Senja, begitu mempesona, indah tidak terkira. Senja membawa sejuta rasa, kekaguman. Bak rasa cinta yang bertengger di hati, gelayar rasa ibarat bianglala, tidak mampu terlukiskan dalam kata, kekaguman senja. Ibarat memupuk duka lara, ketika indah senja tidak mampu terukir sempurna di langit, akan berganti malam, lalu menyisakan kenangan. Senja ibarat rasa, dimana hal indah itu terlihat menawan namun, tidak dapat kita miliki, hanya dapat kita nikmati sementara. Gelebah dalam atma, itulah senja, bagi secuil rasa yang masih tersisa, menyiksa, tanpa mampu kita genggam. Rinai melanda hati, mengepung, semakin lama semakin membludak, meruap timbul ke permukaan, itulah rindu. Sisa dari senja yang telah terlewat.
Seiring waktu yang telah lalu, senja masih terlihat mengagumkan, akan tetapi, membuat sadar agar tidak berharap. Rasa suka masih ada, hanya saja berganti terbiasa menahan rindu, juga cinta yang seharusnya dilupakan. Oh, senja, inda
Assalamu'alaikum, Godaan Memikat kembali, yuk jangan lupa tinggalkan jejak komentar tentang bab awal season dua ini. Terima kasih sudah membaca, love you untuk semua D"Lovely KarRa.
Dalam buai sentuhan demi sentuhan yang menggetarkan seluruh tubuh. Otak terasa kosong, pikiran hanya berfokus pada penyatuan yang kini terjadi, sentuhan lembut, gerakan pelan sesekali menjadi brutal tidak terkendali. Edzard menatap tubuh polos di bawahnya. Dia begitu mengagumi tubuh yang sangat terasa cocok untuknya tersebut. Erangan bersahut-sahutan, menggema dalam ruang kedap suara. Hari belum terlalu larut namun, pergumulan itu sudah dimulai dari beberapa waktu lalu. Sebuah ruangan dengan tempat tidur ukuran jumbo, kasur empuk juga bad cover warna cream motif bunga-bunga. Ruangan cukup luas, ada lemari ukuran besar serta dapur di bagian lain, Edzard memilih kamar VVIP di salah satu hotel ternama. “Kamu cantik,” ucap Edzard mengagumi wajah cantik sang istri. “Abaaaang!” teriak Rere memanggil sang suami. “Iya, Sayang, jangan di tahan, berteriak sesukamu, nikmati malam ini, nikmati semuany
Pagi harinya usai menghabiskan sarapan di restoran yang berada di bangunan lantai satu hotel. Edzard mengajak sang istri untuk ke kantor, sebelumnya di perjalanan mereka berhenti di sebuah toko pakaian yang mereka lewati. Membeli sepasang jas untuk dirinya, juga satu dress warna merah menyala berbahan sifon setinggi lutut dengan lengan motif sabrina. Rere terlihat cantik dengan pakaian tersebut, keduanya terlihat serasi. Edzard mengangkat lengan, Rere tersenyum menyelipkan tangan ke lengan tersebut, keduanya saling menatap, lalu tersenyum dan masuk ke dalam lift. Sampai di lantai atas keduanya berpisah, Rere menuju meja kerjanya, tempat yang dulu ditempati Evelyn hanya di rubah lebih luas. Edzard masuk ke dalam ruangan, awalnya Edzard sudah membenahi satu meja untuk Rere di dalam ruangannya, akan tetapi itu membuat Rere tidak dapat konsentrasi, ah hati dan pikiran tidak dapat kompromi. Helen menghampiri Rere ketika Edzard sudah mas
Edzard masih memeluk sang istri, dia mengangkat kepala lalu kedua tangannya meraup wajah Rere, lelaki itu mengecup bibir sang istri yang terlihat sangat menggoda dalam polesan make up natural. Baru hendak melakukan hal yang lebih, pintu terbuka tanpa aba-aba. Sontak keduanya saling menjauh, malu. Mereka menoleh ke arah pintu, di mana kedua orang tua Edzard sudah berdiri di pintu. Mereka tersenyum manis, tanpa permisi nyelonong masuk ke dalam ruangan. Edzard mengernyitkan kening lalu memandang sang ayah yang berjalan di belakang ibunya. Sang ayah mengedikkan bahu pertanda tidak mau ikut campur urusan istrinya, seolah kode tersebut mewakili isi hati untuk mengatakan ‘aku juga tidak tahu’ Edzard menghela napas panjang dan berat. “Hai, Sayang, Ibu bawakan makan siang untuk kalian,” ujar sang ibu mengangkat rantan yang dia tenteng sedari tadi. Edzard dan Rere saling pandang lalu tersenyum, mere
