Beranda / Romansa / Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama / Bab 3. Pulang ke Rumah Orang Tua

Share

Bab 3. Pulang ke Rumah Orang Tua

Penulis: Dian Matahati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-26 18:10:22

“Apa?”

Mas Denis langsung menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya dari ekor mata, karena wajahku masih tertunduk tanpa berani menatapnya. Aku yakin, saat ini wajahku begitu sembab akibat semalaman air mata tidak kunjung mau berhenti menetes.

“Maksud kamu apa, Dik?” tanya Mas Denis masih dengan nada rendah. “Mas ada salah apa? Kamu marah karena semalam Mas menolakmu?”

Aku hanya tersenyum kecil. Ternyata Mas Denis benar-benar tidak ingat dengan kejadian semalam. Aku pun enggan menjelaskan karena rasanya seperti mengakui dengan nyata tentang tidak berharganya diriku di hadapan suami sendiri.

“Aku akan urus gugatan cerainya setelah dari sini, kalau Mas memang gak mau menjatuhkan talak padaku,” pungkasku tanpa menjawab pertanyaan Mas Denis.

Aku juga berniat bangun dari duduk untuk pergi, tetapi lenganku ditahan Mas Denis.

“Tunggu? Apa yang terjadi dengan semalam?” tanyanya kemudian.

Aku masih diam dan tidak bergeming.

“Noda merah ini?” katanya penuh keraguan.

Ternyata Mas Denis sudah menemukan sisa kegiatan panas semalam. Mungkin dia baru mulai mengingat ada kejadian apa pada malam tadi.

“Kamu gak ridha, semalam Mas sentuh?”

Aku menahan tawa sinis di depan Mas Denis. Dadaku bergemuruh dan rasanya ingin sekali meluapkan amarah di depannya. Mengungkapkan rasa sakit hati yang begitu besar atas penghinaan yang secara tidak langsung kurasakan atas kesalahannya semalam.

“Mas minta maaf kalau-”

“Perempuan mana yang akan ridha saat tubuhnya disentuh oleh seorang suami yang menyebut nama wanita lain dalam pelepasannya, Mas!”

“Maksudnya?” lirih Mas Denis lagi seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan.

Hidungku sudah kembang kempis menahan tangisan. Inginku lekas pergi dan menghindar. Akan tetapi pegangan tangan Mas Denis justru semakin erat dan tidak membiarkanku pergi. Dia justru makin mendekat dan membawaku dalam pelukannya.

Tangisku pecah di dadanya. Aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis di depannya. Mas Denis menggumamkan kata maaf yang di telingaku terdengar begitu tulus. Namun, sayangnya kata maaf itu saja tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang menjalar di setiap sudut hati.

“Kenapa Mas nikahin aku kalau Mas belum bisa melupakan Mbak Indah?”

“Sampai mati aku gak akan bisa lupain Indah, Dik.”

Aku berusaha melepaskan diri dari dekapan Mas Denis. Kejujuran Mas Denis yang mengatakan tidak akan bisa melupakan mendiang istrinya begitu menyakiti hatiku.

Aku tahu, sakit hatinya Mas Denis setelah kehilangan istrinya untuk selamanya pastilah tidak main-main. Namun, aku juga tidak sanggup jika harus dinikahi tanpa cinta.

“Kalau begitu, tolong lepasin aku, Mas. Aku gak bisa bertahan dalam rumah tangga yang seperti ini. Aku juga ingin dimiliki dengan rasa penuh cinta.”

Mas Denis melepaskan dekapannya. Tuntutan atas cintanya untukku seperti mustahil untuk dikabulkan. Mungkin itu alasannya sehingga dia tidak lagi menahanku.

Aku pun bangkit dan berjalan sambil mengusap air mataku menuju tas ransel yang berisi pakaianku saja. Keterdiaman Mas Denis seakan sebuah validasi yang membiarkan aku pergi. Bukan hanya dari tempat ini, tetapi juga dari hidupnya setelah ini.

“Aku gak pulang ke rumahmu, Mas. Kamu tunggu saja surat gugatan cerai dari Pengadilan Agama. Assalamualaikum.”

Aku meninggalkan hotel sekaligus resort itu dengan hati yang patah. Harapanku untuk mempunyai keluarga bahagia bersama Mas Denis pupus sudah. Dengan terpaksa, aku harus memberanikan diri untuk kembali ke rumah kedua orang tuaku dengan membawa rasa penyesalan dan juga rasa malu.

Sebenarnya aku masih takut jika kepulanganku ke rumah, dan berita akan niatku untuk menggugat cerai Mas Denis akan melukai hati kedua orang tuaku. Hanya saja, aku tidak mau terjebak dalam pernikahan tanpa cinta yang membuat hubungan kami bagaikan racun yang mematikan jiwaku perlahan.

“Assalamualaikum,” salamku begitu tiba di rumah kedua orang tuaku.

“Waalaikumsalam warahmatullah. Lho nduk, kok sendiri? Nak Denis mana? Gak ikut ke rumah?” tanya ibuku begitu melihat aku datang sendirian.

“Mboten, Bu. Dila pulang sendiri,” jawabku dengan santun.

Ibuku langsung menatap penuh curiga. Beliau memang perempuan yang sangat peka. Dia pasti sudah bisa menebak jika terjadi sesuatu sampai aku pulang ke rumah tanpa ditemani atau bahkan diantar Mas Denis.

“Ada masalah apa, Nduk?” tanya ibuku dengan penuh perhatian.

Beliau juga menuntunku untuk duduk di ruang tamu. Ternyata benar, wanita setelah menikah, ketika datang ke rumah orang tuanya, akan terasa seperti tamu. Sedangkan saat datang ke rumah mertua, akan merasa seperti orang lain. Sekalipun beliau begitu baik.

“Aku …, aku mau gugat cerai Mas Denis, Bu,” kataku takut-takut.

“Astaghfirullahalazim…”

Bukan ibuku yang menyahut, melainkan Bapak yang baru datang dari dalam.

“Kamu ngomong apa sih, Nduk? Kenapa tiba-tiba punya pikiran negatif seperti itu. Nak Denis ada salah apa? Kalau ada masalah itu, dibicarakan dulu. Jangan asal minta cerai apalagi mau melayangkan gugatan cerai. Kalian aja nikah baru berapa bulan, lho.”

Bapakku langsung berkomentar panjang lebar menolak keinginanku tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu, perceraian adalah hal tabu untuk keluarga besar dari kedua orang tuaku. Sebisa mungkin, tidak ada kata perceraian di keluarga kami. Hanya saja, aku tidak yakin bisa bertahan dengan situasi yang terjadi antara aku dan Mas Denis saat ini.

“Sudah, Pak. Jangan dimarahin dulu Dila-nya. Kita dengarkan dulu alasan dan penjelasan Dila,” sahut ibuku menengahi.

Bersamaan dengan itu, adikku Risa juga ikut bergabung dengan kami. Aku pun menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi di depan kedua orang tuaku. Sejak kecil, kami memang dididik untuk bermusyawarah keluarga jika terjadi masalah.

“Bersabarlah sedikit, Nduk. Siapa tau Nak Denis hanya butuh waktu saja. Kehilangan karena kematian itu luka batin yang belum ada penawarnya. Kamu maklumi saja jika Nak Denis tidak semudah itu untuk melupakan mendiang istrinya. Yang penting, kan, selama ini Nak Denis sudah menjadi suami yang baik buat kamu. Kamu gak bisa gugat cerai Nak Denis jika alasannya tidak syar’i, Nduk.”

“Tapi Mas Denis menikahi Dila tanpa cinta, Pak. Dila sakit hati. Dila tersiksa karena harus mencintai sebelah tangan. Dila juga ingin dicintai sama suami Dila sendiri.”

“Betul, Dila. Bapak paham. Percaya sama Bapak, cinta bisa tumbuh setelah terbiasa. Kamu hanya perlu lebih banyak bersabar sampai cinta itu tumbuh di hati suamimu. Niatkan menikah untuk ibadah, Nak. Maka kamu akan punya kesabaran lebih untuk menjemput berkah dan keridhaan-Nya.”

Aku menangis mendengar nasehat Bapak. Mungkin benar, saat ini aku masih kurang sabar dalam menghadapi Mas Denis. Jika memang Mas Denis mempunyai niat untuk berusaha mencintaiku, mungkin aku bisa berpikir ulang untuk melayangkan gugatan.

Akan tetapi, melihat respon dari Mas Denis sebelum aku pergi tadi, kenapa rasanya dia tidak punya niatan sedikitpun untuk membangun cintanya untukku?

Bab terkait

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 4. Kedatangan Suami dan Mertua

    Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku. Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka. Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini. Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah. “Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis. Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa. “Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik ban

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 5. Membantu Risa

    “Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?” “Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku.“Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali.Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 6. Menghindari Dewi

    Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 7. Tidak Ingin Berjuang Sendirian

    “Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 8. Panggilan Sidang Pertama

    “Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya. 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 9. Cabut Gugatan

    Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 1. Selalu Dibandingkan

    "Kamu bikin sarapan nasi goreng pakai kecap?" tanya Mas Denis, suami yang belum lama ini menikahiku. "Iya. Kamu gak suka nasi goreng pakai kecap, Mas?" Aku memang belum mengetahui banyak hal tentangnya. Kami hanya sempat dekat dan saling mengenal sekitar tiga bulan sebelum melangsungkan pernikahan. Karena aku yakin dia pria baik-baik, maka aku pun tidak ragu saat menerima lamarannya di depan kedua orang tuaku. "Suka kok. Cuma biasanya mendiang istriku kalau bikin nasi goreng untuk sarapan, gak pernah pakai kecap. Beda lagi kalau bikin nasi gorengnya buat makan malam. Baru dikasih kecap." Dahiku mengernyit. 'Terus maksudnya aku harus meneruskan kebiasaan almarhumah istrinya, gitu?' batinku yang ternyata tidak mampu kulisankan di depan Mas Denis. Aku memang dinikahi oleh seorang duda tanpa anak. Istri pertama Mas Denis meninggal dua tahun yang lalu. Selama dua tahun ini, yang kudengar Mas Denis pun tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Aku sempat merasa tersanjung karena bisa m

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 2. Malam Pertama

    Aku dan Mas Denis memang sudah menikah kurang lebih tiga bulan lamanya. Namun, selama itu juga, aku dan Mas Denis tidak pernah melakukan kontak fisik secara intim. Sekalipun kami tidur di atas ranjang yang sama setiap malam, tetapi Mas Denis tidak pernah bertindak lebih untuk menyentuhku. Ciuman dan pelukan dari Mas Denis pun terasa ringan seperti seorang kakak pada adiknya. Tidak ada hasrat menggebu seperti yang biasanya menjadi bumbu dalam hubungan pasutri pada umumnya. "Ya sudah. Kalau gitu habis makan malam nanti kita siap-siap. Besok kita liburan." "Serius, Mas?" seruku refleks saking senangnya. "Iya." Aku secara spontan memeluk Mas Denis dari samping begitu erat tanpa balasan darinya. Rasa senang yang menguasaiku sampai membuatku lupa diri. Baru setelah Mas Denis berdehem, aku melepaskan pelukan dengan wajah malu.“Maaf,” cicitku. “Gak masalah. Sekarang siapin makan malam aja, aku mau mandi dulu.” “Iya, Mas.” Aku pun ke dapur dengan perasaan senang yang masih tersisa. Ma

Bab terbaru

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 9. Cabut Gugatan

    Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 8. Panggilan Sidang Pertama

    “Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya. 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 7. Tidak Ingin Berjuang Sendirian

    “Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 6. Menghindari Dewi

    Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 5. Membantu Risa

    “Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?” “Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku.“Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali.Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 4. Kedatangan Suami dan Mertua

    Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku. Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka. Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini. Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah. “Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis. Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa. “Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik ban

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 3. Pulang ke Rumah Orang Tua

    “Apa?” Mas Denis langsung menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya dari ekor mata, karena wajahku masih tertunduk tanpa berani menatapnya. Aku yakin, saat ini wajahku begitu sembab akibat semalaman air mata tidak kunjung mau berhenti menetes. “Maksud kamu apa, Dik?” tanya Mas Denis masih dengan nada rendah. “Mas ada salah apa? Kamu marah karena semalam Mas menolakmu?” Aku hanya tersenyum kecil. Ternyata Mas Denis benar-benar tidak ingat dengan kejadian semalam. Aku pun enggan menjelaskan karena rasanya seperti mengakui dengan nyata tentang tidak berharganya diriku di hadapan suami sendiri. “Aku akan urus gugatan cerainya setelah dari sini, kalau Mas memang gak mau menjatuhkan talak padaku,” pungkasku tanpa menjawab pertanyaan Mas Denis. Aku juga berniat bangun dari duduk untuk pergi, tetapi lenganku ditahan Mas Denis. “Tunggu? Apa yang terjadi dengan semalam?” tanyanya kemudian. Aku masih diam dan tidak bergeming. “Noda merah ini?” katanya penuh keraguan. Ternyata Mas Denis su

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 2. Malam Pertama

    Aku dan Mas Denis memang sudah menikah kurang lebih tiga bulan lamanya. Namun, selama itu juga, aku dan Mas Denis tidak pernah melakukan kontak fisik secara intim. Sekalipun kami tidur di atas ranjang yang sama setiap malam, tetapi Mas Denis tidak pernah bertindak lebih untuk menyentuhku. Ciuman dan pelukan dari Mas Denis pun terasa ringan seperti seorang kakak pada adiknya. Tidak ada hasrat menggebu seperti yang biasanya menjadi bumbu dalam hubungan pasutri pada umumnya. "Ya sudah. Kalau gitu habis makan malam nanti kita siap-siap. Besok kita liburan." "Serius, Mas?" seruku refleks saking senangnya. "Iya." Aku secara spontan memeluk Mas Denis dari samping begitu erat tanpa balasan darinya. Rasa senang yang menguasaiku sampai membuatku lupa diri. Baru setelah Mas Denis berdehem, aku melepaskan pelukan dengan wajah malu.“Maaf,” cicitku. “Gak masalah. Sekarang siapin makan malam aja, aku mau mandi dulu.” “Iya, Mas.” Aku pun ke dapur dengan perasaan senang yang masih tersisa. Ma

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 1. Selalu Dibandingkan

    "Kamu bikin sarapan nasi goreng pakai kecap?" tanya Mas Denis, suami yang belum lama ini menikahiku. "Iya. Kamu gak suka nasi goreng pakai kecap, Mas?" Aku memang belum mengetahui banyak hal tentangnya. Kami hanya sempat dekat dan saling mengenal sekitar tiga bulan sebelum melangsungkan pernikahan. Karena aku yakin dia pria baik-baik, maka aku pun tidak ragu saat menerima lamarannya di depan kedua orang tuaku. "Suka kok. Cuma biasanya mendiang istriku kalau bikin nasi goreng untuk sarapan, gak pernah pakai kecap. Beda lagi kalau bikin nasi gorengnya buat makan malam. Baru dikasih kecap." Dahiku mengernyit. 'Terus maksudnya aku harus meneruskan kebiasaan almarhumah istrinya, gitu?' batinku yang ternyata tidak mampu kulisankan di depan Mas Denis. Aku memang dinikahi oleh seorang duda tanpa anak. Istri pertama Mas Denis meninggal dua tahun yang lalu. Selama dua tahun ini, yang kudengar Mas Denis pun tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Aku sempat merasa tersanjung karena bisa m

DMCA.com Protection Status