"Anda suami Agnia Prameswari kan? Saya Alfa, Alfa Wiradharma. Saya rekan kerja Agnia di kerjaan onlinenya." Tak ingin kedatangannya ke kota itu menjadi berantakan hanya karena kemarahan suami Agnia, Alfa mengulurkan tangan, berharap lelaki di depannya bisa sedikit mendengarkan penjelasan darinya."Om yang waktu itu ketemu kita di restoran itu kan?" Tiba-tiba Aqilla maju untuk kemudian menjabat tangan Alfa. Dewo yang awalnya tak ingin menyambut perkenalan itu sedikit mereda. Entah kenapa setelah malam Aqilla menceritakan tentang mimpi buruknya itu, dirinya menjadi sedikit melankolis. Bahkan entah sudah berapa kali panggilan dan pesan dari Sri tak dihiraukannya sama sekali. "Kamu Aqilla kan? Ternyata kamu anak yang cerdas dan punya daya ingat yang baik ya." Alfa langsung berjongkok begitu tangannya bersentuhan dengan tangan mungil Aqilla. Kini sebelah tangannya lagi juga mulai membelai rambut panjang gadis kecil itu. Saat Aqilla menyelesaikan jabat tangannya, Naya menggantikan posisi
Hari itu juga, Alfa kembali ke kotanya dengan perasaan kecewa. Keinginannya untuk segera melupakan segala hal tentang Agnia membuatnya tak ingin menyiakan barang sebentar pun untuk membiarkan dirinya larut dalam suasana sendiri. Beberapa jam sebelum mencapai tempat tinggalnya, dia bahkan sudah menelpon Roni untuk berpesan. "Aku akan liburan ke Bali dan aku mau kamu menemaniku ke sana, Ron." "Ada apa, Pak? Kok mendadak? Apa Anda sudah bertemu dengan Mbak Agnia?" "Tidak. Dia tidak ada dimana-mana. Keluarganya pun tidak ada yang tahu dia dimana. Kita tutup saja lembaran tentang Agnia. Oh iya, apakah ada tanggungan perusahaan kita yang belum dibayarkan padanya?" tanyanya tiba-tiba, membuat Roni yang sedang mendengarkan dengan serius ucapan bosnya saat itu sedikit terkejut. Dia sudah mulai bisa merasakan ada hal yang tidak beres dengan kepergian Alfa kali ini. "Sepertinya masih ada beberapa artikel yang belum saatnya dibayarkan, Pak? Masih akhir bulan nanti," kata Roni usai memeriksa s
Matahari sudah mulai menyembul dari ufuk timur, sementara Agnia masih kebingungan menemukan cara bagaimana bisa menghubungi Alfa. Kartu nama di tangan masih dipegangnya sangat erat. Dia merasa hanya benda itu saja sekarang yang bisa membawanya ke tempat yang aman. Agnia ingat sekarang bagaimana kartu nama itu bisa ada di saku sweaternya. Saat Alfa berkunjung ke kotanya dan mengajaknya bertemu, lelaki itu memang sempat memberikan kartu nama sewaktu Agnia berpamitan. Agnia sempat bertanya 'untuk apa?' waktu itu karena dia merasa aneh diberi kartu nama seolah baru pertama kali kenalan. Tapi Alfa memaksanya, hingga kemudian terpaksa dia pun menerimanya dan langsung memasukkan benda itu ke dalam saku sweater yang sama dengan yang dipakainya saat ini. Rupanya saat sampai di rumah, sweater itu belum dicucinya dan hanya digantung begitu saja dalam kamarnya, hingga akhirnya dipakainya lagi saat bertemu dengan Dewo. Tuhan memang selalu punya cara, termasuk kejadian kali ini. Siapa sangka ka
"Kita kemana, Pak?" Roni langsung menggantikan posisi Alfa di belakang kemudi. Dia sangat tahu bagaimana lelahnya atasannya itu dengan kejadian yang dialaminya di hari sebelumnya. Maka saat Alfa sampai di apartemennya dan langsung mengajak berangkat, pemuda itu dengan sigap melayani sang bos.Saat Alfa menyebutkan sebuah tempat, Roni pun langsung membelalakkan matanya. "Tapi itu kan sekitar 4 jam dari sini, Pak. Apa yang terjadi dengan Mbak Agnia sebenarnya?""Aku juga belum jelas, Ron. Bangun tidur tadi, ada seorang wanita yang menelponku. Katanya dia adalah seorang pedagang di pinggir jalan. Saat ini Agnia ada sama dia dan posisinya lagi nggak bawa apa-apa. Orang itu bilang kalau Agnia tersesat dan semua barang-barangnya dirampas." "Jadi ini semua ada hubungannya dengan hilangnya Mbak Agnia beberapa hari kemarin?" Alfa mengedikkan bahu menanggapi pertanyaan anak buahnya. "Tapi Anda tadi sempat berbicara dengan Mbak Agnia kan, Pak? Bukannya apa-apa sih, takutnya orang itu hanya m
