Sosok Indira muncul setelah aku menunggunya sekitar 20 menit lamanya. Dia berjalan sendirian dengan kepala tertunduk. Meski dia berusaha tegar, raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Aku sangat mengenal Indira, dia bisa berpura-pura tegar di depan orang lain tapi tidak di depanku.“Indira.”Indira yang tampaknya sedang melamun seketika tersentak kaget, wajahnya yang sejak tadi tertunduk akhirnya mendongak. Dia menatapku bingung. Kuabaikan reaksinya itu, aku berjalan menghampirinya tanpa ragu.“A-Ada apa, ya?” tanyanya canggung.Aku menghela napas panjang, ada keinginan untuk memeluknya, tapi tak bisa lagi karena dia tidak lagi berstatus sebagai istriku. Dia orang asing sekarang, seseorang yang jika ingin kusentuh tentu saja harus atas izin darinya.“Ada beberapa hal yang harus kita bahas,” sahutku. Indira mengangguk, aku senang dia tak menolak.“Oh, iya, boleh. Kamu mau bilang apa?”Aku benci situasi ini, kami terlihat canggung seolah kebersamaan kami selama 17 tahun lamanya tak
RAEFAL POV Kehidupan yang kujalani setelah perpisahanku dan Indira bisa dikatakan sangat kacau. Aku merasa ada lubang besar yang menganga di dalam hatiku. Terasa hambar, hampa dan membosankan. Aku sudah terbiasa ada Indira di sampingku, dan sekarang ... di saat dia tak ada, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Suara tawa Raffa yang biasanya kudengar setiap hari pun, kini tak ada lagi. Aku merasa ... sepi.Untuk menghilangkan rasa sepi itu aku menenggelamkan diri dalam pelatihan yang kuikuti selama satu tahun di New York. Tak ada yang kupikirkan menyangkut masalah pribadi, hanya menuntut ilmu yang kujadikan prioritas utama.Kendati demikian, di saat aku tak kuasa menahan rindu, aku pasti meluangkan waktu untuk menelepon Raffa. Berbicara banyak hal dengannya di telepon. Tak jarang aku menanyakan kabar Indira padanya.Satu tahun yang kujalani di New York, tanpa ragu kukatakan sangat membosankan. Aku memiliki banyak kenalan di sini, pria dewasa seusiaku yang biasa menghabis
RAEFAL POV Sesuai rencana, tepat pukul 11 siang, aku pergi ke rumah Indira.Begitu tiba di depan rumahnya, rasa gugup tiba-tiba melanda. Jantungku berdetak cepat bagaikan roller coaster, ini perasaan yang untuk pertama kalinya kurasakan. Dulu ... aku sering mendatangi rumah ini. Entah kenapa sekarang aku merasa gugup sekedar menginjakan kaki memasukinya.Mengembuskan napas panjang berulang kali, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya.Dalam ketukan keempat, akhirnya seseorang membukakan pintu.Kupikir sosok Indira yang akan kulihat, ternyata perkiraanku salah ketika sosok wanita paruh baya yang terbelalak saat melihatku, yang kutemui. Tante Mia namanya, dia adik mendiang ibu Indira. Aku cukup dekat dengannya.“Raefal ... Ya ampunnn!” pekiknya histeris. Dia memelukku layaknya seorang ibu yang girang melihat anaknya lagi. Aku mencium punggung tangannya, hal yang biasa kulakukan sejak dulu jika bertemu dengan wanita yang satu ini.“Ayo, masuk, masuk,” ajaknya semba
Kubuka mata saat suara alarm ponsel meraung-raung di atas meja. Tanpa perlu melihat jam, aku tahu pasti saat ini memang sudah waktunya untuk bangun. Tepat pukul 05.00, aku menyetel alarm itu.Aku menghela napas panjang, sebelum benar-benar mencoba bangun dari ranjang. Gerakanku terhenti karena sebuah tangan yang tengah melingkar posesif di pinggangku. Kulirik sekilas pemilik tangan itu yang masih tertidur nyenyak di sampingku.Tersenyum kecil dikala menatap wajah polos teman tidurku ini yang tidak lain merupakan suamiku sendiri. Raefal Syahreza namanya, tepat berusia 36 tahun di tahun ini. Usia yang sama sepertiku karena kami seumuran, hanya terpaut lima bulan saja. Pria yang sudah kunikahi sepuluh tahun lamanya. Pria yang seolah seumur hidupku selalu ada dia di sampingku.Sebelum resmi menjadi suami-istri, kami menjalin hubungan selama tujuh tahun lamanya. Pertama kali berpacaran, saat itu kami masih duduk di bangku SMA. Seulas senyum selalu tersungging di bibi
