Kang Fadilaturrohman
“Kau tidak tau betapa sulitnya jadi aku yang tak mampu bersaing untuk menang darimu.perihal tahta dan cinta sekalipun.”*** Al-Mar-u ma’arif man ahabba, seseorang akan di kumpulkan dengan orang yang di cintainya kelak. Lelaki berkaca mata itu yakin, Allah akan menyatukan hatinya dengan Maisya. Walau tidak di dunia, kelak di syurga. Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk menunjukkan dirinya pada Maisya. Dia terlalu merasa jauh jika di banding Gus Fahmi.Dia selalu mengawasi Maisya dari kejauhan. Tersenyum sendiri melihat Maisya menyapu halaman lalu ujung jilbabnya dimainkan angin, kemudian Maisya akan sibuk merapikan jilbabnya. Atau saat Maisya terburu-buru berangkat ke Madrasah diniyah, bahkan saat Maisya di hukum karena tidak menghafal nadzoman. Sebenarnya lelaki itu ingin mendekati Maisya, tapi di urungkan ketika Gus Fa mulai mendekati santriwati yang di hukum. Terlebih, saat Gus Fa begitu memperhatikan Maisya. Hancur sudah harapannya. Dia hanya seorang santri disini, dia harus tau batasan walau dia seorang ustadz madrasah diniyah yang cukup memiliki wewenang.“Tadz tadz,lagi lagi keduluan yah. Kowe sing kesuwen.”“Aku pengen mencintai dengan caraku! ““Iya, dengan cara membiarkan Maisya di dekati pria lain? Lagipula, kenapa harus Maisya? Dia tak lebih dari santri putri yang sering di hukum. Dia tak begitu cerdas, dia juga tak begitu cantik.”“Maisya memang gak terlalu cerdas, tapi dia giat dalam usaha. Dia tak cantik wajahnya, tapi cantik tutur katanya, sopan akhlaqnya.”“Terserahmu Dil, ustadzah disini banyak yang nunggu kamu respon. Kalok di tolak Maisya kamu masih ada harapan sama ustadzah disini. Wkwkwkwkwk.”“Kampret.” Fadil mengeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa menit, seseorang melambaikan tangan kearah Fadil dan Aji berada.“Dil, sini sini mau tak tanya sesuatu.” Lelaki bertubuh gagah melambaikan tangannya. Fadil bergegas walau enggan, lelaki bertubuh gagah yang sedang memakai kaos casual dan sarung, dia adalah Kaffa. Ustadz Kaffa Ail Rosyadi. Ustadz bagian Tilawatil Qur’an, sejak dulu Kaffa dan dirinya slalu bersitegang, berselisih paham.“Kenapa?” Jawab Fadil ketus. Bukan tak ingin bersahabat, keadaan yang selalu membuat mereka beradu argumen lah yang menimbulkan kecanggungan ini. Padahal jika kedua pria ini di gabungkan dalam suatu pekerjaan akan membuahkan hasil yang begitu gemilang.Pernah satu kali, saat acara RMI (Robitoh Maahid Islamiyyah) yang di selenggarakan pihak pondok pesantren. Banyak yang memuji kecekatan panita, ke kreatifan lomba yang diadakan, dan ketertiban saat lomba. Karena mereka berdua mengesampingkan ego dalam mengatur stategi perlombaan.“Ini lo coba baca.” Seraya memberikan sebuah buku kecil kepada Fadil.“Jadilah Purnamaku Ning.” Fadil membaca judul buku itu, lalu mengembalikan ke tangan empunya buku.“Bangke! Aku kalau nyari in buku yang bagus buat kamu pelajarin kok di kembaliin.” Bentak Kaffa kecewa. “Perkataanmu lo hati-hati, kalau santri madrasah denger bisa nuntut balik peraturan yang lo buat bro.” ucap Fadil mengingatkan.Memang benar, baru baru kemarin Kaffa membuat peraturan berbicara kasar atau dengan kata-kata kotor boleh di siram air bagi yang mendengar. Banyak santri putra khususnya yang jika marah tak terkendali lalu melontarkan kata kata kasar, peraturan itupun di buat atas kesepakatan semua pihak termasuk Gus Fahmi dan keluarga bu Nyai. Kaffa mengajukan peraturan itu sebenarnya tak serta merta saja, dirinya pun ingin lebih bisa mengontrol emosinya. Namun, kali ini di hadapan Fadil dia gagal.