Beranda / Romance / Genius Liar / CHAPTER ONE

Share

Genius Liar
Genius Liar
Penulis: Ellakor

CHAPTER ONE

Penulis: Ellakor
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kubuka mata saat suara alarm ponsel meraung-raung di atas meja. Tanpa perlu melihat jam, aku tahu pasti saat ini memang sudah waktunya untuk bangun. Tepat pukul 05.00, aku menyetel alarm itu.

Aku menghela napas panjang, sebelum benar-benar mencoba bangun dari ranjang. Gerakanku terhenti karena sebuah tangan yang tengah melingkar posesif di pinggangku. Kulirik sekilas pemilik tangan itu yang masih tertidur nyenyak di sampingku.

Tersenyum kecil dikala menatap wajah polos teman tidurku ini yang tidak lain merupakan suamiku sendiri. Raefal Syahreza namanya, tepat berusia 36 tahun di tahun ini. Usia yang sama sepertiku karena kami seumuran, hanya terpaut lima bulan saja. Pria yang sudah kunikahi sepuluh tahun lamanya. Pria yang seolah seumur hidupku selalu ada dia di sampingku.

Sebelum resmi menjadi suami-istri, kami menjalin hubungan selama tujuh tahun lamanya. Pertama kali berpacaran, saat itu kami masih duduk di bangku SMA. Seulas senyum selalu tersungging di bibirku setiap kenangan manis itu terlintas.

Aku tak akan mengatakan suamiku ini pria yang sempurna, mungkin masih banyak pria lain yang jauh lebih sempurna darinya di luar sana. Tapi bagiku, pria ini memang sangat sempurna. Parasnya yang menurutku tampan, otak cerdasnya yang selalu berhasil membuatku berdecak kagum, kemandiriannya yang membuat keluargaku sekalipun selalu memujinya. Dia sosok orang yang begitu dibanggakan bukan hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh keluargaku.

Namun, dari semua hal istimewa yang dimilikinya, kebaikan hatinya serta perhatiannya padaku dan keluarga kecil kami adalah segalanya bagiku. Menjadi alasan yang membuatku bertahan bersamanya sampai detik ini dengan cinta tulusku yang hanya kupersembahkan untuknya.

Sesibuk apa pun dia di tempat kerja, tak pernah sekali pun  mengabaikan kami. Itu dia yang membuatku sangat mencintai suamiku. Baginya keluarga adalah segalanya. Meski kini dia tengah bersinar dalam karir bisnisnya. Kesibukan dalam bekerja tak pernah membuat dirinya mengabaikan keluarganya.

Aku tahu betul bagaimana dia saat masih bukan apa-apa, saat dia hanya seorang pemuda yang tengah menuntut ilmu setinggi-tingginya. Pemuda yang rela mengejar beasiswa demi kelangsungan pendidikannya karena dia bukan berasal dari keluarga berada.

Akulah saksi hidup bagaimana kerasnya perjuangan suamiku ini hingga dia meraih kesuksesan seperti sekarang. Dia yang awalnya hanya pekerja biasa di sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang elektronik. Hyoma Industries nama perusahaannya sekaligus merk produk elekronik mereka. Sudah tujuh tahun suamiku bekerja di perusahaan itu, sekarang dia telah menjabat sebagai General Manager di salah satu cabang perusahaan yang terletak di kota Bandung. Terhitung sudah hampir tiga tahun kami menetap di Bandung ini, menempati rumah dinas yang disediakan perusahaan.

Aku memindahkan dengan perlahan tangan suamiku, khawatir pergerakanku akan membuatnya terbangun. Setelah memastikan tidur suamiku tak terganggu, aku berjalan santai menuju kamar mandi, berniat untuk mandi.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk mandi, hanya menghabiskan sepuluh menit saja. Setelahnya aku bergegas menuju dapur, aku harus menyiapkan sarapan untuk kami bertiga hari ini. Sudahkah aku bercerita bahwa di rumah ini kami tinggal bertiga?

Aku, suamiku dan Raffa ... putra semata wayang kami yang kami dapatkan setelah empat tahun usia pernikahan. Sungguh dia putra yang kami nanti-nantikan. Kini usianya menginjak 6 tahun, dan dia sudah bersekolah di taman kanak-kanak tak jauh dari kantor suamiku.

