“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.”
Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.” Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan berjuang sendirian. Meskipun dalam hati kecilku, belum sepenuhnya juga merelakan sebuah perpisahan. “Iya, Mbak. Kalau doa, sih, sudah pasti gak pernah lupa. Yang penting Mbak Dila tetap semangat dan berpikiran positif,” ujar Risa sambil mengusap lenganku. “Eh, ngomong-ngomong masalah positif, berarti Mbak sama Mas Denis udah …., itu, kan?” “Itu? Apa?” “Ah, masa harus aku perjelas, sih?” balas Risa lagi sambil kedip-kedip mata. Gerak gerik Risa yang aneh akhirnya membawaku pada pemahaman mesum yang sedang dipikirkan adikku. Ternyata dia membahas mengenai kegiatan malam pertama yang nahasnya mungkin sekaligus menjadi yang terakhir untuk aku dan Mas Denis. “Iya, kan, gara-gara itu aku jadi yakin kalau Mas Denis gak akan bisa lupain almarhumah istrinya,” jawabku dengan nada setengah kesal, setengahnya lagi sedih. “Mbak gak sayang apa, udah terlanjur unboxing, malah minta cerai? Rugi, dong!” kekeh Risa masih saja menggodaku. “Lebih rugi lagi, kalau Mbak menyia-nyiakan seumur hidup Mbak untuk mencintai pria yang gak punya niat buat balas cintanya Mbak yang tulus ini,” lirihku. “Kalau Mbak Dila tulus, Mbak gak akan peduli kalau rasanya Mbak akan berbalas atau tidak,” cetus Risa membuat hatiku tertampar. Risa benar. Aku belum setulus itu kepada Mas Denis, karena aku masih berharap balasan atas apa yang aku rasakan untuknya. Hanya saja, bukankah rasa ingin berbalas ini adalah rasa yang begitu wajar dan manusiawi? Ya, aku begini karena aku masih manusia biasa yang butuh akan timbal balik dari manusia lainnya. “Maaf,” cicit Risa melihatku diam. “Aku gak bermaksud apa-apa, Mbak,” imbuhnya terlihat tidak enak hati. Risa memang cukup peka dengan perasaanku. Padahal aku sudah berusaha terlihat untuk tegar. Akan tetapi Risa masih saja bisa melihat kesedihanku. “Nggak masalah, Risa. Mbak paham kok. Dan kamu benar. Mbak memang belum secinta itu sama Mas Denis. Mbak masih lebih mencintai diri Mbak sendiri, makanya Mbak masih pedulikan dan prioritaskan perasaan Mbak, saat tahu ternyata selama ini Mbak tidak diinginkan Mas Denis.” Aku kembali terbayang saat Mas Denis berulang kali mengingat mendiang istrinya setiap kali sedang bersamaku. Dan yang paling menyakitkan adalah panggilannya saat diujung pelepasan di malam pertama kami. Setiap malam rasanya aku selalu dihantui kejadian itu hingga menyisakan trauma saat hendak tidur. Harga diri yang hancur dan rasa tidak diinginkan begitu menyakiti hatiku yang sampai sekarang belum sembuh. Entah, aku pun tidak tahu apakah nantinya bisa sembuh atau akan terus membekas selamanya. “Risa bangga sama Mbak Dila.” Aku tersadar dari lamunan. Risa mengusap lenganku dengan lembut. Tatapan mata Dila benar-benar menyiratkan rasa bangga yang dalam. Namun, aku merasa tidak pantas mendapatkan tatapan itu. “Bangga? Bangga kenapa? Karena Mbak bisa egois demi mengejar bahagianya Mbak sendiri?” sarkasku. Risa menggelengkan kepalanya. “Justru, Risa bangga karena Mbak bisa mencintai diri Mbak sendiri. Sebelum mencintai orang lain, memang sebaiknya kita mencintai diri kita sendiri, kan, Mbak?” Meskipun aku tidak begitu yakin dengan kebenaran teori yang baru saja diucapkan Risa, tetapi aku mengangguk saja untuk menyetujuinya. “Kalau bukan kita sendiri yang memperjuangkan kebahagiaan kita, lantas kita akan berharap pada siapa? Yang punya tanggung jawab atas kebahagiaan kita hanya diri kita sendiri.” Risa akhirnya memelukku dengan erat. Dadaku terasa sesak, tetapi bukan karena eratnya pelukan adikku. Melainkan, usaha untuk terlihat kuat dan baik-baik saja di depan orang lain, ternyata menyesakkan juga. Mungkin di depan Risa, aku terlihat begitu hebat dan tangguh. Padahal aslinya aku rapuh. Aku tetap ingin melihat seseorang memperjuangkan kebahagiaanku. Bukan hanya diriku sendiri yang peduli atas bahagianya aku. “Ini ada acara apa ini? Pagi-pagi udah peluk-pelukan kayak teletubies aja,” tegur Ibu dari dalam rumah. Aku dan Risa pun mengurai pelukan melihat Ibu sudah berdiri tidak jauh dari kami lengkap dengan celemek dapur di tubuhnya. Risa mengusap sudut matanya yang ternyata basah. Aku tidak menyangka adikku yang sering berbicara dewasa, ternyata cengeng juga. “Mbak Dila nih, Bu, bikin terharu aja. Masa katanya tiap pagi mau bantuin Risa antar kue ke warung-warung biar Risa gak kecapekan,” dustanya sambil berusaha mengerjai aku. Aku pun spontan melotot kepadanya. “Heh, mana ada Mbak bilang gitu. Mbak cuma banti sehari tadi karena kamu ada pesanan catering pagi, ya!” protesku, tidak terima dikerjai oleh Risa. “Ih, Mbak Risa udah mulai pikun, ya? Tadi, kan, bilang sendiri, gitu. Demi adik kesayangan.” Risa menjulurkan lidahnya untuk mengejekku. Aku pun meliriknya dengan judes. “Nggak, nggak ada. Mana ada aku bilang mau bantuin tiap hari. Dibantu sekali hari ini aja, tuman!” “Ibu …, Mbak Dila perhitungan sama saudara sendiri,” ujar Risa lagi dengan suara mendayu, berusaha mencari simpati dari Ibu. “Bodo amat!” ketusku masih menyahut. “Tuh, kan, Bu!” rengek Risa lagi pada Ibu. “Sudah, sudah! Kalian ini sudah pada besar masih aja berantem kayak bocah,” lerai ibu kepada kami. “Daripada berantem, mendingan kalian bantuin ibu aja di dapur. Ada pesanan mendadak dari Bu RT buat acara di Balai Desa siang ini,” titahnya lagi. Aku dan Risa pun melanjutkan cekcok-cekcok kecil sambil mengekor ibu yang berjalan menuju dapur. Meskipun sebenarnya kami tidak sungguhan bertengkar. Hanya demi meramaikan isi rumah yang mungkin sempat sunyi saat aku sudah pindah ke rumah Mas Denis setelah pernikahan kami. ‘Aku pun pernah memimpikan suasana rumah yang ramai dan harmonis penuh dengan kemesraan dan cinta kasih seperti ini di rumah tangga kita suatu hari nanti, Mas. Sayangnya, mimpiku mungkin tidak sama dengan mimpimu, sehingga sekarang rumah tangga kita yang masih hitungan bulan sudah terancam kandas di meja hijau.’“Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya.
Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas
“Maaf baru datang, baru beres urusan di pengadilannya,” kata Mas Denis. “Gak apa-apa, Nak. Dila juga sudah baikan. Iya, kan, Nduk?” jawab Ibu. “Iya,” cicitku lirih. Mas Denis berjalan mendekat. Entah mengapa, dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah tahu jika aku sedang mengandung anaknya, aku menjadi makin menaruh rasa untuknya. Sampai-sampai, berada di dekatnya mampu membuatku makin salah tingkah. “Masih pusing, Dik?” tanya Mas Denis begitu sampai di sebelahku. Aku menggeleng lemah. Rasanya suaraku sulit keluar saat berada di dekat Mas Denis. Apalagi setelah mencium aroma tubuh bercampur parfum yang selalu dipakai olehnya. Rasanya ingin sekali menghirupnya dalam-dalam karena mampu membawa kenyamanan tersendiri. Risa dan Ibu terlihat menggeser posisi mereka, seakan membiarkan Mas Denis saja yang lebih dekat denganku. Mereka juga terlihat senang dengan in
“Aku bisa sendiri, Mas,” kataku saat Mas Denis turun lebih dulu dari mobil hanya untuk membukakan pintu mobil untukku. “Mas tahu,” jawabnya, tetapi dia tetap membantuku hingga keluar dari mobil. Setelah kantong infus yang pagi tadi dipasang ke tubuhku habis, akhirnya aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Aku tidak menyangka akan kembali pulang ke rumah Mas Denis secepat ini. Bahkan dalam kondisi berbadan dua. “Kamu langsung istirahat, ya? Kalau butuh apa-apa bilang ke Mak Ijah aja. Mas mau ke rumah bapak/Ibu buat ambil barang-barang kamu,” titah Mas Denis. “Kenapa tadi gak mampir sekalian aja, sih, Mas? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik kayak gini.” “Gak apa. Mas sengaja biar kita cepat sampai rumah, dan kamu bisa langsung istirahat, Dik.” “Aku dari tadi gak ngapa-ngapain, Mas. Jangan perlakukan aku kayak orang penyakitan. Aku cuma hamil, bukan lagi sakit seri
“Sebenarnya Mama sudah gak respect lagi sama kamu, Dila. Cuma karena kamu justru sudah mengandung darah dagingnya Denis, Mama akan berusaha buat tetap bersikap baik sama kamu. Asal kamu ingat, jangan berbuat ulah seperti kemarin! Pakai sok-sokan mau gugat cerai Denis segala. Emangnya kamu siapa?” Aku yang buru-buru keluar kamar karena mengira yang datang adalah Mas Denis, harus menelan kekecewaan karena ternyata yang muncul adalah mamanya. Apalagi begitu melihatku, beliau langsung mencercaku dengan omelan panjangnya. Aku bisa maklum dengan rasa kecewanya. Aku pun tidak mengelak dan mengiyakan permintaannya. Karena sesungguhnya aku pun tidak berharap ada masalah lagi dalam rumah tanggaku dengan Mas Denis. “Iya, Ma. Maafin Dila, ya, Ma.” “Hm.” Mamanya Mas Denis hanya bergumam singkat. Beruntung tidak lama setelah itu Mas Denis datang. Kecanggungan yang tercipta diantara aku dan mamanya
“Mentang-mentang lagi hamil, manja banget gak mau ngerjain kerjaan rumah. Padahal pekerjaan rumah gini kan pekerjaan ringan biar sekalian olahraga,” ujar Mamanya Mas Denis di dapur saat bersama Mak Ijah. Mungkin Mama tidak tahu jika aku agak jauh ada di belakangnya. Aku memang sudah berniat membantu pekerjaan rumah sejak tadi. Hanya saja, Mas Denis terus saja menghalangi aku karena menginginkan Mak Ijah saja yang menyelesaikannya sendiri. Mas Denis begitu protektif hingga tidak membiarkan aku beraktivitas seperti biasa. “Mas Denis, Bu, yang gak bolehin Mbak Dila ngerjain pekerjaan rumah selama hamil. Makanya, kan, Mak dipanggil ke sini buat bantu-bantu,” bela Mak Ijah kepadaku. “Halah, pada dasarnya perempuannya aja yang malas. Manja. Dia bisa bilang ke Denis, kan, kalau dia butuh kegiatan buat olahraga ringan seperti bantu-bantu pekerjaan rumah?” sahut Mamanya Mas Denis lagi.Aku yang tidak tahan dibicar
“Aku gak apa-apa, Mas.”“Beneran gak apa-apa?” “Iya,” balasku dengan memaksakan tersenyum.“Kalau ada apa-apa, telepon Mas, ya?” Aku mengangguk saja. Aku memang tidak ada niat untuk mengadukan mamanya kepada Mas Denis. Aku lebih bertekad untuk berusaha mengambil hatinya seperti dulu. Itu pasti akan lebih baik jika aku berhasil melakukannya. “Ma, Denis titip Dila, ya? Kalau ada apa-apa, Mama bisa telepon Denis.” “Iya, tenang aja. Yang penting kamu kerja yang fokus. Di rumah ada Mama dan Mak Ijah yang jagain Dila. ” Mas Denis mengangguk kemudian menjabat tangan kami bergantian. Baru setelahnya benar-benar berangkat bekerja. Aku menatap kepergiannya hingga kendaraan yang dibawa Mas Denis tidak lagi terlihat. “Awas, ya, kalau kamu berani ngadu yang gak-gak sama Denis!” ancam ibu mertuaku lagi. “Gak, Ma. Memangny
“Ka-kamu di situ dari kapan, Mas?” tanyaku sedikit terbata.“Kenapa? Kamu mau tahu aku dengar percakapan kalian sejauh mana?” tandasnya. Kepalaku tertunduk, begitu juga dengan Mak Ijah. Mendengar nada bicaranya, sepertinya Mas Denis mendengar sejak awal saat aku dan Mak Ijah membicarakan mamanya. “Kenapa sekarang kalian diam saja? Mau Mak Ijah atau kamu, Dik, yang menjelaskan.” “Jangan bawa-bawa Mak Ijah, Mas. Mak Ijah gak salah,” cegahku panik. “Emangnya aku tadi ada bilang kamu atau Mak Ijah bersalah?” Aku menggeleng pelan. Mas Denis memang tidak mengatakan kami sedang melakukan kesalahan. Akan tetapi nada bicara tegasnya membuatku takut dimarahi. Bukan cuma aku, tetapi jauh lebih takut jika Mak Ijah ikut dimarahi. “Jadi, siapa yang mau cerita?” tuntutnya lagi. “Aku harus cerita apa, Mas. Mas Denis sudah dengar sendiri, kan?
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r
Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye
"Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?" Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain. “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga
“Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,
“Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.” Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup. “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya. Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.” “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?” Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma
“Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi. Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka. “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da
“Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat
“Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan
“Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s