Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku.
Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka. Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini. Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah. “Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis. Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa. “Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik banget sama kamu selama ini, tapi kamu langsung pergi begitu tahu sedikit saja kurangnya Denis. Mama pikir, kamu adalah wanita dan istri yang pengertian. Ternyata gak ada bedanya sama yang lainnya.” Wajahku langsung tertunduk mendengar teguran dari mamanya Mas Denis. Mungkin ini untuk pertama kalinya aku mendengar kata-kata tidak enak dari bibirnya. Sampai-sampai, aku seperti ada di antara percaya atau tidak dengan apa yang baru saja aku dengar, jika beliau lah yang berkata demikian kepadaku. “Maaf, Ma,” cicitku lagi. Walaupun hatiku sakit dengan tegurannya, tetapi aku pun tidak bisa untuk menyanggah ucapannya. Mungkin aku memang bersalah karena kurang pengertian kepada Mas Denis yang belum move on dari mendiang istrinya. Namun, andai saja Mas Denis berusaha menjelaskan dan meyakinkanku jika dia mau memperbaiki semuanya, mungkin aku masih mau kembali bertahan dengannya. “Sudahlah. Maaf darimu gak penting lagi. Mama dan Denis ke sini juga bukan buat minta kamu kembali. Silakan saja teruskan niatan kami buat menggugat cerai Denis. Denis akan kabulkan selama kamu yang mengurus semua biaya gugatan, tanpa tuntutan nafkah iddah, nafkah mut’ah, juga harta gono gini.” Aku cukup syok mendengarnya. Sama sekali tidak menyangka jika tujuan mereka datang bukanlah untuk mengajakku kembali dengan Mas Denis. “Kamu pikir, kami tadi ke sini buat minta kamu mengurungkan niatan untuk menggugat Denis?” tebak ibu mertuaku itu dengan tepat. Wajahku makin tertunduk. Ternyata sifat asli ibu mertuaku baru terlihat sekarang. Kemarin-kemarin, dia begitu baik karena ada maunya. Sepertinya beliau tahu jika Mas Denis masih belum sembuh dengan masa berdukanya ditinggal Mbak Indah. Dan mungkin saja, beliau berharap aku bisa menyembuhkan luka batin putranya. “Ma, belum selesai?” Pertanyaan dari Mas Denis memutus kecanggungan kami. Sejak kedatangannya tadi, Mas Denis belum ada interaksi langsung berdua denganku. Padahal aku menunggu barangkali ada yang ingin dia katakan kepadaku. Namun, ternyata tidak ada sama sekali. Sepertinya Mas Denis memang tidak berminat sama sekali kepadaku. “Sudah, kok. Kita bisa pulang,” jawab ibu mertuaku kepada suamiku. Tanpa menyapaku kembali, beliau kembali ke ruang tamu diikuti dengan Mas Denis. Keduanya berpamitan kepada keluargaku untuk pulang. Bapak dan ibuku terlihat kecewa setelah mereka berdua pulang dari rumah kami. “Sepertinya gak ada kesempatan lagi, Pak.” “Iya, Bu. Gak apa-apa, mungkin memang sudah nasib anak kita menjadi janda.” Aku kembali menitikkan air mata mendengar percakapan singkat kedua orang tuaku itu. Mereka pasti tertekan dengan rencana gugatan cerai dariku. Memiliki anak perempuan dengan status janda di usia muda pastinya menjadi tekanan tersendiri bagi mereka. Apalagi, perceraian menjadi hal yang tabu untuk keluarga besar kami. Risa yang entah sejak kapan berada di belakangku akhirnya mengusap punggungku dengan lembut. Dia juga membisikkan kata penghibur untukku. “Gak apa-apa, Mbak. Semua akan baik-baik saja. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Mbak Dila masih punya kami, keluarga yang gak akan pernah ninggalin Mbak Dila dalam kondisi apapun.” Aku mengangguk dan mengusap air mata yang membasahi pipi. Dalam hati aku bersyukur karena masih dikelilingi dengan keluarga yang selalu ada untuk mendukungku. Esok harinya, aku mulai mengurus gugatan cerai dengan dokumen yang dibawakan Mas Denis dan mamanya semalam. Rasanya ingin tertawa geli merasakan nasib yang seakan puas mempermainkanku. “Pasti selalu ada hikmahnya dibalik kejadian apapun. Mungkin Mas Denis memang bukan jodoh yang Tuhan siapkan untukku. Aku harus semangat!” Aku pun langsung menuju pusat bantuan hukum begitu tiba di gedung Pengadilan Agama, untuk membuat surat gugatan. Saat diminta mengisi alasan melakukan gugatan cerai, aku termenung sejenak. Berpikir apakah alasan yang akan aku tulis cukup kuat untuk diloloskan di pengadilan? Setelah berdoa dan mengucap basmalah dan istighfar berulang kali, aku pun mengisi surat gugatan tersebut. Baru kemudian aku serahkan ke Pengadilan berikut dengan dokumen lain yang dibutuhkan. Beruntung aku masih punya cukup tabungan sebelum resign dari tempat aku bekerja sebelumnya. Sehingga, untuk biasa perceraian yang harus kutanggung ini, aku tidak perlu sampai merepotkan kedua orang tuaku. Aku sengaja tidak menggunakan jasa pengacara, karena entah mengapa, aku yakin Mas Denis dan keluarganya tidak akan menyulitkan prosesnya. Melihat sikap mereka semalam saat datang ke rumah, sepertinya mereka juga sudah siap dan setuju dengan perceraian ini. Mengingat hal itu, dadaku terasa sesak. Padahal ini yang