Beranda / Romansa / Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama / Bab 4. Kedatangan Suami dan Mertua

Share

Bab 4. Kedatangan Suami dan Mertua

Penulis: Dian Matahati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-31 17:34:26

Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku.

Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka.

Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini.

Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah.

“Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis.

Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa.

“Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik banget sama kamu selama ini, tapi kamu langsung pergi begitu tahu sedikit saja kurangnya Denis. Mama pikir, kamu adalah wanita dan istri yang pengertian. Ternyata gak ada bedanya sama yang lainnya.”

Wajahku langsung tertunduk mendengar teguran dari mamanya Mas Denis. Mungkin ini untuk pertama kalinya aku mendengar kata-kata tidak enak dari bibirnya. Sampai-sampai, aku seperti ada di antara percaya atau tidak dengan apa yang baru saja aku dengar, jika beliau lah yang berkata demikian kepadaku.

“Maaf, Ma,” cicitku lagi.

Walaupun hatiku sakit dengan tegurannya, tetapi aku pun tidak bisa untuk menyanggah ucapannya. Mungkin aku memang bersalah karena kurang pengertian kepada Mas Denis yang belum move on dari mendiang istrinya.

Namun, andai saja Mas Denis berusaha menjelaskan dan meyakinkanku jika dia mau memperbaiki semuanya, mungkin aku masih mau kembali bertahan dengannya.

“Sudahlah. Maaf darimu gak penting lagi. Mama dan Denis ke sini juga bukan buat minta kamu kembali. Silakan saja teruskan niatan kami buat menggugat cerai Denis. Denis akan kabulkan selama kamu yang mengurus semua biaya gugatan, tanpa tuntutan nafkah iddah, nafkah mut’ah, juga harta gono gini.”

Aku cukup syok mendengarnya. Sama sekali tidak menyangka jika tujuan mereka datang bukanlah untuk mengajakku kembali dengan Mas Denis.

“Kamu pikir, kami tadi ke sini buat minta kamu mengurungkan niatan untuk menggugat Denis?” tebak ibu mertuaku itu dengan tepat.

Wajahku makin tertunduk. Ternyata sifat asli ibu mertuaku baru terlihat sekarang. Kemarin-kemarin, dia begitu baik karena ada maunya.

Sepertinya beliau tahu jika Mas Denis masih belum sembuh dengan masa berdukanya ditinggal Mbak Indah. Dan mungkin saja, beliau berharap aku bisa menyembuhkan luka batin putranya.

“Ma, belum selesai?”

Pertanyaan dari Mas Denis memutus kecanggungan kami. Sejak kedatangannya tadi, Mas Denis belum ada interaksi langsung berdua denganku.

Padahal aku menunggu barangkali ada yang ingin dia katakan kepadaku. Namun, ternyata tidak ada sama sekali. Sepertinya Mas Denis memang tidak berminat sama sekali kepadaku.

“Sudah, kok. Kita bisa pulang,” jawab ibu mertuaku kepada suamiku.

Tanpa menyapaku kembali, beliau kembali ke ruang tamu diikuti dengan Mas Denis. Keduanya berpamitan kepada keluargaku untuk pulang. Bapak dan ibuku terlihat kecewa setelah mereka berdua pulang dari rumah kami.

“Sepertinya gak ada kesempatan lagi, Pak.”

“Iya, Bu. Gak apa-apa, mungkin memang sudah nasib anak kita menjadi janda.”

Aku kembali menitikkan air mata mendengar percakapan singkat kedua orang tuaku itu. Mereka pasti tertekan dengan rencana gugatan cerai dariku. Memiliki anak perempuan dengan status janda di usia muda pastinya menjadi tekanan tersendiri bagi mereka. Apalagi, perceraian menjadi hal yang tabu untuk keluarga besar kami.

Risa yang entah sejak kapan berada di belakangku akhirnya mengusap punggungku dengan lembut. Dia juga membisikkan kata penghibur untukku.

