“Nanti malam kamu nginep sini kan?” Sri menghampiri Dewo yang sudah bersiap ke kantor. “Sepertinya malam ini nggak bisa. Kamu tahu kan kemarin keluargaku marah karena mereka akhirnya tahu hubungan kita gara-gara anak bungsuku?” Dewo mengingatkan Sri dengan cerita hari sebelumnya bahwa Aqilla menolak untuk dibawa ke tempat wanita itu, hingga membuat Pak Sapto dan Bu Sapto pun marah padanya. “Aku harus hati-hati sekarang, Sri. Pelan-pelan aku akan memberi pengertian pada mereka tentang hubungan mereka. Toh hubunganku dengan istriku juga sudah tidak mungkin diperbaiki lagi. Aku yakin mereka akan memahaminya juga nanti.”Sri langsung cemberut mendengarkan penjelasan panjang lebar Dewo. “Sampai kapan? Kalau mereka tidak mau merestui hubungan kita dan malah menjodohkanmu dengan wanita lain lagi, gimana?”Dewo tertawa melihat tingkah wanita di depannya. Kini dia pun harus berhati-hati menghadapi sikap Sri. Tentu dia tidak bisa seenaknya memperlakukan wanita itu semuanya seperti dulu. Sri ad
Agnia terpaksa harus berjalan ke depan restoran setelah menerima pesan dari driver taksi online agar menunggunya di pinggir jalan. Sebelum taksi itu datang, Agnia masih sempat melihat mobil Dewo melewatinya, bahkan Naya dan Aqilla juga sempat melambaikan tangan ke arahnya dan mengatakan sampai jumpa.Saat mobil itu menghilang di tikungan jalan, Agnia baru kembali fokus ke ponselnya. Taksinya baru akan sampai beberapa menit kemudian. Lalu Agnia memutuskan untuk duduk dulu di halte yang kebetulan tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan dia melangkah, walau masih dengan sesekali meringis karena merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Hanya beberapa meter saja sebelum Agnia mencapai tempat duduk halte, tiba-tiba sebuah mobil berhenti mendadak di dekatnya. Kemudian dengan gerakan cepat dan tak pernah diduga oleh Agnia, dua orang turun dan langsung mengangkat tubuh lemahnya itu untuk kemudian dibawa masuk ke dalam mobil berwarna hitam tersebut. Antara sadar dan tidak, Agnia meringi
Jam sudah menunjuk pukul 8 malam saat Bu Wira menutup jendela rumahnya. Sekali lagi dia berusaha mencoba menghubungi ponsel putri bungsunya, tapi masih saja tidak aktif.“Telpon saja Dewo. Tanyakan apa Agni masih bersamanya atau tidak,” usul Pak Wira. Bu Wira pun menurut. Setelah mendudukkan diri di samping suaminya yang duduk di kursi tamu, Bu Wira segera menghubungi menantunya. “Ada apa, Bu?” Suara Dewo sudah terdengar mengantuk saat mengangkat telepon dari ibu mertuanya.“Apa Agni masih sama kamu, Wo?”“Agni? Ya enggak lah, Bu. Kami pulang habis maghrib tadi. Maaf tadi aku nggak bisa antar dia pulang tadi, karena aku takut anak-anak malah mau ikut ibunya. Memangnya kenapa, Bu?”“Habis maghrib? Tapi sampai sekarang belum sampai rumah, Wo.”“Masa’?” Dewo tak terlalu kaget. Nada suaranya terdengar biasa-biasa saja walau mengucapkan kata tak percaya. “Coba Ibu telpon saja dulu,” sarannya.“Sudah puluhan kali Ibu telpon. Hp nya nggak aktif, Wo. Awal tadi masih nyambung, tapi terus mati
Dewo kelimpungan hari itu karena tak jua mendapat kabar tentang Agnia. Simon sama sekali belum menghubunginya, sementara ibu mertuanya terus menelpon dan menangis mengkhawatirkan anaknya. Di kantor pun, Dewo masih harus melayani pesan dan telepon dari Sri yang sudah mulai rewel.“Nggak bisa, Sri. Hari ini aku ada urusan yang sangat penting. Tapi nanti aku akan segera menemuimu setelah semuanya beres.”“Ada apalagi sih, Wo? Jangan bilang kamu mau mengurusi istrimu yang sakit itu!” gertak wanita di seberang.“Agnia menghilang, Sri.” Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Dewo memutuskan untuk berterus terang saja. Dia pikir dia akan lebih mudah menjelaskan hal-hal berikutnya jika dia jujur pada Sri sekarang. Tapi ternyata dugaannya salah.Sri justru mengamuk mengetahui bahwa Dewo ternyata masih terus mengikuti kondisi istrinya itu. “Biarkan saja hilang.lalu apa pedulimu? Kamu kan sudah mau bercerai dengannya?”“Kamu benar. Tapi jangan lupakan anak-anakku,Sri. Mereka juga harus aku pikirk
Muka Sri memerah usai melihat rekaman percakapan suara Dewo di HP sahabatnya.Atun sampai ngeri membayangkan kemarahan yang akan meledak setelah itu.“Sabar, Sri. Sabar ya, Sri. Makanya kan dulu aku juga udah pernah bilang sama kamu, laki-laki di dunia ini tuh semua sama, Sri. Jangan dipercaya seratus persen.” Atun mulai bicara dengan nada ragu. Mukanya terlihat takut-takut menatap wanita di depannya.“Diam kamu, Tun!” Dan nyali Atun pun langsung ciut mendengar itu. “Aku lagi nggak butuh nasehat atau pendapat kamu. Kamu diam aja lah! Nggak usah berkomentar. Tugas kamu cuma melaksanakan tugasku. Sudah, itu saja!” Sri menatap tajam sahabatnya yang semakin mengkerut di tempat duduknya.“Iya, Sri. Maafkan aku. Aku nggak maksud begitu tadi. Ya sudah ya, kalau begitu aku pulang dulu saja. Aku harus jemput anakku pulang sekolah.” Wanita itu lalu bangkit untuk berpamitan. “Eh iya Sri, kalau kamu perlu bantuan lagi, bilang saja. Aku dan suamiku akan selalu siap bantuin kamu kok,” lanjutnya seb
“Kapan rencana kita kembali ke rumah, Nya?” Irma memberanikan diri untuk bertanya malam itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi untuk majikannya di teras rumah.Celine terlihat tak suka dengan pertanyaan pelayannya itu. “Ada apa? Apa kamu sudah tidak mau menemaniku lagi?” katanya ketus.“Bu-kan begitu, Nya. Saya hanya tidak tahu dan penasaran untuk apa kita ke sini,” ucap Irma sedikit gugup, karena takut terkena marah oleh wanita itu.“Aku masih menunggu Narendra ke sini. Sepertinya dia tak punya nyali untuk datang ke sini menyelamatkan gund*iknya,” ujar Celine setengah menggeram. Diseruputnya kopi yang masih terlihat panas di tangannya. Irma bahkan tak melihat wanita berusia 50 tahunan itu mendinginkan dahulu minumannya. Pun Celine sama sekali tak terlihat kepanasan.Saat majikannya mengajak menemani ke Villa Biru sore hari itu, Irma memang tak tahu menahu apa tujuannya. Wanita itu hanya mendengar beberapa kali Celine mengajak bicara orang-orang yang entah siapa di ponselnya. Sat
Malam itu, Celine memutuskan untuk bermalam di villa. Namun meski sudah beristirahat di kamar terbesar dan ternyaman yang ada di dalam villa itu, Celine tetap tak bisa memejamkan mata. belum ada kabar sedikitpun dari Narendra dan itu sangat membuatnya gelisah. Walaupun pada awalnya, dia begitu senang mengetahui bahwa suaminya itu cukup pengecut untuk bisa bertemu dengannya di villa itu. Di kamar lantai atas, Celine bisa menatap ke bawah dengan leluasa dari jendela ke arah belakang rumahnya. Saat pandangannya sengaja dilempar ke ruang bekas gudang yang beberapa hari lalu difungsikan sebagai kamar sederhana, hati wanita itu menjadi kecut. Seharusnya Narendra sudah berada di villa itu sekarang dan menyaksikan betapa dia sangat berkuasa atas segalanya. Bahkan hanya untuk menyekap seorang tikus kecil yang telah menjadi hama perusak rumah tangganya.Dari kamar atas itu juga, Celine melihat perlahan Marni melangkah mendekati jendela kamar bekas gudang. Usai mengambil piring yang sudah koso
Dari sikap Rani yang memutuskan sambungan telepon tanpa pamit, Narendra tahu betapa sedang kecewanya wanita itu pada sikapnya yang justru membela Celine. Benarkah apa yang dikatakan Rani bahwa dia saat ini sedang dilanda cemburu mengetahui Agnia akan kembali pada suaminya? Melangkah kembali ke kamar tidur apartemennya, lelaki tampan itu bahkan sudah kehilangan minat untuk melanjutkan kesenangannya. Kini matanya justru menatap bingung pada wanita belia yang sedang berpose nakal di atas ranjangnya.“Pakai bajumu, kamu boleh pulang sekarang,” ujarnya kemudian, membuat wanita di depannya terbengong keheranan dengan lelaki yang beberapa saat lalu terlihat sangat menginginkannya itu. “Ta-pi kenapa? Apa Mas nggak puas sama pelayananku?” tanyanya sedikit takut. Dia tahu bahwa lelaki di depannya itu sangat royal pada wanita-wanita yang dikencaninya. Itulah kenapa dia langsung mengiyakan saja saat seorang teman menawari untuk menemani Narendra malam itu. Namun sebenarnya tak hanya itu saja ni
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi