“Sialan!” Attar mengumpat ketika mobilnya terjebak di antara kendaraan besar di depannya saat membuntuti Rendra dan Ayra. Ia sudah kehilangan jejak sejak beberapa saat yang lalu dan tidak dapat menemukannya lagi.“Mereka ke mana coba?” Attar sudah mencoba melajukan mobilnya dengan cepat sembari mencari dua anak sekolah itu. Ia cemas kalau Rendra dan Ayra pergi ke tempat yang tidak selayaknya. Namun apa daya, Attar benar-benar tidak tahu lagi harus mencari mereka ke mana usai kehilangan jejak keduanya. Ia memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Kalau tidak sibuk, besok Attar akan melakukan hal yang sama.Berhubung masih sore dan Attar terus-menerus dihubungi oleh Sania untuk bertemu, akhirnya ia mau menemui wanita itu meskipun hatinya melawan. Attar tidak tahu akan sampai kapan dirinya menjalani hubungan yang baginya palsu. Semakin hari kian enggan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Padahal mereka pada akhirnya tetap menikah.*** “Apapun yang kamu tahu tentangku, Ra, aku mohon maa
“Reti, kamu jangan gila!” bentak Rendra melepas pelukan Reti. Mereka berdua mulai menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu di sekitar jalanan itu. Kebetulan Rendra ingin berhenti mampir ke minimarket untuk membeli sesuatu. Sebelum itu, Reti sudah lebih dulu menghadangnya menggunakan motor.“Rendra, aku cuma mau manja-manja sama kamu.”“Ini di pinggir jalan! Kamu nggak tahu malu apa?” Lelaki itu menjauh dari Reti.“Ya udah, ke rumah kamu saja, Ren.” Reti memajukan langkah mendekati Rendra kembali.“Ret, bukannya aku sudah bilang sama kamu kalau kita nggak usah berhubungan lagi? Aku mau kita kayak dulu yang nggak kenal dekat.”“Kamu mau seenaknya buang aku setelah apa yang kamu dapat, Ren?” tanya Reti dengan suara merendah. Pertanda kalau ia tengah marah. Ia menatap Rendra kecewa.“Aku nggak mau tahu. Mulai sekarang dan seterusnya, aku nggak ingin kita ada hubungan apa-apa lagi. Anggap saja kita nggak saling mengenal,” pungkas Rendra menaiki motor miliknya.“Kamu tega, ya, Ren?”
Fera terdiam usai mendengar pertanyaan Attar. Haruskah ia menjawab? “Memangnya penting ya Pak?” Dengan lancangnya, Fera balik bertanya kepada lelaki dewasa di sebelahnya.“Ayolah, Fer. Aku nggak ada niatan bercanda sama sekali.” Pria itu hampir frustrasi dengan keadaan. Ditambah sikap Fera mulai berani terhadapnya.“Saya juga nggak bercanda. Saya tanya sama Pak Attar, seberapa penting kabarnya Ayra untuk Pak Attar? Apakah Pak Attar menc—” Fera hampir saja menanyakan apakah Attar mencintai Ayra atau tidak? Ia tidak ingin berkata lebih lancang lagi setelah memberikan pertanyaan seperti sebelumnya. Akhirnya Fera membungkam mulutnya.“Kenapa? Kamu mau tahu jawabannya? Jawabannya adalah aku akan segera menikah, tapi belum tenang sebelum mengetahui kondisi batin Ayra.”Fera menghela napas malas. Pertanyaannya tidak dijawab dengan detail dan itu membuatnya menyerah. Padahal Fera sangat ingin memastikan sedikitnya bagaimana hati Attar untuk Ayra. “Kalau gitu, saya juga nggak akan jawab,” pun
Ayra masih mematung melihat nama dua orang yang tertera di kertas undangan. Kedua tangannya belum menyentuh sama sekali. Ia terlalu terkejut dengan apa yang ada di depan mata. Attar sungguh akan menikah dengan wanita lain?“Ayra, kamu nggak apa-apa?” Fera mengibaskan kertas undangan tersebut di depan wajah Ayra. Membuat gadis yang matanya sudah berkaca-kaca itu tersadar dan menatap Fera. Ada perasaan sedih yang tersembunyi pada sorot bola mata Ayra.Fera meletakkan benda tipis itu di pangkuan Ayra. “Aku lihat kamu pasti sedih banget dengan berita ini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menghancurkan pernikahannya besok? Menggagalkan semuanya? Atau lebih baik aku mencari aib wanita itu lalu membongkarnya di depan Pak Attar supaya Pak Attar membatalkan pernikahan mereka?” Fera mencoba ingin membantu Ayra dengan cara apapun.Ayra menggamit kertas undangan dan menatap benda tersebut dengan nanar. Ia menggelengkan kepala pelan. “Nggak perlu, Fer.”Fera mengamati wajah Ayra yang s
“Kenapa diam saja, Fer?” Ayra masih menunggu jawaban dari Fera. “Ayo jawab. Kamu chattingan sama Pak Attar, 'kan?” Gadis itu menatap Fera dengan tatapan nyalang. Tanpa menunggu jawaban, diamnya Fera sudah menjawab pertanyaan Ayra. Ia melempar tatapan ke sembarang arah dan melepas sendok yang ada di tangannya. Mendadak nafsu makan Ayra menjadi hilang. Ia bangkit dengan napas gusar menguasai.Fera yang sejak tadi hanya menunduk, kini mendongak dan menatap Ayra khawatir. Ia tidak ingin dimarahi oleh sahabatnya apalagi dijauhi. Fera segera bergeming. “Ayra, aku nggak macam-macam di belakangmu.”“Fera! Aku saja memblokir nomornya Pak Attar supaya dia nggak nanya kabar-kabar aku terus. Aku berusaha mati-matian melupakan pria itu!”“Aku juga ingin dia melupakanku dan nggak usah mendengar kabar apapun lagi tentangku! Kamu malah diam-diam berkabar dengan Pak Attar. Kamu bilang apa saja, huh? Kamu kasih tahu ke dia kalau aku tinggal di sini?!” tegas Ayra dengan suara kencang dan melemah berg
“Non? Kenapa beneran jalan kaki sampai sini?”“Nggak apa-apa, Pak.” Fera langsung masuk ke mobil setelah pintu mobil dibukakan oleh sopir pribadinya. Wajahnya ditekuk kesal setengah mati karena Ayra tidak mempercayai dirinya. Fera benar-benar tidak menyangka jika persahabatan mereka mengalami keretakan.Lelaki yang sudah bekerja sebagai sopir selama kurang lebih lima tahun di rumah Fera itu menoleh ke belakang karena merasa ada yang aneh dengan Fera. Ingin bertanya lagi untuk memastikan, tetapi raut wajah Fera tampak sedang tidak bersahabat. Akhirnya ia menatap lurus ke depan dan segera melajukan mobil.“Kalian berantem, Non?” tanya sopir itu setelah berdiam beberapa menit. Rasa penasaran membuatnya berani bertanya.Fera tetap diam dan tidak mood untuk berbicara. Ia sedang tidak ingin membahas Ayra.*** “Sayang, kamu ngapain bawa aku ke sini? Aku mau tidur.” Sania bingung mengapa calon suaminya menyeretnya ke kamar yang bukan milik Attar. Padahal ia baru saja hendak ingin tidur di ka
“Kamu berusaha keras banget, Ren, buat perbaiki hubungan kita? Asal kamu tahu kalau aku sebenarnya sudah nggak peduli lagi sama kamu,” ungkap Ayra setelah kegiatan makan mereka selesai.“Tujuan kamu sebenarnya apa? Apa yang kamu cari dariku itu apa? Apa yang membuatmu berusaha banget buat baikan lagi sama aku? Bukannya dulu kamu pernah bilang kalau tipikal idaman kamu itu wanita dewasa? Bukan kekanakkan seperti aku?” lanjut Ayra menginterogasi lelaki yang masih terdiam menatapnya.“Aku nggak tahu, Ra. Aku nggak tahu kenapa kalau aku ini sangat ingin memilikimu sampai kapanpun. Aku nggak bisa jauh darimu, Ra. Kamu masih sama seperti dulu, ‘kan? Kamu masih ada rasa sama aku ‘kan, Ra?”Ayra menatap netra legam milik Rendra. Ia tidak menemukan adanya kebohongan seorang Rendra. Lelaki itu tampaknya memang masih sangat mencintai Ayra. Jika Ayra mengingat semua perjuangan bagaimana usaha Rendra mendekati dirinya yang tidak pantang menyerah meskipun ia abaikan berkali-kali, hal itu semakin j
Di pertengahan pelajaran, Ayra mengintip ponsel miliknya. Ia selalu berharap mendapatkan balasan dari Fera. Ayra mengirim pesan berupa permohonan maaf atas kejadian kemarin. Kini menanyakan bagaimana keadaan Fera di sana.Sudah belasan menit berlalu, pesan Ayra belum juga dibalas. Ayra kembali menghidupkan layar untuk mengecek ponsel. Tiba-tiba ada pesan masuk yang membuat Ayra terkejut senang. Namun ternyata, rasa senangnya langsung luntur saat membaca nama orang yang mengiriminya pesan.Rendra. Itu adalah orang yang mengirimi Ayra pesan. Padahal mereka berada di dalam satu kelas yang sama.Rendra adalah orang yang tidak bisa ditebak. Terkadang lelaki itu bisa menolong situasi Ayra yang sedang buruk. Sekarang Ayra membaca pesan dari Rendra meskipun terpaksa.Setelah pesan dibaca yang isinya adalah mengajak Ayra untuk pura-pura izin ke toilet, nantinya keluar dari sekolah untuk menjenguk Fera. Seketika wajah Ayra kembali senang. Idenya Rendra boleh juga.Tanpa pikir panjang, Ayra mel