“Gak apa-apa, Mbak. Semua akan baik-baik saja. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Mbak Dila masih punya kami, keluarga yang gak akan pernah ninggalin Mbak Dila dalam kondisi apapun.”

Aku mengangguk dan mengusap air mata yang membasahi pipi. Dalam hati aku bersyukur karena masih dikelilingi dengan keluarga yang selalu ada untuk mendukungku.

Esok harinya, aku mulai mengurus gugatan cerai dengan dokumen yang dibawakan Mas Denis dan mamanya semalam. Rasanya ingin tertawa geli merasakan nasib yang seakan puas mempermainkanku.

“Pasti selalu ada hikmahnya dibalik kejadian apapun. Mungkin Mas Denis memang bukan jodoh yang Tuhan siapkan untukku. Aku harus semangat!”

Aku pun langsung menuju pusat bantuan hukum begitu tiba di gedung Pengadilan Agama, untuk membuat surat gugatan. Saat diminta mengisi alasan melakukan gugatan cerai, aku termenung sejenak. Berpikir apakah alasan yang akan aku tulis cukup kuat untuk diloloskan di pengadilan?

Setelah berdoa dan mengucap basmalah dan istighfar berulang kali, aku pun mengisi surat gugatan tersebut. Baru kemudian aku serahkan ke Pengadilan berikut dengan dokumen lain yang dibutuhkan.

Beruntung aku masih punya cukup tabungan sebelum resign dari tempat aku bekerja sebelumnya. Sehingga, untuk biasa perceraian yang harus kutanggung ini, aku tidak perlu sampai merepotkan kedua orang tuaku.

Aku sengaja tidak menggunakan jasa pengacara, karena entah mengapa, aku yakin Mas Denis dan keluarganya tidak akan menyulitkan prosesnya. Melihat sikap mereka semalam saat datang ke rumah, sepertinya mereka juga sudah siap dan setuju dengan perceraian ini.

Mengingat hal itu, dadaku terasa sesak. Padahal ini yang aku putuskan lebih dulu. Akan tetapi, rasanya tetap menyakitkan karena semudah itu Mas Denis melepaskanku.

Aku berjalan gontai keluar dari kantor Pengadilan Agama yang ada di sekitar tempat tinggal Mas Denis. Karena pikiran yang kalut, aku berjalan dengan sembarangan sehingga sebuah sepeda motor hampir saja menyerempet tubuhku.

“Aaaahh…!” teriakku saat ada sebuah tangan kekar menarik tubuhku menjauh dari jalan raya.

“Kamu gak apa-apa?” tanyanya.

Aku sangat familiar dengan suara itu, bahkan sejujurnya aku pun merindukan suara dan sosoknya.

“Mas Denis?” desisku seperti belum sepenuhnya percaya jika yang baru saja menyelamatkanku adalah suamiku sendiri.

“Bisa gak, kalau jalan jangan sambil melamun? Bahaya tau!” balasnya dengan suara agak ketus.

“Maaf,” cicitku sambil menundukkan wajah.

“Ayo aku antar pulang. Sampai surat pengadilan keluar, kamu masih menjadi tanggung jawabku.”

Tanpa menunggu jawaban dariku pun, Mas Denis sudah menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya yang lebar. Dengan berjalan tergesa, aku pun berusaha menyamai langkahnya supaya tidak terlihat seperti sedang diseret olehnya.

Walaupun sikapnya sedikit dingin, tetapi aku masih bisa merasakan ketulusan dari kebaikan Mas Denis kepadaku. Tanpa dikomando, kedua bola mataku sudah kembali berkaca-kaca.

‘Seandainya tidak pernah ada Mbak Indah di masa lalumu, mungkin aku akan menjadi istri paling beruntung di dunia ini, Mas…’

Bab terkait

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 5. Membantu Risa

    “Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?” “Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku.“Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali.Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 6. Menghindari Dewi

    Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 7. Tidak Ingin Berjuang Sendirian

    “Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 8. Panggilan Sidang Pertama

    “Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya. 

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 9. Cabut Gugatan

    Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 10. Hormon Kehamilan

    “Maaf baru datang, baru beres urusan di pengadilannya,” kata Mas Denis. “Gak apa-apa, Nak. Dila juga sudah baikan. Iya, kan, Nduk?” jawab Ibu. “Iya,” cicitku lirih. Mas Denis berjalan mendekat. Entah mengapa, dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah tahu jika aku sedang mengandung anaknya, aku menjadi makin menaruh rasa untuknya. Sampai-sampai, berada di dekatnya mampu membuatku makin salah tingkah. “Masih pusing, Dik?” tanya Mas Denis begitu sampai di sebelahku. Aku menggeleng lemah. Rasanya suaraku sulit keluar saat berada di dekat Mas Denis. Apalagi setelah mencium aroma tubuh bercampur parfum yang selalu dipakai olehnya. Rasanya ingin sekali menghirupnya dalam-dalam karena mampu membawa kenyamanan tersendiri. Risa dan Ibu terlihat menggeser posisi mereka, seakan membiarkan Mas Denis saja yang lebih dekat denganku. Mereka juga terlihat senang dengan in

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 11. Kembali Pulang

    “Aku bisa sendiri, Mas,” kataku saat Mas Denis turun lebih dulu dari mobil hanya untuk membukakan pintu mobil untukku. “Mas tahu,” jawabnya, tetapi dia tetap membantuku hingga keluar dari mobil. Setelah kantong infus yang pagi tadi dipasang ke tubuhku habis, akhirnya aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Aku tidak menyangka akan kembali pulang ke rumah Mas Denis secepat ini. Bahkan dalam kondisi berbadan dua. “Kamu langsung istirahat, ya? Kalau butuh apa-apa bilang ke Mak Ijah aja. Mas mau ke rumah bapak/Ibu buat ambil barang-barang kamu,” titah Mas Denis. “Kenapa tadi gak mampir sekalian aja, sih, Mas? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik kayak gini.” “Gak apa. Mas sengaja biar kita cepat sampai rumah, dan kamu bisa langsung istirahat, Dik.” “Aku dari tadi gak ngapa-ngapain, Mas. Jangan perlakukan aku kayak orang penyakitan. Aku cuma hamil, bukan lagi sakit seri

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 12. Keinginan Punya Anak

    “Sebenarnya Mama sudah gak respect lagi sama kamu, Dila. Cuma karena kamu justru sudah mengandung darah dagingnya Denis, Mama akan berusaha buat tetap bersikap baik sama kamu. Asal kamu ingat, jangan berbuat ulah seperti kemarin! Pakai sok-sokan mau gugat cerai Denis segala. Emangnya kamu siapa?” Aku yang buru-buru keluar kamar karena mengira yang datang adalah Mas Denis, harus menelan kekecewaan karena ternyata yang muncul adalah mamanya. Apalagi begitu melihatku, beliau langsung mencercaku dengan omelan panjangnya. Aku bisa maklum dengan rasa kecewanya. Aku pun tidak mengelak dan mengiyakan permintaannya. Karena sesungguhnya aku pun tidak berharap ada masalah lagi dalam rumah tanggaku dengan Mas Denis. “Iya, Ma. Maafin Dila, ya, Ma.” “Hm.” Mamanya Mas Denis hanya bergumam singkat. Beruntung tidak lama setelah itu Mas Denis datang. Kecanggungan yang tercipta diantara aku dan mamanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28

Bab terbaru

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 52. Masakan Istimewa

    “Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 51. Penolakan Risa

    Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 50. Perubahan Risa

    "Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?"  Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain.  “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 49. Mas Denis Suntuk

    “Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 48. Pertanyaan Mama

    “Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.”  Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup.  “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya.  Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.”  “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?”  Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 47. Sentuhan Menenangkan

    “Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi.  Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka.   “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 46. Dihadang

    “Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 45. Mulai Posesif

    “Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 44. Semakin Kuat

    “Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s

DMCA.com Protection Status