“Apa?”
Mas Denis langsung menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya dari ekor mata, karena wajahku masih tertunduk tanpa berani menatapnya. Aku yakin, saat ini wajahku begitu sembab akibat semalaman air mata tidak kunjung mau berhenti menetes. “Maksud kamu apa, Dik?” tanya Mas Denis masih dengan nada rendah. “Mas ada salah apa? Kamu marah karena semalam Mas menolakmu?” Aku hanya tersenyum kecil. Ternyata Mas Denis benar-benar tidak ingat dengan kejadian semalam. Aku pun enggan menjelaskan karena rasanya seperti mengakui dengan nyata tentang tidak berharganya diriku di hadapan suami sendiri. “Aku akan urus gugatan cerainya setelah dari sini, kalau Mas memang gak mau menjatuhkan talak padaku,” pungkasku tanpa menjawab pertanyaan Mas Denis. Aku juga berniat bangun dari duduk untuk pergi, tetapi lenganku ditahan Mas Denis. “Tunggu? Apa yang terjadi dengan semalam?” tanyanya kemudian. Aku masih diam dan tidak bergeming. “Noda merah ini?” katanya penuh keraguan. Ternyata Mas Denis sudah menemukan sisa kegiatan panas semalam. Mungkin dia baru mulai mengingat ada kejadian apa pada malam tadi. “Kamu gak ridha, semalam Mas sentuh?” Aku menahan tawa sinis di depan Mas Denis. Dadaku bergemuruh dan rasanya ingin sekali meluapkan amarah di depannya. Mengungkapkan rasa sakit hati yang begitu besar atas penghinaan yang secara tidak langsung kurasakan atas kesalahannya semalam. “Mas minta maaf kalau-” “Perempuan mana yang akan ridha saat tubuhnya disentuh oleh seorang suami yang menyebut nama wanita lain dalam pelepasannya, Mas!” “Maksudnya?” lirih Mas Denis lagi seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Hidungku sudah kembang kempis menahan tangisan. Inginku lekas pergi dan menghindar. Akan tetapi pegangan tangan Mas Denis justru semakin erat dan tidak membiarkanku pergi. Dia justru makin mendekat dan membawaku dalam pelukannya. Tangisku pecah di dadanya. Aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis di depannya. Mas Denis menggumamkan kata maaf yang di telingaku terdengar begitu tulus. Namun, sayangnya kata maaf itu saja tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang menjalar di setiap sudut hati. “Kenapa Mas nikahin aku kalau Mas belum bisa melupakan Mbak Indah?” “Sampai mati aku gak akan bisa lupain Indah, Dik.” Aku berusaha melepaskan diri dari dekapan Mas Denis. Kejujuran Mas Denis yang mengatakan tidak akan bisa melupakan mendiang istrinya begitu menyakiti hatiku. Aku tahu, sakit hatinya Mas Denis setelah kehilangan istrinya untuk selamanya pastilah tidak main-main. Namun, aku juga tidak sanggup jika harus dinikahi tanpa cinta. “Kalau begitu, tolong lepasin aku, Mas. Aku gak bisa bertahan dalam rumah tangga yang seperti ini. Aku juga ingin dimiliki dengan rasa penuh cinta.” Mas Denis melepaskan dekapannya. Tuntutan atas cintanya untukku seperti mustahil untuk dikabulkan. Mungkin itu alasannya sehingga dia tidak lagi menahanku. Aku pun bangkit dan berjalan sambil mengusap air mataku menuju tas ransel yang berisi pakaianku saja. Keterdiaman Mas Denis seakan sebuah validasi yang membiarkan aku pergi. Bukan hanya dari tempat ini, tetapi juga dari hidupnya setelah ini. “Aku gak pulang ke rumahmu, Mas. Kamu tunggu saja surat gugatan cerai dari Pengadilan Agama. Assalamualaikum.” Aku meninggalkan hotel sekaligus resort itu dengan hati yang patah. Harapanku untuk mempunyai keluarga bahagia bersama Mas Denis pupus sudah. Dengan terpaksa, aku harus memberanikan diri untuk kembali ke rumah kedua orang tuaku dengan membawa rasa penyesalan dan juga rasa malu. Sebenarnya aku masih takut jika kepulanganku ke rumah, dan berita akan niatku untuk menggugat cerai Mas Denis akan melukai hati kedua orang tuaku. Hanya saja, aku tidak mau terjebak dalam pernikahan tanpa cinta yang membuat hubungan kami bagaikan racun yang mematikan jiwaku perlahan. “Assalamualaikum,” salamku begitu tiba di rumah kedua orang tuaku. “Waalaikumsalam warahmatullah. Lho nduk, kok sendiri? Nak Denis mana? Gak ikut ke rumah?” tanya ibuku begitu melihat aku datang sendirian. “Mboten, Bu. Dila pulang sendiri,” jawabku dengan santun. Ibuku langsung menatap penuh curiga. Beliau memang perempuan yang sangat peka. Dia pasti sudah bisa menebak jika terjadi sesuatu sampai aku pulang ke rumah tanpa ditemani atau bahkan diantar Mas Denis. “Ada masalah apa, Nduk?” tanya ibuku dengan penuh perhatian. Beliau juga menuntunku untuk duduk di ruang tamu. Ternyata benar, wanita setelah menikah, ketika datang ke rumah orang tuanya, akan terasa seperti tamu. Sedangkan saat datang ke rumah mertua, akan merasa seperti orang lain. Sekalipun beliau begitu baik. “Aku …, aku mau gugat cerai Mas Denis, Bu,” kataku takut-takut. “Astaghfirullahalazim…” Bukan ibuku yang menyahut, melainkan Bapak yang baru datang dari dalam. “Kamu ngomong apa sih, Nduk? Kenapa tiba-tiba punya pikiran negatif seperti itu. Nak Denis ada salah apa? Kalau ada masalah itu, dibicarakan dulu. Jangan asal minta cerai apalagi mau melayangkan gugatan cerai. Kalian aja nikah baru berapa bulan, lho.” Bapakku langsung berkomentar panjang lebar menolak keinginanku tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu, perceraian adalah hal tabu untuk keluarga besar dari kedua orang tuaku. Sebisa mungkin, tidak ada kata perceraian di keluarga kami. Hanya saja, aku tidak yakin bisa bertahan dengan situasi yang terjadi antara aku dan Mas Denis saat ini. “Sudah, Pak. Jangan dimarahin dulu Dila-nya. Kita dengarkan dulu alasan dan penjelasan Dila,” sahut ibuku menengahi. Bersamaan dengan itu, adikku Risa juga ikut bergabung dengan kami. Aku pun menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi di depan kedua orang tuaku. Sejak kecil, kami memang dididik untuk bermusyawarah keluarga jika terjadi masalah. “Bersabarlah sedikit, Nduk. Siapa tau Nak Denis hanya butuh waktu saja. Kehilangan karena kematian itu luka batin yang belum ada penawarnya. Kamu maklumi saja jika Nak Denis tidak semudah itu untuk melupakan mendiang istrinya. Yang penting, kan, selama ini Nak Denis sudah menjadi suami yang baik buat kamu. Kamu gak bisa gugat cerai Nak Denis jika alasannya tidak syar’i, Nduk.” “Tapi Mas Denis menikahi Dila tanpa cinta, Pak. Dila sakit hati. Dila tersiksa karena harus mencintai sebelah tangan. Dila juga ingin dicintai sama suami Dila sendiri.” “Betul, Dila. Bapak paham. Percaya sama Bapak, cinta bisa tumbuh setelah terbiasa. Kamu hanya perlu lebih banyak bersabar sampai cinta itu tumbuh di hati suamimu. Niatkan menikah untuk ibadah, Nak. Maka kamu akan punya kesabaran lebih untuk menjemput berkah dan keridhaan-Nya.” Aku menangis mendengar nasehat Bapak. Mungkin benar, saat ini aku masih kurang sabar dalam menghadapi Mas Denis. Jika memang Mas Denis mempunyai niat untuk berusaha mencintaiku, mungkin aku bisa berpikir ulang untuk melayangkan gugatan. Akan tetapi, melihat respon dari Mas Denis sebelum aku pergi tadi, kenapa rasanya dia tidak punya niatan sedikitpun untuk membangun cintanya untukku?Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku. Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka. Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini. Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah. “Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis. Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa. “Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik ban
“Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?” “Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku.“Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali.Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang
Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak
“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan
“Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya.
Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas
“Maaf baru datang, baru beres urusan di pengadilannya,” kata Mas Denis. “Gak apa-apa, Nak. Dila juga sudah baikan. Iya, kan, Nduk?” jawab Ibu. “Iya,” cicitku lirih. Mas Denis berjalan mendekat. Entah mengapa, dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah tahu jika aku sedang mengandung anaknya, aku menjadi makin menaruh rasa untuknya. Sampai-sampai, berada di dekatnya mampu membuatku makin salah tingkah. “Masih pusing, Dik?” tanya Mas Denis begitu sampai di sebelahku. Aku menggeleng lemah. Rasanya suaraku sulit keluar saat berada di dekat Mas Denis. Apalagi setelah mencium aroma tubuh bercampur parfum yang selalu dipakai olehnya. Rasanya ingin sekali menghirupnya dalam-dalam karena mampu membawa kenyamanan tersendiri. Risa dan Ibu terlihat menggeser posisi mereka, seakan membiarkan Mas Denis saja yang lebih dekat denganku. Mereka juga terlihat senang dengan in
“Aku bisa sendiri, Mas,” kataku saat Mas Denis turun lebih dulu dari mobil hanya untuk membukakan pintu mobil untukku. “Mas tahu,” jawabnya, tetapi dia tetap membantuku hingga keluar dari mobil. Setelah kantong infus yang pagi tadi dipasang ke tubuhku habis, akhirnya aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Aku tidak menyangka akan kembali pulang ke rumah Mas Denis secepat ini. Bahkan dalam kondisi berbadan dua. “Kamu langsung istirahat, ya? Kalau butuh apa-apa bilang ke Mak Ijah aja. Mas mau ke rumah bapak/Ibu buat ambil barang-barang kamu,” titah Mas Denis. “Kenapa tadi gak mampir sekalian aja, sih, Mas? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik kayak gini.” “Gak apa. Mas sengaja biar kita cepat sampai rumah, dan kamu bisa langsung istirahat, Dik.” “Aku dari tadi gak ngapa-ngapain, Mas. Jangan perlakukan aku kayak orang penyakitan. Aku cuma hamil, bukan lagi sakit seri
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r
Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye
"Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?" Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain. “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga
“Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,
“Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.” Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup. “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya. Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.” “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?” Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma
“Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi. Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka. “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da
“Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat
“Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan
“Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s