Kenzo baru duduk lemas di dekat pusara Nayla, dia menyeka mata yang mulai berkaca. Perpisahan yang begitu menyakitkan, sudah ada beberapa bunga segar di atas pemakaman, yah, seperti biasa Kenzo menjadi orang yang kesekian kali berkunjung. Semenjak kepulangan ketika Nayla meninggal, Kenzo tidak lagi pergi ke luar negeri. Dia lebih fokus mengurus perusahaan sang papa yang sebentar lagi jatuh ke tangannya. Kenzo menjadi sosok pendiam dan lebih gila kerja sosoknya dulu si brengsek juga tukang pembuat onar, julukan tersebut mulai hilang. “Nay sampai saat ini aku masih mengingatmu,” ujar Kenzo terkekeh, menertawakan kebodohannya. Seorang Kenzo Julian, penakluk hati wanita di kota B, menjadi seorang pecundang hanya karena satu wanita bernama Nayla, sangat tidak terduga, namun itulah cinta, tidak akan ada yang masuk akal. Mengalahkan logika ketika rasa indah tersebut bersemayam. Meski belum tentu datang keb
Sedang asik bermesraan dengan sang istri sekali lagi Edzard terganggu ketukan pintu. Rere menatap sang suami dengan terkekeh. Edzard sendiri masih terlihat kesal, sepagi ini sudah banyak pengganggu. Ingin dia menarik sang istri lalu mengajaknya ke hotel saja menghabiskan waktu berdua. Namun, dia ingat kembali ketika hari senin adalah hari paling sibuk usai weekend. Baru kali ini di merasa malas untuk bekerja. Rere mengecup pipi Edzard memberi semangat kepada sang suami. “Siapa lagi pengganggu yang datang, huhft!” keluh Edzard berjalan mendekati pintu lalu membukanya. Rere merapikan dress bagian atas yang sedikit melorot ke bawah. Wanita tersebut lalu meraih nampan di atas meja. Suara pintu terbuka, derap sepatu pantoffle terdengar, seseorang melangkah masuk. Pintu kembali tertutup. Rere mengernyitkan kening menatap lelaki yang datang langsung berjalan ke sofa dan duduk dengan santainya. &nbs
Rere datang menemui Helene di pantry, dia kemudian duduk di sebuah kursi. Rere memandang ke arah Helene lalu mengulas senyum. Helene membuatkan segelas teh hangat untuk atasannya tersebut. Wanita itu masih nampak ayu dalam balutan pakaian ob sekali pun. Badannya yang berisi sebenarnya sempat membuat Rere minder, sebagian wanita yang pernah dicintai Edzard adalah wanita-wanita bertubuh sexy dengan body yang aduhai. Helene, Angel bahkan Evelyn mantan madunya yang sekarang entah di mana keberadaannya, dia tidak tahu. Mengingat Rere bertubuh mungil, dengan body mungil tubuhnya. Dia menggigit bibir bawah, menahan kesal yang entah kenapa tiba-tiba hinggap di benak. Ada rasa takut sang suami akan jatuh cinta kepada wanita lain di kantor yang lebih sintal dan sexy. Membayangkan saja membuat Rere muak. Helene mengernyitkan kening merasa bingung terhadap apa yang dia perhatikan. Wajah manja Rere memerah dengan bibir mengerucut ke depan.
Kenzo dengan cepat mengerjakan pekerjaan kantornya. Antara bahagia dan kebingungan masih melanda, seakan seperti mimpi. Pernyataan Helene, mengejutkan, namun dia juga sempat berpikir demikian. Mengingat wajah imut, tampan anak kecil bernama Rafael tersebut sangat mirip dengan dirinya. Kenzo gegas pergi ke luar kantor setelah itu, melajukan mobil ke arah jalan raya. Senyum terkembang di bibir, hati yang seolah pernah mati kini kembali hidup, ada anak yang dia tidak ketahui keberadaan sebelumnya. Sangat bahagia, sudah pasti. Mengingat banyak kenangan manis bersama Nayla, kemudian terhempas sebuah perpisahan selamanya. "Astaga, aku memiliki anak," ujarnya bahagia, lelaki tersebut tertawa kecil. Dengan cepat Kenzo melajukan mobil ke arah kantor milik Edzard, dia sempat melirik ke arah sepeda motor Helene, masih terparkir di sana. Lelaki itu lebih memilih menunggu Helene di parkiran. Dia menutup mata, mengingat
Kenzo tiba-tiba menghentikan laju mobil di depan salah satu gedung pusat perbelanjaan. Helen menoleh ke arah lelaki tersebut lalu mengernyitkan kening. Kenzo tersenyum, lalu melepas sabuk pengaman miliknya dan juga milik Helene. Wanita tersebut menatap ke arah Kenzo dengan tatapan kebingungan. "Mengapa kita berhenti di sini?" tanya Helene. "Beli baju untuk Rafael, anak kita," ujar Kenzo tersenyum. "Sejak kapan Rafa menjadi anak kita, dia anakku, hanya aku," tegas Helene. "Ada benihku yang masuk ke dalam milikmu, sehingga menjadi Rafael, Helene. Darahku mengalir padanya," desis Kenzo mengacungkan jari tangan ke arah bagian bawah lalu ke dada Helene. Wanita itu menelan saliva, mengingat tatapan mata menggoda. Wajah tampan rupawan yang membuat Helene terpana. Helene mengingat masa lalu, di mana dia begitu luruh pada b
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A