“Eh iya!”“Nah, iling di jaga ucapanmu.” Fadil terkekeh geli.“Kenapa dikembalikan? Tulus aku ini ngasih buku.”“Kok di ajarin mbucin kayak kamu Fa Fa.” Fadil menyalakan korek apinya. Menyulut rokok yang ia simpan di saku kemejanya.“Ini itu ada pelajaran tentang kakudung welungan Macan. Tentang seorang pria yang selalu menyebut nama ayah dan keluarganya untuk mendapat penghormatan masyarakat. Apik tenan, pelajarilah.”Fadil diam terpengkur. Menatap cover buku yang ia pengang. Kaffa adalah saksi satu-satunya motif mondoknya Fadil disini.***Puluhan tahun lalu….Seorang wanita yang menggunakan Khimar hitam membaca lirih asma penciptanya. Menggenggam tangan kiri suaminya. Sepertinya jalanan yang licin akibat tetesan ribuan mili ir hujan membuat mobil yang di kendarai keluarga kecil itu tergelincir. Karena sudah tak bisa melarikan diri atau meminta bantuan keduanya pasrah sambil terus menggemakan asma Allah. Wanit itu sedang hamil besar, bayi pertamanya.Kala itu, suaminya hendak melaksanakan tugas dakwah didaerah Banyuwangi kawasan Ijen. Jalanan yang menanjak dan licin memang sulit di lalui para pengendara. Terlebih situasi hujan begini.“Nduk. Mobilnya mundur ini. Aku rem gak kena.” Si suami berusaha mengenalikan mobil yang berjalan mundur. “Kamu lompat sayang, mobil ini bisa meledak.” Lanjut suaminya sambil membuka pengaman.Wanita itu menggeleng. Memegang erat tangan kiri suaminya. “Kita hadapi bersama Mas, aku gak mau selamat sendirian.”“Jangan bodoh. Cepet lompat. Anak kita harus terlahir didunia.”“Aku gak mau anak ini terlahir menjadi seorang yatim Mas.” Bentak wanita itu sambil berkaca-kaca. Suaminya pun bungkam. Ia komat kamit menggemakan takbir semakin kencang. Dari arah berlawanan sebuah truk yang membawa ban bekas juga kehilangan kendali. Bedanya truk itu malah membuka bagasi secara otomatis dan membiarkan ban ban itu mengelinding. Dan akhirnya mobil wanita itu semakin tak terkendali, tertambak ban ban bekas yang menggelinding bebas. Dan dyarrr…. Mobil itu meledak.Ketika wanita itu membuka mata, sang suami juga sedang bersimbah darah di dekatnya. Mengatakan bahwa bayinya selamat. Wanita itu di bawa keruang operasi karena melahirkan bayinya secara prematur dan mengharuskannya pengangkatan rahim. Sedangkan sang suami yang sudah lebih dulu sadar di panggil dokter untuk memutuskan perkembangan bayinya. Dokter memberi tahu bahwa bayi laki-lakinya mengidap kanker otak sedari dalam kandungan. “Dia tak kan hidup lama pak. Jika bapak menginginkannya hidup lebih lama. Sebaiknya bapak mengikuti progam cryonic. Yaitu proses memperlambat pembusukan tubuh dalam fleezer dengan suhu tertentu.” Laki-laki itu menggeleng dia tak tahu harus melakukan apa pada anak putranya.“Lakukan yang terbaik untuk bayi dan istri saya dok.” Jawabnya, matanya berkaca-kaca. Andai pasa saat itu dia tak mengajak istrinya berlibur. Mungkin hal ini tak akan terjadi. Namun, nasi telah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali segalanya.“Saya jelaskan dulu. Proses pembekuan ini. Tidak sebentar pak waktunya.”“Lakukan apa yang terbaik dok. Saya mohon.” Laki-laki itu berderaian darah. Bersimpuh mencium tangan dokter memohon agar dibantu dengan hal terbaik, tak lupanlaki-laki itu menyertakan doa di setiap sujudnya saat menunggu istrinya yang bangun dar koma.***Singkatnya, Wanita itu adalah Umi Syarofah dan Suaminya adalah Abah. Bayi laki-laki itu adalah Fadil. Abah terpisah dan tak mengetahui keberadaan fadil karena saat itu di Thailand, tempat Fadil melakukan Cryonic terjadi peledakan oleh sekutu bisnis.Sejak saat itu, Abah dan Umi Syarofah tak mengetahui keberadaan anak pertamanya. Fadil dan Kaffa mengetahui cerita ini saat Dokter asal indonesia yang ditugaskan di Thailand memutuskan membawa bayi itu pulang. Berharap menemukan keluarga bayi Fadil. Dan dokter itu adalah ayah Kaffa. Dr. Janmes Adward.Jelas sudah, motif Fadil dan Kaffa mondok di sini, hanya ingin mencari tahu. Dari mana Asal Gus Fauzan dan Gus Fahmi jika Umi Syarofah telah mengangkat rahimnya. Oh ya, cryonic lah yang membuat Fadil jauh lebih muda ketimbang Gus Fahmi.“Kau tidak tau betapa sulitnya jadi aku yang tak mampu bersaing untuk menang darimu.perihal tahta dan cinta sekalipun.” Fadil mengeprak bangku di depannya. Melihat Gus Fahmi mencuri pandang dengan Maisya. Santri putri yang diam-diam ia cintai.***Gus terus mendekati Maisya. Terlihat jelas, bahwa maisya pun menyuikai Gus Fa. Fadil tak mampu untuk mengunggap siapa dirinya. Bahkan untuk bertindak sesuatu untuk memperjuangkan cintanya.“Kenapa kamu membantu Maisya?” tanya Kaffa. Saudara tirinya.“Dil, Ingat. Tujuan kita hanya mencari kebenaran siapa mereka dan menggungkap siapa dirimu. Jangan kecewakan Ayah.” Tegas Kaffa memperingati.“Cinta memang sering kali buta Fa. Aku tahu Maisya sangat merespon Gus Fa. Bahkan mereka mungkin telah menjalin hubungan selayaknya orang yang saling mencitai, tapi aku gak bisa Fa. Berdiam diri melihat Maisya menjadi terima tamu di acara nikahan orang yang dia cintai.”Kaffa menyunggingkan bibir. “Jadi itu alasan kamu menyuruh Ning Silma mengangtikan Maisya?” Kaffa terbahak. “Aku juga mencintai maisya dil. Tapi aku tak sebodoh kamu dalam mencintai.” Sejak saat itu Fadil tau, bahwa saudara tirinya Kaffa juga mencintainya. Ini tak mudah.Menginggat jasa ayah Kaffa terhadap dirinya membuatnya memilih tetap diam walau berkesempatan mengobati kekecewaan Maisya karena di tinggal nikah oleh Gus Fa.“Lalu, kenapa kamu sering membantuku melihat Maisya atau mendapat kabar tentangnya?” Kaffa tertawa lagi mendengar pertanyaan Fadil.“Jelas aku juga membutuhkannya untuk hatiku sendiri. Tapi, bukankah Rosululloh mengambarkan bagi siapa yang memudahkan orang yang dalam kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.” Kaffa mengambil alih tumpukan Aqua yang hendak di bawa Fadil menggunakan tobos.Tak ada laki-laki semenyedihkan hidup Fadil. Fadil terduduk, limblung harus merelakan cintanya untuk adik tirinya.Prov. Zulfa.“Yang tidak aku suka dari dunia ini adalah. Aku di tuntut baik-baik saja apapun keadaanya.”***Tujuh tahun sudah usia pernikahanku, setiap hari ku selalu mengimpikan mundurnya siklus menstruasi di sertai tanda-tanda kehamilan. Aku selalu mengingat di mana Mas Fahmi meninak bobokkan ku dengan melantunkan ayat Al-Quran, menemaniku begadang sambil mengelus lembut perutku, kadang menempelkan telinganya pada perutku yang kian membuncit, menciumi nya sampai aku risih.Sudah tiga kali ini aku keguguran, dengan keadaan separuh uterus (kelainan reproduksi) aku sulit mempertahankan kehamilan. Jiwa seorang istri mana yang tidak ingin menjadi ibu? Istri mana yang menolak memberikan keturunan? Aku geram mendengar para wanita di panggil ibu, aku sedih melihat para wanita mengandeng putra putrinya di pasar. Hatiku teriris yang pada kenyataannya
“Saat aku tahu air matamu, saat itulah aku mengerti. Bahwa cintamu tak main-main.”***Hari ini, dengan mata kepalaku sendiri. Mas Fahmi menangis sampai wajahnya memerah. Dia menonton vidio bayi yang di temukan di tempat sampah. Sejak dokter menjelaskan kelainan reproduksiku Mas Fahmi begitu peka terhadap sosial. Apalagi perihal anak-anak jalanan dan kasus aborsi ataupun pembuangan bayi. Dengan Mas Fahmi yang demikian. Aku merasa melukainya, secara tidak langsung dia sudah member kode bahwa rasa rindunya pada keturunan di rumah ini menggebu.Aku dalam ambang kebingungan. Terlalu egois jika membiarkan Mas Fahmi menangis merindukan sosok bayi, tapi terlalu naif jika aku sok tegar mengizinkan Mas Fahmi berpoligami. Pikiranku bercabang.“Mungkin merawat bayi bisa menjadi pancingan agar aku cepat hamil.” Aku melihat perutku dari pantulan kaca mengelus nya dan berdoa agar cepat hamil.“Aku akan usulkan na
“Kedatangan dan kepergian itu Hampir sama. Mereka sama-sama menghadirkan air mata. Entah duka atau bahagia.”***Dokter Sundari. Ya namanya dokter Sundari, di temani asistennya dokter Maisya. Aku jadi teringat ucapan kang Fadil tadi, mungkinkah?Kulirik Mas Fahmi masih tenang, kalau memang Maisya ini yang di maksud chatnya tadi kenapa mereka tidak bertegur sapa? Ah lagi pula nama Maisya banyak,mungkin bukan dia."Walah pondok pesantren Darussyafa'ah. Pangapunten Ning Gus." Kata dokter Maisya tanpa berani menatap kami. Usuk demi usuk dokter Maisya ini ternyata alumni Darussyafa'ah. Pantas saja sikap takdzim hikmatnya begitu kental terhadap Mas Fahmi dan aku.Selanjutnya kami mengikuti beberapa tes kesuburan, lalu memilih progam hamil. Dokter Sundari terlihat lebih disiplin dan otoriter, aku sendiri malah lebih nyaman di tangani dokter Maisya. Dia cantik, ramah, dan ketika tersenyum manis sekali. Mampu membuat yang mel
“Terkadang semesta terasa tidak memihak,tapi di balik itu semesta tahu apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.”***Aku meneteskan air mata. Aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Aku tahu, seorang murid haruslah sami’na wa atho’na pada titah gurunya. Aku tahu cinta nya pada Abi mengalahkan cintanya padaku, itu wajar. Yang tak wajar, aku belum bisa berdamai pada hati, dan kenapa aku menangis melihatnya pergi? Bukankah ini titah kyai.? Lalu, kanapa kenangan menghujaniku dengan bertubi-tubi? Aku masih ingat caranya memperlakukan ku dengan penuh cinta kasih. Aku masih ingat sikap jailnya tempo hari. Aku juga masih ingat cemburunya saat ku bilang mencintai lelaki lain. Padahal yang ku cintai hanya dia. Aku terperosok dalam duka. Aku meratap saat mengingat rencanya mengajak ku ke dermaga cinta. Aku harus segera melepasnya atau aku akan kekal dalam nestapa.Ribuan novel menjelaskan hakikat cinta, ribuan paragraf menjelaskan k
“Ketika menatapmu ada dua hal yang aku rasakan.Pertama sebuah ketentraaman. Dan yang kedua sebuah kekecewaan.Karena aku tahu, kita tak bisa bersama lagi.”***“Sya, mbk Mala sakit tiba-tiba. Awakmu kan juga ayu.... Sana jadi Terima tamu di depan.”Mbak Kom menyarankan.Apa ini? Menjadi Terima tamu dalam pernikahan orang yang kau cinta? Mungkin kemarin saat ijab kabul nya aku masih bisa berlari dan menutup telinga, karena aku mendapat tugas kontrol prasmanan.Lalu sekarang? Apa aku akan kuat melihat orang yang ku cinta lengan nya di amit wanita lain? Apa aku kuat melihat nya bergaun senada hilir mudik menyalami tamu dengan rona bahagia? Apa aku kuat melihatnya memandang istrinya nanti? Ya Allah apa yang harus kulakukan.“Ndang wes, pakai cilak. Bedak e di tebelin.”“Kene tak gincu ni.”“Sya, jangan pakai sandal itu. Kelihatan kucel, ini p
“Cinta bukan hanya kesetiaan. Tapi pengorbanan, pengabdian, dan keikhlasan.”***“Cinta kadang tidak bisa kita lihat, cinta kadang tidak bisa kita dengar. Namun, cinta selalu bisa kita rasakan, sekalipun itu dalam bentuk luka.”Sosok Fina berubah menjadi bijak hari ini. Dia adalah makhluk di dalam pesantren yang amat mengerti kondisiku. Dia tak pernah memperlakukanku subordinat justru dia menganggapku teman dekat. Setahuku, dia adalah putri dari pasangan Desainer ternama. Barang-barang miliknya selalu berkelas. Aku sering merengengek meminjam gamis-gamis ootd nya. Dan dia selalu meminjami.“Sudah ya Sya. Kamu harus legowo.” Fina mengelus-ngelus pundakku. Aku mengangguk sambil terus menyeka air mata, tak kuhiraukan mbak-mbak santri yang berlalu lalang dan menatapku heran.Aku tak tahu mengapa aku selemah ini? Dengan gerakan cepat Fina mengenggam tanganku lalu berbisik. “Kamu bias melupaka
POV GUS.“Bukankah dengan ucapan, pernikahan menjadi sah?yang haram mengajdi halal? Dengan ucapan pula, tanggung jawab atas bahagianya menjadi tanggung jawabku spontanitas.”***“Maisya sakit, ya Allah sakit apakah dia?” Maafkan mas Zulfa....“Mas, jadi anter ke klinik?”“Em.... Iya sayang” Gelapan. Semoga Zulfa tidak menangkap canggung ku barusan.“Mas Zulfa ganti baju dulu ya.”“Gak usah, kamu pakai baju apapun tetap cantik. ”Ku tangkap rona wajahnya begitu malu dan bahagia. Tak mudah untuk ku mencintainya sebenarnya. Tapi dia juga amat sangat ayu, dan mempesona. Aku laki laki normal, darah ku mendidih kala melihatnya keluar kamar mandi hanya memakai sehelai handuk, bergelegar kala tiba-tiba di peluknya dari belakang.Bukan kah halal aku mencumbunya? Dia istriku. Toh, Maisya selalu sumringah setiap harinya, bukankah d
“Memang terasa menyakitkan. Namun benar, guru terbaik dalam kehidupan adalah adalah kekecewaan,kekalahan,dan kegagalan.”***Seorang perempuan jika belum menikah adalah tanggung jawab ayah dan kakak laki-lakinya. Kewajibannya pun berbakti kepada mereka tepat setelah berbakti kepada Allah sang pencipta. Tapi setelah menikah, seorang perempuan adalah laki-laki yang menikahinya. Suaminya. Kewajiban berbakti kepada orang tua pun tergantikan untuk berbakti kepada suaminya. Dan berbakti kepada orang tua berada tepat setelah berbakti kepada suami.“Bunda, bayiku bun.” Zulfa memeluk ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga berderaian air mata. Dalam kedaan sseperti ini tak hanya aku maupun Zulfa yang merana. Dua keluarga juga akan merasakan kesedihan yang sama. Aku tertunduk tak berdaya.Ayah mertua merangkulku dari belakang. Membisikkan kata terimakasih
“Kedatangan dan kepergian itu Hampir sama. Mereka sama-sama menghadirkan air mata. Entah duka atau bahagia.”***Dokter Sundari. Ya namanya dokter Sundari, di temani asistennya dokter Maisya. Aku jadi teringat ucapan kang Fadil tadi, mungkinkah?Kulirik Mas Fahmi masih tenang, kalau memang Maisya ini yang di maksud chatnya tadi kenapa mereka tidak bertegur sapa? Ah lagi pula nama Maisya banyak,mungkin bukan dia."Walah pondok pesantren Darussyafa'ah. Pangapunten Ning Gus." Kata dokter Maisya tanpa berani menatap kami. Usuk demi usuk dokter Maisya ini ternyata alumni Darussyafa'ah. Pantas saja sikap takdzim hikmatnya begitu kental terhadap Mas Fahmi dan aku.Selanjutnya kami mengikuti beberapa tes kesuburan, lalu memilih progam hamil. Dokter Sundari terlihat lebih disiplin dan otoriter, aku sendiri malah lebih nyaman di tangani dokter Maisya. Dia cantik, ramah, dan ketika tersenyum manis sekali. Mampu membuat yang mel
