“Cinta bukan hanya kesetiaan. Tapi pengorbanan, pengabdian, dan keikhlasan.”
***“Cinta kadang tidak bisa kita lihat, cinta kadang tidak bisa kita dengar. Namun, cinta selalu bisa kita rasakan, sekalipun itu dalam bentuk luka.”Sosok Fina berubah menjadi bijak hari ini. Dia adalah makhluk di dalam pesantren yang amat mengerti kondisiku. Dia tak pernah memperlakukanku subordinat justru dia menganggapku teman dekat. Setahuku, dia adalah putri dari pasangan Desainer ternama. Barang-barang miliknya selalu berkelas. Aku sering merengengek meminjam gamis-gamis ootd nya. Dan dia selalu meminjami.“Sudah ya Sya. Kamu harus legowo.” Fina mengelus-ngelus pundakku. Aku mengangguk sambil terus menyeka air mata, tak kuhiraukan mbak-mbak santri yang berlalu lalang dan menatapku heran.Aku tak tahu mengapa aku selemah ini? Dengan gerakan cepat Fina mengenggam tanganku lalu berbisik. “Kamu bias melupakan Gus Fa Sya.”Setelah tangisku mereda. Fina mengajakku sorogan kitab Kifayatul atqiya’ Wa Minhaj Al Asfiya. Lamat-lamat kulihat bibir Fina membaca basmalah. Aku kembali menahan napas,mencoba mengingat kapan terakhir sahabatku menceritakan tentang perasaannya.Fina begitu tenang, dan menentramkan setiap hati yang memandang. Darahku berdesir hebat. Saat ingatan dua tahun silam terlintas. Dimana mbak-mbak abdi ndalem mengira Fina adalah aku. Yang saat itu menjadi kekasih Gus Fa.“Sini Sya.” Fina memberi isyarat dengan gerakan tangannya agar aku duduk di sebelahnya. Kegundahan hatiku berangsur padam. Pengajian mulai memenuhi rongga otakku. Jujur, penyebab utamanya bukanlah mendengarkan penuturan ustadzah. Melainkan gadis dengan roman muka peraduan oriental dan timur tengah itu, Fina. Aku baru mengerti atas segala nasehat Fina tadi,bahwa Fina juga memiliki rasa sepertiku untuk Gus Fa. Dan sejatinya, bukan akulah yang tersakiti. Dia, sahabatku yang berhati bajalah yang paling tersakiti.Sahabat macam apa aku ini? Tak menyadari perasaan sahabatku sendiri. Namun, dari ketegaran Fina menyembunyikan rasa sakit. Aku belajar, bahwa cinta Cinta bukan hanya kesetiaan. Tapi pengorbanan, pengabdian, dan keikhlasan.***Aku mengerjapkan mata. Melihat dengan samar-samar Fina mengelar sajadah, mukena bordil berwarna putih membalut tubuhnya. Bibirnya lirih mengucap takbir sambil mengangkat kedua tangan. Sebenarnya aku juga ingin melaksanakan qiyamul lail. Baru saja aku membuka mata dengan sempurna. Fina dalam sujudnya menangis hebat. Pundaknya bergetar.Aku hendak bangun, namun takut ia berubah menjadi canggung. Ku tunggu ia hingga ,engucap salam, bulu matanya yang lentik basah oleh air mata. Kedua tangannya ia gunakan untuk mengucap deraian air mata. Fina yang selalu ceria ternyata juga bias menangis seperti ini. Dia menengadah melihat langit-langit asrama. Membaca sholawat thibbil qulub sambil menekan dadanya dengan tangan kanan. Aku tak tahu penyebab tumpahnya air mata Fina. Namun, aku berfirasat bahwa ini ada kaitannya denganku juga tentang pernikahan Gus Fa.