Waktu menunjukan tepat pukul 20.00 saat ini, seperti biasa pada jam segini suamiku sudah berada di rumah. Setiap hari dia pulang pukul 5 sore dari kantor, karena jarak antara kantor dan rumah kami yang terbilang cukup dekat, pukul 6 sore biasanya dia sudah tiba di rumah. Itu pun jika dia tidak ada meeting atau pekerjaan tambahan lain di luar kantor yang membuat dia pulang terlambat.Bisa dikatakan cukup jarang dia terlambat pulang. Sekali pun harus pulang telat, dia pasti akan mengabariku lebih dulu. Mungkin karena alasan dirinya begitu terbuka yang membuatku tak pernah meragukan kejujurannya selama sepuluh tahun pernikahan kami.Kutemukan suami dan putra semata wayang kami, Raffa ... tengah asyik duduk di depan televisi seraya tangan mereka sibuk memegang stick game. Mereka sedang memainkan playstation, game Ninja Ultimate jika kulihat dari layar televisi di mana di sana memperlihatkan dua tokoh ninja sedang bertarung sengit.“Y
“Baru pulang, ya? Gimana kegiatan kamu hari ini?”Suaranya mengalun dari balik ponsel yang sedang aku tempelkan di telinga, suara kekasihku ... Raefal yang sudah dua minggu lamanya tidak kutemui. Dia pergi ke Tianjin, China, untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja menerima penghargaan.Lagi-lagi membuatku bangga padanya. Bisa dibayangkan dari sekian banyak karyawan yang bekerja di perusahaan itu, Raefal-lah yang terpilih untuk terbang ke China menerima penghargaan. Padahal jika kuingat-ingat kembali, baru sekitar satu setengah tahun dia bekerja di perusahaan itu. Ternyata talenta dan kecerdasan tak akan menipu hasil. Meskipun terhitung sebagai pekerja baru tapi jika kemampuannya bisa diandalkan oleh perusahaan, tentu bukan sesuatu yang mustahil para pekerja senior pun bisa dikalahkan olehnya.“Indira,” panggilnya, aku terseny
Aku menggandeng tangan putraku memasuki kantor tempat Raefal bekerja yang akan menjadi tempat awalku melakukan penyelidikan. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami di lantai dasar, menyapaku. Wajar mereka mengenalku karena dulu aku cukup sering datang ke kantor ini. Meskipun sejak Raffa mulai sekolah, aku nyaris tak pernah datang lagi ke sini.Ada pula yang menggoda putraku, mengatakan putraku tampan, pintar, menggemaskan dan berbagai pujian lainnya ketika kami memasuki lift. Tempat tujuan kami tentu saja lantai 5 di mana ruangan General Manager cabang yang ditempati suamiku berada. Raffa dan aku melambaikan tangan bersamaan pada beberapa karyawan yang satu lift dengan kami begitu kami tiba di lantai 5, mengucapkan perpisahan dengan ramah karena mereka pun memperlakukan kami dengan ramah, terlebih pada putraku.Kami pun tiba tepat di depan ruangan suamiku. Aku tersenyum lebar pada Susi, sekretaris suamiku yang sudah berdiri dari kursinya untuk menyambut ke
