“Kapan rencana kita kembali ke rumah, Nya?” Irma memberanikan diri untuk bertanya malam itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi untuk majikannya di teras rumah.Celine terlihat tak suka dengan pertanyaan pelayannya itu. “Ada apa? Apa kamu sudah tidak mau menemaniku lagi?” katanya ketus.“Bu-kan begitu, Nya. Saya hanya tidak tahu dan penasaran untuk apa kita ke sini,” ucap Irma sedikit gugup, karena takut terkena marah oleh wanita itu.“Aku masih menunggu Narendra ke sini. Sepertinya dia tak punya nyali untuk datang ke sini menyelamatkan gund*iknya,” ujar Celine setengah menggeram. Diseruputnya kopi yang masih terlihat panas di tangannya. Irma bahkan tak melihat wanita berusia 50 tahunan itu mendinginkan dahulu minumannya. Pun Celine sama sekali tak terlihat kepanasan.Saat majikannya mengajak menemani ke Villa Biru sore hari itu, Irma memang tak tahu menahu apa tujuannya. Wanita itu hanya mendengar beberapa kali Celine mengajak bicara orang-orang yang entah siapa di ponselnya. Sat
Malam itu, Celine memutuskan untuk bermalam di villa. Namun meski sudah beristirahat di kamar terbesar dan ternyaman yang ada di dalam villa itu, Celine tetap tak bisa memejamkan mata. belum ada kabar sedikitpun dari Narendra dan itu sangat membuatnya gelisah. Walaupun pada awalnya, dia begitu senang mengetahui bahwa suaminya itu cukup pengecut untuk bisa bertemu dengannya di villa itu. Di kamar lantai atas, Celine bisa menatap ke bawah dengan leluasa dari jendela ke arah belakang rumahnya. Saat pandangannya sengaja dilempar ke ruang bekas gudang yang beberapa hari lalu difungsikan sebagai kamar sederhana, hati wanita itu menjadi kecut. Seharusnya Narendra sudah berada di villa itu sekarang dan menyaksikan betapa dia sangat berkuasa atas segalanya. Bahkan hanya untuk menyekap seorang tikus kecil yang telah menjadi hama perusak rumah tangganya.Dari kamar atas itu juga, Celine melihat perlahan Marni melangkah mendekati jendela kamar bekas gudang. Usai mengambil piring yang sudah koso
Dari sikap Rani yang memutuskan sambungan telepon tanpa pamit, Narendra tahu betapa sedang kecewanya wanita itu pada sikapnya yang justru membela Celine. Benarkah apa yang dikatakan Rani bahwa dia saat ini sedang dilanda cemburu mengetahui Agnia akan kembali pada suaminya? Melangkah kembali ke kamar tidur apartemennya, lelaki tampan itu bahkan sudah kehilangan minat untuk melanjutkan kesenangannya. Kini matanya justru menatap bingung pada wanita belia yang sedang berpose nakal di atas ranjangnya.“Pakai bajumu, kamu boleh pulang sekarang,” ujarnya kemudian, membuat wanita di depannya terbengong keheranan dengan lelaki yang beberapa saat lalu terlihat sangat menginginkannya itu. “Ta-pi kenapa? Apa Mas nggak puas sama pelayananku?” tanyanya sedikit takut. Dia tahu bahwa lelaki di depannya itu sangat royal pada wanita-wanita yang dikencaninya. Itulah kenapa dia langsung mengiyakan saja saat seorang teman menawari untuk menemani Narendra malam itu. Namun sebenarnya tak hanya itu saja ni
“Bu, menurutmu tasnya orang itu gimana? Apa perlu kita serahkan? Lumayan ini lho, HP nya mahal, uangnya juga banyak. ATMnya ada, tapi nggak tahu PIN nya, sama aja bohong.”Agus terlihat sibuk pagi itu mengobrak abrik tas selempang milik Agnia. “Kamu ngapain sih, Pak? Itu punyanya orang, jangan kelewatan,” kata istrinya mengingatkan. “Halah, kita kan nggak kenal siapa orang itu. Lagian kata Nyonya, hari ini dia akan dijemput sama orang-orang suruhannya Nyonya. Tugas kita selesai menjaganya. Hitung-hitung ini upah kita menjaga dia selama di sini.”Marni melotot ke arah suaminya. “Menjaga opo to, Pak? Dia aja di sini nggak kita kasih makan. Kamu bilang Nyonya berpesan kalau orang itu nggak boleh diberi makan kan?” tanya sang istri. “Iya, Nyonya pesen gitu semalam.”“Kasihan loh, Pak. Melihat wajahnya itu aku nggak tega sebenarnya. Aku ingat anak kita, almarhumah Si Denok. Biar aku kasih makan aja ya, Pak? Aku bikinin mie rebus sama telur. Setidaknya biar orang itu punya kekuatan. Kasi
