di villa itu sekarang dan menyaksikan betapa dia sangat berkuasa atas segalanya. Bahkan hanya untuk menyekap seorang tikus kecil yang telah menjadi hama perusak rumah tangganya.Dari kamar atas itu juga, Celine melihat perlahan Marni melangkah mendekati jendela kamar bekas gudang. Usai mengambil piring yang sudah koso
Dari sikap Rani yang memutuskan sambungan telepon tanpa pamit, Narendra tahu betapa sedang kecewanya wanita itu pada sikapnya yang justru membela Celine. Benarkah apa yang dikatakan Rani bahwa dia saat ini sedang dilanda cemburu mengetahui Agnia akan kembali pada suaminya? Melangkah kembali ke kamar tidur apartemennya, lelaki tampan itu bahkan sudah kehilangan minat untuk melanjutkan kesenangannya. Kini matanya justru menatap bingung pada wanita belia yang sedang berpose nakal di atas ranjangnya.“Pakai bajumu, kamu boleh pulang sekarang,” ujarnya kemudian, membuat wanita di depannya terbengong keheranan dengan lelaki yang beberapa saat lalu terlihat sangat menginginkannya itu. “Ta-pi kenapa? Apa Mas nggak puas sama pelayananku?” tanyanya sedikit takut. Dia tahu bahwa lelaki di depannya itu sangat royal pada wanita-wanita yang dikencaninya. Itulah kenapa dia langsung mengiyakan saja saat seorang teman menawari untuk menemani Narendra malam itu. Namun sebenarnya tak hanya itu saja ni
“Bu, menurutmu tasnya orang itu gimana? Apa perlu kita serahkan? Lumayan ini lho, HP nya mahal, uangnya juga banyak. ATMnya ada, tapi nggak tahu PIN nya, sama aja bohong.”Agus terlihat sibuk pagi itu mengobrak abrik tas selempang milik Agnia. “Kamu ngapain sih, Pak? Itu punyanya orang, jangan kelewatan,” kata istrinya mengingatkan. “Halah, kita kan nggak kenal siapa orang itu. Lagian kata Nyonya, hari ini dia akan dijemput sama orang-orang suruhannya Nyonya. Tugas kita selesai menjaganya. Hitung-hitung ini upah kita menjaga dia selama di sini.”Marni melotot ke arah suaminya. “Menjaga opo to, Pak? Dia aja di sini nggak kita kasih makan. Kamu bilang Nyonya berpesan kalau orang itu nggak boleh diberi makan kan?” tanya sang istri. “Iya, Nyonya pesen gitu semalam.”“Kasihan loh, Pak. Melihat wajahnya itu aku nggak tega sebenarnya. Aku ingat anak kita, almarhumah Si Denok. Biar aku kasih makan aja ya, Pak? Aku bikinin mie rebus sama telur. Setidaknya biar orang itu punya kekuatan. Kasi
Simon kembali menghubungi Dewo hari itu dan mengabarkan bahwa dia gagal mencari keberadaan Agnia. Dewo sudah terlihat pasrah saat lelaki itu mengatakan ketidakberhasilannya. Selama ini hanya Simon lah yang diandalkannya untuk membantu menyelesaikan sesuatu. Kini dia sudah tak bisa berpikir lagi akan bagaimana setelah itu. Apalagi dua anaknya semakin rewel dan tidak mudah untuk ditinggal. “Kalau saran saya, laporkan saja ke polisi, Pak. Ini sudah lebih dari dua hari. Aku yakin polisi akan langsung bergerak,” ucapnya dengan tak enak hati. “Kamu tahu kan aku tak pernah percaya menyerahkan setiap persoalanku pada polisi. Kamu dan teman-temanmu itu andalanku selama ini. Atau kamu tak bisa menyelesaikan tugas kali ini karena bayarannya kurang? Kalau memang iya, bilang saja. Akan ku usahakan secepatnya bisa mentransfer uang untukmu.”“Sama sekali tidak, Pak. Hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan uang. Bapak tahu kan selama ini saya selalu mengerjakan tugas Anda dengan baik bahka