Agnia rupanya tak terlalu fokus dengan perbincangan Alfa dan Roni soal hotel, hingga saat kemudian anak buah Alfa itu menunjukkan ada papan penunjuk sebuah penginapan beberapa ratus meter di depan mereka.“Di depan ada hotel melati, Pak. Nggak apa-apa di situ?” tanya pemuda itu.“Kita hanya butuh satu atau dua jam saja transit kok, nggak masalah,” sahut Alfa usai mengamati papan penunjuk lokasi tersebut.Beberapa saat kemudian, Roni terlihat membelokkan mobil ke sebuah bangunan tepat di bahu jalan, dimana seorang petugas keamanan langsung menyambut mereka dan menghentikan kendaraan itu persis di depan counter penerimaan tamu.“Kalian tunggu di sini dulu,” kata Alfa sembari membuka pintu mobil.“Biar saya saja, Pak.” Roni berusaha mencegah saat melihat Alfa ingin keluar dari mobil. Tapi bosnya itu segera mengisyaratkan dengan tangannya untuk tetap di kursi kemudinya.Beberapa menit setelahnya, Alfa sudah kembali dengan membawa kunci kamar hotel. “Ke pojok sebelah sana,” tunjuk Alfa. Ro
Sementara itu di rumah Sri, dari pagi wanita itu terlihat gelisah dan sama sekali tak fokus dengan Semua aktivitas di sekelilingnya. Dewo sulit sekali dihubungi. Dia pun tak membalas puluhan pesan yang dikirimkannya untuk lelaki itu. Kenyataan bahwa Dewo telah mengabaikannya dan kemungkinan akan meninggalkannya makin membuat Sri bahkan tak sempat berpikir untuk melakukan hal lain selain memberi pelajaran untuk lelaki itu. Apalagi saat berulang kali dia mencoba menelepon dan sama sekali tak mendapat tanggapan darinya.Atun adalah satu-satunya orang yang ada dalam benak Sri kala dirinya sedang tak bersama Dewo. Maka siang itu, dia segera menghubungi sahabatnya untuk datang.Atun, seperti biasa, begitu bersemangat saat mendapat panggilan dari Sri. Bagi wanita bertubuh tambun itu, tak jadi soal jika dirinya harus mendengarkan omelan-omelan dan keluhan sahabatnya asalkan dia pulang dengan lembaran uang dari Sri. Dan benar saja. Sesampai di warung, wanita itu tak merasa heran lagi saat di
Tiga gadis kecil berlari masuk ke dalam rumah mewah Celine setelah menghambur keluar dari mobil yang berhenti di pelataran. "Granny! Granny!" Teriakan mereka memanggil sang nenek langsung membuat meriah rumah yang biasanya terkesan begitu serius itu. Sementara di luar rumah, para satpam dan dua orang asisten rumah tangga Celine menyambut kedatangan putri-putri majikannya yang datang masing-masing tanpa suami mereka itu. "Bagaimana keadaan mami?" tanya Jennifer pada Irma beberapa saat usai turun dari mobil mewah yang menjemput dia, adiknya, dan anak-anak mereka dari bandara. "Dari kemarin mengurung diri di kamar, Non. Belum mau makan apa-apa," jelas Irma. "Sebenarnya apa yang terjadi sih, Ir?" Kali ini Gloria yang bertanya. "Bisa jelaskan pada kami dulu sebelum kami temui mami?" lanjutnya. "Jadi gini, Non. Maafkan saya sebelumnya, bukan maksudnya ingin mengganggu ketenangan Non Jenny sama Non Glori. Tapi saya khawatir sama kondisi Nyonya. Sejak Pak Narendra pergi meninggalkan rum
“Mami ngapain sih pakai ngurung diri di kamar segala? Irma bilang dari kemarin Mami juga nggak mau makan kan?” Celine mengajak anak-anaknya masuk ke dalam kamar setelah menyuruh para asistennya kembali ke pekerjaannya masing-masing. Gloria masih terlihat terisak saat ketiganya mulai mendudukkan diri di atas kasur berukuran Super King Celine yang sangat mewah dan mahal.“Sudah Ji, jangan nangis terus dong,” kata sang kakak yang merasa terganggu dengan suara isakan adiknya. Rupanya dia sedang membutuhkan ketenangan dan konsentrasi untuk berbicara dari hati ke hati dengan ibunya.“Biarkan saja adikmu menangis, Jen. mami malah senang kok melihat kalian sedih gini.” Celine justru terkekeh sembari membelai lembut rambut anak bungsunya. “Kok gitu sih, Mi?” Lagi-lagi Jennifer mengerutkan dahinya keheranan. “Sudah lama mami nggak lihat kalian mengkhawatirkan mami. Selama ini mami lihat hidup kalian bahagia-bahagia saja sampai kadang-kadang lupa menanyakan kabar mami kan?” sindir Celine, wal