“Jerman?” ulang Attar untuk memastikan. Dia yakin telinganya tidak salah mendengar.Kepala Ayra mengangguk untuk membenarkan. Ekspresi wajahnya tidak menampakkan rasa bersalah sama sekali.Sementara, hati Attar yang panas pun menggebu-gebu karena bisa-bisanya Ayra berpikir untuk pergi jauh setelah menjadi istri sahnya? Lantas suaminya harus ditinggal begitu saja, hidup sendirian, dan mereka akan saling terpisah?“Wahh.” Attar tertawa miris. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian menyugar rambutnya yang masih berantakan.Wanita itu hanya memperhatikan reaksi suaminya. Dia pikir tidak akan ada masalah. Lagipula ... bukankah Attar sempat menyuruhnya untuk kuliah?“Bukankah Mas Attar pernah menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan? Seharusnya Mas Attar senang kalau aku kuliah. Dulu Mas Attar juga pernah menawarkan padaku untuk kuliah di luar negeri. Jadi ... aku boleh ‘kan, Mas?” Tentu saja Ayra tidak paham bagaimana perasaan suaminya saat ini.“Ay, kamu yakin mau kuliah? Dan mesti k
Ayra masih memikirkan matang-matang keputusan dirinya yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.Saat ini Attar dan Ayra sudah duduk kembali di meja makan. Ayra melahap makanan, sedangkan Attar hanya duduk sembari memakan camilan yang tersedia karena sebelumnya di sudah sarapan meskipun tidak sampai habis.“Tapi ... gimana kalau saat aku kuliah nanti, aku hamil, Mas?” Ayra bertanya sambil mengunyah makanan.“Kalau hamil ya nanti anaknya dilahirkan. Lagian wajar aja ada mahasiswi hamil. Kan sudah bersuami.” Attar menjawab dengan santai.“Kalau kehamilan ditunda dulu boleh atau nggak, Mas?” tanyanya pelan. Ayra takut kalau Attar akan kecewa dengan pertanyaannya yang mungkin terdengar seperti tidak berpikir lebih dulu sebelum bertanya.“Aku nggak akan memaksa kita harus punya anak kapan. Kalau istriku sudah siap, sebaiknya jangan ditunda lagi. Gimana?”Ayra meraih satu gelas air putih lalu diteguk. Wanita itu sudah mengakhiri aktivitas sarapannya. Setelah semua makana
Jerman, 2022Rumah yang dihuni oleh dua orang itu tampak sepi. Beberapa lampu di dalam ruangan sudah mati. Semua gorden jendela pun telah ditutup rapat . Seperti tidak ada manusia yang sedang beraktivitas di dalamnya. Namun sebenarnya, salah satu penghuninya sedang duduk di dalam sebuah kamar. Dia tengah melamun di sudut kamar seorang diri.“Kamu di mana, Ren?” gumamnya pelan. Sejak beberapa jam yang lalu, Reti sudah merasa kelaparan. Dia duduk di sana menahan tubuhnya yang lemah sembari mengusap perut beberapa kali.Reti menghela napas panjang. Setiap malam dia harus menunggu Rendra pulang telat. Karena Reti juga sama sekali tidak paham bahasa Jerman dan dia takut untuk keluar seorang diri, maka satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah berdiam diri di dalam rumah lalu menunggu Rendra pulang jika ingin mendapatkan makanan.Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Reti mendengar suara pintu rumah yang diketuk. Dia segera berjalan cepat menuju pintu untuk membukanya.“Itu pasti Rendra,”
Selesai membersihkan diri, Rendra mengenakan pakaian lengkap di tubuhnya. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya yang berkeringat karena aktivitas dari pagi hingga malam.Pria itu berjalan di dalam kamar sembari mengelap rambut yang masih lembab menggunakan handuk kecil. Dia menuju ke meja belajar untuk mencari ponsel yang ada di dalam tas kuliah.Kegiatan Rendra sehari-hari adalah berangkat kuliah, lalu sepulang kuliah langsung menuju ke tempat kerja tanpa sempat pulang lebih dulu. Hal itu membuatnya jarang sekali berkomunikasi dengan Reti bahkan saat berada di dalam rumah pun, mereka masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.Seperti halnya saat ini. Rendra sudah makan malam di tempat kerjanya. Setibanya di rumah, dia hanya akan mandi lalu membuka buku sebentar. Setelah itu, biasanya barulah beristirahat dan tidur. Dia jarang sekali menemani Reti makan malam. Nyaris selalu membiarkan istrinya berada dalam kesepian.Rendra memegang ponsel hanya untuk memastikan, adakah pesan pen
