Share

Bab 6. Menghindari Dewi

Penulis: Dian Matahati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-31 17:35:49

Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai.

“Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang.

“Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?”

“Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.”

“Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”

“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.”

“Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…”

“Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?”

“Sehat, Mak. Alhamdulillah.”

Aku pun mengobrol banyak dengan Mak Ijah. Sesekali aku melihat ke arah pintu utama rumah Mas Denis, dan Mak Ijah sepertinya sempat memergokinya.

“Paling bentar lagi, Mas Denis berangkat kerja, Mbak,” katanya sambil tersenyum.

Aku pun hanya bisa menunduk malu. Mak Ijah mengusap bahuku dengan lembut.

“Sebenarnya, Mak merasa sayang banget Mbak Dila harus menyerah secepat ini. Padahal Mak rasa, Mbak Dila sama Mas Denis udah cocok banget. Mak yakin kok, lambat laun Mas Denis bakalan lupain almarhum Mbak Indah dan bisa tulus sama Mbak Dila.”

“Kemarin Dila memang kebawa emosi, Mak, jadi gak pikir panjang. Cuma Mas Denisnya sendiri juga, gak ada usaha untuk mempertahankan Dila, Mak. Jadi mungkin memang ini yang terbaik buat kami,” terangku menjelaskan.

Tidak lama setelah itu, terlihat seorang wanita datang dengan dandanan formal. Aku cukup familiar dengan postur tubuhnya. Begitu terlihat wajahnya, aku pun tahu siapa wanita itu dan bisa menebak tujuannya datang untuk apa.

“Kamu, kok masih ke sini aja, sih?” tanyanya dengan ketus saat bersitatap denganku.

Baru aku akan menjawabnya, Mas Denis sudah keluar lebih dulu dari dalam rumah dan menyahuti ucapannya.

“Ya emang kenapa? Dila masih sah jadi istriku. Bahkan kalau dia mau tinggal di rumah ini juga masih bisa.”

“Tapi, Den-”

“Sudah, ya! Kamu mau apa pagi-pagi ke sini?” pungkas Mas Denis lagi.

Aku senang sekali dibela Mas Denis di depan Dewi. Dewi adalah tetangga Mas Denis yang ku kenal sejak awal memang terlihat menginginkan Mas Denis. Namun, Mas Denis selalu menolaknya dengan tegas.

“Mau nebeng berangkat ke kantor, Den. Tempat kerja kita kan searah. Kebetulan hari ini aku gak ada yang anter,” katanya dengan suara mendayu.

Muak sekali aku mendengarnya. Sayangnya, aku harus tetap bersikap kalem di depan Mas Denis, supaya aku juga bisa melihat sendiri bagaimana Mas Denis akan mengatasi ulat bulu tersebut.

“Maaf, Dewi. Aku gak bisa. Aku mau pergi sama Dila. Kamu kalau mau bisa pakai motor di garasi ada yang gak dipake. Minta Mak Ijah cariin kuncinya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Dewi, Mas Denis sudah menggandengku masuk ke dalam mobilnya. Dewi terlihat marah dan menggerutu, tetapi diabaikan Mas Denis.

“Maaf,” cicit Mas Denis begitu mobilnya melaju pelan dari pelataran rumahnya.

“Maaf buat apa, Mas?”

“Maaf karena kamu ku jadikan alasan buat hindari Dewi.”

“Oh,” jawabku singkat.

Jujur saja aku kecewa. Akan tetapi, itu masih lebih baik daripada Mas Denis harus menanggapi Dewi, apalagi sampai membiarkannya menumpang di dalam mobilnya untuk ke tempat kerja.

Aku yakin, setelah tahu rumah tangggaku dengan Mas Denis di ujung tanduk, Dewi pasti akan makin gencar mendekati Mas Denis lagi. Sebenarnya aku tidak rela, tetapi aku bisa apa jika jodohku dengan Mas Denis memang tidak panjang.

“Mau diantar kemana?” tanya Mas Denis lagi.

