Aku berpikir sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah karena beban yang tengah kutanggung sekarang, jujur saja mulai sulit untuk kutanggung sendirian. Mbak Alya, tetangga sekaligus seseorang yang menjadi sahabat baikku semenjak kami menetap di komplek perumahan ini, menjadi orang yang kupilih untuk menjadi teman curhatku.Aku datang ke rumahnya bersama putraku, sepulang sekolah. Awalnya, beralasan mengantar Raffa yang ingin bermain dengan Sandy, putra bungsu Mbak Alya. Hingga akhirnya kuceritakan juga masalahku pada Mbak Alya karena dia sendiri yang memintanya. Mungkin gerak-gerikku yang terlihat gelisah dan tak nyaman yang membuatnya sadar bahwa aku sedang memendam sebuah masalah berat.Mbak Alya tak terlihat terlalu terkejut begitu kuceritakan tentang kecurigaanku pada Raefal. Sebenarnya Mbak Alya inilah yang dulu pernah memberitahuku bahwa dia memergoki Raefal sedang bersama wanita lain. Saat itu aku menolak mempercayainya, meyakini bahwa kesetiaan Raefal adalah satu-satunya
Aku masih bertahan di dalam mobilku, tak beranjak selangkah pun meski dengan mata kepalaku sendiri ku lihat wanita itu masih berdiri di halaman rumahnya. Sepuluh menit berlalu sejak kepergian Raefal, wanita itu masih betah berdiri memperhatikan taman bunganya yang indah.Dia berjalan menghampiri pria paruh baya yang sepertinya bertugas berjaga di depan gerbang. Terlihat dia tersenyum ramah pada pegawainya, membuatku menerka-nerka sepertinya dia memiliki kepribadian yang menyenangkan dan ramah.Masih tetap ku perhatikan gerak-geriknya termasuk saat dia berjalan mendekati taman bunganya. Taman bunga yang berjarak cukup dekat dengan tempatku memarkirkan mobil pinjaman ini.Melihat dari dekat wajah wanita itu, tak ku pungkiri dia memang cantik jelita. Memiliki hidung mancung dengan bibir merekah yang tampak ranum. Kulit wajahnya mulus tanpa cela dengan kedua mata bulat besar yang ditumbuhi bulu mata yang lentik. Alisnya tampak tebal. Dan ketika dia tersenyum, harus ku akui kecantikannya s
Hal yang pertama kali kulakukan setelah berpisah dengan Susi adalah pergi untuk menjemput Raffa di sekolahnya. Mbak Alya meneleponku, memberitahu bahwa Raffa menolak pulang bersamanya. Padahal anak itu bersedia berangkat sekolah bersama Mbak Alya dan putranya, Sandy. Aku berpikir mungkin karena Raffa sudah terbiasa dijemput olehku, dia tak bersedia ikut saat ada orang lain yang menjemputnya.Begitu turun dari dalam mobil setibanya aku di depan sekolah Raffa, kulihat putra semata wayangku itu berlari menghampiriku. Aku berjongkok sembari merentangkan kedua tangan untuk menyambutnya dalam pelukanku.Aku menciumi wajahnya begitu tubuh mungilnya berada dalam dekapanku. Di dunia ini tak ada lagi yang kusayangi sebesar aku menyayangi Raffa. Bahkan demi kebahagiaan anak ini, aku rela mengorbankan apa pun. Melihatnya terluka atau tersakiti merupakan satu-satunya hal yang paling tak kuinginkan di dunia ini.“Kamu nungguin Mommy lama, ya?”Anak itu menggeleng dalam pelukanku. Dia biasanya ceria
Jika ada yang berpikir aku ketakutan karena tindakanku yang menerobos masuk ruangan ini tanpa permisi dipergoki oleh sang pemilik ruangan, maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Sebaliknya, aku senang dan puas karena sepertinya inilah saat yang tepat untuk membongkar semua kebohongannya.“Hai, Sayang. Kebetulan kamu dateng. Ini ada telepon buat kamu.”Aku berjalan menghampiri Raefal yang masih berdiri di depan pintu yang terbuka. Berpura-pura tersenyum manis di depannya, nyatanya hatiku sedang bersorak senang saat ini. Bisa kubayangkan bagaimana reaksi terkejut dan panik wanita penggoda itu di seberang sana. Huuh, sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya secara langsung saat menyadari dia sedang berbicara dengan orang yang salah.Raefal mengambil ponselnya dari tanganku dengan pandangan mata yang tertuju lurus padaku. Sekilas dia melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan deretan angka yang merupakan nomor si penelepon, sebelum akhirnya dia tempelkan ponsel itu di teling
“Ini kan wanita yang aku lihat keluar sama kamu di restoran, tempo hari?” kataku setelah sejak lama terdiam.“Iya, emang dia,” jawab Raefal dengan santai.“Kamu bilang kalian temenan, tapi kok bisa ampe manggil sayang segala? Sedeket-deketnya hubungan kalian, rasanya gak wajar lawan jenis manggil sayang? Apalagi kalian cuma temenan, lain ceritanya kalau kalian pacaran baru panggilan sayang terdengar wajar.”Raefal menatap lurus kedua mataku, tapi raut wajahnya tetap sedatar tadi. Tak terlihat panik atau gugup meskipun pertanyaanku ini seharusnya mampu mengintimidasinya.“Dia itu sahabat deket aku. Deket banget ampe panggilan sayang udah gak dianggap serius lagi. Itu cuma candaan antar sahabat. Hal yang biasa.”Aku sudah membuka mulut siap menyudutkannya lagi dengan kata-kataku, tapi harus urung karena dia lebih cepat berbicara. Mengatakan kata-kata yang sukses membuatku tak berkutik.“Bukannya hal kayak gini juga pernah kejadian sama kamu?” katanya. “Waktu kita masih kuliah, ada cowok
Hal pertama yang kulakukan begitu tiba di rumah adalah mengunjungi rumah Mbak Alya. Dengan dalih mengembalikan mobil pinjaman sekaligus mengantarkan Raffa yang ingin bermain dengan putra bungsu Mbak Alya, aku datang ke rumah tetanggaku tersebut. Nyatanya tidak semata-mata alasan itulah yang membuatku datang, melainkan keinginan besarku untuk berkeluh kesah di depan Mbak Alya. Ingin segera ku ceritakan semua peristiwa yang menimpaku hari ini pada sosok wanita yang ku anggap seperti kakakku sendiri.Setelah memastikan putra-putra kami bermain dengan akrab di ruang tengah, kami memutuskan untuk duduk santai di halaman belakang rumah Mbak Alya. Pembicaraan kami ini, aku tak ingin putraku mendengarnya.Ku ceritakan semuanya pada Mbak Alya, semua ... tanpa terkecuali. Tak banyak kata yang diutarakan Mbak Alya, dia tetap menjadi pendengar yang baik hingga aku menyelesaikan ceritaku. Raut wajahnya pun tampak tenang, tak terlihat terkejut sedikit pun. Namun dia bergegas mengusap-usap punggungk
Aku berpikir tidak ada salahnya mengikuti saran Mbak Alya. Setibanya di rumah, bergegas aku menyiapkan beberapa makanan favorit Raefal. Lagipula bukankah tadi saat meninggalkan kantornya, aku mengatakan akan memasak makanan spesial untuknya? Dan ya, aku sedang mencoba menepati kata-kataku itu. Meski pada awalnya terselip makna tersirat di balik kata-kata itu, orang secerdas Raefal seharusnya menyadarinya juga.Aku memasak untuknya dengan hati yang tulus. Berulang kali ku cicipi masakanku ini hingga terasa pas di lidah. Cukup banyak jenis makanan yang ku buat. Ada pizza kornet dicampur dengan bakso dan sosis yang ku buat dengan tanganku sendiri sebagai sajian pembuka. Rendang sapi, sayur asam dan sambal ekstra pedas kesukaan Raefal, sebagai hidangan utama. Serta es buah berisi berbagai jenis buah, tak lupa ku siapkan sebagai hidangan penutup.Seharusnya Raefal menikmati semua hidangan ini karena ku pastikan semuanya makanan kesukaan Raefal.Setelah membantu Raffa mandi dan berganti pak
“Liburan selama satu minggu?”Kalimat tanya itulah yang Raefal gumamkan pertama kali setelah beberapa menit lamanya terdiam, aku mengangguk kecil, tatapan mataku tak pernah lepas sedikit pun darinya.“Iya, udah lama, kan, kita gak liburan? Raffa pasti seneng banget.”“Kok, mendadak banget ngajaknya?”Aku memicingkan mata, apakah sekarang dia sedang mencoba berkelit? Atau mencari alasan untuk menolak ajakanku ini? Mari kita lihat, apa yang akan dia katakan selanjutnya.“Gak mendadak, kok. Ini aku kasih tahu tiga hari sebelumnya. Aku, kan, gak ngajakin kamu berangkat besok. Tapi hari sabtu. Jadi gak mendadak dong, kan, masih ada waktu tiga hari buat siap-siap,” ujarku, sebisa mungkin mengulas senyum meski sebenarnya hatiku sedang was-was saat ini.Jika sampai dia menolak ajakanku ini, mungkinkah ini tandanya dia lebih memilih wanita itu dibanding aku dan Raffa? Jika benar demikian, tindakan apa yang harus kulakukan karena sepertinya wanita itu lebih penting bagi Raefal dibandingkan kami