“Gak usah pura-pura tidur Sya. Kamu ngelihatin aku dari tadi kan?”Aku duduk. Membenarkan selimut agar menutupi seluruh tubuhku. Fina menatapku. Matanya merah pekat,sembab. Aku diam bingung hendak apa. Mengawasi tetesan mili air mata yang terus mengalir dari kelopak Fina. “Sya.” Dia memanggilku lirih. Aku diam saja, tak menjawab namun sedikit menganggukkan kepala. Fina menyeka air matanya lagi. Mengatur napasnya lalu memelukku dengan erat.“Aku juga mencintainya Sya. Aku juga sakit. Bahkan lebih sakit darimu Sya.” Seperti di sambar petir. Spontan aku melepas pelukannya. Aku sudah mendunga bahwa Fina juga mencintai Gus Fa, tapi aku tak pernah berpikir bahwa dia akan mengatakan terang-terangan kepadaku.“Maafkan aku ya Sya. Aku mencintai laki-laki yang juga kamu cintai sebegitu dalamnya.”Fina menunduk. Benar kata orang, sakit hati karena cinta yang saling mencintai namun tak bisa bersatu tak jauh lebih menyakitkan ketika mencintai dengan sendiri.POV GUS.“Bukankah dengan ucapan, pernikahan menjadi sah?yang haram mengajdi halal? Dengan ucapan pula, tanggung jawab atas bahagianya menjadi tanggung jawabku spontanitas.”***“Maisya sakit, ya Allah sakit apakah dia?” Maafkan mas Zulfa....“Mas, jadi anter ke klinik?”“Em.... Iya sayang” Gelapan. Semoga Zulfa tidak menangkap canggung ku barusan.“Mas Zulfa ganti baju dulu ya.”“Gak usah, kamu pakai baju apapun tetap cantik. ”Ku tangkap rona wajahnya begitu malu dan bahagia. Tak mudah untuk ku mencintainya sebenarnya. Tapi dia juga amat sangat ayu, dan mempesona. Aku laki laki normal, darah ku mendidih kala melihatnya keluar kamar mandi hanya memakai sehelai handuk, bergelegar kala tiba-tiba di peluknya dari belakang.Bukan kah halal aku mencumbunya? Dia istriku. Toh, Maisya selalu sumringah setiap harinya, bukankah d
“Memang terasa menyakitkan. Namun benar, guru terbaik dalam kehidupan adalah adalah kekecewaan,kekalahan,dan kegagalan.”***Seorang perempuan jika belum menikah adalah tanggung jawab ayah dan kakak laki-lakinya. Kewajibannya pun berbakti kepada mereka tepat setelah berbakti kepada Allah sang pencipta. Tapi setelah menikah, seorang perempuan adalah laki-laki yang menikahinya. Suaminya. Kewajiban berbakti kepada orang tua pun tergantikan untuk berbakti kepada suaminya. Dan berbakti kepada orang tua berada tepat setelah berbakti kepada suami.“Bunda, bayiku bun.” Zulfa memeluk ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga berderaian air mata. Dalam kedaan sseperti ini tak hanya aku maupun Zulfa yang merana. Dua keluarga juga akan merasakan kesedihan yang sama. Aku tertunduk tak berdaya.Ayah mertua merangkulku dari belakang. Membisikkan kata terimakasih
Penyair arab pernah berkata :“Betapa banyak tempat yang pernah di singgahi oleh seorang pemuda, Tapi kerinduannya selalu kepada tempat pertama.”***Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu Umi gunakan untuk menyimpan berbagai gamisnya kini raib. Abah yang sangat terpukul akan kepergian Umi. Sengaja meniadakan lemari itu. Lemari yang kata Abah Umi idamkan saat hamil aku. Tak hanya Abah, aku juga sangat terpukul. Terlebih tentang al yang barusaja terjadi dengan Istriku. Namun, aku selalu menasehati diri bahwa Umi tak mungkin bahagia melihat keluarga yang ditinggalkannya merana.Aku menghela napas. Duduk di sudut ruangan. Memandang layar telepon yang sejak dua hari yang lalu tak ku aktifkan. Ribuan chat Ustad-Ustadzah madrasah diniyah yang mengajak rapat. Banyak pula para penggurus yang minta izin ini itu, banyak para wali santri yang menanyakan perkembangan putranya.Mataku terbelalak saat melihat Maisya
Kang Fadilaturrohman“Kau tidak tau betapa sulitnya jadi aku yang tak mampu bersaing untuk menang darimu.perihal tahta dan cinta sekalipun.”***Al-Mar-u ma’arif man ahabba, seseorang akan di kumpulkan dengan orang yang di cintainya kelak. Lelaki berkaca mata itu yakin, Allah akan menyatukan hatinya dengan Maisya. Walau tidak di dunia, kelak di syurga. Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk menunjukkan dirinya pada Maisya. Dia terlalu merasa jauh jika di banding Gus Fahmi.Dia selalu mengawasi Maisya dari kejauhan. Tersenyum sendiri melihat Maisya menyapu halaman lalu ujung jilbabnya dimainkan angin, kemudian Maisya akan sibuk merapikan jilbabnya. Atau saat Maisya terburu-buru berangkat ke Madrasah diniyah, bahkan saat Maisya di hukum karena tidak menghafal nadzoman. Sebenarnya lelaki itu ingin mendekati Maisya, tapi di urungkan ketika Gus Fa mulai mendekati santriwati yang di hukum. Terlebih, saat Gus Fa b
Prov. Zulfa.“Yang tidak aku suka dari dunia ini adalah. Aku di tuntut baik-baik saja apapun keadaanya.”***Tujuh tahun sudah usia pernikahanku, setiap hari ku selalu mengimpikan mundurnya siklus menstruasi di sertai tanda-tanda kehamilan. Aku selalu mengingat di mana Mas Fahmi meninak bobokkan ku dengan melantunkan ayat Al-Quran, menemaniku begadang sambil mengelus lembut perutku, kadang menempelkan telinganya pada perutku yang kian membuncit, menciumi nya sampai aku risih.Sudah tiga kali ini aku keguguran, dengan keadaan separuh uterus (kelainan reproduksi) aku sulit mempertahankan kehamilan. Jiwa seorang istri mana yang tidak ingin menjadi ibu? Istri mana yang menolak memberikan keturunan? Aku geram mendengar para wanita di panggil ibu, aku sedih melihat para wanita mengandeng putra putrinya di pasar. Hatiku teriris yang pada kenyataannya
“Saat aku tahu air matamu, saat itulah aku mengerti. Bahwa cintamu tak main-main.”***Hari ini, dengan mata kepalaku sendiri. Mas Fahmi menangis sampai wajahnya memerah. Dia menonton vidio bayi yang di temukan di tempat sampah. Sejak dokter menjelaskan kelainan reproduksiku Mas Fahmi begitu peka terhadap sosial. Apalagi perihal anak-anak jalanan dan kasus aborsi ataupun pembuangan bayi. Dengan Mas Fahmi yang demikian. Aku merasa melukainya, secara tidak langsung dia sudah member kode bahwa rasa rindunya pada keturunan di rumah ini menggebu.Aku dalam ambang kebingungan. Terlalu egois jika membiarkan Mas Fahmi menangis merindukan sosok bayi, tapi terlalu naif jika aku sok tegar mengizinkan Mas Fahmi berpoligami. Pikiranku bercabang.“Mungkin merawat bayi bisa menjadi pancingan agar aku cepat hamil.” Aku melihat perutku dari pantulan kaca mengelus nya dan berdoa agar cepat hamil.“Aku akan usulkan na
“Kedatangan dan kepergian itu Hampir sama. Mereka sama-sama menghadirkan air mata. Entah duka atau bahagia.”***Dokter Sundari. Ya namanya dokter Sundari, di temani asistennya dokter Maisya. Aku jadi teringat ucapan kang Fadil tadi, mungkinkah?Kulirik Mas Fahmi masih tenang, kalau memang Maisya ini yang di maksud chatnya tadi kenapa mereka tidak bertegur sapa? Ah lagi pula nama Maisya banyak,mungkin bukan dia."Walah pondok pesantren Darussyafa'ah. Pangapunten Ning Gus." Kata dokter Maisya tanpa berani menatap kami. Usuk demi usuk dokter Maisya ini ternyata alumni Darussyafa'ah. Pantas saja sikap takdzim hikmatnya begitu kental terhadap Mas Fahmi dan aku.Selanjutnya kami mengikuti beberapa tes kesuburan, lalu memilih progam hamil. Dokter Sundari terlihat lebih disiplin dan otoriter, aku sendiri malah lebih nyaman di tangani dokter Maisya. Dia cantik, ramah, dan ketika tersenyum manis sekali. Mampu membuat yang mel
“Terkadang semesta terasa tidak memihak,tapi di balik itu semesta tahu apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.”***Aku meneteskan air mata. Aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Aku tahu, seorang murid haruslah sami’na wa atho’na pada titah gurunya. Aku tahu cinta nya pada Abi mengalahkan cintanya padaku, itu wajar. Yang tak wajar, aku belum bisa berdamai pada hati, dan kenapa aku menangis melihatnya pergi? Bukankah ini titah kyai.? Lalu, kanapa kenangan menghujaniku dengan bertubi-tubi? Aku masih ingat caranya memperlakukan ku dengan penuh cinta kasih. Aku masih ingat sikap jailnya tempo hari. Aku juga masih ingat cemburunya saat ku bilang mencintai lelaki lain. Padahal yang ku cintai hanya dia. Aku terperosok dalam duka. Aku meratap saat mengingat rencanya mengajak ku ke dermaga cinta. Aku harus segera melepasnya atau aku akan kekal dalam nestapa.Ribuan novel menjelaskan hakikat cinta, ribuan paragraf menjelaskan k
“Kedatangan dan kepergian itu Hampir sama. Mereka sama-sama menghadirkan air mata. Entah duka atau bahagia.”***Dokter Sundari. Ya namanya dokter Sundari, di temani asistennya dokter Maisya. Aku jadi teringat ucapan kang Fadil tadi, mungkinkah?Kulirik Mas Fahmi masih tenang, kalau memang Maisya ini yang di maksud chatnya tadi kenapa mereka tidak bertegur sapa? Ah lagi pula nama Maisya banyak,mungkin bukan dia."Walah pondok pesantren Darussyafa'ah. Pangapunten Ning Gus." Kata dokter Maisya tanpa berani menatap kami. Usuk demi usuk dokter Maisya ini ternyata alumni Darussyafa'ah. Pantas saja sikap takdzim hikmatnya begitu kental terhadap Mas Fahmi dan aku.Selanjutnya kami mengikuti beberapa tes kesuburan, lalu memilih progam hamil. Dokter Sundari terlihat lebih disiplin dan otoriter, aku sendiri malah lebih nyaman di tangani dokter Maisya. Dia cantik, ramah, dan ketika tersenyum manis sekali. Mampu membuat yang mel
“Saat aku tahu air matamu, saat itulah aku mengerti. Bahwa cintamu tak main-main.”***Hari ini, dengan mata kepalaku sendiri. Mas Fahmi menangis sampai wajahnya memerah. Dia menonton vidio bayi yang di temukan di tempat sampah. Sejak dokter menjelaskan kelainan reproduksiku Mas Fahmi begitu peka terhadap sosial. Apalagi perihal anak-anak jalanan dan kasus aborsi ataupun pembuangan bayi. Dengan Mas Fahmi yang demikian. Aku merasa melukainya, secara tidak langsung dia sudah member kode bahwa rasa rindunya pada keturunan di rumah ini menggebu.Aku dalam ambang kebingungan. Terlalu egois jika membiarkan Mas Fahmi menangis merindukan sosok bayi, tapi terlalu naif jika aku sok tegar mengizinkan Mas Fahmi berpoligami. Pikiranku bercabang.“Mungkin merawat bayi bisa menjadi pancingan agar aku cepat hamil.” Aku melihat perutku dari pantulan kaca mengelus nya dan berdoa agar cepat hamil.“Aku akan usulkan na
