“Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?”
“Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku. “Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali. Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang letih, tetapi pikiranku yang masih ramai membuatnya tidak nyaman untuk sekedar istirahat. Aku kembali bangun dan mencari berkas di laci meja. “Aku harus cari kerjaan lagi. Setelah pisah dari Mas Denis, aku harus punya penghasilan sendiri lagi, supaya tidak menjadi beban tanggungan Bapak sama Ibu,” gumamku lirih. Sebenarnya aku bisa saja kembali ke kantorku bekerja sebelumnya. Kinerjaku yang cukup lama disana dengan reputasi yang baik, seharusnya bisa membuatku diterima kembali bekerja dengan mudah. Hanya saja, ada perasaan takut ditanya rekan-rekan disana mengenai pernikahanku dengan Mas Denis. Jujur saja, aku tetap merasa malu jika ada orang terdekatku tahu jika aku harus menjadi janda secepat ini. Aku belum cukup siap untuk diperbincangkan atau justru dikasihani. Untuk itu, aku pikir bekerja dan mendapatkan lingkungan baru akan jauh lebih baik untuk sekarang. “Apa aku cari lowongan kerja luar Jogja aja, ya?” Memulai hidup baru, di tempat baru, terdengar lebih menjanjikan. Mungkin aku juga bisa lebih mudah melupakan Mas Denis dan kebersamaan kami yang singkat ini. Aku pun membuka internet dan mencari aplikasi-aplikasi yang biasanya menyediakan banyak lowongan pekerjaan dari berbagai profesi di banyak kota. Aku pilih saja berdasarkan dengan kemampuan dan keinginanku. Mencoba memasukan beberapa lamaran secara random sesuai dengan instingku. “Bismillah, semoga Tuhan berikan yang terbaik buat jalan hidupku.” Untuk mengisi kekosongan, aku membantu Risa membuat kue dan menitipkannya ke warung-warung. Sejak dulu, Risa memang tidak suka kerja di tempat orang. Dia lebih suka berwirausaha, dan yang sedang digelutinya sekarang adalah jualan kue. Cukup menyenangkan juga, karena dengan begitu, aku jadi punya kegiatan positif selama menunggu surat gugatanku diproses Pengadilan Agama yang katanya bisa sampai satu bulan sendiri prosesnya. “Kamu jadi masukin surat gugatan cerai ke Mas Denis, Mbak?” “Iya jadi. Kemarin Mbak udah ke Pengadilan Agama.” “Gak mau dipikir-pikir lagi? Aku lihat pas Mas Denis kesini sama mamanya waktu itu, tatapan Mas Denis ke Mbak berbeda, lho. Dalam gimana gitu.” “Masa sih? Tapi dia gak bilang apa-apa juga ke Mbak. Malah cuma ngasih dokumen yang Mbak butuhkan buat ke pengadilan. Jadi, asumsi Mbak, ya, dia memang sudah siap pisah dari Mbak, Risa.” “Aku juga gak tau, sih, Mbak. Cuma …, ya, sebenarnya sayang aja kalau Mbak Dila sama Mas Denis harus pisah. Padahal sebenarnya kalian cocok. Mas Denis juga baik, kan?” “Baik aja gak cukup buat Mbak, Risa. Mbak juga ingin dicintai sama suaminya Mbak.” “Iya, iya. Risa tau, Mbak. Risa bantu doain aja apa yang terbaik buat Mbak Dila dan Mas Denis.” “Nah, gitu, dong. Itu yang paling penting.” Diam-diam, aku penasaran dengan perkataan Risa. Apa benar, Mas Denis punya tatapan dalam kepadaku saat kemarin ke rumah? Entah mengapa, aku sangat berharap akan hal itu. Seandainya, Mas Denis memang mulai ada rasa padaku. Aku sampai tidak sadar melamun beberapa saat hingga ditegur Risa. “Udah, daripada cuma penasaran sampai dilamunin, mending besok pagi bantu aku setor kue ke rumah Mas Denis aja. Kali aja kalau berangkatnya pagi, bisa ketemu sama Mas Denis sebelum kerja.” Aku terperanjat mendengarnya. “Maksudnya?” “Mbak Dila gak tau, kalau toko kelontong di rumahnya Mas Denis, diteruskan sama Mak Ijah? Makanya aku masih diminta buat isi kue di toko.” Aku menggeleng sebagai jawaban. Aku memang tidak tahu, karena saat Mas Denis ke rumah, dia tidak membicarakan apa-apa tentang itu. Mak Ijah adalah orang yang biasa ikut kerja di keluarganya Mas Denis. Dulu, beliau adalah asisten rumah tangga di rumah orang tua Mas Denis. Hanya saja, sekarang sudah digantikan dengan yang lebih muda supaya lebih gesit dan cekatan. Jadinya, Mak Ijah hanya dipanggil sesekali jika dibutuhkan tenaga tambahan. “Jadi gimana? Mau gak besok antar kue ke rumah Mas Denis?” goda Risa dengan mengedipkan mata ke arahku. Aku masih diam saja. Kalau boleh jujur, tentu saja aku sangat ingin. Akan tetapi aku juga malu untuk mengakuinya di depan Risa. Belum lagi, aku juga takut jika keinginanku ini akan keterusan menjadi harapan semu. “Ayolah, Mbak. Bantuin! Aku besok full banget jadwalnya. Harus antar pesanan acara temanku juga,” bujuk Risa yang kebetulan orderan kuenya untuk besok memang banyak. Karena dipaksa oleh Risa, akhirnya aku pura-pura setuju dengan terpaksa. Padahal, hatiku berbunga-bunga karena punya kesempatan untuk bertemu atau setidaknya melihat sekilas Mas Denis saat berangkat bekerja. “Iya, udah, iya. Besok Mbak yang antar kue ke rumah Mas Denis.” “Nah, gitu dong, Mbak. Bantuin adiknya gak boleh setengah-setengah. Harus totalitas,” balas Risa sambil terkekeh. “Bawel!” ketusku sambil menyembunyikan senyum. “Bawel-bawel, tapi baik kan?” goda Risa lagi. Akhirnya aku dan Risa bercanda dengan saling mengoleskan tepung ke wajah satu sama lain hingga dapur makin berantakan atas ulah kami berdua. Ibu yang melihat dari ambang pintu dapur saat mendengar keributan hanya bisa menggelengkan kepala tanpa melerai atau menyudahinya. Baru saat tiba malam harinya, aku sampai tidak bisa tidur karena tidak sabar menunggu esok untuk mengantar kue ke rumah Mas Denis. “Apakah besok akan berjalan sesuai dengan ekspektasiku?”Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak
“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan
“Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya.
Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas
“Maaf baru datang, baru beres urusan di pengadilannya,” kata Mas Denis. “Gak apa-apa, Nak. Dila juga sudah baikan. Iya, kan, Nduk?” jawab Ibu. “Iya,” cicitku lirih. Mas Denis berjalan mendekat. Entah mengapa, dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah tahu jika aku sedang mengandung anaknya, aku menjadi makin menaruh rasa untuknya. Sampai-sampai, berada di dekatnya mampu membuatku makin salah tingkah. “Masih pusing, Dik?” tanya Mas Denis begitu sampai di sebelahku. Aku menggeleng lemah. Rasanya suaraku sulit keluar saat berada di dekat Mas Denis. Apalagi setelah mencium aroma tubuh bercampur parfum yang selalu dipakai olehnya. Rasanya ingin sekali menghirupnya dalam-dalam karena mampu membawa kenyamanan tersendiri. Risa dan Ibu terlihat menggeser posisi mereka, seakan membiarkan Mas Denis saja yang lebih dekat denganku. Mereka juga terlihat senang dengan in
“Aku bisa sendiri, Mas,” kataku saat Mas Denis turun lebih dulu dari mobil hanya untuk membukakan pintu mobil untukku. “Mas tahu,” jawabnya, tetapi dia tetap membantuku hingga keluar dari mobil. Setelah kantong infus yang pagi tadi dipasang ke tubuhku habis, akhirnya aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Aku tidak menyangka akan kembali pulang ke rumah Mas Denis secepat ini. Bahkan dalam kondisi berbadan dua. “Kamu langsung istirahat, ya? Kalau butuh apa-apa bilang ke Mak Ijah aja. Mas mau ke rumah bapak/Ibu buat ambil barang-barang kamu,” titah Mas Denis. “Kenapa tadi gak mampir sekalian aja, sih, Mas? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik kayak gini.” “Gak apa. Mas sengaja biar kita cepat sampai rumah, dan kamu bisa langsung istirahat, Dik.” “Aku dari tadi gak ngapa-ngapain, Mas. Jangan perlakukan aku kayak orang penyakitan. Aku cuma hamil, bukan lagi sakit seri
“Sebenarnya Mama sudah gak respect lagi sama kamu, Dila. Cuma karena kamu justru sudah mengandung darah dagingnya Denis, Mama akan berusaha buat tetap bersikap baik sama kamu. Asal kamu ingat, jangan berbuat ulah seperti kemarin! Pakai sok-sokan mau gugat cerai Denis segala. Emangnya kamu siapa?” Aku yang buru-buru keluar kamar karena mengira yang datang adalah Mas Denis, harus menelan kekecewaan karena ternyata yang muncul adalah mamanya. Apalagi begitu melihatku, beliau langsung mencercaku dengan omelan panjangnya. Aku bisa maklum dengan rasa kecewanya. Aku pun tidak mengelak dan mengiyakan permintaannya. Karena sesungguhnya aku pun tidak berharap ada masalah lagi dalam rumah tanggaku dengan Mas Denis. “Iya, Ma. Maafin Dila, ya, Ma.” “Hm.” Mamanya Mas Denis hanya bergumam singkat. Beruntung tidak lama setelah itu Mas Denis datang. Kecanggungan yang tercipta diantara aku dan mamanya
“Mentang-mentang lagi hamil, manja banget gak mau ngerjain kerjaan rumah. Padahal pekerjaan rumah gini kan pekerjaan ringan biar sekalian olahraga,” ujar Mamanya Mas Denis di dapur saat bersama Mak Ijah. Mungkin Mama tidak tahu jika aku agak jauh ada di belakangnya. Aku memang sudah berniat membantu pekerjaan rumah sejak tadi. Hanya saja, Mas Denis terus saja menghalangi aku karena menginginkan Mak Ijah saja yang menyelesaikannya sendiri. Mas Denis begitu protektif hingga tidak membiarkan aku beraktivitas seperti biasa. “Mas Denis, Bu, yang gak bolehin Mbak Dila ngerjain pekerjaan rumah selama hamil. Makanya, kan, Mak dipanggil ke sini buat bantu-bantu,” bela Mak Ijah kepadaku. “Halah, pada dasarnya perempuannya aja yang malas. Manja. Dia bisa bilang ke Denis, kan, kalau dia butuh kegiatan buat olahraga ringan seperti bantu-bantu pekerjaan rumah?” sahut Mamanya Mas Denis lagi.Aku yang tidak tahan dibicar
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r
Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye
"Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?" Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain. “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga
“Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,
“Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.” Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup. “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya. Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.” “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?” Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma
“Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi. Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka. “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da
“Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat
“Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan
“Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s