Setibanya di dapur, aku menyiapkan makanan sederhana. Roti bakar untukku dan suamiku, serta sereal untuk putra kesayanganku. Tak lupa kubuatkan juga teh manis hangat untuk suamiku dan susu coklat untuk Raffa.

“Hm, selesai.”

Kupandangi dengan bangga hasil kerja kerasku yang kini terhidang di atas meja. Sarapan pagi kami telah siap, kini harus kulakukan tugas selanjutnya. Bisa dikatakan inilah tugas rutinku setiap hari, terutama di pagi hari.

Aku kembali masuk ke dalam kamar. Kutemukan suami tercintaku masih bergelung manja di tempat tidur kami. Kuhampiri dia, tanpa pikir panjang atau merasa ragu, kusingkap selimut tebal yang membungkus tubuh tegapnya. Aku merona hebat saat tatapanku tertuju pada perut kekarnya, karena semalam dia tidur dengan bertelanjang dada. Padahal sudah sepuluh tahun aku menjadi istrinya, terhitung sudah tujuh belas tahun sejak kami berpacaran, aku selalu berada di sampingnya. Tapi, tetap saja melihat tubuh kekar suamiku yang menjadi salah satu alasanku membanggakan dirinya, selalu membuatku tersipu malu.

“Sayang, bangun. Udah jam enam, nanti kamu telat ke kantor.”

Dia tak menyahut atau pun membuka kedua matanya. Dia tetap bergeming di tempat tidur dengan posisi yang sama yaitu tengah telentang di atas kasur. Kuulurkan tangan, berniat untuk mengguncang tubuhnya. Dan saat itulah aku sadar telah melakukan kesalahan.

Dengan sekali hentakan dia menarik tanganku yang terulur padanya. Seketika tubuhku jatuh menimpa dirinya. Ketika aku hendak bangun, dia memelukku erat sehingga aku tak sanggup berkutik dalam kungkungannya ini.

“Kamu apaan sih? Lepasin. Nanti kamu telat lho.”

“Aku masih ngantuk. Kamu temenin aku tidur bentar lagi, ya,” sahutnya manja, dia memelukku seolah aku sebuah guling.

“Jangan gini, serius kamu bisa telat. Lagian aku harus bangunin anak kamu juga.” Kudengar suara erangan, sepertinya dia tak suka mendengar penolakanku.

Ketika akhirnya aku terlepas dari kungkungannya, aku bergegas bangkit berdiri.

“Ayo, cepat bangun Mr Raefal sang pemalas.” Kutarik tangannya setelah menggodanya dengan ejekan itu. Dia pun tak menolak kali ini, dengan mudah aku berhasil mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.

“Aku masih ngantuk banget. Serius,” katanya lagi, beralasan.

“Salah sendiri kenapa begadang semalam.”

“Ya, mau gimana lagi, aku harus nyiapin bahan buat meeting.”

“Kamu ada meeting hari ini?” Dia menjawab dengan anggukan kepala.

“Berarti kamu telat pulang hari ini?”

“Iya, tapi aku usahain cepat pulang. Kalau meeting-nya selesai, aku pasti langsung pulang.”

Kali ini aku yang mengangguk. Mau bagaimana lagi, dia seorang pimpinan cabang, menghadiri meeting sudah menjadi rutinitasnya. Sebagai istri, aku hanya bisa memaklumi di saat dia harus pulang larut karena meeting yang terkadang memakan waktu sampai malam.

“Ayo, mandi sana!”

Kulihat dia masih bermalas-malasan untuk bangun. Terpaksa aku pun melakukan tindakan. Aku mendorong punggungnya agar tubuhnya yang sudah berdiri menjulang di hadapanku sekarang, bisa bergerak menuju kamar mandi.

“Kita mandi bareng, gimana?” Ajaknya seraya mengedipkan sebelah mata, jahil.

“Jangan ngaco. Kamu kayak Raffa aja minta mandi bareng.” Jelas aku menolak permintaan konyolnya ini.

“Dulu kita sering mandi bareng. Udah lama kamu gak gosokin punggung aku,” katanya lagi, aku memutar bola mata, malas.

“Pergi aja ke tempat spa kalau mau luluran.” Dia mengendikan bahunya mendengar jawabanku ini.

“Kalau Raffa yang minta pasti gak bakalan kamu tolak.”

“Ya, iyalah. Dia itu, kan, masih kecil.”

“Aku kok jadi cemburu sama Raffa,” katanya sukses membuatku terkekeh geli.

“Ya ampuun, masa sama anak sendiri cemburu, sih? Udah, sana mandi. Aku mau bangunin Raffa dulu.”

Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya, aku berjalan mendekati lemari. Kusiapkan setelan pakaian yang akan dikenakan suamiku pagi ini. Aku menghela napas lega saat dengan ekor mata melihat pergerakan suamiku menuju kamar mandi.

Seperti rencana awal, aku beranjak menuju kamar putra kesayanganku. Sempat terkejut saat kudapati dia sedang duduk di depan meja belajarnya. Tatapannya menunduk ke bawah meja seolah tengah mengerjakan sesuatu. Cepat-cepat kuhampiri dia. “Raffa sayang, kamu udah bangun?”

Dia menoleh padaku disertai senyuman lebar, membuatku gemas ingin mencubit pipi gembilnya.

“Kamu lagi apa?”

“Bikin gambar, Mom,” sahutnya, dia menunjukan gambar yang baru saja dibuatnya. Sebuah gambar rumah sederhana khas buatan tangan anak-anak seusianya.

“Woow, apa ini rumah kita?”

“Iya, Mom. Kok, Mommy tahu?” tanyanya dengan bola mata bulatnya mengarah padaku. Dia terlihat semakin menggemaskan.

“Karena gambarnya mirip sama rumah kita.” Jawabanku ini sepertinya membuat putraku senang bukan main. Dia melompat-lompat kecil di lantai seraya memeluk gambarnya erat.

“Ayo, kamu mandi dulu. Bentar lagi, kan, harus berangkat sekolah.”

Berbeda dengan ayahnya yang memiliki seribu alasan untuk menolak, putra kesayanganku ini menuruti ucapanku detik itu juga.

“Mau Mommy mandiin?”

“Gak usah, Mom. Aku bisa mandi sendiri!!” teriaknya dari dalam kamar mandi. Aku tersenyum lebar merasa bangga pada putraku yang sudah belajar mandiri padahal usianya masih sangat kecil.

Sambil menunggu dia selesai mandi, aku menyiapkan pakaian seragamnya. Tak lupa aku memastikan buku-buku dan peralatan sekolah lainnya yang harus dia bawa hari ini. Hanya membutuhkan waktu lima menit, Raffa berjalan riang menghampiriku dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Kubantu dia mengenakan seragamnya. Setelah penampilannya rapi, kami pun berjalan bersama-sama menuju ruang makan.

“Selamat pagi, Daddy,” pekik girang Raffa saat mendapati ayahnya sudah duduk manis di ruang tamu. Tanpa ragu dia naik ke pangkuan ayahnya. Aku tersenyum kecil melihat pemandangan mengharukan ini.

“Selamat pagi juga jagoan Daddy. Gimana tidur kamu semalam? Nyenyak?” Raffa mengangguk penuh semangat, tertawa lepas saat dengan jahilnya suamiku menggesek-gesek dagunya di leher Raffa.

Daddy, tadi aku gambar rumah. Mommy bilang, gambarnya mirip sama rumah kita.”

“Oh, iya? Mana coba Daddy lihat?”

Mommy, gambar aku mana?” tanya Raffa, tatapan lucunya tengah mengarah padaku.

“Ada di kamar kamu.”

“Ambilin dong, Mommy. Aku mau lihatin ke Daddy,” pintanya sambil merengek. Kuhembuskan napas pelan saat mendapati sifat manja putraku mulai kambuh.

“Nanti aja Daddy lihat gambarnya. Lihat tuh, nanti kamu telat berangkat sekolah. Daddy juga harus berangkat kerja.”

“Yaaah ... Mommy,” rajuknya, dia mengerutkan bibir. Cemberut karena tak suka dengan penolakanku ini.

“Nanti sepulang kerja, Daddy pasti lihat gambarnya. Sekarang Raffa makan, ya, serealnya. Jangan nakal, nanti Mommy marah lho.”

“Iya, Mommy kalau marah seram, kayak singa.”

Aku hanya bisa menggeleng saat mendengar obrolan suami dan putraku. Setelahnya tak ada lagi ocehan, keduanya mulai fokus dengan makanan masing-masing.

15 menit berlalu, suamiku akhirnya menyelesaikan sarapannya. Dia mengambil tas kerja, mengecup puncak kepala Raffa yang masih asyik menyantap sereal, sebelum mengajakku berjalan menuju pintu.

“Aku berangkat dulu, ya. Hati-hati kalau lagi di jalan nganterin Raffa,” ucapnya menasihatiku. Aku mengangguk mengerti.

“Kamu juga hati-hati di jalan. Lancar, ya, kerjaan kamu hari ini.” Setelah mengatakan ini dengan setulus hati, seperti biasa aku mencium punggung tangannya. Sama seperti biasanya pula dia akan mencium kening, pipi kanan dan pipi kiri, lalu berakhir mengecup lembut bibirku. Dia pun berjalan menuju mobil sedan hitamnya yang terparkir di depan rumah kami. Aku melambaikan tangan padanya, membalas lambaian tangan dia padaku begitu mulai melajukan mobilnya.

Sekilas pernikahan kami terlihat harmonis, bukan? Kami berdua yang terlihat saling mencintai tanpa ada masalah apa pun di kehidupan rumah tangga kami. Ya, memang benar jika dilihat dari luar, kami terlihat sebuah keluarga bahagia. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Setidaknya sampai aku mulai kehilangan kepercayaan pada suamiku.

Semuanya berawal dari satu bulan yang lalu. Saat aku membereskan tas kerjanya, tanpa sengaja aku melihat sebuah kotak beludru berwarna merah. Kotak di mana di dalamnya sebuah kalung indah terpajang. Aku pasti akan senang jika kalung itu disiapkan suamiku untuk diberikan padaku. Namun, setelah kuperhatikan baik-baik, kalung itu jelas bukanlah untukku. Ada inisial nama ZK di liontin kalung itu. ZK jelas bukan inisial namaku, karena inisial namaku adalah IG, Indira Gianina.

Dari sanalah awal kecurigaanku dimulai, terlebih saat aku mendengar tetangga yang sudah seperti saudara bagiku, memberitahu dia pernah memergoki suamiku tengah makan bersama seorang wanita di sebuah restauran ternama.

Dari sinilah kisahku dimulai. Kisah penyelidikanku untuk membuktikan kecurigaan ini, sekaligus mencari tahu nama di balik inisial ZK yang telah berhasil merebut perhatian suamiku.

Bab terkait

  • Genius Liar   CHAPTER TWO

    Waktu menunjukan tepat pukul 20.00 saat ini, seperti biasa pada jam segini suamiku sudah berada di rumah. Setiap hari dia pulang pukul 5 sore dari kantor, karena jarak antara kantor dan rumah kami yang terbilang cukup dekat, pukul 6 sore biasanya dia sudah tiba di rumah. Itu pun jika dia tidak ada meeting atau pekerjaan tambahan lain di luar kantor yang membuat dia pulang terlambat.Bisa dikatakan cukup jarang dia terlambat pulang. Sekali pun harus pulang telat, dia pasti akan mengabariku lebih dulu. Mungkin karena alasan dirinya begitu terbuka yang membuatku tak pernah meragukan kejujurannya selama sepuluh tahun pernikahan kami.Kutemukan suami dan putra semata wayang kami, Raffa ... tengah asyik duduk di depan televisi seraya tangan mereka sibuk memegang stick game. Mereka sedang memainkan playstation, game Ninja Ultimate jika kulihat dari layar televisi di mana di sana memperlihatkan dua tokoh ninja sedang bertarung sengit.“Y

  • Genius Liar   CHAPTER THREE

    “Baru pulang, ya? Gimana kegiatan kamu hari ini?”Suaranya mengalun dari balik ponsel yang sedang aku tempelkan di telinga, suara kekasihku ... Raefal yang sudah dua minggu lamanya tidak kutemui. Dia pergi ke Tianjin, China, untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja menerima penghargaan.Lagi-lagi membuatku bangga padanya. Bisa dibayangkan dari sekian banyak karyawan yang bekerja di perusahaan itu, Raefal-lah yang terpilih untuk terbang ke China menerima penghargaan. Padahal jika kuingat-ingat kembali, baru sekitar satu setengah tahun dia bekerja di perusahaan itu. Ternyata talenta dan kecerdasan tak akan menipu hasil. Meskipun terhitung sebagai pekerja baru tapi jika kemampuannya bisa diandalkan oleh perusahaan, tentu bukan sesuatu yang mustahil para pekerja senior pun bisa dikalahkan olehnya.“Indira,” panggilnya, aku terseny