Prov. Zulfa.“Yang tidak aku suka dari dunia ini adalah. Aku di tuntut baik-baik saja apapun keadaanya.”***Tujuh tahun sudah usia pernikahanku, setiap hari ku selalu mengimpikan mundurnya siklus menstruasi di sertai tanda-tanda kehamilan. Aku selalu mengingat di mana Mas Fahmi meninak bobokkan ku dengan melantunkan ayat Al-Quran, menemaniku begadang sambil mengelus lembut perutku, kadang menempelkan telinganya pada perutku yang kian membuncit, menciumi nya sampai aku risih.Sudah tiga kali ini aku keguguran, dengan keadaan separuh uterus (kelainan reproduksi) aku sulit mempertahankan kehamilan. Jiwa seorang istri mana yang tidak ingin menjadi ibu? Istri mana yang menolak memberikan keturunan? Aku geram mendengar para wanita di panggil ibu, aku sedih melihat para wanita mengandeng putra putrinya di pasar. Hatiku teriris yang pada kenyataannya
Kang Fadilaturrohman“Kau tidak tau betapa sulitnya jadi aku yang tak mampu bersaing untuk menang darimu.perihal tahta dan cinta sekalipun.”***Al-Mar-u ma’arif man ahabba, seseorang akan di kumpulkan dengan orang yang di cintainya kelak. Lelaki berkaca mata itu yakin, Allah akan menyatukan hatinya dengan Maisya. Walau tidak di dunia, kelak di syurga. Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk menunjukkan dirinya pada Maisya. Dia terlalu merasa jauh jika di banding Gus Fahmi.Dia selalu mengawasi Maisya dari kejauhan. Tersenyum sendiri melihat Maisya menyapu halaman lalu ujung jilbabnya dimainkan angin, kemudian Maisya akan sibuk merapikan jilbabnya. Atau saat Maisya terburu-buru berangkat ke Madrasah diniyah, bahkan saat Maisya di hukum karena tidak menghafal nadzoman. Sebenarnya lelaki itu ingin mendekati Maisya, tapi di urungkan ketika Gus Fa mulai mendekati santriwati yang di hukum. Terlebih, saat Gus Fa b
Penyair arab pernah berkata :“Betapa banyak tempat yang pernah di singgahi oleh seorang pemuda, Tapi kerinduannya selalu kepada tempat pertama.”***Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu Umi gunakan untuk menyimpan berbagai gamisnya kini raib. Abah yang sangat terpukul akan kepergian Umi. Sengaja meniadakan lemari itu. Lemari yang kata Abah Umi idamkan saat hamil aku. Tak hanya Abah, aku juga sangat terpukul. Terlebih tentang al yang barusaja terjadi dengan Istriku. Namun, aku selalu menasehati diri bahwa Umi tak mungkin bahagia melihat keluarga yang ditinggalkannya merana.Aku menghela napas. Duduk di sudut ruangan. Memandang layar telepon yang sejak dua hari yang lalu tak ku aktifkan. Ribuan chat Ustad-Ustadzah madrasah diniyah yang mengajak rapat. Banyak pula para penggurus yang minta izin ini itu, banyak para wali santri yang menanyakan perkembangan putranya.Mataku terbelalak saat melihat Maisya
“Memang terasa menyakitkan. Namun benar, guru terbaik dalam kehidupan adalah adalah kekecewaan,kekalahan,dan kegagalan.”***Seorang perempuan jika belum menikah adalah tanggung jawab ayah dan kakak laki-lakinya. Kewajibannya pun berbakti kepada mereka tepat setelah berbakti kepada Allah sang pencipta. Tapi setelah menikah, seorang perempuan adalah laki-laki yang menikahinya. Suaminya. Kewajiban berbakti kepada orang tua pun tergantikan untuk berbakti kepada suaminya. Dan berbakti kepada orang tua berada tepat setelah berbakti kepada suami.“Bunda, bayiku bun.” Zulfa memeluk ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga berderaian air mata. Dalam kedaan sseperti ini tak hanya aku maupun Zulfa yang merana. Dua keluarga juga akan merasakan kesedihan yang sama. Aku tertunduk tak berdaya.Ayah mertua merangkulku dari belakang. Membisikkan kata terimakasih
POV GUS.“Bukankah dengan ucapan, pernikahan menjadi sah?yang haram mengajdi halal? Dengan ucapan pula, tanggung jawab atas bahagianya menjadi tanggung jawabku spontanitas.”***“Maisya sakit, ya Allah sakit apakah dia?” Maafkan mas Zulfa....“Mas, jadi anter ke klinik?”“Em.... Iya sayang” Gelapan. Semoga Zulfa tidak menangkap canggung ku barusan.“Mas Zulfa ganti baju dulu ya.”“Gak usah, kamu pakai baju apapun tetap cantik. ”Ku tangkap rona wajahnya begitu malu dan bahagia. Tak mudah untuk ku mencintainya sebenarnya. Tapi dia juga amat sangat ayu, dan mempesona. Aku laki laki normal, darah ku mendidih kala melihatnya keluar kamar mandi hanya memakai sehelai handuk, bergelegar kala tiba-tiba di peluknya dari belakang.Bukan kah halal aku mencumbunya? Dia istriku. Toh, Maisya selalu sumringah setiap harinya, bukankah d
“Cinta bukan hanya kesetiaan. Tapi pengorbanan, pengabdian, dan keikhlasan.”***“Cinta kadang tidak bisa kita lihat, cinta kadang tidak bisa kita dengar. Namun, cinta selalu bisa kita rasakan, sekalipun itu dalam bentuk luka.”Sosok Fina berubah menjadi bijak hari ini. Dia adalah makhluk di dalam pesantren yang amat mengerti kondisiku. Dia tak pernah memperlakukanku subordinat justru dia menganggapku teman dekat. Setahuku, dia adalah putri dari pasangan Desainer ternama. Barang-barang miliknya selalu berkelas. Aku sering merengengek meminjam gamis-gamis ootd nya. Dan dia selalu meminjami.“Sudah ya Sya. Kamu harus legowo.” Fina mengelus-ngelus pundakku. Aku mengangguk sambil terus menyeka air mata, tak kuhiraukan mbak-mbak santri yang berlalu lalang dan menatapku heran.Aku tak tahu mengapa aku selemah ini? Dengan gerakan cepat Fina mengenggam tanganku lalu berbisik. “Kamu bias melupaka
“Ketika menatapmu ada dua hal yang aku rasakan.Pertama sebuah ketentraaman. Dan yang kedua sebuah kekecewaan.Karena aku tahu, kita tak bisa bersama lagi.”***“Sya, mbk Mala sakit tiba-tiba. Awakmu kan juga ayu.... Sana jadi Terima tamu di depan.”Mbak Kom menyarankan.Apa ini? Menjadi Terima tamu dalam pernikahan orang yang kau cinta? Mungkin kemarin saat ijab kabul nya aku masih bisa berlari dan menutup telinga, karena aku mendapat tugas kontrol prasmanan.Lalu sekarang? Apa aku akan kuat melihat orang yang ku cinta lengan nya di amit wanita lain? Apa aku kuat melihat nya bergaun senada hilir mudik menyalami tamu dengan rona bahagia? Apa aku kuat melihatnya memandang istrinya nanti? Ya Allah apa yang harus kulakukan.“Ndang wes, pakai cilak. Bedak e di tebelin.”“Kene tak gincu ni.”“Sya, jangan pakai sandal itu. Kelihatan kucel, ini p