Setelah sampai di depan rumah Ayra, Rendra memarkirkan motor di halaman.Ayra mengernyitkan dahi heran. Seharusnya Rendra langsung pulang saja. Bukan berhenti di sana lalu mampir. Hari ini Ayra berada di rumah sendirian. Fera tidak akan datang ke sana.“Kamu nggak pulang?” tanya Ayra. Menatap Rendra dengan tatapan tidak suka.“Aku mau di sini dulu sama kamu. Lagian kamu sendirian, ‘kan?”Ayra tidak berpikir macam-macam kepada Rendra karena malas menerka-nerka. Hanya akan membuang energi dan membuat beban pikiran saja. Ia tidak berkata apapun lagi dan langsung melenggang pergi dari hadapan Rendra yang masih duduk santai di atas motor.Ayra masuk ke rumah dibuntuti oleh Rendra. Anehnya, Ayra naik ke lantai atas hendak ke kamar pun, Rendra ikut bersamanya. Membuat Ayra menoleh ke belakang dan menatap tajam Rendra. “Ngapain ikut naik? Ruang tamu ada di bawah,” ucap Ayra mengedikkan dagu ke arah ruang tamu. Merasa gemas dengan sikap lelaki di belakangnya.Rendra sontak menghentikan langka
“Sialan!” Attar mengumpat ketika mobilnya terjebak di antara kendaraan besar di depannya saat membuntuti Rendra dan Ayra. Ia sudah kehilangan jejak sejak beberapa saat yang lalu dan tidak dapat menemukannya lagi.“Mereka ke mana coba?” Attar sudah mencoba melajukan mobilnya dengan cepat sembari mencari dua anak sekolah itu. Ia cemas kalau Rendra dan Ayra pergi ke tempat yang tidak selayaknya. Namun apa daya, Attar benar-benar tidak tahu lagi harus mencari mereka ke mana usai kehilangan jejak keduanya. Ia memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Kalau tidak sibuk, besok Attar akan melakukan hal yang sama.Berhubung masih sore dan Attar terus-menerus dihubungi oleh Sania untuk bertemu, akhirnya ia mau menemui wanita itu meskipun hatinya melawan. Attar tidak tahu akan sampai kapan dirinya menjalani hubungan yang baginya palsu. Semakin hari kian enggan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Padahal mereka pada akhirnya tetap menikah.*** “Apapun yang kamu tahu tentangku, Ra, aku mohon maa
“Reti, kamu jangan gila!” bentak Rendra melepas pelukan Reti. Mereka berdua mulai menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu di sekitar jalanan itu. Kebetulan Rendra ingin berhenti mampir ke minimarket untuk membeli sesuatu. Sebelum itu, Reti sudah lebih dulu menghadangnya menggunakan motor.“Rendra, aku cuma mau manja-manja sama kamu.”“Ini di pinggir jalan! Kamu nggak tahu malu apa?” Lelaki itu menjauh dari Reti.“Ya udah, ke rumah kamu saja, Ren.” Reti memajukan langkah mendekati Rendra kembali.“Ret, bukannya aku sudah bilang sama kamu kalau kita nggak usah berhubungan lagi? Aku mau kita kayak dulu yang nggak kenal dekat.”“Kamu mau seenaknya buang aku setelah apa yang kamu dapat, Ren?” tanya Reti dengan suara merendah. Pertanda kalau ia tengah marah. Ia menatap Rendra kecewa.“Aku nggak mau tahu. Mulai sekarang dan seterusnya, aku nggak ingin kita ada hubungan apa-apa lagi. Anggap saja kita nggak saling mengenal,” pungkas Rendra menaiki motor miliknya.“Kamu tega, ya, Ren?”
Fera terdiam usai mendengar pertanyaan Attar. Haruskah ia menjawab? “Memangnya penting ya Pak?” Dengan lancangnya, Fera balik bertanya kepada lelaki dewasa di sebelahnya.“Ayolah, Fer. Aku nggak ada niatan bercanda sama sekali.” Pria itu hampir frustrasi dengan keadaan. Ditambah sikap Fera mulai berani terhadapnya.“Saya juga nggak bercanda. Saya tanya sama Pak Attar, seberapa penting kabarnya Ayra untuk Pak Attar? Apakah Pak Attar menc—” Fera hampir saja menanyakan apakah Attar mencintai Ayra atau tidak? Ia tidak ingin berkata lebih lancang lagi setelah memberikan pertanyaan seperti sebelumnya. Akhirnya Fera membungkam mulutnya.“Kenapa? Kamu mau tahu jawabannya? Jawabannya adalah aku akan segera menikah, tapi belum tenang sebelum mengetahui kondisi batin Ayra.”Fera menghela napas malas. Pertanyaannya tidak dijawab dengan detail dan itu membuatnya menyerah. Padahal Fera sangat ingin memastikan sedikitnya bagaimana hati Attar untuk Ayra. “Kalau gitu, saya juga nggak akan jawab,” pun
Ayra masih mematung melihat nama dua orang yang tertera di kertas undangan. Kedua tangannya belum menyentuh sama sekali. Ia terlalu terkejut dengan apa yang ada di depan mata. Attar sungguh akan menikah dengan wanita lain?“Ayra, kamu nggak apa-apa?” Fera mengibaskan kertas undangan tersebut di depan wajah Ayra. Membuat gadis yang matanya sudah berkaca-kaca itu tersadar dan menatap Fera. Ada perasaan sedih yang tersembunyi pada sorot bola mata Ayra.Fera meletakkan benda tipis itu di pangkuan Ayra. “Aku lihat kamu pasti sedih banget dengan berita ini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menghancurkan pernikahannya besok? Menggagalkan semuanya? Atau lebih baik aku mencari aib wanita itu lalu membongkarnya di depan Pak Attar supaya Pak Attar membatalkan pernikahan mereka?” Fera mencoba ingin membantu Ayra dengan cara apapun.Ayra menggamit kertas undangan dan menatap benda tersebut dengan nanar. Ia menggelengkan kepala pelan. “Nggak perlu, Fer.”Fera mengamati wajah Ayra yang s
“Kenapa diam saja, Fer?” Ayra masih menunggu jawaban dari Fera. “Ayo jawab. Kamu chattingan sama Pak Attar, 'kan?” Gadis itu menatap Fera dengan tatapan nyalang. Tanpa menunggu jawaban, diamnya Fera sudah menjawab pertanyaan Ayra. Ia melempar tatapan ke sembarang arah dan melepas sendok yang ada di tangannya. Mendadak nafsu makan Ayra menjadi hilang. Ia bangkit dengan napas gusar menguasai.Fera yang sejak tadi hanya menunduk, kini mendongak dan menatap Ayra khawatir. Ia tidak ingin dimarahi oleh sahabatnya apalagi dijauhi. Fera segera bergeming. “Ayra, aku nggak macam-macam di belakangmu.”“Fera! Aku saja memblokir nomornya Pak Attar supaya dia nggak nanya kabar-kabar aku terus. Aku berusaha mati-matian melupakan pria itu!”“Aku juga ingin dia melupakanku dan nggak usah mendengar kabar apapun lagi tentangku! Kamu malah diam-diam berkabar dengan Pak Attar. Kamu bilang apa saja, huh? Kamu kasih tahu ke dia kalau aku tinggal di sini?!” tegas Ayra dengan suara kencang dan melemah berg
“Non? Kenapa beneran jalan kaki sampai sini?”“Nggak apa-apa, Pak.” Fera langsung masuk ke mobil setelah pintu mobil dibukakan oleh sopir pribadinya. Wajahnya ditekuk kesal setengah mati karena Ayra tidak mempercayai dirinya. Fera benar-benar tidak menyangka jika persahabatan mereka mengalami keretakan.Lelaki yang sudah bekerja sebagai sopir selama kurang lebih lima tahun di rumah Fera itu menoleh ke belakang karena merasa ada yang aneh dengan Fera. Ingin bertanya lagi untuk memastikan, tetapi raut wajah Fera tampak sedang tidak bersahabat. Akhirnya ia menatap lurus ke depan dan segera melajukan mobil.“Kalian berantem, Non?” tanya sopir itu setelah berdiam beberapa menit. Rasa penasaran membuatnya berani bertanya.Fera tetap diam dan tidak mood untuk berbicara. Ia sedang tidak ingin membahas Ayra.*** “Sayang, kamu ngapain bawa aku ke sini? Aku mau tidur.” Sania bingung mengapa calon suaminya menyeretnya ke kamar yang bukan milik Attar. Padahal ia baru saja hendak ingin tidur di ka
“Kamu berusaha keras banget, Ren, buat perbaiki hubungan kita? Asal kamu tahu kalau aku sebenarnya sudah nggak peduli lagi sama kamu,” ungkap Ayra setelah kegiatan makan mereka selesai.“Tujuan kamu sebenarnya apa? Apa yang kamu cari dariku itu apa? Apa yang membuatmu berusaha banget buat baikan lagi sama aku? Bukannya dulu kamu pernah bilang kalau tipikal idaman kamu itu wanita dewasa? Bukan kekanakkan seperti aku?” lanjut Ayra menginterogasi lelaki yang masih terdiam menatapnya.“Aku nggak tahu, Ra. Aku nggak tahu kenapa kalau aku ini sangat ingin memilikimu sampai kapanpun. Aku nggak bisa jauh darimu, Ra. Kamu masih sama seperti dulu, ‘kan? Kamu masih ada rasa sama aku ‘kan, Ra?”Ayra menatap netra legam milik Rendra. Ia tidak menemukan adanya kebohongan seorang Rendra. Lelaki itu tampaknya memang masih sangat mencintai Ayra. Jika Ayra mengingat semua perjuangan bagaimana usaha Rendra mendekati dirinya yang tidak pantang menyerah meskipun ia abaikan berkali-kali, hal itu semakin j
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant