Malam itu dua anak Dewo tidur dengan sangat gelisah. Naya yang biasanya tenang pun, terlihat berpeluh di tengah malam yang dingin itu. Beberapa hari mungkin bukan waktu yang lama untuk berpisah dengan seseorang. Tapi bagi keduanya yang sejak bayi tak pernah dipisahkan dari ibu mereka, tak bertemu dengan ibunya adalah hal yang sangat berat. Terutama untuk Aqila yang begitu dekat dengan Agnia. Tepat pukul dua belas malam, tiba-tiba anak itu terbangun dalam keadaan kaget, lalu menangis. Sang kakak yang tidur di sampingnya pun ikut terbangun mendengar isak tangis adiknya.“Ada apa, Qilla? Kenapa nangis?” Di tengah perasaannya sendiri yang tak menentu, Naya berusaha memberi perhatian pada adiknya. Sejak mereka tidak tinggal bersama ibu mereka lagi, Naya terlihat lebih perhatian dengan Aqilla. Dulu dia yang biasanya sangat cuek dan bahkan sering mengomeli adiknya jika sedang kesal, mendadak berubah menjadi begitu dewasa saat adiknya sedang mengalami hal tidak menyenangkan. “Qilla takut,
Dini hari itu Agnia tersadar dalam keadaan sangat kebingungan. Sekelilingnya gelap gulita, sementara sekujur tubuhnya mulai terasa gatal dan perih. Sedikit keberuntungan untuknya karena langit sangat cerah saat itu, hingga cahaya dari bulan yang berbentuk hampir sempurna dan bintang-bintang lambat laun membuatnya mengerti dimanakah tempatnya berada saat ini. Butuh waktu tak sebentar untuk akhirnya dia bisa bangkit dari posisinya tergeletak di semak-semak berduri di pinggiran jalan itu. Mungkin dua lelaki yang membawanya pergi dari rumah besar bercat biru tadi membuangnya di tempat itu dengan cara dilempar begitu saja, hingga membuat tulang-tulangnya kini rasanya seperti remuk.Ketakutan kala menyadari sedang berada di tempat sangat sepi dengan pohon-pohon tinggi di sekelilingnya, membuatnya tak lagi bisa merasakan rasa lapar di perutnya akibat berjam-jam belum terisi sesendok pun makanan. Dengan terseok-seok, wanita itu melangkah dari semak-semak tempat dia dibuang, menuju ke jalanan
"Ron, kamu sudah dapat kabar dari Agnia?" Di hari sebelumnya, siang itu Alfa menyempatkan diri menemui Roni di ruangannya. Melihat sang bos menanyakan kabar salah satu penulisnya, Roni langsung menanggapinya dengan senyuman. "Saya kira Bapak nggak akan nanyain itu," godanya."Aku serius, Ron. Sudah tiga hari dia nggak ada kabar sama sekali." Alfa melangkah masuk, lalu mulai mendudukkan diri di kursi depan karyawannya. "Rencananya hari ini nanti saya akan pantau, Pak. Kalau Mbak Agnia online, akan segera saya hubungi. Artikel yang dia pegang juga harusnya sudah diupload beberapa," lanjut pemuda itu."Bukan itu masalahnya, Ron." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Alfa. Dia seperti tidak sadar bahwa sedang berbicara dengan anak buahnya di jam kerja dan justru menyinggung soal apa yang ada dalam hatinya."Iya, Pak. Saya paham." Roni pun langsung menyela sembari mengulum senyum. "Maaf ya, mungkin aku jadi terlihat nggak profesional, tapi Agnia itu ….""Spesial. Saya tahu itu, Pa
"Berhenti dulu, Pak! Berhenti!" Wanita itu tiba-tiba menarik dengan kasar bagian belakang sepeda yang sedang dituntun oleh suaminya. "Ada apa, Bu? Kamu itu ngagetin aja," ucap suaminya sedikit sewot. "Ini loh, mbaknya kayaknya sudah nggak kuat jalan." Wanita itu menunjuk ke arah Agnia yang berjalan susah payah mengikuti mereka. "Gimana Mbak, masih kuat tidak?" tanyanya kemudian saat Agnia sampai di tempat keduanya berdiri. "Masih Bu, terus saja," katanya dengan bibir gemetar."Masih gimana, wong nggak kuat gitu kok. Wis, gak usah dipaksakan. Gini aja, Pak. Seperti usulku tadi. Kamu jalan dulu, biar aku nunggu Si Teguh lewat," kata si wanita. Sejenak sang suami terdiam, untuk kemudian mengangguk dengan sangat terpaksa. Bagaimanapun dia tak sampai hati juga jika harus meninggalkan Agnia sendirian di tempat yang masih gelap itu, meskipun sepertinya tak berapa lama lagi fajar menjelang. Lelaki itu sudah akan mulai melangkah saat tiba-tiba dari arah kejauhan terlihat cahaya lampu red
"Gimana Wo, belum ada kabar dari polisi?" Bu Sapto yang sedang duduk di samping suaminya di teras rumah, menyambut kedatangan anaknya dari kantor dengan penuh tanya. "Belum ada, Bu," Wajah lesu Dewo sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan itu. Apalagi saat lelaki itu langsung ikut bergabung duduk di teras rumah, bahkan sebelum sempat melepas sepatu dan tasnya. "Hari ini aku mau ajak anak-anak balik ke rumah," ucapnya kemudian, membuat ibu dan bapaknya mendadak saling pandang."Maksud kamu, kalian mau kembali tinggal di rumahmu lagi? Bertiga?" tanya Bu Sapto. "Iya, sambil menunggu kabar dari ibunya anak-anak," jawab lelaki itu."Tapi apa kamu bisa mengurus anak-anakmu sendiri, Wo? Istrimu nggak ada loh." Bu Sapto terlihat sangat khawatir. "Sudah aku pikirkan itu, Bu. Ibu tenang saja. Tadi aku sudah dapatkan orang yang bisa bantu-bantu di rumah. Istrinya tukang kebun di kantorku, kebetulan rumahnya tak terlalu jauh dari rumahku," jelasnya. "Jadi kamu nyari pembantu?""Iya, Bu. Ap
"Anda suami Agnia Prameswari kan? Saya Alfa, Alfa Wiradharma. Saya rekan kerja Agnia di kerjaan onlinenya." Tak ingin kedatangannya ke kota itu menjadi berantakan hanya karena kemarahan suami Agnia, Alfa mengulurkan tangan, berharap lelaki di depannya bisa sedikit mendengarkan penjelasan darinya."Om yang waktu itu ketemu kita di restoran itu kan?" Tiba-tiba Aqilla maju untuk kemudian menjabat tangan Alfa. Dewo yang awalnya tak ingin menyambut perkenalan itu sedikit mereda. Entah kenapa setelah malam Aqilla menceritakan tentang mimpi buruknya itu, dirinya menjadi sedikit melankolis. Bahkan entah sudah berapa kali panggilan dan pesan dari Sri tak dihiraukannya sama sekali. "Kamu Aqilla kan? Ternyata kamu anak yang cerdas dan punya daya ingat yang baik ya." Alfa langsung berjongkok begitu tangannya bersentuhan dengan tangan mungil Aqilla. Kini sebelah tangannya lagi juga mulai membelai rambut panjang gadis kecil itu. Saat Aqilla menyelesaikan jabat tangannya, Naya menggantikan posisi
Hari itu juga, Alfa kembali ke kotanya dengan perasaan kecewa. Keinginannya untuk segera melupakan segala hal tentang Agnia membuatnya tak ingin menyiakan barang sebentar pun untuk membiarkan dirinya larut dalam suasana sendiri. Beberapa jam sebelum mencapai tempat tinggalnya, dia bahkan sudah menelpon Roni untuk berpesan. "Aku akan liburan ke Bali dan aku mau kamu menemaniku ke sana, Ron." "Ada apa, Pak? Kok mendadak? Apa Anda sudah bertemu dengan Mbak Agnia?" "Tidak. Dia tidak ada dimana-mana. Keluarganya pun tidak ada yang tahu dia dimana. Kita tutup saja lembaran tentang Agnia. Oh iya, apakah ada tanggungan perusahaan kita yang belum dibayarkan padanya?" tanyanya tiba-tiba, membuat Roni yang sedang mendengarkan dengan serius ucapan bosnya saat itu sedikit terkejut. Dia sudah mulai bisa merasakan ada hal yang tidak beres dengan kepergian Alfa kali ini. "Sepertinya masih ada beberapa artikel yang belum saatnya dibayarkan, Pak? Masih akhir bulan nanti," kata Roni usai memeriksa s
Matahari sudah mulai menyembul dari ufuk timur, sementara Agnia masih kebingungan menemukan cara bagaimana bisa menghubungi Alfa. Kartu nama di tangan masih dipegangnya sangat erat. Dia merasa hanya benda itu saja sekarang yang bisa membawanya ke tempat yang aman. Agnia ingat sekarang bagaimana kartu nama itu bisa ada di saku sweaternya. Saat Alfa berkunjung ke kotanya dan mengajaknya bertemu, lelaki itu memang sempat memberikan kartu nama sewaktu Agnia berpamitan. Agnia sempat bertanya 'untuk apa?' waktu itu karena dia merasa aneh diberi kartu nama seolah baru pertama kali kenalan. Tapi Alfa memaksanya, hingga kemudian terpaksa dia pun menerimanya dan langsung memasukkan benda itu ke dalam saku sweater yang sama dengan yang dipakainya saat ini. Rupanya saat sampai di rumah, sweater itu belum dicucinya dan hanya digantung begitu saja dalam kamarnya, hingga akhirnya dipakainya lagi saat bertemu dengan Dewo. Tuhan memang selalu punya cara, termasuk kejadian kali ini. Siapa sangka ka