Layar bioskop menampilkan credit title. Pertanda bahwa film telah berakhir. Lampu-lampu pun sudah menyala dan beberapa orang mulai beranjak dari tempat duduk.Ayra mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam tangan. Jarum pendek menunjuk ke angka sembilan. Tidak terasa hampir dua jam mereka menghabiskan waktu untuk menonton film di bioskop yang terdapat di dalam gedung mall.“Ternyata udah malam banget, Mas. Padahal kita belum sempat belanja. Aku mau beli baju dan beberapa buku,” keluh Ayra. Dia kembali menyandarkan kepalanya di punggung kursi sembari menunggu orang-orang keluar terlebih dulu sebab malas berjalan di antara banyak orang.“Kalau nanti masih ada toko baju yang buka, aku temenin kamu beli baju. Udah jangan kesal gitu. Harusnya habis nonton film ‘kan senang. Masa cemberut gitu?” bujuk Attar sambil merangkul pundak Ayra. Dia mencubit pipi Ayra dengan perasaan gemas.“Memangnya nanti pulangnya jadi nggak kemalaman, Mas?” Ayra menatap Attar yang sejak tadi memperhatikannya. D
Ayra berjalan mendekati lemari pakaian. Dia mencarikan pakaian kerja untuk suaminya pagi ini. Satu-persatu Ayra amati dan melihatnya dengan jeli, mana yang akan diambil olehnya yang kira-kira cocok untuk Attar.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Attar yang baru selesai mandi. Dia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di perut hingga lutut.Pria itu berjalan mendekati sang istri. Kemudian memeluk Ayra dari belakang. Attar menunggu Ayra memilihkan pakaian untuk dipakai pergi ke kantor olehnya. Seketika aroma sabun yang berbau madu bercampur susu menyapa indra penciuman Ayra. Hal itu sudah terbiasa di setiap paginya.“Pagi, Mas.” Ayra menyahut tanpa menoleh. Matanya sibuk menyapu kemeja yang ada di depannya.“Mas, mau pakai baju yang mana? Aku bingung mau milih yang mana,” tanya Ayra. Kebanyakan pakaian yang Attar digunakan untuk bekerja mempunyai warna pastel.“Eumm ....” Attar tampak memilih. “Hari ini aku mau pakai yang warna biru pastel aja,” ucapnya sambil menunju
“Loh, loh? Mau ke mana? Ini arum manisnya udah aku beliin, Sayang. Kamu mau pergi ke mana? Wajah kamu kenapa sedih gitu?” Begitu tiba di dalam rumah, Attar mendapati Ayra yang baru menuruni tangga dengan pakaian serba gelap seperti orang yang tengah berduka. “Mas, kamu mau nemenin aku nggak?” Ayra membalas tatapan Attar dengan tatapan sendu. “Ke mana? Ini udah sore, loh.” “Aku mau ke makam mama sama papa. Aku kangen sama mereka, Mas,” ucapnya. Attar menyaksikan air bening di pelupuk mata Ayra, menghalangi bola mata indah yang menjadi pusat perhatiannya. Dia segera memeluk wanita itu dengan lembut. “Tunggu aku mandi sebentar, ya? Nggak akan lama, kok. Aku akan nemenin kamu ke sana.” Attar berbisik. Kepala Ayra mengangguk pelan. “Aku tunggu, Mas.” Attar pun melepaskan lagi pelukannya dari Ayra. Kemudian meletakkan dua bungkus arum manis di meja ruang tamu. Padahal saat pulang tadi, Attar berniat untuk langsung memberikan kabar gembira yang dia peroleh. Namun sepertinya suasana hat
“Rendra.” Reti memanggil suaminya sebelum lelaki itu berangkat kuliah. Mereka belum bersalaman, tetapi Rendra malah hendak pergi begitu saja.Pemilik nama yang dipanggil itu pun berbalik badan. Dia hampir lupa pada kebiasaan istrinya yang terkadang masih belum bisa diterima. Seharusnya yang seperti ini padanya adalah Ayra, bukan Reti sebab Rendra dan Ayra pernah berjanji untuk saling menikah.Namun Rendra segera tersadar bahwa dia tidak boleh terus berlarut dalam ingatan masa lalu dirinya tentang Ayra. Ayra sudah berbahagia dengan pria lain, sedangkan dia pun harus bertanggung jawab terhadap wanita yang tengah mengandung anaknya.“Maaf, aku lupa.” Rendra membalas tatapan Reti, tepat pada netra legam wanita itu. Kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan sang istri. Ucapan maaf dari Rendra barusan membuat hati Reti meleleh.Senyuman tipis terpatri di wajah Reti. Dia lalu mencium punggung tangan Rendra. “Ren, aku boleh minta uang lebih nggak?” tutur Reti dengan penuh kehati-