  • Genius Liar   CHAPTER FOUR

    Aku menggandeng tangan putraku memasuki kantor tempat Raefal bekerja yang akan menjadi tempat awalku melakukan penyelidikan. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami di lantai dasar, menyapaku. Wajar mereka mengenalku karena dulu aku cukup sering datang ke kantor ini. Meskipun sejak Raffa mulai sekolah, aku nyaris tak pernah datang lagi ke sini.Ada pula yang menggoda putraku, mengatakan putraku tampan, pintar, menggemaskan dan berbagai pujian lainnya ketika kami memasuki lift. Tempat tujuan kami tentu saja lantai 5 di mana ruangan General Manager cabang yang ditempati suamiku berada. Raffa dan aku melambaikan tangan bersamaan pada beberapa karyawan yang satu lift dengan kami begitu kami tiba di lantai 5, mengucapkan perpisahan dengan ramah karena mereka pun memperlakukan kami dengan ramah, terlebih pada putraku.Kami pun tiba tepat di depan ruangan suamiku. Aku tersenyum lebar pada Susi, sekretaris suamiku yang sudah berdiri dari kursinya untuk menyambut ke

  • Genius Liar   CHAPTER FIVE

    Raefal kembali ke kantor begitu makan siang kami selesai, sedangkan aku dan Raffa memilih untuk pulang ke rumah. Aku tak tega melihat putraku yang kelelahan. Meski masih ingin menyelidiki sesuatu di kantor Raefal, akhirnya aku memutuskan membawa Raffa pulang.Setibanya di rumah, kutemani Raffa tidur di kamarnya. Dia memang terbiasa tidur siang. Tak perlu menunggu lama, dia pun tertidur dengan nyenyak. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengecek email, berharap pesan dari Susi sudah masuk.Aku mengurung diri di kamar ketika kubuka email. Saat kulihat pesan yang kutunggu dari Susi ternyata sudah masuk, aku tersenyum lebar detik itu juga. Lega karena Susi benar-benar bersedia mengabulkan permintaanku untuk mengirimkan data seluruh karyawan yang bekerja di kantor suamiku.Kubuka pesan itu dengan jantung berdetak tak karuan. Aku takut sebenarnya, takut kecurigaanku tentang Raefal yang berselingkuh terbukti benar. Meski lebih dari apa pun aku ingin segera mengungkap ident

  • Genius Liar   CHAPTER SIX

    Ketika hari minggu akhirnya tiba, di pagi buta saat aku dan Raefal masih bergelung manja di dalam selimut hangat kami. Kami dikejutkan oleh sosok Raffa yang melompat ke atas ranjang, menggunjang tubuh kami disertai suara jeritannya yang nyaring di telinga kami. Seketika kami terpaksa membuka mata.Aku masih berada dalam kondisi setengah sadar saat Raffa tanpa henti merengek meminta agar Raefal memenuhi janjinya untuk mengajak kami bermain di Trans Studio. Aku hanya mampu terkikik geli saat melihat betapa tersiksanya Raefal yang masih mengantuk harus terpaksa bangun karena Raffa terus menarik tangannya, memaksa ayahnya untuk beranjak dari kasur empuk kami.“Ini masih pagi. Trans Studio-nya buka jam 10 lho.”“Aku gak peduli. Ayo siap-siap, Dad. Kita berangkat sekarang,” kata Raffa, keras kepala seperti biasanya.“Kamu aja belum mandi.”“Ya udah. Ayo kita mandi bareng,” ajak Raffa sembari menarik tangan ayahnya agar ikut bersamanya ke kamar mandi.Raefal menoleh ke arahku, seolah memberi

  • Genius Liar   CHAPTER SEVEN

    Raefal pulang ke rumah tepat pukul sebelas malam. Entah apa yang sudah dia lakukan, tapi dari penampilannya yang kusut dan tampak kelelahan, berbagai pikiran negatif mulai berkeliaran di kepalaku.Dia menjelaskan padaku bahwa dia pergi terburu-buru karena mendapat kabar bahwa salah satu rekan bisnis perusahaannya datang berkunjung secara mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, membuatnya kelimpungan karena harus menyambut langsung sang rekan bisnis. Dia bilang jika dia tidak datang dan mengadakan pertemuan dadakan dengannya bisa memungkinkan kerja sama mereka dibatalkan. Sebuah kerja sama yang sangat penting hingga akan menyebabkan kerugian besar untuk perusahaannya jika sampai dibatalkan.Ketika aku bertanya siapa nama rekan bisnisnya tersebut, dengan lugas dan lantang dia menyebutkannya. Bahkan nama perusahaannya pun ikut dia beritahukan padaku.Jika aku yang dulu, tanpa berpikir panjang lagi pasti aku akan mempercayai ucapannya. Tapi untuk sekarang ... entahlah ... meski otakku

  • Genius Liar   CHAPTER EIGHT

    Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus ku tahan keinginan ini mati-matian.Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah.Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku.Sesuai yang ku harapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya.Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dal

  • Genius Liar   CHAPTER NINE

    Aku berpikir sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah karena beban yang tengah kutanggung sekarang, jujur saja mulai sulit untuk kutanggung sendirian. Mbak Alya, tetangga sekaligus seseorang yang menjadi sahabat baikku semenjak kami menetap di komplek perumahan ini, menjadi orang yang kupilih untuk menjadi teman curhatku.Aku datang ke rumahnya bersama putraku, sepulang sekolah. Awalnya, beralasan mengantar Raffa yang ingin bermain dengan Sandy, putra bungsu Mbak Alya. Hingga akhirnya kuceritakan juga masalahku pada Mbak Alya karena dia sendiri yang memintanya. Mungkin gerak-gerikku yang terlihat gelisah dan tak nyaman yang membuatnya sadar bahwa aku sedang memendam sebuah masalah berat.Mbak Alya tak terlihat terlalu terkejut begitu kuceritakan tentang kecurigaanku pada Raefal. Sebenarnya Mbak Alya inilah yang dulu pernah memberitahuku bahwa dia memergoki Raefal sedang bersama wanita lain. Saat itu aku menolak mempercayainya, meyakini bahwa kesetiaan Raefal adalah satu-satunya

Bab terbaru

  • Genius Liar   EPILOG

    RAEFAL POV Sesuai rencana, tepat pukul 11 siang, aku pergi ke rumah Indira.Begitu tiba di depan rumahnya, rasa gugup tiba-tiba melanda. Jantungku berdetak cepat bagaikan roller coaster, ini perasaan yang untuk pertama kalinya kurasakan. Dulu ... aku sering mendatangi rumah ini. Entah kenapa sekarang aku merasa gugup sekedar menginjakan kaki memasukinya.Mengembuskan napas panjang berulang kali, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya.Dalam ketukan keempat, akhirnya seseorang membukakan pintu.Kupikir sosok Indira yang akan kulihat, ternyata perkiraanku salah ketika sosok wanita paruh baya yang terbelalak saat melihatku, yang kutemui. Tante Mia namanya, dia adik mendiang ibu Indira. Aku cukup dekat dengannya.“Raefal ... Ya ampunnn!” pekiknya histeris. Dia memelukku layaknya seorang ibu yang girang melihat anaknya lagi. Aku mencium punggung tangannya, hal yang biasa kulakukan sejak dulu jika bertemu dengan wanita yang satu ini.“Ayo, masuk, masuk,” ajaknya semba

  • Genius Liar   CHAPTER FOURTY TWO

    RAEFAL POV Kehidupan yang kujalani setelah perpisahanku dan Indira bisa dikatakan sangat kacau. Aku merasa ada lubang besar yang menganga di dalam hatiku. Terasa hambar, hampa dan membosankan. Aku sudah terbiasa ada Indira di sampingku, dan sekarang ... di saat dia tak ada, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Suara tawa Raffa yang biasanya kudengar setiap hari pun, kini tak ada lagi. Aku merasa ... sepi.Untuk menghilangkan rasa sepi itu aku menenggelamkan diri dalam pelatihan yang kuikuti selama satu tahun di New York. Tak ada yang kupikirkan menyangkut masalah pribadi, hanya menuntut ilmu yang kujadikan prioritas utama.Kendati demikian, di saat aku tak kuasa menahan rindu, aku pasti meluangkan waktu untuk menelepon Raffa. Berbicara banyak hal dengannya di telepon. Tak jarang aku menanyakan kabar Indira padanya.Satu tahun yang kujalani di New York, tanpa ragu kukatakan sangat membosankan. Aku memiliki banyak kenalan di sini, pria dewasa seusiaku yang biasa menghabis

  • Genius Liar   CHAPTER FOURTY ONE

    Sosok Indira muncul setelah aku menunggunya sekitar 20 menit lamanya. Dia berjalan sendirian dengan kepala tertunduk. Meski dia berusaha tegar, raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Aku sangat mengenal Indira, dia bisa berpura-pura tegar di depan orang lain tapi tidak di depanku.“Indira.”Indira yang tampaknya sedang melamun seketika tersentak kaget, wajahnya yang sejak tadi tertunduk akhirnya mendongak. Dia menatapku bingung. Kuabaikan reaksinya itu, aku berjalan menghampirinya tanpa ragu.“A-Ada apa, ya?” tanyanya canggung.Aku menghela napas panjang, ada keinginan untuk memeluknya, tapi tak bisa lagi karena dia tidak lagi berstatus sebagai istriku. Dia orang asing sekarang, seseorang yang jika ingin kusentuh tentu saja harus atas izin darinya.“Ada beberapa hal yang harus kita bahas,” sahutku. Indira mengangguk, aku senang dia tak menolak.“Oh, iya, boleh. Kamu mau bilang apa?”Aku benci situasi ini, kami terlihat canggung seolah kebersamaan kami selama 17 tahun lamanya tak

  • Genius Liar   CHAPTER FOURTY

    RAEFAL POV Memiliki istri seperti Indira adalah sebuah keberuntungan untukku. Sepanjang aku mengenal dan bersamanya, ada begitu banyak sifat baik yang dia miliki selalu sukses membuatku kagum sekaligus terpesona.Dia wanita yang baik hati, tak akan segan menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya. Dia bukan tipe pemilih dalam hal bergaul. Aku ingat dia memiliki banyak teman saat masih sekolah dulu. Beberapa temannya pernah dia kenalkan padaku. Berbeda denganku yang nyaris tak pernah memperkenalkan teman-temanku padanya. Bukan karena aku sengaja melakukannya, hanya saja aku memang tak memiliki banyak teman.Karakterku sangat serius, tak suka bercanda kecuali di depan Indira. Orang lain mengatakan aku ini tipe pekerja keras, ulet dan mandiri. Entahlah ... aku hanya selalu berjuang demi meraih impianku.Berbeda dengan Indira yang berasal dari keluarga mapan, aku berasal dari keluarga biasa. Aku harus berjuang dengan usahaku sendiri agar tak merepotkan orang tuaku dalam hal membiay

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY NINE

    Setelah mengetuk pintu, kudengar suara Aradi dari dalam ruangan yang mempersilakanku untuk masuk. Tanpa ragu aku membuka pintu, menemukan Aradi yang sedang fokus menunduk, menatap sebuah dokumen di atas meja. Dia mendongak, terenyak melihat akulah yang datang.“Indi, ada apa? Terjadi sesuatu sama Raffa?” tanyanya, terlihat panik karena dia bergegas bangkit dari duduknya.“Nggak, Kak. Raffa masih tidur. Dia baik-baik aja. Aku datang ke sini karena ada yang mau aku omongin sama Kakak.”Gestur tubuh Aradi kembali rileks, dia memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakanku duduk di kursi yang bersebrangan dengannya. Aku pun duduk di sana, hanya meja kerjanya yang memisahkan kami kini.Kesepuluh jemariku saling meremas, entah kenapa aku merasa gugup sekarang. Khawatir kata-kataku akan menyakiti hatinya, tapi tetap harus kusampaikan alasanku mendatangi ruangannya.“Kenapa, Indi? Bilang aja, jangan ragu,” katanya seolah memahami kondisiku yang tengah dilanda kegugupan sekaligus kebingungan

