Kubuka mata saat suara alarm ponsel meraung-raung di atas meja. Tanpa perlu melihat jam, aku tahu pasti saat ini memang sudah waktunya untuk bangun. Tepat pukul 05.00, aku menyetel alarm itu.
Aku menghela napas panjang, sebelum benar-benar mencoba bangun dari ranjang. Gerakanku terhenti karena sebuah tangan yang tengah melingkar posesif di pinggangku. Kulirik sekilas pemilik tangan itu yang masih tertidur nyenyak di sampingku.
Tersenyum kecil dikala menatap wajah polos teman tidurku ini yang tidak lain merupakan suamiku sendiri. Raefal Syahreza namanya, tepat berusia 36 tahun di tahun ini. Usia yang sama sepertiku karena kami seumuran, hanya terpaut lima bulan saja. Pria yang sudah kunikahi sepuluh tahun lamanya. Pria yang seolah seumur hidupku selalu ada dia di sampingku.
Sebelum resmi menjadi suami-istri, kami menjalin hubungan selama tujuh tahun lamanya. Pertama kali berpacaran, saat itu kami masih duduk di bangku SMA. Seulas senyum selalu tersungging di bibirku setiap kenangan manis itu terlintas.
Aku tak akan mengatakan suamiku ini pria yang sempurna, mungkin masih banyak pria lain yang jauh lebih sempurna darinya di luar sana. Tapi bagiku, pria ini memang sangat sempurna. Parasnya yang menurutku tampan, otak cerdasnya yang selalu berhasil membuatku berdecak kagum, kemandiriannya yang membuat keluargaku sekalipun selalu memujinya. Dia sosok orang yang begitu dibanggakan bukan hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh keluargaku.
Namun, dari semua hal istimewa yang dimilikinya, kebaikan hatinya serta perhatiannya padaku dan keluarga kecil kami adalah segalanya bagiku. Menjadi alasan yang membuatku bertahan bersamanya sampai detik ini dengan cinta tulusku yang hanya kupersembahkan untuknya.
Sesibuk apa pun dia di tempat kerja, tak pernah sekali pun mengabaikan kami. Itu dia yang membuatku sangat mencintai suamiku. Baginya keluarga adalah segalanya. Meski kini dia tengah bersinar dalam karir bisnisnya. Kesibukan dalam bekerja tak pernah membuat dirinya mengabaikan keluarganya.
Aku tahu betul bagaimana dia saat masih bukan apa-apa, saat dia hanya seorang pemuda yang tengah menuntut ilmu setinggi-tingginya. Pemuda yang rela mengejar beasiswa demi kelangsungan pendidikannya karena dia bukan berasal dari keluarga berada.
Akulah saksi hidup bagaimana kerasnya perjuangan suamiku ini hingga dia meraih kesuksesan seperti sekarang. Dia yang awalnya hanya pekerja biasa di sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang elektronik. Hyoma Industries nama perusahaannya sekaligus merk produk elekronik mereka. Sudah tujuh tahun suamiku bekerja di perusahaan itu, sekarang dia telah menjabat sebagai General Manager di salah satu cabang perusahaan yang terletak di kota Bandung. Terhitung sudah hampir tiga tahun kami menetap di Bandung ini, menempati rumah dinas yang disediakan perusahaan.
Aku memindahkan dengan perlahan tangan suamiku, khawatir pergerakanku akan membuatnya terbangun. Setelah memastikan tidur suamiku tak terganggu, aku berjalan santai menuju kamar mandi, berniat untuk mandi.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mandi, hanya menghabiskan sepuluh menit saja. Setelahnya aku bergegas menuju dapur, aku harus menyiapkan sarapan untuk kami bertiga hari ini. Sudahkah aku bercerita bahwa di rumah ini kami tinggal bertiga?
Aku, suamiku dan Raffa ... putra semata wayang kami yang kami dapatkan setelah empat tahun usia pernikahan. Sungguh dia putra yang kami nanti-nantikan. Kini usianya menginjak 6 tahun, dan dia sudah bersekolah di taman kanak-kanak tak jauh dari kantor suamiku.
Setibanya di dapur, aku menyiapkan makanan sederhana. Roti bakar untukku dan suamiku, serta sereal untuk putra kesayanganku. Tak lupa kubuatkan juga teh manis hangat untuk suamiku dan susu coklat untuk Raffa.
“Hm, selesai.”
Kupandangi dengan bangga hasil kerja kerasku yang kini terhidang di atas meja. Sarapan pagi kami telah siap, kini harus kulakukan tugas selanjutnya. Bisa dikatakan inilah tugas rutinku setiap hari, terutama di pagi hari.
Aku kembali masuk ke dalam kamar. Kutemukan suami tercintaku masih bergelung manja di tempat tidur kami. Kuhampiri dia, tanpa pikir panjang atau merasa ragu, kusingkap selimut tebal yang membungkus tubuh tegapnya. Aku merona hebat saat tatapanku tertuju pada perut kekarnya, karena semalam dia tidur dengan bertelanjang dada. Padahal sudah sepuluh tahun aku menjadi istrinya, terhitung sudah tujuh belas tahun sejak kami berpacaran, aku selalu berada di sampingnya. Tapi, tetap saja melihat tubuh kekar suamiku yang menjadi salah satu alasanku membanggakan dirinya, selalu membuatku tersipu malu.
“Sayang, bangun. Udah jam enam, nanti kamu telat ke kantor.”
Dia tak menyahut atau pun membuka kedua matanya. Dia tetap bergeming di tempat tidur dengan posisi yang sama yaitu tengah telentang di atas kasur. Kuulurkan tangan, berniat untuk mengguncang tubuhnya. Dan saat itulah aku sadar telah melakukan kesalahan.
Dengan sekali hentakan dia menarik tanganku yang terulur padanya. Seketika tubuhku jatuh menimpa dirinya. Ketika aku hendak bangun, dia memelukku erat sehingga aku tak sanggup berkutik dalam kungkungannya ini.
“Kamu apaan sih? Lepasin. Nanti kamu telat lho.”
“Aku masih ngantuk. Kamu temenin aku tidur bentar lagi, ya,” sahutnya manja, dia memelukku seolah aku sebuah guling.
“Jangan gini, serius kamu bisa telat. Lagian aku harus bangunin anak kamu juga.” Kudengar suara erangan, sepertinya dia tak suka mendengar penolakanku.
Ketika akhirnya aku terlepas dari kungkungannya, aku bergegas bangkit berdiri.
“Ayo, cepat bangun Mr Raefal sang pemalas.” Kutarik tangannya setelah menggodanya dengan ejekan itu. Dia pun tak menolak kali ini, dengan mudah aku berhasil mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.
“Aku masih ngantuk banget. Serius,” katanya lagi, beralasan.
“Salah sendiri kenapa begadang semalam.”
“Ya, mau gimana lagi, aku harus nyiapin bahan buat meeting.”
“Kamu ada meeting hari ini?” Dia menjawab dengan anggukan kepala.
“Berarti kamu telat pulang hari ini?”
“Iya, tapi aku usahain cepat pulang. Kalau meeting-nya selesai, aku pasti langsung pulang.”
Kali ini aku yang mengangguk. Mau bagaimana lagi, dia seorang pimpinan cabang, menghadiri meeting sudah menjadi rutinitasnya. Sebagai istri, aku hanya bisa memaklumi di saat dia harus pulang larut karena meeting yang terkadang memakan waktu sampai malam.
“Ayo, mandi sana!”
Kulihat dia masih bermalas-malasan untuk bangun. Terpaksa aku pun melakukan tindakan. Aku mendorong punggungnya agar tubuhnya yang sudah berdiri menjulang di hadapanku sekarang, bisa bergerak menuju kamar mandi.
“Kita mandi bareng, gimana?” Ajaknya seraya mengedipkan sebelah mata, jahil.
“Jangan ngaco. Kamu kayak Raffa aja minta mandi bareng.” Jelas aku menolak permintaan konyolnya ini.
“Dulu kita sering mandi bareng. Udah lama kamu gak gosokin punggung aku,” katanya lagi, aku memutar bola mata, malas.
“Pergi aja ke tempat spa kalau mau luluran.” Dia mengendikan bahunya mendengar jawabanku ini.
“Kalau Raffa yang minta pasti gak bakalan kamu tolak.”
“Ya, iyalah. Dia itu, kan, masih kecil.”
“Aku kok jadi cemburu sama Raffa,” katanya sukses membuatku terkekeh geli.
“Ya ampuun, masa sama anak sendiri cemburu, sih? Udah, sana mandi. Aku mau bangunin Raffa dulu.”
Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya, aku berjalan mendekati lemari. Kusiapkan setelan pakaian yang akan dikenakan suamiku pagi ini. Aku menghela napas lega saat dengan ekor mata melihat pergerakan suamiku menuju kamar mandi.
Seperti rencana awal, aku beranjak menuju kamar putra kesayanganku. Sempat terkejut saat kudapati dia sedang duduk di depan meja belajarnya. Tatapannya menunduk ke bawah meja seolah tengah mengerjakan sesuatu. Cepat-cepat kuhampiri dia. “Raffa sayang, kamu udah bangun?”
Dia menoleh padaku disertai senyuman lebar, membuatku gemas ingin mencubit pipi gembilnya.
“Kamu lagi apa?”
“Bikin gambar, Mom,” sahutnya, dia menunjukan gambar yang baru saja dibuatnya. Sebuah gambar rumah sederhana khas buatan tangan anak-anak seusianya.
“Woow, apa ini rumah kita?”
“Iya, Mom. Kok, Mommy tahu?” tanyanya dengan bola mata bulatnya mengarah padaku. Dia terlihat semakin menggemaskan.
“Karena gambarnya mirip sama rumah kita.” Jawabanku ini sepertinya membuat putraku senang bukan main. Dia melompat-lompat kecil di lantai seraya memeluk gambarnya erat.
“Ayo, kamu mandi dulu. Bentar lagi, kan, harus berangkat sekolah.”
Berbeda dengan ayahnya yang memiliki seribu alasan untuk menolak, putra kesayanganku ini menuruti ucapanku detik itu juga.
“Mau Mommy mandiin?”
“Gak usah, Mom. Aku bisa mandi sendiri!!” teriaknya dari dalam kamar mandi. Aku tersenyum lebar merasa bangga pada putraku yang sudah belajar mandiri padahal usianya masih sangat kecil.
Sambil menunggu dia selesai mandi, aku menyiapkan pakaian seragamnya. Tak lupa aku memastikan buku-buku dan peralatan sekolah lainnya yang harus dia bawa hari ini. Hanya membutuhkan waktu lima menit, Raffa berjalan riang menghampiriku dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Kubantu dia mengenakan seragamnya. Setelah penampilannya rapi, kami pun berjalan bersama-sama menuju ruang makan.
“Selamat pagi, Daddy,” pekik girang Raffa saat mendapati ayahnya sudah duduk manis di ruang tamu. Tanpa ragu dia naik ke pangkuan ayahnya. Aku tersenyum kecil melihat pemandangan mengharukan ini.
“Selamat pagi juga jagoan Daddy. Gimana tidur kamu semalam? Nyenyak?” Raffa mengangguk penuh semangat, tertawa lepas saat dengan jahilnya suamiku menggesek-gesek dagunya di leher Raffa.
“Daddy, tadi aku gambar rumah. Mommy bilang, gambarnya mirip sama rumah kita.”
“Oh, iya? Mana coba Daddy lihat?”
“Mommy, gambar aku mana?” tanya Raffa, tatapan lucunya tengah mengarah padaku.
“Ada di kamar kamu.”
“Ambilin dong, Mommy. Aku mau lihatin ke Daddy,” pintanya sambil merengek. Kuhembuskan napas pelan saat mendapati sifat manja putraku mulai kambuh.
“Nanti aja Daddy lihat gambarnya. Lihat tuh, nanti kamu telat berangkat sekolah. Daddy juga harus berangkat kerja.”
“Yaaah ... Mommy,” rajuknya, dia mengerutkan bibir. Cemberut karena tak suka dengan penolakanku ini.
“Nanti sepulang kerja, Daddy pasti lihat gambarnya. Sekarang Raffa makan, ya, serealnya. Jangan nakal, nanti Mommy marah lho.”
“Iya, Mommy kalau marah seram, kayak singa.”
Aku hanya bisa menggeleng saat mendengar obrolan suami dan putraku. Setelahnya tak ada lagi ocehan, keduanya mulai fokus dengan makanan masing-masing.
15 menit berlalu, suamiku akhirnya menyelesaikan sarapannya. Dia mengambil tas kerja, mengecup puncak kepala Raffa yang masih asyik menyantap sereal, sebelum mengajakku berjalan menuju pintu.
“Aku berangkat dulu, ya. Hati-hati kalau lagi di jalan nganterin Raffa,” ucapnya menasihatiku. Aku mengangguk mengerti.
“Kamu juga hati-hati di jalan. Lancar, ya, kerjaan kamu hari ini.” Setelah mengatakan ini dengan setulus hati, seperti biasa aku mencium punggung tangannya. Sama seperti biasanya pula dia akan mencium kening, pipi kanan dan pipi kiri, lalu berakhir mengecup lembut bibirku. Dia pun berjalan menuju mobil sedan hitamnya yang terparkir di depan rumah kami. Aku melambaikan tangan padanya, membalas lambaian tangan dia padaku begitu mulai melajukan mobilnya.
Sekilas pernikahan kami terlihat harmonis, bukan? Kami berdua yang terlihat saling mencintai tanpa ada masalah apa pun di kehidupan rumah tangga kami. Ya, memang benar jika dilihat dari luar, kami terlihat sebuah keluarga bahagia. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Setidaknya sampai aku mulai kehilangan kepercayaan pada suamiku.
Semuanya berawal dari satu bulan yang lalu. Saat aku membereskan tas kerjanya, tanpa sengaja aku melihat sebuah kotak beludru berwarna merah. Kotak di mana di dalamnya sebuah kalung indah terpajang. Aku pasti akan senang jika kalung itu disiapkan suamiku untuk diberikan padaku. Namun, setelah kuperhatikan baik-baik, kalung itu jelas bukanlah untukku. Ada inisial nama ZK di liontin kalung itu. ZK jelas bukan inisial namaku, karena inisial namaku adalah IG, Indira Gianina.
Dari sanalah awal kecurigaanku dimulai, terlebih saat aku mendengar tetangga yang sudah seperti saudara bagiku, memberitahu dia pernah memergoki suamiku tengah makan bersama seorang wanita di sebuah restauran ternama.
Dari sinilah kisahku dimulai. Kisah penyelidikanku untuk membuktikan kecurigaan ini, sekaligus mencari tahu nama di balik inisial ZK yang telah berhasil merebut perhatian suamiku.
Waktu menunjukan tepat pukul 20.00 saat ini, seperti biasa pada jam segini suamiku sudah berada di rumah. Setiap hari dia pulang pukul 5 sore dari kantor, karena jarak antara kantor dan rumah kami yang terbilang cukup dekat, pukul 6 sore biasanya dia sudah tiba di rumah. Itu pun jika dia tidak ada meeting atau pekerjaan tambahan lain di luar kantor yang membuat dia pulang terlambat.Bisa dikatakan cukup jarang dia terlambat pulang. Sekali pun harus pulang telat, dia pasti akan mengabariku lebih dulu. Mungkin karena alasan dirinya begitu terbuka yang membuatku tak pernah meragukan kejujurannya selama sepuluh tahun pernikahan kami.Kutemukan suami dan putra semata wayang kami, Raffa ... tengah asyik duduk di depan televisi seraya tangan mereka sibuk memegang stick game. Mereka sedang memainkan playstation, game Ninja Ultimate jika kulihat dari layar televisi di mana di sana memperlihatkan dua tokoh ninja sedang bertarung sengit.“Y
“Baru pulang, ya? Gimana kegiatan kamu hari ini?”Suaranya mengalun dari balik ponsel yang sedang aku tempelkan di telinga, suara kekasihku ... Raefal yang sudah dua minggu lamanya tidak kutemui. Dia pergi ke Tianjin, China, untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja menerima penghargaan.Lagi-lagi membuatku bangga padanya. Bisa dibayangkan dari sekian banyak karyawan yang bekerja di perusahaan itu, Raefal-lah yang terpilih untuk terbang ke China menerima penghargaan. Padahal jika kuingat-ingat kembali, baru sekitar satu setengah tahun dia bekerja di perusahaan itu. Ternyata talenta dan kecerdasan tak akan menipu hasil. Meskipun terhitung sebagai pekerja baru tapi jika kemampuannya bisa diandalkan oleh perusahaan, tentu bukan sesuatu yang mustahil para pekerja senior pun bisa dikalahkan olehnya.“Indira,” panggilnya, aku terseny
Aku menggandeng tangan putraku memasuki kantor tempat Raefal bekerja yang akan menjadi tempat awalku melakukan penyelidikan. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami di lantai dasar, menyapaku. Wajar mereka mengenalku karena dulu aku cukup sering datang ke kantor ini. Meskipun sejak Raffa mulai sekolah, aku nyaris tak pernah datang lagi ke sini.Ada pula yang menggoda putraku, mengatakan putraku tampan, pintar, menggemaskan dan berbagai pujian lainnya ketika kami memasuki lift. Tempat tujuan kami tentu saja lantai 5 di mana ruangan General Manager cabang yang ditempati suamiku berada. Raffa dan aku melambaikan tangan bersamaan pada beberapa karyawan yang satu lift dengan kami begitu kami tiba di lantai 5, mengucapkan perpisahan dengan ramah karena mereka pun memperlakukan kami dengan ramah, terlebih pada putraku.Kami pun tiba tepat di depan ruangan suamiku. Aku tersenyum lebar pada Susi, sekretaris suamiku yang sudah berdiri dari kursinya untuk menyambut ke