aku putuskan lebih dulu. Akan tetapi, rasanya tetap menyakitkan karena semudah itu Mas Denis melepaskanku. Aku berjalan gontai keluar dari kantor Pengadilan Agama yang ada di sekitar tempat tinggal Mas Denis. Karena pikiran yang kalut, aku berjalan dengan sembarangan sehingga sebuah sepeda motor hampir saja menyerempet tubuhku. “Aaaahh…!” teriakku saat ada sebuah tangan kekar menarik tubuhku menjauh dari jalan raya. “Kamu gak apa-apa?” tanyanya. Aku sangat familiar dengan suara itu, bahkan sejujurnya aku pun merindukan suara dan sosoknya. “Mas Denis?” desisku seperti belum sepenuhnya percaya jika yang baru saja menyelamatkanku adalah suamiku sendiri. “Bisa gak, kalau jalan jangan sambil melamun? Bahaya tau!” balasnya dengan suara agak ketus. “Maaf,” cicitku sambil menundukkan wajah. “Ayo aku antar pulang. Sampai surat pengadilan keluar, kamu masih menjadi tanggung jawabku.” Tanpa menunggu jawaban dariku pun, Mas Denis sudah menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya yang lebar. Dengan berjalan tergesa, aku pun berusaha menyamai langkahnya supaya tidak terlihat seperti sedang diseret olehnya. Walaupun sikapnya sedikit dingin, tetapi aku masih bisa merasakan ketulusan dari kebaikan Mas Denis kepadaku. Tanpa dikomando, kedua bola mataku sudah kembali berkaca-kaca. ‘Seandainya tidak pernah ada Mbak Indah di masa lalumu, mungkin aku akan menjadi istri paling beruntung di dunia ini, Mas…’“Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?” “Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku.“Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali.Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang
Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak
“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan
“Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya.
Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas
"Kamu bikin sarapan nasi goreng pakai kecap?" tanya Mas Denis, suami yang belum lama ini menikahiku. "Iya. Kamu gak suka nasi goreng pakai kecap, Mas?" Aku memang belum mengetahui banyak hal tentangnya. Kami hanya sempat dekat dan saling mengenal sekitar tiga bulan sebelum melangsungkan pernikahan. Karena aku yakin dia pria baik-baik, maka aku pun tidak ragu saat menerima lamarannya di depan kedua orang tuaku. "Suka kok. Cuma biasanya mendiang istriku kalau bikin nasi goreng untuk sarapan, gak pernah pakai kecap. Beda lagi kalau bikin nasi gorengnya buat makan malam. Baru dikasih kecap." Dahiku mengernyit. 'Terus maksudnya aku harus meneruskan kebiasaan almarhumah istrinya, gitu?' batinku yang ternyata tidak mampu kulisankan di depan Mas Denis. Aku memang dinikahi oleh seorang duda tanpa anak. Istri pertama Mas Denis meninggal dua tahun yang lalu. Selama dua tahun ini, yang kudengar Mas Denis pun tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Aku sempat merasa tersanjung karena bisa m
Aku dan Mas Denis memang sudah menikah kurang lebih tiga bulan lamanya. Namun, selama itu juga, aku dan Mas Denis tidak pernah melakukan kontak fisik secara intim. Sekalipun kami tidur di atas ranjang yang sama setiap malam, tetapi Mas Denis tidak pernah bertindak lebih untuk menyentuhku. Ciuman dan pelukan dari Mas Denis pun terasa ringan seperti seorang kakak pada adiknya. Tidak ada hasrat menggebu seperti yang biasanya menjadi bumbu dalam hubungan pasutri pada umumnya. "Ya sudah. Kalau gitu habis makan malam nanti kita siap-siap. Besok kita liburan." "Serius, Mas?" seruku refleks saking senangnya. "Iya." Aku secara spontan memeluk Mas Denis dari samping begitu erat tanpa balasan darinya. Rasa senang yang menguasaiku sampai membuatku lupa diri. Baru setelah Mas Denis berdehem, aku melepaskan pelukan dengan wajah malu.“Maaf,” cicitku. “Gak masalah. Sekarang siapin makan malam aja, aku mau mandi dulu.” “Iya, Mas.” Aku pun ke dapur dengan perasaan senang yang masih tersisa. Ma
“Apa?” Mas Denis langsung menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya dari ekor mata, karena wajahku masih tertunduk tanpa berani menatapnya. Aku yakin, saat ini wajahku begitu sembab akibat semalaman air mata tidak kunjung mau berhenti menetes. “Maksud kamu apa, Dik?” tanya Mas Denis masih dengan nada rendah. “Mas ada salah apa? Kamu marah karena semalam Mas menolakmu?” Aku hanya tersenyum kecil. Ternyata Mas Denis benar-benar tidak ingat dengan kejadian semalam. Aku pun enggan menjelaskan karena rasanya seperti mengakui dengan nyata tentang tidak berharganya diriku di hadapan suami sendiri. “Aku akan urus gugatan cerainya setelah dari sini, kalau Mas memang gak mau menjatuhkan talak padaku,” pungkasku tanpa menjawab pertanyaan Mas Denis. Aku juga berniat bangun dari duduk untuk pergi, tetapi lenganku ditahan Mas Denis. “Tunggu? Apa yang terjadi dengan semalam?” tanyanya kemudian. Aku masih diam dan tidak bergeming. “Noda merah ini?” katanya penuh keraguan. Ternyata Mas Denis su
Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas
“Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya.
