“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.”
Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.” Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan berjuang sendirian. Meskipun dalam hati kecilku, belum sepenuhnya juga merelakan sebuah perpisahan. “Iya, Mbak. Kalau doa, sih, sudah pasti gak pernah lupa. Yang penting Mbak Dila tetap semangat dan berpikiran positif,” ujar Risa sambil mengusap lenganku. “Eh, ngomong-ngomong masalah positif, berarti Mbak sama Mas Denis udah …., itu, kan?” “Itu? Apa?” “Ah, masa harus aku perjelas, sih?” balas Risa lagi sambil kedip-kedip mata. Gerak gerik Risa yang aneh akhirnya membawaku pada pemahaman mesum yang sedang dipikirkan adikku. Ternyata dia membahas mengenai kegiatan malam pertama yang nahasnya mungkin sekaligus menjadi yang terakhir untuk aku dan Mas Denis. “Iya, kan, gara-gara itu aku jadi yakin kalau Mas Denis gak akan bisa lupain almarhumah istrinya,” jawabku dengan nada setengah kesal, setengahnya lagi sedih. “Mbak gak sayang apa, udah terlanjur unboxing, malah minta cerai? Rugi, dong!” kekeh Risa masih saja menggodaku. “Lebih rugi lagi, kalau Mbak menyia-nyiakan seumur hidup Mbak untuk mencintai pria yang gak punya niat buat balas cintanya Mbak yang tulus ini,” lirihku. “Kalau Mbak Dila tulus, Mbak gak akan peduli kalau rasanya Mbak akan berbalas atau tidak,” cetus Risa membuat hatiku tertampar. Risa benar. Aku belum setulus itu kepada Mas Denis, karena aku masih berharap balasan atas apa yang aku rasakan untuknya. Hanya saja, bukankah rasa ingin berbalas ini adalah rasa yang begitu wajar dan manusiawi? Ya, aku begini karena aku masih manusia biasa yang butuh akan timbal balik dari manusia lainnya. “Maaf,” cicit Risa melihatku diam. “Aku gak bermaksud apa-apa, Mbak,” imbuhnya terlihat tidak enak hati. Risa memang cukup peka dengan perasaanku. Padahal aku sudah berusaha terlihat untuk tegar. Akan tetapi Risa masih saja bisa melihat kesedihanku. “Nggak masalah, Risa. Mbak paham kok. Dan kamu benar. Mbak memang belum secinta itu sama Mas Denis. Mbak masih lebih mencintai diri Mbak sendiri, makanya Mbak masih pedulikan dan prioritaskan perasaan Mbak, saat tahu ternyata selama ini Mbak tidak diinginkan Mas Denis.” Aku kembali terbayang saat Mas Denis berulang kali mengingat mendiang istrinya setiap kali sedang bersamaku. Dan yang paling menyakitkan adalah panggilannya saat diujung pelepasan di malam pertama kami. Setiap malam rasanya aku selalu dihantui kejadian itu hingga menyisakan trauma saat hendak tidur. Harga diri yang hancur dan rasa tidak diinginkan begitu menyakiti hatiku yang sampai sekarang belum sembuh. Entah, aku pun tidak tahu apakah nantinya bisa sembuh atau akan terus membekas selamanya. “Risa bangga sama Mbak Dila.” Aku tersadar dari lamunan. Risa mengusap lenganku dengan lembut. Tatapan mata Dila benar-benar menyiratkan rasa bangga yang dalam. Namun, aku merasa tidak pantas mendapatkan tatapan itu. “Bangga? Bangga kenapa? Karena Mbak bisa egois demi mengejar bahagianya Mbak sendiri?” sarkasku. Risa menggelengkan kepalanya. “Justru, Risa bangga karena Mbak bisa mencintai diri Mbak sendiri. Sebelum mencintai orang lain, memang sebaiknya kita mencintai diri kita sendiri, kan, Mbak?” Meskipun aku tidak begitu yakin dengan kebenaran teori yang baru saja diucapkan Risa, tetapi aku mengangguk saja untuk menyetujuinya. “Kalau bukan kita sendiri yang memperjuangkan kebahagiaan kita, lantas kita akan berharap pada siapa? Yang punya tanggung jawab atas kebahagiaan kita hanya diri kita sendiri.” Risa akhirnya memelukku dengan erat. Dadaku terasa sesak, tetapi bukan karena eratnya pelukan adikku. Melainkan, usaha untuk terlihat kuat dan baik-baik saja di depan orang lain, ternyata menyesakkan juga. Mungkin di depan Risa, aku terlihat begitu hebat dan tangguh. Padahal aslinya aku rapuh. Aku tetap ingin melihat seseorang memperjuangkan kebahagiaanku. Bukan hanya diriku sendiri yang peduli atas bahagianya aku. “Ini ada acara apa ini? Pagi-pagi udah peluk-pelukan kayak teletubies aja,” tegur Ibu dari dalam rumah. Aku dan Risa pun mengurai pelukan melihat Ibu sudah berdiri tidak jauh dari kami lengkap dengan celemek dapur di tubuhnya. Risa mengusap sudut matanya yang ternyata basah. Aku tidak menyangka adikku yang sering berbicara dewasa, ternyata cengeng juga. “Mbak Dila nih, Bu, bikin terharu aja. Masa katanya tiap pagi mau bantuin Risa antar kue ke warung-warung biar Risa gak kecapekan,” dustanya sambil berusaha mengerjai aku. Aku pun spontan melotot kepadanya. “Heh, mana ada Mbak bilang gitu. Mbak cuma banti sehari tadi karena kamu ada pesanan catering pagi, ya!” protesku, tidak terima dikerjai oleh Risa. “Ih, Mbak Risa udah mulai pikun, ya? Tadi, kan, bilang sendiri, gitu. Demi adik kesayangan.” Risa menjulurkan lidahnya untuk mengejekku. Aku pun meliriknya dengan judes. “Nggak, nggak ada. Mana ada aku bilang mau bantuin tiap hari. Dibantu sekali hari ini aja, tuman!” “Ibu …, Mbak Dila perhitungan sama saudara sendiri,” ujar Risa lagi dengan suara mendayu, berusaha mencari simpati dari Ibu. “Bodo amat!” ketusku masih menyahut. “Tuh, kan, Bu!” rengek Risa lagi pada Ibu. “Sudah, sudah! Kalian ini sudah pada besar masih aja berantem kayak bocah,” lerai ibu kepada kami. “Daripada berantem, mendingan kalian bantuin ibu aja di dapur. Ada pesanan mendadak dari Bu RT buat acara di Balai Desa siang ini,” titahnya lagi. Aku dan Risa pun melanjutkan cekcok-cekcok kecil sambil mengekor ibu yang berjalan menuju dapur. Meskipun sebenarnya kami tidak sungguhan bertengkar. Hanya demi meramaikan isi rumah yang mungkin sempat sunyi saat aku sudah pindah ke rumah Mas Denis setelah pernikahan kami. ‘Aku pun pernah memimpikan suasana rumah yang ramai dan harmonis penuh dengan kemesraan dan cinta kasih seperti ini di rumah tangga kita suatu hari nanti, Mas. Sayangnya, mimpiku mungkin tidak sama dengan mimpimu, sehingga sekarang rumah tangga kita yang masih hitungan bulan sudah terancam kandas di meja hijau.’“Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya.
Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas
“Maaf baru datang, baru beres urusan di pengadilannya,” kata Mas Denis. “Gak apa-apa, Nak. Dila juga sudah baikan. Iya, kan, Nduk?” jawab Ibu. “Iya,” cicitku lirih. Mas Denis berjalan mendekat. Entah mengapa, dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah tahu jika aku sedang mengandung anaknya, aku menjadi makin menaruh rasa untuknya. Sampai-sampai, berada di dekatnya mampu membuatku makin salah tingkah. “Masih pusing, Dik?” tanya Mas Denis begitu sampai di sebelahku. Aku menggeleng lemah. Rasanya suaraku sulit keluar saat berada di dekat Mas Denis. Apalagi setelah mencium aroma tubuh bercampur parfum yang selalu dipakai olehnya. Rasanya ingin sekali menghirupnya dalam-dalam karena mampu membawa kenyamanan tersendiri. Risa dan Ibu terlihat menggeser posisi mereka, seakan membiarkan Mas Denis saja yang lebih dekat denganku. Mereka juga terlihat senang dengan in
“Aku bisa sendiri, Mas,” kataku saat Mas Denis turun lebih dulu dari mobil hanya untuk membukakan pintu mobil untukku. “Mas tahu,” jawabnya, tetapi dia tetap membantuku hingga keluar dari mobil. Setelah kantong infus yang pagi tadi dipasang ke tubuhku habis, akhirnya aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Aku tidak menyangka akan kembali pulang ke rumah Mas Denis secepat ini. Bahkan dalam kondisi berbadan dua. “Kamu langsung istirahat, ya? Kalau butuh apa-apa bilang ke Mak Ijah aja. Mas mau ke rumah bapak/Ibu buat ambil barang-barang kamu,” titah Mas Denis. “Kenapa tadi gak mampir sekalian aja, sih, Mas? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik kayak gini.” “Gak apa. Mas sengaja biar kita cepat sampai rumah, dan kamu bisa langsung istirahat, Dik.” “Aku dari tadi gak ngapa-ngapain, Mas. Jangan perlakukan aku kayak orang penyakitan. Aku cuma hamil, bukan lagi sakit seri
“Sebenarnya Mama sudah gak respect lagi sama kamu, Dila. Cuma karena kamu justru sudah mengandung darah dagingnya Denis, Mama akan berusaha buat tetap bersikap baik sama kamu. Asal kamu ingat, jangan berbuat ulah seperti kemarin! Pakai sok-sokan mau gugat cerai Denis segala. Emangnya kamu siapa?” Aku yang buru-buru keluar kamar karena mengira yang datang adalah Mas Denis, harus menelan kekecewaan karena ternyata yang muncul adalah mamanya. Apalagi begitu melihatku, beliau langsung mencercaku dengan omelan panjangnya. Aku bisa maklum dengan rasa kecewanya. Aku pun tidak mengelak dan mengiyakan permintaannya. Karena sesungguhnya aku pun tidak berharap ada masalah lagi dalam rumah tanggaku dengan Mas Denis. “Iya, Ma. Maafin Dila, ya, Ma.” “Hm.” Mamanya Mas Denis hanya bergumam singkat. Beruntung tidak lama setelah itu Mas Denis datang. Kecanggungan yang tercipta diantara aku dan mamanya
“Mentang-mentang lagi hamil, manja banget gak mau ngerjain kerjaan rumah. Padahal pekerjaan rumah gini kan pekerjaan ringan biar sekalian olahraga,” ujar Mamanya Mas Denis di dapur saat bersama Mak Ijah. Mungkin Mama tidak tahu jika aku agak jauh ada di belakangnya. Aku memang sudah berniat membantu pekerjaan rumah sejak tadi. Hanya saja, Mas Denis terus saja menghalangi aku karena menginginkan Mak Ijah saja yang menyelesaikannya sendiri. Mas Denis begitu protektif hingga tidak membiarkan aku beraktivitas seperti biasa. “Mas Denis, Bu, yang gak bolehin Mbak Dila ngerjain pekerjaan rumah selama hamil. Makanya, kan, Mak dipanggil ke sini buat bantu-bantu,” bela Mak Ijah kepadaku. “Halah, pada dasarnya perempuannya aja yang malas. Manja. Dia bisa bilang ke Denis, kan, kalau dia butuh kegiatan buat olahraga ringan seperti bantu-bantu pekerjaan rumah?” sahut Mamanya Mas Denis lagi.Aku yang tidak tahan dibicar
“Aku gak apa-apa, Mas.”“Beneran gak apa-apa?” “Iya,” balasku dengan memaksakan tersenyum.“Kalau ada apa-apa, telepon Mas, ya?” Aku mengangguk saja. Aku memang tidak ada niat untuk mengadukan mamanya kepada Mas Denis. Aku lebih bertekad untuk berusaha mengambil hatinya seperti dulu. Itu pasti akan lebih baik jika aku berhasil melakukannya. “Ma, Denis titip Dila, ya? Kalau ada apa-apa, Mama bisa telepon Denis.” “Iya, tenang aja. Yang penting kamu kerja yang fokus. Di rumah ada Mama dan Mak Ijah yang jagain Dila. ” Mas Denis mengangguk kemudian menjabat tangan kami bergantian. Baru setelahnya benar-benar berangkat bekerja. Aku menatap kepergiannya hingga kendaraan yang dibawa Mas Denis tidak lagi terlihat. “Awas, ya, kalau kamu berani ngadu yang gak-gak sama Denis!” ancam ibu mertuaku lagi. “Gak, Ma. Memangny
“Ka-kamu di situ dari kapan, Mas?” tanyaku sedikit terbata.“Kenapa? Kamu mau tahu aku dengar percakapan kalian sejauh mana?” tandasnya. Kepalaku tertunduk, begitu juga dengan Mak Ijah. Mendengar nada bicaranya, sepertinya Mas Denis mendengar sejak awal saat aku dan Mak Ijah membicarakan mamanya. “Kenapa sekarang kalian diam saja? Mau Mak Ijah atau kamu, Dik, yang menjelaskan.” “Jangan bawa-bawa Mak Ijah, Mas. Mak Ijah gak salah,” cegahku panik. “Emangnya aku tadi ada bilang kamu atau Mak Ijah bersalah?” Aku menggeleng pelan. Mas Denis memang tidak mengatakan kami sedang melakukan kesalahan. Akan tetapi nada bicara tegasnya membuatku takut dimarahi. Bukan cuma aku, tetapi jauh lebih takut jika Mak Ijah ikut dimarahi. “Jadi, siapa yang mau cerita?” tuntutnya lagi. “Aku harus cerita apa, Mas. Mas Denis sudah dengar sendiri, kan?
Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku?
”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok.
“Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa
Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat. “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi. Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa. “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah. Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?" Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa." Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan
[Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat. Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se
“Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu
“Sayang, kita jalan-jalan sore, yuk?” suara Mas Denis memecah kebisuan. Dia berdiri di depanku, menatap dengan penuh perhatian. Sejak bangun tidur dan mandi sore, aku masih banyak diamnya karena belum bisa melupakan kejadian tadi siang. Mas Denis tampak khawatir dan sering mondar-mandir saja di dekatku. Aku mendongak, menatapnya sejenak. “Jalan-jalan ke mana, Mas?” tanyaku datar, meski di dalam hati aku sedikit tertarik dengan ajakannya.Mas Denis mengangkat bahu. “Entah, mungkin sekadar keluar rumah. Sepertinya kita butuh udara segar.” Senyum tipis tersungging di wajahnya, mencoba mengajakku untuk tidak terlalu larut dalam perasaan ini.Meski ragu, aku akhirnya mengangguk. “Boleh,” jawabku pelan.Kami pun berangkat. Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala di jendela, menatap jalanan kota yang ramai. Mas Denis di sampingku, sesekali melirik dengan cemas. Kurasa dia ju
“Gini amat ya, punya suami pekerja keras. Hari libur juga tetap aja dipakai buat kerja dari rumah,” sarkasku pada Mas Denis yang tengah sibuk di depan layar laptopnya. Mas Denis menghentikan sejenak kegiatannya. Menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. “Ada apa, sih, Dik? Kamu ada perlu sesuatu?” Aku mengangkat bahu. Masih enggan untuk mengatakan jujur jika aku sedang berharap diajak pergi jalan-jalan atau entah kemana hanya demi bisa bersama Mas Denis menghabiskan akhir pekan yang menyenangkan. “Kalau mau atau butuh sesuatu, kamu bilang langsung aja sama Mas, ya, Dik. Mas bukan cenayang yang bisa baca isi hati dan pikiran kamu,” sahut Mas Denis sambil kembali fokus ke perangkat kerjanya. Aku hanya bisa kembali menghela napas dengan berat. Mencoba fokus pada acara televisi, yang membuat pikiran tentang Risa dan pertengkaran kecil kami saat itu kembali muncul. Meskipun sudah berlalu cukup lama, tetapi aku belum bisa merasa lega jika tidak ada penyelesaian yang jelas. Komunikasiku de
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r