Raefal kembali ke kantor begitu makan siang kami selesai, sedangkan aku dan Raffa memilih untuk pulang ke rumah. Aku tak tega melihat putraku yang kelelahan. Meski masih ingin menyelidiki sesuatu di kantor Raefal, akhirnya aku memutuskan membawa Raffa pulang.Setibanya di rumah, kutemani Raffa tidur di kamarnya. Dia memang terbiasa tidur siang. Tak perlu menunggu lama, dia pun tertidur dengan nyenyak. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengecek email, berharap pesan dari Susi sudah masuk.Aku mengurung diri di kamar ketika kubuka email. Saat kulihat pesan yang kutunggu dari Susi ternyata sudah masuk, aku tersenyum lebar detik itu juga. Lega karena Susi benar-benar bersedia mengabulkan permintaanku untuk mengirimkan data seluruh karyawan yang bekerja di kantor suamiku.Kubuka pesan itu dengan jantung berdetak tak karuan. Aku takut sebenarnya, takut kecurigaanku tentang Raefal yang berselingkuh terbukti benar. Meski lebih dari apa pun aku ingin segera mengungkap ident
Ketika hari minggu akhirnya tiba, di pagi buta saat aku dan Raefal masih bergelung manja di dalam selimut hangat kami. Kami dikejutkan oleh sosok Raffa yang melompat ke atas ranjang, menggunjang tubuh kami disertai suara jeritannya yang nyaring di telinga kami. Seketika kami terpaksa membuka mata.Aku masih berada dalam kondisi setengah sadar saat Raffa tanpa henti merengek meminta agar Raefal memenuhi janjinya untuk mengajak kami bermain di Trans Studio. Aku hanya mampu terkikik geli saat melihat betapa tersiksanya Raefal yang masih mengantuk harus terpaksa bangun karena Raffa terus menarik tangannya, memaksa ayahnya untuk beranjak dari kasur empuk kami.“Ini masih pagi. Trans Studio-nya buka jam 10 lho.”“Aku gak peduli. Ayo siap-siap, Dad. Kita berangkat sekarang,” kata Raffa, keras kepala seperti biasanya.“Kamu aja belum mandi.”“Ya udah. Ayo kita mandi bareng,” ajak Raffa sembari menarik tangan ayahnya agar ikut bersamanya ke kamar mandi.Raefal menoleh ke arahku, seolah memberi
Raefal pulang ke rumah tepat pukul sebelas malam. Entah apa yang sudah dia lakukan, tapi dari penampilannya yang kusut dan tampak kelelahan, berbagai pikiran negatif mulai berkeliaran di kepalaku.Dia menjelaskan padaku bahwa dia pergi terburu-buru karena mendapat kabar bahwa salah satu rekan bisnis perusahaannya datang berkunjung secara mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, membuatnya kelimpungan karena harus menyambut langsung sang rekan bisnis. Dia bilang jika dia tidak datang dan mengadakan pertemuan dadakan dengannya bisa memungkinkan kerja sama mereka dibatalkan. Sebuah kerja sama yang sangat penting hingga akan menyebabkan kerugian besar untuk perusahaannya jika sampai dibatalkan.Ketika aku bertanya siapa nama rekan bisnisnya tersebut, dengan lugas dan lantang dia menyebutkannya. Bahkan nama perusahaannya pun ikut dia beritahukan padaku.Jika aku yang dulu, tanpa berpikir panjang lagi pasti aku akan mempercayai ucapannya. Tapi untuk sekarang ... entahlah ... meski otakku
Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus ku tahan keinginan ini mati-matian.Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah.Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku.Sesuai yang ku harapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya.Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dal
Aku berpikir sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah karena beban yang tengah kutanggung sekarang, jujur saja mulai sulit untuk kutanggung sendirian. Mbak Alya, tetangga sekaligus seseorang yang menjadi sahabat baikku semenjak kami menetap di komplek perumahan ini, menjadi orang yang kupilih untuk menjadi teman curhatku.Aku datang ke rumahnya bersama putraku, sepulang sekolah. Awalnya, beralasan mengantar Raffa yang ingin bermain dengan Sandy, putra bungsu Mbak Alya. Hingga akhirnya kuceritakan juga masalahku pada Mbak Alya karena dia sendiri yang memintanya. Mungkin gerak-gerikku yang terlihat gelisah dan tak nyaman yang membuatnya sadar bahwa aku sedang memendam sebuah masalah berat.Mbak Alya tak terlihat terlalu terkejut begitu kuceritakan tentang kecurigaanku pada Raefal. Sebenarnya Mbak Alya inilah yang dulu pernah memberitahuku bahwa dia memergoki Raefal sedang bersama wanita lain. Saat itu aku menolak mempercayainya, meyakini bahwa kesetiaan Raefal adalah satu-satunya