Edzard menatap langit-langit ruangan. Lampu gantung berhias kristal bening menggantung di bagian tengah, menambah kesan megah ruangan. Di rumah mewah itu, Aarav sendiri, Edzard pun merasakan sepi dalam tatapan rekannya itu. Entah apa yang membuat Aarav tidak membuka pintu hatinya yang pasti lelaki itu melihat kesepian yang pernah dia lihat pada tatapan Kenzo dahulu. Edzard tidak ingin berspekulasi dengan pemikiran yang dia lihat dari satu sisi.
"Doakan aku mendapatkan jodoh terbaik," jawab Aarav pada akhirnya setelah mendengar cerita Edzard.
"Aku mendoakan yang terbaik untukmu, kawan," kata Edzard.
"Sudah larut, silahkan beristirahat," ujar Aarav kemudian.
"Terima kasih," ucap Edzard, "selamat istirahat," imbuhnya.
Mereka berdua berlalu pergi, Edzard menyusul sang istri sedangkan Aarav masuk k
Terlihat Larisa menyentuh dada bidang Aarav, yah, gadis kecil itu duduk di atas tubuhnya, tatapan mata terlihat menawan. Ah, sungguh membuatnya terjerat. Ditambah bibir gadis itu menggigit bibir bawah, sungguh terlihat sexy. Keduanya terhanyut dalam sentuhan, tanpa kata hanya perbuatan yang menjadi tindakan melakukan hal lebih. Aarav tanpa ragu membaikkan tubuh kecil itu. Larisa tidak menolak, lelaki tersebut tersenyum smirk. Melumat bibir itu dengan gairah, tubuh bereaksi keras. Persetan dengan semua yang ada, Aarav seperti ketagihan menyentuh Larisa. Satu tarikan dress yang dikenakan gadis itu lepas, semudah itu. Tidak menunggu waktu lama, Aarav menyatukan milik keduanya. Aarav mengerang, perasan yang entahlah muncul seketika. Dia masih memejamkan mata, kilauan cahaya menyinari membuat Aarav terganggu. Netranya menyipit kemudian dia menengok ke sekeliling. Sepi, apa yang terjadi hanya mimpi, bu
Aarav sadar atas provokasi yang dilakukan sang ayah. Namun, apa daya tidak mungkin dia untuk kembali menarik kata. Apa yang sudah dia ucapkan akan dia lakukan. Siang ini Aarav mendapatkan undangan makan siang dari keluarga Kenzo. Bukan sekedar makan siang biasa namun, ada urusan pekerjaan dan dari yang asisten ayahnya katakan. Kenzo gendak menitipkan Rafael, untuk belajar berbisnis darinya. Tentu Aarav setuju, mengingat pemuda bengal itu sebenarnya seorang yang cerdas, begitu penuturan Edzard malam tadi. Bujangan itu masuk ke dalam rumah mewah bak istana milik Kenzo. Julian Grup merupakan perusahaan terbesar yang mencakup di beberapa bidang. Tidak hanya di dalam negeri, ada pun perusahaan lain di luar negeri yang masih aktif dikelola oleh sang ayah. Tidak ada yang diragukan dari kualitas kinerja Julian Grup. "Selamat datang," sapa Helene mengulas senyum. Wanita itu berdiri di depan pintu m
Keluarga adalah hal paling berarti bagi Kenzo, dia yang dulu kurang dapat perhatian dari sang ayah, lebih condong dekat dengan keluarga Edzard. Dia berharap kedua anaknya tidak berpikiran demikian. Dia dan Helene melimpahkan sejuta kasih sayang. Namun, nampaknya menjadi boomerang, putra pertamanya sangat malas, dan manja, kedua orang tua Kenzo, sangat memanjakan Rafael, cucu pertama, pemegang kekuasaan terbesar dalam keluarga, deskripsi itu mungkin benar adanya. Namun, sebelum semua menjadi terlambat, Kenzo berusaha mengubah pola hidup ambigu putranya. 'Jangan sampai dia brengsek seperti diriku dulu,' bisik Kenzo dalam benak. Lelaki itu menatap satu per satu orang di sana. Termasuk Aarav sang tamu juga Larisa yang katanya kabur dari rumah. Bagaimana gadis itu bisa kabur, Kenzo tidak ambil pusing. Saat pagi tadi Larisa datang dengan menangis meraung-raung. Entah apa yang sebenarny
Beberapa saat yang telah terlewat, di mana sebelum Larisa kabur dari rumah. Gadis itu baru saja turun dari kamar usai berganti pakaian. Semalam menginap di rumah Aarav, Larisa dibangunkan oleh sang ibu. Yah, mereka pulang usai sarapan bersama sang empunya rumah. Gadis itu sudah terlihat rapi menuruni anak tangga. Terdengar suara gelak tawa sang ayah di ruang tamu. Penasaran, dia melongok keluar, mengintip dari balik tembok.Terlihat, sang ayah duduk bersebrangan dengan seorang lelaki bertubuh gempal, botak dengan perut buncit. Larisa meringis melihatnya. Samar terdengar lelaki tersebut membicarakan tentang menikah lagi. Dari pembicaraan itu dia juga mendengar memiliki dua orang anak dari istri sebelumnya. Gadis itu hendak melangkah namun urung ketika mendengar lelaki tadi menanyakan dirinya. Baru Larisa sadar rencana sang ayah hendak m
Suara bising mobil di tengah kemacetan sungguh mengganggu indra pendengaran. Aarav mengemudikan mobilnya dengan pelan. Larisa duduk manis sembari tersenyum menatap layar ponsel. Seperti bocah gila yang jatuh cinta pada benda pipih itu. Terkadang tersenyum lalu menggigit bibir. Aarav melirik di saat bersamaan. 'Ah bibir yang menggoda,' pikir lelaki itu. Semejak dia melumat bibir larisa, Aarav semakin sering terbayang wajah dan bibir itu. "Apa yang membuatmu tersenyum-senyum, kau sedang berpacaran dengan seseorang?" tanya Aarav tanpa dosa setelah memukuli kekasih Risa. "Iya, namanya Emir," jawab gadis itu. "Om, kenapa Om belum menikah?" tanya Larisa. "Entahlah, mungkin karena belum menemukan yang pas," jawab Aarav. "Om kan ganteng, pasti banyak yang mengantri," ujar Larisa lagi. Aarav terkek
Menikah, dengan Om Aarav, astaga pemikiran konyol macam apa yang diutarakan bujangan tua itu. Rasanya aku ingin menjitak saja kepala itu, jika tidak sadar beliau orang dewasa yang harus aku hormati. Berulang kali napas ini kembang kempis secara teratur, mengontrol emosi jiwa yang menyerang bak bom atom meletus. Tidakkah dia paham aku ingin menikah dengan pangeran tampanku, Emir. Meski bukan sekarang, karena Emir juga ingin masuk ke perusahaan ayahnya dahulu. Toh kami masih kuliah, perjalanan masih panjang, sepanjang rel kereta api yang tak putus-putus saling menyambung.Tidak pernah tercatat di kamus Larisa Edzard menikah muda, apa lagi dengan Om om, astaga, sungguh terlalu. Aku memutar bola mata lalu menoleh ke arah lelaki yang baru saja hendak meminangku, aku paham benar dia tidak mungkin menawarkan diri menikah atas dasar mencintai.
Astaga, aku nyasar dan baru menyadarinya setelah berjalan lama melewati lorong yang entahlah aku tidak paham jalan untuk pulang. Lutut rasanya mau copot, tidak pernah aku berjalan terlalu Tenggorokanku sangat haus terasa, kepanasan pula sungguh sial, ingin rasanya mengumpat tapi ini pun salahku. Mau mengalahkan siapa. Sedih rasa hati ini tersiksa, jika boleh meminta pada angin, aku ingin panas ini berlalu dengan berganti mendung. Dering ponsel untuk kesekian kali berdering, menyerah aku mengangkat panggilan tersebut. Mau ngeyel pun tidak bisa, aku tidak ingin tersesat semakin jauh. "Larisa, kau di mana?" tanya Om Aarav, suaranya terdengar panik. "Om, Risa nyasar," keluhku. "Astaga, bagaimana bisa?" "Mana Risa tahu," ujarku tanpa rasa salah. "Share loc, aku akan menjemputmu!" perintahnya. Aku men-share lokasiku saat ini lewat aplikasi FastApp, kemudian duduk di bawah pohon rindang, mirip orang hilang. Menunggu, perbuatan membosankan yang s
Bangun tidur rasanya aku masih malas, mata ini masih terpejam dengan nyaman. Di balik selimut dan juga ranjang yang nyaman dan empuk. Rasanya aku tidak ingin beranjak. Elusan halus menyapa pipi, ah perbuatan yang sering ibu lakukan. "Sampai kapan kau akan tidur?" Suara lelaki terdengar mengagetkan. Aku membuka mata dengan cepat. "Om," bisikku melihat Om Aarav berbaring di samping. "Kau nyenyak sekali tidurnya, dari tadi siang, sampai aku pulang meeting kau masih tidur," ceramah Om Aarav. Aku menyembunyikan tubuh di balik selimut. "Pergilah mandi, tubuhmu sudah bau kecut," keluh Om Aarav. Aku menyembul dari balik selimut lalu mencium lengan kemeja yang aku kenakan. "Aku masih wangi," keluhku mengerucutkan bibir. Om Aarav terkekeh, rasanya kesal melihatnya, aku lempar dia dengan bantal. "Larisa, mari kita menikah saja, kau terbebas dari rencana perjodohan. Jadilah tameng untuk diriku juga yang sudah didesak menikah," ujar Om Aarav. Aku menghel