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY EIGHT

    Surat panggilan dari pengadilan agama untuk persidangan perceraian kami, sudah aku terima. Aku yakin Raefal pun sudah menerimanya. Terhitung satu minggu lagi sidang itu akan dilaksanakan. Karena Raefal sudah menyetujui perceraian ini maka seharusnya proses persidangan nanti tidak akan rumit. Ya, semoga semuanya berjalan lancar karena sungguh aku ingin segara bebas dari semua rasa sakit ini. Aku ingin suasana baru dan mungkin meninggalkan kota yang penuh kenangan manis sekaligus menyakitkan ini merupakan tindakan pertama yang akan kulakukan nanti.Semenjak perbincanganku dengan Raefal malam itu, dia tidak pernah lagi menginap di rumah. Sepulang kerja dia akan pulang ke rumah untuk menemui Raffa, menemaninya sampai anak itu tertidur dan akhirnya dia akan kembali ke apartemennya. Aku tidak pernah mengusir ataupun melarangnya untuk menginap, sepertinya pembicaraan kami malam itu sangat berpengaruh juga untuk Raefal. Mungkin memilih tidak lagi serumah denganku adalah usahanya untuk menerim

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY SEVEN

    “K-Kamu pulang? Kirain gak pulang ke rumah malam ini,” ucapku. Raefal tak mengatakan apa pun, fokusnya tertuju pada layar televisi.“Aku Cuma nyari angin segar aja tadi. Kamu udah buka kadonya?” Aku mengangguk seraya melambaikan tangan, memberinya isyarat agar mendekat padaku.Raefal tak menolak, dia melangkah mendekat dan mendudukan diri tepat di sampingku.“Maaf, ya, aku lupa hari ini ulangtahun pernikahan kita yang kesebelas,” ucapku. Dia menggeleng.“Aku juga minta maaf untuk kata-kata kasarku tadi. Kesel aja, aku udah nyiapin kejutan buat kamu ternyata kamu malah pulang sama pria laen. Tapi, aku banyak mikir tadi. Rasa sakit yang aku rasain gak sebanding sama rasa sakit kamu, kan?”Aku tersenyum sinis, tak perlu menjawabnya, dia pasti tahu persis memang seperti itulah adanya. Luka di hatiku tak sebanding dengan lukanya.“Makanan sama kuenya enak. Aku sama Raffa suka banget. Makasih, ya.”“Bagus kalau kalian suka, berarti usahaku ampe izin pulang cepet gak sia-sia,” jawabnya.“Had

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY SIX

    Raffa tertidur dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Aku menemaninya sampai jarum jam menunjukan pukul 10 malam. Melihat putraku sudah terlelap dalam tidur, aku pun memutuskan keluar dari kamarnya.Aku belum mengantuk dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah, aku akan membereskan bekas makan kami.Setibanya di ruang makan, aku melakukan niatku untuk membereskan sisa makanan dan juga piring-piring kotor. Namun, kegiatanku terhenti tatkala menyadari ada sebuah kado yang diletakan di atas nakas. Tadi aku tidak menyadarinya karena tak melihat sekeliling. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan melangkah untuk mengambil kado itu.Kado berbentuk kotak persegi empat di mana kertas kado berwarna merah muda dengan motif hati membungkusnya rapi, ada pita yang senada dengan warna kertas kado menghiasi kotak ini sehingga terlihat manis.Aku membuka kertas kado itu, menemukan ada sebuah kaset DVD di dalamnya. Entah film apa yang tersimpan dalam kepingan kaset ini, aku sungguh penas

  • Genius Liar   CHAPTER THIRTY FIVE

    Raffa terbangun dari tidurnya tepat pukul 8 malam. Dia merengek lapar. Karena kebetulan banyak makanan yang sudah disiapkan Raefal di meja makan, aku mengajak Raffa untuk menyantapnya. Sayang bukan, makanan sebanyak dan selezat ini jika dibuang? Aku dan Raffa akan memakannya dengan senang hati.“Ayam ini enak.”Raffa berujar dengan girang, sembari mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng crispy. Sepertinya Raefal memang berencana mengadakan pesta makan besar untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami, sayang sekali dia tidak ada di sini. Padahal aku tahu dia sudah susah payah menyiapkan semua ini, tapi akhirnya hanya aku dan Raffa yang memakannya. Sedangkan Raefal, entah ke mana dia pergi? Aku juga tak ingin menghubunginya, aku tahu hatinya sedang panas karena amarah dan mungkin cemburu. Jadi, kubiarkan dia menenangkan diri sejenak.“Mommy, Daddy mana?”Aku yang sedang menikmati sup kerang seketika tertegun, dengan wajah polos Raffa menanyakan ayahnya. Aku tersenyum seramah mungkin, lanta

DMCA.com Protection Status