Aku melihat ke pergelangan tangan dan waktu sudah terlalu mepet untuk Mas Denis sampai di tempat kerjanya. Aku pun meminta Mas Denis menurunkanku di sembarang tempat supaya dia tidak terlambat ke kantor, tetapi dia menolaknya.

“Kamu masih perlu antar kue kemana lagi?” tanyanya lagi lebih tegas.

Aku pun membuka keranjang kue yang sejak tadi aku bawa dan memperlihatkan isinya kepada Mas Denis.

“Sebenarnya sudah semua kok. Aku tinggal pulang aja.”

“Okay.”

Baru setelahnya kendaraan Mas Denis melaju lebih cepat dan mengarah ke rumah orang tuaku. Di perjalanan pun kami tidak banyak mengobrol. Hanya sesekali saja aku mencuri pandang pada Mas Denis yang fokus dengan jalanan.

Aku pikir, Mas Denis tidak tahu jika sejak tadi aku sering memandangnya secara diam-diam. Namun, begitu kami tiba di depan rumah orang tuaku, teguran Mas Denis membuatku malu sendiri.

“Kamu masih bisa pulang ke rumahku biar puas lihat wajahku waktu aku di rumah. Daripada harus repot pagi-pagi antar kue ke warung dan curi-curi pandang pas aku nyetir kayak tadi.”

“Hah?” seruku terkejut.

Mas Denis hanya tersenyum simpul saja. Aku pun menjadi kesal sendiri dengan gayanya yang begitu percaya diri. Sayangnya aku yang masih syok sampai tidak bisa berkata-kata, bahkan tidak juga lekas turun dari dalam mobil Mas Denis.

“Kamu mau turun apa ikut aku ke kantor?” tegurnya lagi membuatku gelagapan.

“I-iya, turun, Mas. Sabar kenapa, sih,” gerutuku menutupi rasa malu.

Aku pun lekas turun dengan tidak lupa mengucapkan terima kasih secara singkat. Mas Denis pun hanya mengangguk pelan dan membunyikan klakson sebelum kembali melaju dengan cepat.

“Ciye, ciye …., modusnya sukses, kan? Dianter pulang sama Ayang,” goda Risa, kembali mengagetkanku yang masih melamun melihat kepergian kendaraan Mas Denis.

“Modus apaan, sih. Yang ada malah aku yang dipakai Mas Denis buat tameng dari si ulat keket,” sahutku dengan ketus.

Aku pun berjalan sambil menghentakkan alas kaki dengan keras. Risa pun mengekor di belakangku sambil menagih cerita secara lengkap.

Dan cerita tentang Dewi yang berniat mendekati Mas Denis pun ku ceritakan kepada Risa yang memang penasaran sekali dengan kejadian saat aku ke rumah Mas Denis pagi ini. Tentu saja setelah aku sortir bagian aku yang ketahuan curi pandang pada Ms Denis dan tegur olehnya.

“Aku lihat Mas Denis masih peduli dan perhatian kok sama kamu, Mbak. Kamu yakin, gak mau berjuang lebih keras lagi buat dapetin cintanya? Orang kayak Mas Denis ini limited edition, lho, Mbak!” ujar Risa masih mencoba untuk mempengaruhiku.

“Memangnya masih ada kesempatan buat kembali berjuang? Berjuang sendirian itu gak enak, Risa,” lirihku meragu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anita Fatubun
ceritanya seru banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 7. Tidak Ingin Berjuang Sendirian

    “Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 8. Panggilan Sidang Pertama

    “Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya. 

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 9. Cabut Gugatan

    Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 10. Hormon Kehamilan

    “Maaf baru datang, baru beres urusan di pengadilannya,” kata Mas Denis. “Gak apa-apa, Nak. Dila juga sudah baikan. Iya, kan, Nduk?” jawab Ibu. “Iya,” cicitku lirih. Mas Denis berjalan mendekat. Entah mengapa, dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah tahu jika aku sedang mengandung anaknya, aku menjadi makin menaruh rasa untuknya. Sampai-sampai, berada di dekatnya mampu membuatku makin salah tingkah. “Masih pusing, Dik?” tanya Mas Denis begitu sampai di sebelahku. Aku menggeleng lemah. Rasanya suaraku sulit keluar saat berada di dekat Mas Denis. Apalagi setelah mencium aroma tubuh bercampur parfum yang selalu dipakai olehnya. Rasanya ingin sekali menghirupnya dalam-dalam karena mampu membawa kenyamanan tersendiri. Risa dan Ibu terlihat menggeser posisi mereka, seakan membiarkan Mas Denis saja yang lebih dekat denganku. Mereka juga terlihat senang dengan in

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 11. Kembali Pulang

    “Aku bisa sendiri, Mas,” kataku saat Mas Denis turun lebih dulu dari mobil hanya untuk membukakan pintu mobil untukku. “Mas tahu,” jawabnya, tetapi dia tetap membantuku hingga keluar dari mobil. Setelah kantong infus yang pagi tadi dipasang ke tubuhku habis, akhirnya aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Aku tidak menyangka akan kembali pulang ke rumah Mas Denis secepat ini. Bahkan dalam kondisi berbadan dua. “Kamu langsung istirahat, ya? Kalau butuh apa-apa bilang ke Mak Ijah aja. Mas mau ke rumah bapak/Ibu buat ambil barang-barang kamu,” titah Mas Denis. “Kenapa tadi gak mampir sekalian aja, sih, Mas? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik kayak gini.” “Gak apa. Mas sengaja biar kita cepat sampai rumah, dan kamu bisa langsung istirahat, Dik.” “Aku dari tadi gak ngapa-ngapain, Mas. Jangan perlakukan aku kayak orang penyakitan. Aku cuma hamil, bukan lagi sakit seri

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 12. Keinginan Punya Anak

    “Sebenarnya Mama sudah gak respect lagi sama kamu, Dila. Cuma karena kamu justru sudah mengandung darah dagingnya Denis, Mama akan berusaha buat tetap bersikap baik sama kamu. Asal kamu ingat, jangan berbuat ulah seperti kemarin! Pakai sok-sokan mau gugat cerai Denis segala. Emangnya kamu siapa?” Aku yang buru-buru keluar kamar karena mengira yang datang adalah Mas Denis, harus menelan kekecewaan karena ternyata yang muncul adalah mamanya. Apalagi begitu melihatku, beliau langsung mencercaku dengan omelan panjangnya. Aku bisa maklum dengan rasa kecewanya. Aku pun tidak mengelak dan mengiyakan permintaannya. Karena sesungguhnya aku pun tidak berharap ada masalah lagi dalam rumah tanggaku dengan Mas Denis. “Iya, Ma. Maafin Dila, ya, Ma.” “Hm.” Mamanya Mas Denis hanya bergumam singkat. Beruntung tidak lama setelah itu Mas Denis datang. Kecanggungan yang tercipta diantara aku dan mamanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 13. Tinggal Bersama Mertua

    “Mentang-mentang lagi hamil, manja banget gak mau ngerjain kerjaan rumah. Padahal pekerjaan rumah gini kan pekerjaan ringan biar sekalian olahraga,” ujar Mamanya Mas Denis di dapur saat bersama Mak Ijah. Mungkin Mama tidak tahu jika aku agak jauh ada di belakangnya. Aku memang sudah berniat membantu pekerjaan rumah sejak tadi. Hanya saja, Mas Denis terus saja menghalangi aku karena menginginkan Mak Ijah saja yang menyelesaikannya sendiri. Mas Denis begitu protektif hingga tidak membiarkan aku beraktivitas seperti biasa. “Mas Denis, Bu, yang gak bolehin Mbak Dila ngerjain pekerjaan rumah selama hamil. Makanya, kan, Mak dipanggil ke sini buat bantu-bantu,” bela Mak Ijah kepadaku. “Halah, pada dasarnya perempuannya aja yang malas. Manja. Dia bisa bilang ke Denis, kan, kalau dia butuh kegiatan buat olahraga ringan seperti bantu-bantu pekerjaan rumah?” sahut Mamanya Mas Denis lagi.Aku yang tidak tahan dibicar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 14. Serba Salah

    “Aku gak apa-apa, Mas.”“Beneran gak apa-apa?” “Iya,” balasku dengan memaksakan tersenyum.“Kalau ada apa-apa, telepon Mas, ya?” Aku mengangguk saja. Aku memang tidak ada niat untuk mengadukan mamanya kepada Mas Denis. Aku lebih bertekad untuk berusaha mengambil hatinya seperti dulu. Itu pasti akan lebih baik jika aku berhasil melakukannya. “Ma, Denis titip Dila, ya? Kalau ada apa-apa, Mama bisa telepon Denis.” “Iya, tenang aja. Yang penting kamu kerja yang fokus. Di rumah ada Mama dan Mak Ijah yang jagain Dila. ” Mas Denis mengangguk kemudian menjabat tangan kami bergantian. Baru setelahnya benar-benar berangkat bekerja. Aku menatap kepergiannya hingga kendaraan yang dibawa Mas Denis tidak lagi terlihat. “Awas, ya, kalau kamu berani ngadu yang gak-gak sama Denis!” ancam ibu mertuaku lagi. “Gak, Ma. Memangny

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28

Bab terbaru

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 60. Ending

    Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku? 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 59. Kontraksi

    ”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok. 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 58. Kau Rumah

    “Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 57. Phobia Jarum Suntik

    Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat.  “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi.  Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa.  “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah.  Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?"  Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa."  Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 56. Rekonsiliasi di Villa

    [Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat.  Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 55. Hati yang Bimbang

    “Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 54. Kecewa Terlalu Dalam

    “Sayang, kita jalan-jalan sore, yuk?” suara Mas Denis memecah kebisuan. Dia berdiri di depanku, menatap dengan penuh perhatian. Sejak bangun tidur dan mandi sore, aku masih banyak diamnya karena belum bisa melupakan kejadian tadi siang. Mas Denis tampak khawatir dan sering mondar-mandir saja di dekatku. Aku mendongak, menatapnya sejenak. “Jalan-jalan ke mana, Mas?” tanyaku datar, meski di dalam hati aku sedikit tertarik dengan ajakannya.Mas Denis mengangkat bahu. “Entah, mungkin sekadar keluar rumah. Sepertinya kita butuh udara segar.” Senyum tipis tersungging di wajahnya, mencoba mengajakku untuk tidak terlalu larut dalam perasaan ini.Meski ragu, aku akhirnya mengangguk. “Boleh,” jawabku pelan.Kami pun berangkat. Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala di jendela, menatap jalanan kota yang ramai. Mas Denis di sampingku, sesekali melirik dengan cemas. Kurasa dia ju

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 53. Pesan Ambigu

    “Gini amat ya, punya suami pekerja keras. Hari libur juga tetap aja dipakai buat kerja dari rumah,” sarkasku pada Mas Denis yang tengah sibuk di depan layar laptopnya. Mas Denis menghentikan sejenak kegiatannya. Menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. “Ada apa, sih, Dik? Kamu ada perlu sesuatu?” Aku mengangkat bahu. Masih enggan untuk mengatakan jujur jika aku sedang berharap diajak pergi jalan-jalan atau entah kemana hanya demi bisa bersama Mas Denis menghabiskan akhir pekan yang menyenangkan. “Kalau mau atau butuh sesuatu, kamu bilang langsung aja sama Mas, ya, Dik. Mas bukan cenayang yang bisa baca isi hati dan pikiran kamu,” sahut Mas Denis sambil kembali fokus ke perangkat kerjanya. Aku hanya bisa kembali menghela napas dengan berat. Mencoba fokus pada acara televisi, yang membuat pikiran tentang Risa dan pertengkaran kecil kami saat itu kembali muncul. Meskipun sudah berlalu cukup lama, tetapi aku belum bisa merasa lega jika tidak ada penyelesaian yang jelas. Komunikasiku de

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 52. Masakan Istimewa

    “Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status