“Saat aku tahu air matamu, saat itulah aku mengerti. Bahwa cintamu tak main-main.”***Hari ini, dengan mata kepalaku sendiri. Mas Fahmi menangis sampai wajahnya memerah. Dia menonton vidio bayi yang di temukan di tempat sampah. Sejak dokter menjelaskan kelainan reproduksiku Mas Fahmi begitu peka terhadap sosial. Apalagi perihal anak-anak jalanan dan kasus aborsi ataupun pembuangan bayi. Dengan Mas Fahmi yang demikian. Aku merasa melukainya, secara tidak langsung dia sudah member kode bahwa rasa rindunya pada keturunan di rumah ini menggebu.Aku dalam ambang kebingungan. Terlalu egois jika membiarkan Mas Fahmi menangis merindukan sosok bayi, tapi terlalu naif jika aku sok tegar mengizinkan Mas Fahmi berpoligami. Pikiranku bercabang.“Mungkin merawat bayi bisa menjadi pancingan agar aku cepat hamil.” Aku melihat perutku dari pantulan kaca mengelus nya dan berdoa agar cepat hamil.“Aku akan usulkan na
Prov. Zulfa.“Yang tidak aku suka dari dunia ini adalah. Aku di tuntut baik-baik saja apapun keadaanya.”***Tujuh tahun sudah usia pernikahanku, setiap hari ku selalu mengimpikan mundurnya siklus menstruasi di sertai tanda-tanda kehamilan. Aku selalu mengingat di mana Mas Fahmi meninak bobokkan ku dengan melantunkan ayat Al-Quran, menemaniku begadang sambil mengelus lembut perutku, kadang menempelkan telinganya pada perutku yang kian membuncit, menciumi nya sampai aku risih.Sudah tiga kali ini aku keguguran, dengan keadaan separuh uterus (kelainan reproduksi) aku sulit mempertahankan kehamilan. Jiwa seorang istri mana yang tidak ingin menjadi ibu? Istri mana yang menolak memberikan keturunan? Aku geram mendengar para wanita di panggil ibu, aku sedih melihat para wanita mengandeng putra putrinya di pasar. Hatiku teriris yang pada kenyataannya
Kang Fadilaturrohman“Kau tidak tau betapa sulitnya jadi aku yang tak mampu bersaing untuk menang darimu.perihal tahta dan cinta sekalipun.”***Al-Mar-u ma’arif man ahabba, seseorang akan di kumpulkan dengan orang yang di cintainya kelak. Lelaki berkaca mata itu yakin, Allah akan menyatukan hatinya dengan Maisya. Walau tidak di dunia, kelak di syurga. Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk menunjukkan dirinya pada Maisya. Dia terlalu merasa jauh jika di banding Gus Fahmi.Dia selalu mengawasi Maisya dari kejauhan. Tersenyum sendiri melihat Maisya menyapu halaman lalu ujung jilbabnya dimainkan angin, kemudian Maisya akan sibuk merapikan jilbabnya. Atau saat Maisya terburu-buru berangkat ke Madrasah diniyah, bahkan saat Maisya di hukum karena tidak menghafal nadzoman. Sebenarnya lelaki itu ingin mendekati Maisya, tapi di urungkan ketika Gus Fa mulai mendekati santriwati yang di hukum. Terlebih, saat Gus Fa b
Penyair arab pernah berkata :“Betapa banyak tempat yang pernah di singgahi oleh seorang pemuda, Tapi kerinduannya selalu kepada tempat pertama.”***Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu Umi gunakan untuk menyimpan berbagai gamisnya kini raib. Abah yang sangat terpukul akan kepergian Umi. Sengaja meniadakan lemari itu. Lemari yang kata Abah Umi idamkan saat hamil aku. Tak hanya Abah, aku juga sangat terpukul. Terlebih tentang al yang barusaja terjadi dengan Istriku. Namun, aku selalu menasehati diri bahwa Umi tak mungkin bahagia melihat keluarga yang ditinggalkannya merana.Aku menghela napas. Duduk di sudut ruangan. Memandang layar telepon yang sejak dua hari yang lalu tak ku aktifkan. Ribuan chat Ustad-Ustadzah madrasah diniyah yang mengajak rapat. Banyak pula para penggurus yang minta izin ini itu, banyak para wali santri yang menanyakan perkembangan putranya.Mataku terbelalak saat melihat Maisya
“Memang terasa menyakitkan. Namun benar, guru terbaik dalam kehidupan adalah adalah kekecewaan,kekalahan,dan kegagalan.”***Seorang perempuan jika belum menikah adalah tanggung jawab ayah dan kakak laki-lakinya. Kewajibannya pun berbakti kepada mereka tepat setelah berbakti kepada Allah sang pencipta. Tapi setelah menikah, seorang perempuan adalah laki-laki yang menikahinya. Suaminya. Kewajiban berbakti kepada orang tua pun tergantikan untuk berbakti kepada suaminya. Dan berbakti kepada orang tua berada tepat setelah berbakti kepada suami.“Bunda, bayiku bun.” Zulfa memeluk ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga berderaian air mata. Dalam kedaan sseperti ini tak hanya aku maupun Zulfa yang merana. Dua keluarga juga akan merasakan kesedihan yang sama. Aku tertunduk tak berdaya.Ayah mertua merangkulku dari belakang. Membisikkan kata terimakasih
POV GUS.“Bukankah dengan ucapan, pernikahan menjadi sah?yang haram mengajdi halal? Dengan ucapan pula, tanggung jawab atas bahagianya menjadi tanggung jawabku spontanitas.”***“Maisya sakit, ya Allah sakit apakah dia?” Maafkan mas Zulfa....“Mas, jadi anter ke klinik?”“Em.... Iya sayang” Gelapan. Semoga Zulfa tidak menangkap canggung ku barusan.“Mas Zulfa ganti baju dulu ya.”“Gak usah, kamu pakai baju apapun tetap cantik. ”Ku tangkap rona wajahnya begitu malu dan bahagia. Tak mudah untuk ku mencintainya sebenarnya. Tapi dia juga amat sangat ayu, dan mempesona. Aku laki laki normal, darah ku mendidih kala melihatnya keluar kamar mandi hanya memakai sehelai handuk, bergelegar kala tiba-tiba di peluknya dari belakang.Bukan kah halal aku mencumbunya? Dia istriku. Toh, Maisya selalu sumringah setiap harinya, bukankah d
“Cinta bukan hanya kesetiaan. Tapi pengorbanan, pengabdian, dan keikhlasan.”***“Cinta kadang tidak bisa kita lihat, cinta kadang tidak bisa kita dengar. Namun, cinta selalu bisa kita rasakan, sekalipun itu dalam bentuk luka.”Sosok Fina berubah menjadi bijak hari ini. Dia adalah makhluk di dalam pesantren yang amat mengerti kondisiku. Dia tak pernah memperlakukanku subordinat justru dia menganggapku teman dekat. Setahuku, dia adalah putri dari pasangan Desainer ternama. Barang-barang miliknya selalu berkelas. Aku sering merengengek meminjam gamis-gamis ootd nya. Dan dia selalu meminjami.“Sudah ya Sya. Kamu harus legowo.” Fina mengelus-ngelus pundakku. Aku mengangguk sambil terus menyeka air mata, tak kuhiraukan mbak-mbak santri yang berlalu lalang dan menatapku heran.Aku tak tahu mengapa aku selemah ini? Dengan gerakan cepat Fina mengenggam tanganku lalu berbisik. “Kamu bias melupaka
“Ketika menatapmu ada dua hal yang aku rasakan.Pertama sebuah ketentraaman. Dan yang kedua sebuah kekecewaan.Karena aku tahu, kita tak bisa bersama lagi.”***“Sya, mbk Mala sakit tiba-tiba. Awakmu kan juga ayu.... Sana jadi Terima tamu di depan.”Mbak Kom menyarankan.Apa ini? Menjadi Terima tamu dalam pernikahan orang yang kau cinta? Mungkin kemarin saat ijab kabul nya aku masih bisa berlari dan menutup telinga, karena aku mendapat tugas kontrol prasmanan.Lalu sekarang? Apa aku akan kuat melihat orang yang ku cinta lengan nya di amit wanita lain? Apa aku kuat melihat nya bergaun senada hilir mudik menyalami tamu dengan rona bahagia? Apa aku kuat melihatnya memandang istrinya nanti? Ya Allah apa yang harus kulakukan.“Ndang wes, pakai cilak. Bedak e di tebelin.”“Kene tak gincu ni.”“Sya, jangan pakai sandal itu. Kelihatan kucel, ini p