Simon kembali menghubungi Dewo hari itu dan mengabarkan bahwa dia gagal mencari keberadaan Agnia. Dewo sudah terlihat pasrah saat lelaki itu mengatakan ketidakberhasilannya. Selama ini hanya Simon lah yang diandalkannya untuk membantu menyelesaikan sesuatu. Kini dia sudah tak bisa berpikir lagi akan bagaimana setelah itu. Apalagi dua anaknya semakin rewel dan tidak mudah untuk ditinggal. “Kalau saran saya, laporkan saja ke polisi, Pak. Ini sudah lebih dari dua hari. Aku yakin polisi akan langsung bergerak,” ucapnya dengan tak enak hati. “Kamu tahu kan aku tak pernah percaya menyerahkan setiap persoalanku pada polisi. Kamu dan teman-temanmu itu andalanku selama ini. Atau kamu tak bisa menyelesaikan tugas kali ini karena bayarannya kurang? Kalau memang iya, bilang saja. Akan ku usahakan secepatnya bisa mentransfer uang untukmu.”“Sama sekali tidak, Pak. Hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan uang. Bapak tahu kan selama ini saya selalu mengerjakan tugas Anda dengan baik bahka
Malam itu dua anak Dewo tidur dengan sangat gelisah. Naya yang biasanya tenang pun, terlihat berpeluh di tengah malam yang dingin itu. Beberapa hari mungkin bukan waktu yang lama untuk berpisah dengan seseorang. Tapi bagi keduanya yang sejak bayi tak pernah dipisahkan dari ibu mereka, tak bertemu dengan ibunya adalah hal yang sangat berat. Terutama untuk Aqila yang begitu dekat dengan Agnia. Tepat pukul dua belas malam, tiba-tiba anak itu terbangun dalam keadaan kaget, lalu menangis. Sang kakak yang tidur di sampingnya pun ikut terbangun mendengar isak tangis adiknya.“Ada apa, Qilla? Kenapa nangis?” Di tengah perasaannya sendiri yang tak menentu, Naya berusaha memberi perhatian pada adiknya. Sejak mereka tidak tinggal bersama ibu mereka lagi, Naya terlihat lebih perhatian dengan Aqilla. Dulu dia yang biasanya sangat cuek dan bahkan sering mengomeli adiknya jika sedang kesal, mendadak berubah menjadi begitu dewasa saat adiknya sedang mengalami hal tidak menyenangkan. “Qilla takut,
Dini hari itu Agnia tersadar dalam keadaan sangat kebingungan. Sekelilingnya gelap gulita, sementara sekujur tubuhnya mulai terasa gatal dan perih. Sedikit keberuntungan untuknya karena langit sangat cerah saat itu, hingga cahaya dari bulan yang berbentuk hampir sempurna dan bintang-bintang lambat laun membuatnya mengerti dimanakah tempatnya berada saat ini. Butuh waktu tak sebentar untuk akhirnya dia bisa bangkit dari posisinya tergeletak di semak-semak berduri di pinggiran jalan itu. Mungkin dua lelaki yang membawanya pergi dari rumah besar bercat biru tadi membuangnya di tempat itu dengan cara dilempar begitu saja, hingga membuat tulang-tulangnya kini rasanya seperti remuk.Ketakutan kala menyadari sedang berada di tempat sangat sepi dengan pohon-pohon tinggi di sekelilingnya, membuatnya tak lagi bisa merasakan rasa lapar di perutnya akibat berjam-jam belum terisi sesendok pun makanan. Dengan terseok-seok, wanita itu melangkah dari semak-semak tempat dia dibuang, menuju ke jalanan
"Ron, kamu sudah dapat kabar dari Agnia?" Di hari sebelumnya, siang itu Alfa menyempatkan diri menemui Roni di ruangannya. Melihat sang bos menanyakan kabar salah satu penulisnya, Roni langsung menanggapinya dengan senyuman. "Saya kira Bapak nggak akan nanyain itu," godanya."Aku serius, Ron. Sudah tiga hari dia nggak ada kabar sama sekali." Alfa melangkah masuk, lalu mulai mendudukkan diri di kursi depan karyawannya. "Rencananya hari ini nanti saya akan pantau, Pak. Kalau Mbak Agnia online, akan segera saya hubungi. Artikel yang dia pegang juga harusnya sudah diupload beberapa," lanjut pemuda itu."Bukan itu masalahnya, Ron." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Alfa. Dia seperti tidak sadar bahwa sedang berbicara dengan anak buahnya di jam kerja dan justru menyinggung soal apa yang ada dalam hatinya."Iya, Pak. Saya paham." Roni pun langsung menyela sembari mengulum senyum. "Maaf ya, mungkin aku jadi terlihat nggak profesional, tapi Agnia itu ….""Spesial. Saya tahu itu, Pa
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi