Setelah terdiam beberapa saat lamanya, akhirnya Rani yang selalu banyak akal mengatakan sesuatu yang membuat Agnia shock.“Sepertinya nggak ada salahnya kamu terima tawaran Dewo kali ini, Ni.”“Apa?!” Agnia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin Rani menyarankan padanya untuk menerima tawaran Dewo, padahal selama ini dia yang paling gencar memberi masukan untuk segera melepaskan diri dari lelaki itu. “Kamu sadar sama yang kamu katakan, Ran?”“Iya Ni, aku sadar sesadar sadarnya. Ini demi kebaikanmu. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, bagaimana nanti anak-anakmu?”“Maksud kamu apa sih, Ran? Negara ini punya hukum. Masa’ orang segampang itu mau mencelakai orang? Udahlah jangan khawatir, yang penting aku kan udah nggak ada hubungan apa-apa sama Narendra.””Kamu nggak ngerti sih Ni betapa seramnya wanita bernama Celine itu. Aku heran deh bagaimana mungkin Narendra dulu bisa memutuskan untuk menikah dengannya.” “Kamu bilang dia ka
“Nanti malam kamu nginep sini kan?” Sri menghampiri Dewo yang sudah bersiap ke kantor. “Sepertinya malam ini nggak bisa. Kamu tahu kan kemarin keluargaku marah karena mereka akhirnya tahu hubungan kita gara-gara anak bungsuku?” Dewo mengingatkan Sri dengan cerita hari sebelumnya bahwa Aqilla menolak untuk dibawa ke tempat wanita itu, hingga membuat Pak Sapto dan Bu Sapto pun marah padanya. “Aku harus hati-hati sekarang, Sri. Pelan-pelan aku akan memberi pengertian pada mereka tentang hubungan mereka. Toh hubunganku dengan istriku juga sudah tidak mungkin diperbaiki lagi. Aku yakin mereka akan memahaminya juga nanti.”Sri langsung cemberut mendengarkan penjelasan panjang lebar Dewo. “Sampai kapan? Kalau mereka tidak mau merestui hubungan kita dan malah menjodohkanmu dengan wanita lain lagi, gimana?”Dewo tertawa melihat tingkah wanita di depannya. Kini dia pun harus berhati-hati menghadapi sikap Sri. Tentu dia tidak bisa seenaknya memperlakukan wanita itu semuanya seperti dulu. Sri ad
Agnia terpaksa harus berjalan ke depan restoran setelah menerima pesan dari driver taksi online agar menunggunya di pinggir jalan. Sebelum taksi itu datang, Agnia masih sempat melihat mobil Dewo melewatinya, bahkan Naya dan Aqilla juga sempat melambaikan tangan ke arahnya dan mengatakan sampai jumpa.Saat mobil itu menghilang di tikungan jalan, Agnia baru kembali fokus ke ponselnya. Taksinya baru akan sampai beberapa menit kemudian. Lalu Agnia memutuskan untuk duduk dulu di halte yang kebetulan tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan dia melangkah, walau masih dengan sesekali meringis karena merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Hanya beberapa meter saja sebelum Agnia mencapai tempat duduk halte, tiba-tiba sebuah mobil berhenti mendadak di dekatnya. Kemudian dengan gerakan cepat dan tak pernah diduga oleh Agnia, dua orang turun dan langsung mengangkat tubuh lemahnya itu untuk kemudian dibawa masuk ke dalam mobil berwarna hitam tersebut. Antara sadar dan tidak, Agnia meringi
Jam sudah menunjuk pukul 8 malam saat Bu Wira menutup jendela rumahnya. Sekali lagi dia berusaha mencoba menghubungi ponsel putri bungsunya, tapi masih saja tidak aktif.“Telpon saja Dewo. Tanyakan apa Agni masih bersamanya atau tidak,” usul Pak Wira. Bu Wira pun menurut. Setelah mendudukkan diri di samping suaminya yang duduk di kursi tamu, Bu Wira segera menghubungi menantunya. “Ada apa, Bu?” Suara Dewo sudah terdengar mengantuk saat mengangkat telepon dari ibu mertuanya.“Apa Agni masih sama kamu, Wo?”“Agni? Ya enggak lah, Bu. Kami pulang habis maghrib tadi. Maaf tadi aku nggak bisa antar dia pulang tadi, karena aku takut anak-anak malah mau ikut ibunya. Memangnya kenapa, Bu?”“Habis maghrib? Tapi sampai sekarang belum sampai rumah, Wo.”“Masa’?” Dewo tak terlalu kaget. Nada suaranya terdengar biasa-biasa saja walau mengucapkan kata tak percaya. “Coba Ibu telpon saja dulu,” sarannya.“Sudah puluhan kali Ibu telpon. Hp nya nggak aktif, Wo. Awal tadi masih nyambung, tapi terus mati
Dewo kelimpungan hari itu karena tak jua mendapat kabar tentang Agnia. Simon sama sekali belum menghubunginya, sementara ibu mertuanya terus menelpon dan menangis mengkhawatirkan anaknya. Di kantor pun, Dewo masih harus melayani pesan dan telepon dari Sri yang sudah mulai rewel.“Nggak bisa, Sri. Hari ini aku ada urusan yang sangat penting. Tapi nanti aku akan segera menemuimu setelah semuanya beres.”“Ada apalagi sih, Wo? Jangan bilang kamu mau mengurusi istrimu yang sakit itu!” gertak wanita di seberang.“Agnia menghilang, Sri.” Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Dewo memutuskan untuk berterus terang saja. Dia pikir dia akan lebih mudah menjelaskan hal-hal berikutnya jika dia jujur pada Sri sekarang. Tapi ternyata dugaannya salah.Sri justru mengamuk mengetahui bahwa Dewo ternyata masih terus mengikuti kondisi istrinya itu. “Biarkan saja hilang.lalu apa pedulimu? Kamu kan sudah mau bercerai dengannya?”“Kamu benar. Tapi jangan lupakan anak-anakku,Sri. Mereka juga harus aku pikirk
Muka Sri memerah usai melihat rekaman percakapan suara Dewo di HP sahabatnya.Atun sampai ngeri membayangkan kemarahan yang akan meledak setelah itu.“Sabar, Sri. Sabar ya, Sri. Makanya kan dulu aku juga udah pernah bilang sama kamu, laki-laki di dunia ini tuh semua sama, Sri. Jangan dipercaya seratus persen.” Atun mulai bicara dengan nada ragu. Mukanya terlihat takut-takut menatap wanita di depannya.“Diam kamu, Tun!” Dan nyali Atun pun langsung ciut mendengar itu. “Aku lagi nggak butuh nasehat atau pendapat kamu. Kamu diam aja lah! Nggak usah berkomentar. Tugas kamu cuma melaksanakan tugasku. Sudah, itu saja!” Sri menatap tajam sahabatnya yang semakin mengkerut di tempat duduknya.“Iya, Sri. Maafkan aku. Aku nggak maksud begitu tadi. Ya sudah ya, kalau begitu aku pulang dulu saja. Aku harus jemput anakku pulang sekolah.” Wanita itu lalu bangkit untuk berpamitan. “Eh iya Sri, kalau kamu perlu bantuan lagi, bilang saja. Aku dan suamiku akan selalu siap bantuin kamu kok,” lanjutnya seb
“Kapan rencana kita kembali ke rumah, Nya?” Irma memberanikan diri untuk bertanya malam itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi untuk majikannya di teras rumah.Celine terlihat tak suka dengan pertanyaan pelayannya itu. “Ada apa? Apa kamu sudah tidak mau menemaniku lagi?” katanya ketus.“Bu-kan begitu, Nya. Saya hanya tidak tahu dan penasaran untuk apa kita ke sini,” ucap Irma sedikit gugup, karena takut terkena marah oleh wanita itu.“Aku masih menunggu Narendra ke sini. Sepertinya dia tak punya nyali untuk datang ke sini menyelamatkan gund*iknya,” ujar Celine setengah menggeram. Diseruputnya kopi yang masih terlihat panas di tangannya. Irma bahkan tak melihat wanita berusia 50 tahunan itu mendinginkan dahulu minumannya. Pun Celine sama sekali tak terlihat kepanasan.Saat majikannya mengajak menemani ke Villa Biru sore hari itu, Irma memang tak tahu menahu apa tujuannya. Wanita itu hanya mendengar beberapa kali Celine mengajak bicara orang-orang yang entah siapa di ponselnya. Sat
Malam itu, Celine memutuskan untuk bermalam di villa. Namun meski sudah beristirahat di kamar terbesar dan ternyaman yang ada di dalam villa itu, Celine tetap tak bisa memejamkan mata. belum ada kabar sedikitpun dari Narendra dan itu sangat membuatnya gelisah. Walaupun pada awalnya, dia begitu senang mengetahui bahwa suaminya itu cukup pengecut untuk bisa bertemu dengannya di villa itu. Di kamar lantai atas, Celine bisa menatap ke bawah dengan leluasa dari jendela ke arah belakang rumahnya. Saat pandangannya sengaja dilempar ke ruang bekas gudang yang beberapa hari lalu difungsikan sebagai kamar sederhana, hati wanita itu menjadi kecut. Seharusnya Narendra sudah berada di villa itu sekarang dan menyaksikan betapa dia sangat berkuasa atas segalanya. Bahkan hanya untuk menyekap seorang tikus kecil yang telah menjadi hama perusak rumah tangganya.Dari kamar atas itu juga, Celine melihat perlahan Marni melangkah mendekati jendela kamar bekas gudang. Usai mengambil piring yang sudah koso