Hari itu juga, Alfa kembali ke kotanya dengan perasaan kecewa. Keinginannya untuk segera melupakan segala hal tentang Agnia membuatnya tak ingin menyiakan barang sebentar pun untuk membiarkan dirinya larut dalam suasana sendiri. Beberapa jam sebelum mencapai tempat tinggalnya, dia bahkan sudah menelpon Roni untuk berpesan. "Aku akan liburan ke Bali dan aku mau kamu menemaniku ke sana, Ron." "Ada apa, Pak? Kok mendadak? Apa Anda sudah bertemu dengan Mbak Agnia?" "Tidak. Dia tidak ada dimana-mana. Keluarganya pun tidak ada yang tahu dia dimana. Kita tutup saja lembaran tentang Agnia. Oh iya, apakah ada tanggungan perusahaan kita yang belum dibayarkan padanya?" tanyanya tiba-tiba, membuat Roni yang sedang mendengarkan dengan serius ucapan bosnya saat itu sedikit terkejut. Dia sudah mulai bisa merasakan ada hal yang tidak beres dengan kepergian Alfa kali ini. "Sepertinya masih ada beberapa artikel yang belum saatnya dibayarkan, Pak? Masih akhir bulan nanti," kata Roni usai memeriksa s
Matahari sudah mulai menyembul dari ufuk timur, sementara Agnia masih kebingungan menemukan cara bagaimana bisa menghubungi Alfa. Kartu nama di tangan masih dipegangnya sangat erat. Dia merasa hanya benda itu saja sekarang yang bisa membawanya ke tempat yang aman. Agnia ingat sekarang bagaimana kartu nama itu bisa ada di saku sweaternya. Saat Alfa berkunjung ke kotanya dan mengajaknya bertemu, lelaki itu memang sempat memberikan kartu nama sewaktu Agnia berpamitan. Agnia sempat bertanya 'untuk apa?' waktu itu karena dia merasa aneh diberi kartu nama seolah baru pertama kali kenalan. Tapi Alfa memaksanya, hingga kemudian terpaksa dia pun menerimanya dan langsung memasukkan benda itu ke dalam saku sweater yang sama dengan yang dipakainya saat ini. Rupanya saat sampai di rumah, sweater itu belum dicucinya dan hanya digantung begitu saja dalam kamarnya, hingga akhirnya dipakainya lagi saat bertemu dengan Dewo. Tuhan memang selalu punya cara, termasuk kejadian kali ini. Siapa sangka ka
"Kita kemana, Pak?" Roni langsung menggantikan posisi Alfa di belakang kemudi. Dia sangat tahu bagaimana lelahnya atasannya itu dengan kejadian yang dialaminya di hari sebelumnya. Maka saat Alfa sampai di apartemennya dan langsung mengajak berangkat, pemuda itu dengan sigap melayani sang bos.Saat Alfa menyebutkan sebuah tempat, Roni pun langsung membelalakkan matanya. "Tapi itu kan sekitar 4 jam dari sini, Pak. Apa yang terjadi dengan Mbak Agnia sebenarnya?""Aku juga belum jelas, Ron. Bangun tidur tadi, ada seorang wanita yang menelponku. Katanya dia adalah seorang pedagang di pinggir jalan. Saat ini Agnia ada sama dia dan posisinya lagi nggak bawa apa-apa. Orang itu bilang kalau Agnia tersesat dan semua barang-barangnya dirampas." "Jadi ini semua ada hubungannya dengan hilangnya Mbak Agnia beberapa hari kemarin?" Alfa mengedikkan bahu menanggapi pertanyaan anak buahnya. "Tapi Anda tadi sempat berbicara dengan Mbak Agnia kan, Pak? Bukannya apa-apa sih, takutnya orang itu hanya m
Agnia rupanya tak terlalu fokus dengan perbincangan Alfa dan Roni soal hotel, hingga saat kemudian anak buah Alfa itu menunjukkan ada papan penunjuk sebuah penginapan beberapa ratus meter di depan mereka.“Di depan ada hotel melati, Pak. Nggak apa-apa di situ?” tanya pemuda itu.“Kita hanya butuh satu atau dua jam saja transit kok, nggak masalah,” sahut Alfa usai mengamati papan penunjuk lokasi tersebut.Beberapa saat kemudian, Roni terlihat membelokkan mobil ke sebuah bangunan tepat di bahu jalan, dimana seorang petugas keamanan langsung menyambut mereka dan menghentikan kendaraan itu persis di depan counter penerimaan tamu.“Kalian tunggu di sini dulu,” kata Alfa sembari membuka pintu mobil.“Biar saya saja, Pak.” Roni berusaha mencegah saat melihat Alfa ingin keluar dari mobil. Tapi bosnya itu segera mengisyaratkan dengan tangannya untuk tetap di kursi kemudinya.Beberapa menit setelahnya, Alfa sudah kembali dengan membawa kunci kamar hotel. “Ke pojok sebelah sana,” tunjuk Alfa. Ro
Sementara itu di rumah Sri, dari pagi wanita itu terlihat gelisah dan sama sekali tak fokus dengan Semua aktivitas di sekelilingnya. Dewo sulit sekali dihubungi. Dia pun tak membalas puluhan pesan yang dikirimkannya untuk lelaki itu. Kenyataan bahwa Dewo telah mengabaikannya dan kemungkinan akan meninggalkannya makin membuat Sri bahkan tak sempat berpikir untuk melakukan hal lain selain memberi pelajaran untuk lelaki itu. Apalagi saat berulang kali dia mencoba menelepon dan sama sekali tak mendapat tanggapan darinya.Atun adalah satu-satunya orang yang ada dalam benak Sri kala dirinya sedang tak bersama Dewo. Maka siang itu, dia segera menghubungi sahabatnya untuk datang.Atun, seperti biasa, begitu bersemangat saat mendapat panggilan dari Sri. Bagi wanita bertubuh tambun itu, tak jadi soal jika dirinya harus mendengarkan omelan-omelan dan keluhan sahabatnya asalkan dia pulang dengan lembaran uang dari Sri. Dan benar saja. Sesampai di warung, wanita itu tak merasa heran lagi saat di
Tiga gadis kecil berlari masuk ke dalam rumah mewah Celine setelah menghambur keluar dari mobil yang berhenti di pelataran. "Granny! Granny!" Teriakan mereka memanggil sang nenek langsung membuat meriah rumah yang biasanya terkesan begitu serius itu. Sementara di luar rumah, para satpam dan dua orang asisten rumah tangga Celine menyambut kedatangan putri-putri majikannya yang datang masing-masing tanpa suami mereka itu. "Bagaimana keadaan mami?" tanya Jennifer pada Irma beberapa saat usai turun dari mobil mewah yang menjemput dia, adiknya, dan anak-anak mereka dari bandara. "Dari kemarin mengurung diri di kamar, Non. Belum mau makan apa-apa," jelas Irma. "Sebenarnya apa yang terjadi sih, Ir?" Kali ini Gloria yang bertanya. "Bisa jelaskan pada kami dulu sebelum kami temui mami?" lanjutnya. "Jadi gini, Non. Maafkan saya sebelumnya, bukan maksudnya ingin mengganggu ketenangan Non Jenny sama Non Glori. Tapi saya khawatir sama kondisi Nyonya. Sejak Pak Narendra pergi meninggalkan rum
“Mami ngapain sih pakai ngurung diri di kamar segala? Irma bilang dari kemarin Mami juga nggak mau makan kan?” Celine mengajak anak-anaknya masuk ke dalam kamar setelah menyuruh para asistennya kembali ke pekerjaannya masing-masing. Gloria masih terlihat terisak saat ketiganya mulai mendudukkan diri di atas kasur berukuran Super King Celine yang sangat mewah dan mahal.“Sudah Ji, jangan nangis terus dong,” kata sang kakak yang merasa terganggu dengan suara isakan adiknya. Rupanya dia sedang membutuhkan ketenangan dan konsentrasi untuk berbicara dari hati ke hati dengan ibunya.“Biarkan saja adikmu menangis, Jen. mami malah senang kok melihat kalian sedih gini.” Celine justru terkekeh sembari membelai lembut rambut anak bungsunya. “Kok gitu sih, Mi?” Lagi-lagi Jennifer mengerutkan dahinya keheranan. “Sudah lama mami nggak lihat kalian mengkhawatirkan mami. Selama ini mami lihat hidup kalian bahagia-bahagia saja sampai kadang-kadang lupa menanyakan kabar mami kan?” sindir Celine, wal
“Maaf Pak, ada tamu untuk Anda atas nama Ibu Jennifer dan Ibu Gloria. Apakah Bapak berkenan bertemu?” Seorang petugas penerima tamu mengabarkan pada Narendra lewat telepon internal kedatangan anak-anak tirinya ke apartemen. Narendra memang tak sembarangan memberikan alamat tempat tinggal barunya di apartemen itu pada siapapun. Hanya orang-orang tertentu saja, seperti pengacaranya dan orang-orang kepercayaannya yang tahu persis berapa nomor apartemennya. Dia pun berpesan pada petugas untuk mengabarinya lebih dulu jika ada orang yang mengaku sudah membuat janji dengannya dan ingin bertemu. Saat mendengar nama Jennifer dan Gloria disebut, sebenarnya Narendra sangat kaget. Dalam ingatannya, dua anak tirinya itu bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali pernah berbincang dengannya. Meskipun Narendra sangat memaklumi akan hal itu, sebenarnya sebagai manusia biasa dirinya ingin juga dihargai sebagaimana orang yang lebih tua pada umumnya.“Suruh tunggu aku di kafe. Aku akan temui mereka
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi