"Kamu bikin sarapan nasi goreng pakai kecap?" tanya Mas Denis, suami yang belum lama ini menikahiku.
"Iya. Kamu gak suka nasi goreng pakai kecap, Mas?" Aku memang belum mengetahui banyak hal tentangnya. Kami hanya sempat dekat dan saling mengenal sekitar tiga bulan sebelum melangsungkan pernikahan. Karena aku yakin dia pria baik-baik, maka aku pun tidak ragu saat menerima lamarannya di depan kedua orang tuaku. "Suka kok. Cuma biasanya mendiang istriku kalau bikin nasi goreng untuk sarapan, gak pernah pakai kecap. Beda lagi kalau bikin nasi gorengnya buat makan malam. Baru dikasih kecap." Dahiku mengernyit. 'Terus maksudnya aku harus meneruskan kebiasaan almarhumah istrinya, gitu?' batinku yang ternyata tidak mampu kulisankan di depan Mas Denis. Aku memang dinikahi oleh seorang duda tanpa anak. Istri pertama Mas Denis meninggal dua tahun yang lalu. Selama dua tahun ini, yang kudengar Mas Denis pun tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Aku sempat merasa tersanjung karena bisa membuatnya 'move on'. Meskipun kini aku meragu sendiri. Benarkah suamiku sudah selesai dengan cinta masa lalunya? Benarkah dia sudah melupakan mendiang istrinya? Apakah aku benar-benar ada di dalam hatinya? Aku sungguh sangsi mengenai hal itu. "Maaf. Aku gak bermaksud untuk membandingkan masakan kalian. Aku tadi refleks bicara seperti itu," ujarnya terlihat tidak enak hati. Mungkin karena melihatku terdiam dalam beberapa saat. "Gak apa-apa, Mas. Aku paham. Aku bisa kok bikin nasi goreng tanpa kecap buat pagi hari, dan pakai kecap kalau malam hari. Gampang buatku," putusku kemudian. Mengalah seperti biasa jika Mas Denis sudah mulai membandingkan kebiasaanku dengan kebiasaan mendiang istrinya. "Makasih, Dik. Kamu memang istri yang baik," pujinya. Sayangnya, pujian itu tidak cukup membuatku tersanjung. 'Baik aja gak cukup, Mas. Kalau aku gak bisa jadi wanita yang benar-benar kamu cintai, sedangkan aku sudah sah menjadi istrimu.' Aku sama sekali tidak menyangka jika menikah dengan pria yang ditinggal mati istrinya akan serumit ini. Dia memang baik, sangat baik mungkin. Akan tetapi, aku merasa selalu kurang jika sudah mengenai perasaan. Kurasa, Mas Denis tidak pernah benar-benar mencintaiku. Mungkin cintanya sudah habis di orang lama. Bersamaku, Mas Denis hanya sekedar melanjutkan hidup saja. Dan aku? Apakah aku mampu bersaing dengan orang yang sudah mati? "Mbak, kok udah melamun aja, sih, pagi-pagi," tegur Risa. Adik perempuanku itu memang setiap pagi datang untuk menitipkan kue buatannya. Aku membuka warung kelontong di depan rumah setelah Mas Denis berangkat bekerja. Sejak menikah dengan Mas Denis, aku diminta untuk resign dari tempat kerjaku yang kantoran. Mas Denis ingin aku menjadi ibu rumah tangga dan tidak lagi bekerja di luar rumah. Semua kebutuhanku setelah menikah ditanggung olehnya. Namun, aku yang terbiasa mandiri dan punya penghasilan sendiri memaksa untuk diperbolehkan membuka warung dengan dalih untuk mengisi kesibukan semata. Beruntung Mas Denis mau mengizinkan meski syarat dan ketentuan yang menyertai tidak hanya satu dua hal saja. "Siapa yang melamun? Orang aku lagi mikirin barang warung apa aja yang udah habis. Jadi besok bisa langsung belanja sama Mas Denis." "Keh! Dikira aku percaya apa, Mbak?" Usiaku dengan Risa hanya selisih dua tahun. Kami sudah biasa sama-sama sejak kecil. Jadi tidak heran lagi jika dia paling mengerti gelagat tidak biasa yang tanpa sengaja kubuat. Bahkan tanpa aku bercerita panjang lebar padanya, aku yakin dia pasti sudah tahu jika aku sedang meresahkan sesuatu. "Apa ini masih tentang mendiang istrinya Mas Denis?" tebaknya begitu tepat sasaran. Aku mendesah lirih. Tadinya aku tidak ingin banyak mengeluh sekalipun pada adikku sendiri. Namun, tidak bisa dipungkiri, hanya kepadanyalah aku merasa nyaman untuk bercerita. "Gimana, ya, Dik? Mas Denis kayaknya gak bisa lupain almarhumah Mbak Indah, deh. Aku mulai capek ngikutin kemauan Mas Denis yang seakan pengen aku jadi seperti mendiang istrinya. Aku kayak gak bisa jadi diri sendiri kalau ngikutin maunya Mas Denis terus," keluhku. "Mbak pernah protes atau bilang terus terang sama Mas Denis gak? Kalau sebenarnya, Mbak Dila itu keberatan kalau apa-apa harus mengikuti kebiasaannya almarhumah Mbak Indah?" Aku menggeleng pelan. Selama ini aku memang tidak pernah protes pada suamiku. Aku merasa sungkan jika harus menolak keinginannya. Apalagi rata-rata yang berbeda antara aku dan mendiang istrinya Mas Denis hanya untuk hal-hal remeh seperti kebiasaan cara memasak atau cara berpenampilan. Aku yang biasanya tampil dengan rambut pendek di bawah telinga, akhirnya bertekad untuk memanjangkan rambut atas permintaan Mas Denis. Baru belakangan ini aku tahu jika rambut almarhumah Mbak Indah memang biasa tergerai panjang sepunggung. "Ya itu, sih, salahnya Mbak sendiri. Kenapa gak terus terang aja sama Mas Denis? Yang terpenting dalam suatu hubungan itu komunikasi yang baik, Mbak. Kalau Mbak pendam semuanya sendiri, yang ada justru jadi bom waktu yang tinggal menunggu saatnya tiba untuk meledak dan menghanguskan semuanya." Aku terpaku merenungi ucapan Risa sebelum meninggalkan warung. Apa yang dikatakan Risa mungkin benar. Aku bersalah karena berlagak mampu dan mengabaikan rasa sakitku sendiri. Namun, untuk jujur kepada Mas Denis? Aku sungguh takut menyinggungnya. "Dik, ada titipan dari Mama." Mas Denis memberikan amplop putih panjang kepadaku. Mama yang dimaksud Mas Denis pasti mamanya. Mamanya Mas Denis sering memberiku hadiah selama aku menikah dengan putranya. Dia begitu baik dan membuatku merasa beruntung karena menjadi menantunya. "Apa ini, Mas?" tanyaku sungguh penasaran. "Gak tau. Mas juga belum buka isinya. Coba kamu buka aja." Aku pun membuka amplopnya di depan Mas Denis. Ternyata sebuah paket liburan selama dua hari satu malam dengan jenis liburan staycation di The Westlake Hotel & Resort, Yogyakarta. Aku paham maksud mamanya Mas Denis. Beliau ingin kami bulan madu meskipun tanpa harus pergi ke luar kota karena pekerjaan Mas Denis yang sulit ditinggalkan. "Apa isinya, Dik?" tanya Mas Denis. Aku memperlihatkan isinya dan Mas Denis diam saja. 'Mas Denis pasti tidak berminat untuk bermalam di hotel denganku.' Aku menundukkan wajah. Berharap mukaku saat ini tidak menunjukkan dengan jelas rasa kecewaku atas keterdiaman Mas Denis. Namun, sepertinya Mas Denis yang cukup sensitif bisa merasakannya karena setelah itu dia segera merespon. "Kamu mau gak?" tanyanya dengan nada datar. "Aku terserah sama Mas Denis aja," lirihku. Aku tidak berani menjawab secara terang-terangan jika aku menginginkannya. Bukan hanya ingin berlibur karena memang sudah lama tidak liburan, tetapi aku juga punya harapan barangkali saat di sana nanti, Mas Denis akhirnya mau menjadikanku sebagai istri seutuhnya.Aku dan Mas Denis memang sudah menikah kurang lebih tiga bulan lamanya. Namun, selama itu juga, aku dan Mas Denis tidak pernah melakukan kontak fisik secara intim. Sekalipun kami tidur di atas ranjang yang sama setiap malam, tetapi Mas Denis tidak pernah bertindak lebih untuk menyentuhku. Ciuman dan pelukan dari Mas Denis pun terasa ringan seperti seorang kakak pada adiknya. Tidak ada hasrat menggebu seperti yang biasanya menjadi bumbu dalam hubungan pasutri pada umumnya. "Ya sudah. Kalau gitu habis makan malam nanti kita siap-siap. Besok kita liburan." "Serius, Mas?" seruku refleks saking senangnya. "Iya." Aku secara spontan memeluk Mas Denis dari samping begitu erat tanpa balasan darinya. Rasa senang yang menguasaiku sampai membuatku lupa diri. Baru setelah Mas Denis berdehem, aku melepaskan pelukan dengan wajah malu.“Maaf,” cicitku. “Gak masalah. Sekarang siapin makan malam aja, aku mau mandi dulu.” “Iya, Mas.” Aku pun ke dapur dengan perasaan senang yang masih tersisa. Ma
“Apa?” Mas Denis langsung menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya dari ekor mata, karena wajahku masih tertunduk tanpa berani menatapnya. Aku yakin, saat ini wajahku begitu sembab akibat semalaman air mata tidak kunjung mau berhenti menetes. “Maksud kamu apa, Dik?” tanya Mas Denis masih dengan nada rendah. “Mas ada salah apa? Kamu marah karena semalam Mas menolakmu?” Aku hanya tersenyum kecil. Ternyata Mas Denis benar-benar tidak ingat dengan kejadian semalam. Aku pun enggan menjelaskan karena rasanya seperti mengakui dengan nyata tentang tidak berharganya diriku di hadapan suami sendiri. “Aku akan urus gugatan cerainya setelah dari sini, kalau Mas memang gak mau menjatuhkan talak padaku,” pungkasku tanpa menjawab pertanyaan Mas Denis. Aku juga berniat bangun dari duduk untuk pergi, tetapi lenganku ditahan Mas Denis. “Tunggu? Apa yang terjadi dengan semalam?” tanyanya kemudian. Aku masih diam dan tidak bergeming. “Noda merah ini?” katanya penuh keraguan. Ternyata Mas Denis su
Malam harinya, Mas Denis datang ke rumah bersama dengan mamanya. Aku menyambut keduanya dengan ramah, meskipun aku bisa melihat gurat kecewa dari mamanya Mas Denis saat bersitatap denganku. Kedua orang tuaku juga menyambut keduanya dengan baik. Bahkan dengan inisiatifnya, bapakku juga meminta maaf atas sikapku yang mungkin tidak mengenakkan untuk mereka. Jujur, saat ini aku menjadi merasa bersalah kepada Bapak. Aku tidak berniat mempermalukan keluargaku, atau merendahkan harga diri di depan mereka dengan meminta maaf seperti ini. Namun, aku pun tidak bisa mencegah mereka melakukannya, karena mungkin dalam pandangan mereka, aku memang bersalah. “Ma, maaf kalau Dila sudah bersalah dalam mengambil sikap,” ucapku ikut meminta maaf saat aku sedang berdua dengan mamanya Mas Denis. Selama ini beliau memang sangat baik kepadaku, sehingga aku pun menjadi sungkan sendiri sekarang karena sudah membuatnya kecewa. “Jujur saja Mama kecewa sama kamu, Dila. Padahal Mama dan Denis sudah baik ban
“Kamu diantar pulang sama Nak Denis, Nduk?” “Njih, Bu.” “Kok bisa ketemu?” Aku mengangkat bahu. “Gak sengaja, tadi waktu mau pulang ketemu Mas Denis, terus diantar.” Aku sengaja tidak menceritakan bagian aku yang hampir terserempet kendaraan saat berjalan hingga ditolong oleh Mas Denis. Aku tidak mau, Ibu menjadi khawatir denganku.“Bukannya ini masih jam kantoran?” tanya Ibu kembali.Aku kembali mengangkat bahu, meskipun otakku ikut penasaran dan memikirkan apa yang dikatakan oleh ibu. ‘Gak, gak! Gak mungkin, kan, kalau Mas Denis memang sengaja di depan Pengadilan Agama karena tahu aku mau ke sana? Mana peduli Mas Denis sama aku? Pasti tadi sungguhan tidak sengaja,’ batinku tidak berani berasumsi lebih. “Ya sudah lah. Ibu cuma bisa bantu doain kamu, mudah-mudahan dapat jalan takdir yang terbaik.” “Aamiin. Matur nuwun, Bu. Doa dan restu Ibu justru yang paling utama untuk saat ini.” Aku pun kembali ke kamar setelah berbincang singkat dengan ibu. Aku ingin merebahkan badan yang
Aku benar-benar datang ke rumah Mas Denis pagi harinya. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali karena tidak mau ketinggalan momen melihat Mas Denis berangkat bekerja. Seniat itu hanya ingin melihat sejenak wajah suami yang sedang ku gugat cerai. “Eh, Mbak Dila yang antar kue?” tanya Mak Ijah begitu melihatku datang. “Iya, Mak. Risa lagi banyak catering. Jadi aku bantu-bantu dia antar kue aja daripada gabut di rumah. Mak Ijah, sehat?” “Alhamdulillah, sehat, Mbak Dila. Paling juga cuma kaki kadang sakit, biasalah sudah tua, sering rematik dan asam urat kambuh.” “Dijaga pola makannya, Mak. Jangan sampai salah makan yang seharusnya dihindari.”“Iya, Mbak Dila. Emak juga sekarang makannya hati-hati. Ini juga mumpung kakinya gak rewel, jadi bisa jaga toko.” “Maaf, ya, Mak. Gara-gara Dila…” “Hush! Sudah, Mbak Dila. Mbak Dila gak salah apa-apa. Lagian Mak jaga toko ini juga buat cari uang. Yang penting Mbak Dila sehat-sehat aja, kan?” “Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Aku pun mengobrol banyak
“Masih dong, Mbak. Nanti kan di proses pengadilan masih ada mediasi. Aku harap, sih, kalian masih gunakan proses mediasinya. Hakim pengadilan juga gak akan semudah itu meloloskan gugatan perceraian, jika masih punya peluang untuk didamaikan.” Aku diam saja mendengarkan nasehat adikku. Terkadang, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi cara berpikirnya bisa logis dan lebih dewasa. Aku tidak pernah tersinggung sekalipun harus menerima masukan dari seseorang yang lebih muda dariku. Karena kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usia semata. “Bantu doain Mbak aja, ya. Mbak pasrahkan semua yang terbaik untuk aku dan Mas Denis sama Tuhan. Aku yakin, apapun yang nanti akan terjadi, adalah alur terbaik yang sudah digariskan buat aku juga Mas Denis.”Aku pun sudah sepasrah itu kepada Tuhan untuk kelanjutan rumah tanggaku bersama Mas Denis. Ingin bersikeras mempertahankan juga rasanya menyedihkan karena terkesan
“Ada surat dari Pengadilan Agama, Nduk,” kata Bapak sambil menyerahkan amplop surat kepadaku. “Surat panggilan untuk sidang pertama, ya?” “Mungkin begitu, Nduk. Kamu buka aja,” kata Bapak lagi. Aku pun membuka surat yang diberikan Bapak hanya demi membuktikan tebakanku benar. Setelah empat minggu lamanya memasukkan berkas dan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama, akhirnya ada panggilan untuk datang ke sidang pertama juga. “Lama juga, ya? Hampir sebulan baru diproses surat gugatannya,” gumamku nyaris tidak terdengar. Namun, ternyata Bapak menyahut juga. “Memang lama, Nduk. Bahkan proses sampai selesai bisa enam bulan sendiri baru beres. kecuali kalau di sidang pertama, hakim berhasil mendamaikan kalian, maka gugatan akan dicabut.”Kepalaku menunduk. Entah harus berdoa seperti apa saat rasanya begitu dilema antara ingin pisah, tetapi juga belum siap sepenuhnya.
Telingaku kembali berdenging dengan pandangan mata masih menghitam. Aku merasa atmosfer di sekitarku mendadak berubah menjadi lebih dingin. Samar-samar, pendengaranku menangkap suara-suara yang tidak asing, tetapi belum bisa kupahami apa yang dibicarakan. Seluruh tubuh terasa kaku dan sulit digerakkan. Bahkan kelopak mata juga belum mampu terbuka sekalipun aku sudah berusaha membukanya. Kutarik napas dalam-dalam sampai perlahan jari-jari tangan mulai bisa kugerakkan. “Mbak?” panggil Risa di dekat telingaku. Aku kembali berusaha membuka mata sampai warna hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya yang terlihat, berangsur-angsur berubah menjadi warna ungu kemudian makin terang. “Mbak Dila sudah sadar?” tanya Risa lagi, masih dengan nada suara rendah, tetapi diucapkan di dekat wajahku. “Ris,” lirihku. “Iya, Mbak?” Aku mencium aroma karbol yang khas
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r
Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye
"Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?" Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain. “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga
“Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,
“Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.” Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup. “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya. Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.” “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?” Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma
“Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi. Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka. “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da
“Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat
“Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan
“Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s