“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan
Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak
“Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?” “Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku.“Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali.Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang
Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku. Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka. Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini. Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah. “Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis. Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa. “Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik ban
“Apa?” Mas Denis langsung menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya dari ekor mata, karena wajahku masih tertunduk tanpa berani menatapnya. Aku yakin, saat ini wajahku begitu sembab akibat semalaman air mata tidak kunjung mau berhenti menetes. “Maksud kamu apa, Dik?” tanya Mas Denis masih dengan nada rendah. “Mas ada salah apa? Kamu marah karena semalam Mas menolakmu?” Aku hanya tersenyum kecil. Ternyata Mas Denis benar-benar tidak ingat dengan kejadian semalam. Aku pun enggan menjelaskan karena rasanya seperti mengakui dengan nyata tentang tidak berharganya diriku di hadapan suami sendiri. “Aku akan urus gugatan cerainya setelah dari sini, kalau Mas memang gak mau menjatuhkan talak padaku,” pungkasku tanpa menjawab pertanyaan Mas Denis. Aku juga berniat bangun dari duduk untuk pergi, tetapi lenganku ditahan Mas Denis. “Tunggu? Apa yang terjadi dengan semalam?” tanyanya kemudian. Aku masih diam dan tidak bergeming. “Noda merah ini?” katanya penuh keraguan. Ternyata Mas Denis su
Aku dan Mas Denis memang sudah menikah kurang lebih tiga bulan lamanya. Namun, selama itu juga, aku dan Mas Denis tidak pernah melakukan kontak fisik secara intim. Sekalipun kami tidur di atas ranjang yang sama setiap malam, tetapi Mas Denis tidak pernah bertindak lebih untuk menyentuhku. Ciuman dan pelukan dari Mas Denis pun terasa ringan seperti seorang kakak pada adiknya. Tidak ada hasrat menggebu seperti yang biasanya menjadi bumbu dalam hubungan pasutri pada umumnya. "Ya sudah. Kalau gitu habis makan malam nanti kita siap-siap. Besok kita liburan." "Serius, Mas?" seruku refleks saking senangnya. "Iya." Aku secara spontan memeluk Mas Denis dari samping begitu erat tanpa balasan darinya. Rasa senang yang menguasaiku sampai membuatku lupa diri. Baru setelah Mas Denis berdehem, aku melepaskan pelukan dengan wajah malu.“Maaf,” cicitku. “Gak masalah. Sekarang siapin makan malam aja, aku mau mandi dulu.” “Iya, Mas.” Aku pun ke dapur dengan perasaan senang yang masih tersisa. Ma
"Kamu bikin sarapan nasi goreng pakai kecap?" tanya Mas Denis, suami yang belum lama ini menikahiku. "Iya. Kamu gak suka nasi goreng pakai kecap, Mas?" Aku memang belum mengetahui banyak hal tentangnya. Kami hanya sempat dekat dan saling mengenal sekitar tiga bulan sebelum melangsungkan pernikahan. Karena aku yakin dia pria baik-baik, maka aku pun tidak ragu saat menerima lamarannya di depan kedua orang tuaku. "Suka kok. Cuma biasanya mendiang istriku kalau bikin nasi goreng untuk sarapan, gak pernah pakai kecap. Beda lagi kalau bikin nasi gorengnya buat makan malam. Baru dikasih kecap." Dahiku mengernyit. 'Terus maksudnya aku harus meneruskan kebiasaan almarhumah istrinya, gitu?' batinku yang ternyata tidak mampu kulisankan di depan Mas Denis. Aku memang dinikahi oleh seorang duda tanpa anak. Istri pertama Mas Denis meninggal dua tahun yang lalu. Selama dua tahun ini, yang kudengar Mas Denis pun tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Aku sempat merasa tersanjung karena bisa m