Raefal kembali ke kantor begitu makan siang kami selesai, sedangkan aku dan Raffa memilih untuk pulang ke rumah. Aku tak tega melihat putraku yang kelelahan. Meski masih ingin menyelidiki sesuatu di kantor Raefal, akhirnya aku memutuskan membawa Raffa pulang.Setibanya di rumah, kutemani Raffa tidur di kamarnya. Dia memang terbiasa tidur siang. Tak perlu menunggu lama, dia pun tertidur dengan nyenyak. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengecek email, berharap pesan dari Susi sudah masuk.Aku mengurung diri di kamar ketika kubuka email. Saat kulihat pesan yang kutunggu dari Susi ternyata sudah masuk, aku tersenyum lebar detik itu juga. Lega karena Susi benar-benar bersedia mengabulkan permintaanku untuk mengirimkan data seluruh karyawan yang bekerja di kantor suamiku.Kubuka pesan itu dengan jantung berdetak tak karuan. Aku takut sebenarnya, takut kecurigaanku tentang Raefal yang berselingkuh terbukti benar. Meski lebih dari apa pun aku ingin segera mengungkap ident
RAEFAL POV Sesuai rencana, tepat pukul 11 siang, aku pergi ke rumah Indira.Begitu tiba di depan rumahnya, rasa gugup tiba-tiba melanda. Jantungku berdetak cepat bagaikan roller coaster, ini perasaan yang untuk pertama kalinya kurasakan. Dulu ... aku sering mendatangi rumah ini. Entah kenapa sekarang aku merasa gugup sekedar menginjakan kaki memasukinya.Mengembuskan napas panjang berulang kali, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya.Dalam ketukan keempat, akhirnya seseorang membukakan pintu.Kupikir sosok Indira yang akan kulihat, ternyata perkiraanku salah ketika sosok wanita paruh baya yang terbelalak saat melihatku, yang kutemui. Tante Mia namanya, dia adik mendiang ibu Indira. Aku cukup dekat dengannya.“Raefal ... Ya ampunnn!” pekiknya histeris. Dia memelukku layaknya seorang ibu yang girang melihat anaknya lagi. Aku mencium punggung tangannya, hal yang biasa kulakukan sejak dulu jika bertemu dengan wanita yang satu ini.“Ayo, masuk, masuk,” ajaknya semba
RAEFAL POV Kehidupan yang kujalani setelah perpisahanku dan Indira bisa dikatakan sangat kacau. Aku merasa ada lubang besar yang menganga di dalam hatiku. Terasa hambar, hampa dan membosankan. Aku sudah terbiasa ada Indira di sampingku, dan sekarang ... di saat dia tak ada, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Suara tawa Raffa yang biasanya kudengar setiap hari pun, kini tak ada lagi. Aku merasa ... sepi.Untuk menghilangkan rasa sepi itu aku menenggelamkan diri dalam pelatihan yang kuikuti selama satu tahun di New York. Tak ada yang kupikirkan menyangkut masalah pribadi, hanya menuntut ilmu yang kujadikan prioritas utama.Kendati demikian, di saat aku tak kuasa menahan rindu, aku pasti meluangkan waktu untuk menelepon Raffa. Berbicara banyak hal dengannya di telepon. Tak jarang aku menanyakan kabar Indira padanya.Satu tahun yang kujalani di New York, tanpa ragu kukatakan sangat membosankan. Aku memiliki banyak kenalan di sini, pria dewasa seusiaku yang biasa menghabis
Sosok Indira muncul setelah aku menunggunya sekitar 20 menit lamanya. Dia berjalan sendirian dengan kepala tertunduk. Meski dia berusaha tegar, raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Aku sangat mengenal Indira, dia bisa berpura-pura tegar di depan orang lain tapi tidak di depanku.“Indira.”Indira yang tampaknya sedang melamun seketika tersentak kaget, wajahnya yang sejak tadi tertunduk akhirnya mendongak. Dia menatapku bingung. Kuabaikan reaksinya itu, aku berjalan menghampirinya tanpa ragu.“A-Ada apa, ya?” tanyanya canggung.Aku menghela napas panjang, ada keinginan untuk memeluknya, tapi tak bisa lagi karena dia tidak lagi berstatus sebagai istriku. Dia orang asing sekarang, seseorang yang jika ingin kusentuh tentu saja harus atas izin darinya.“Ada beberapa hal yang harus kita bahas,” sahutku. Indira mengangguk, aku senang dia tak menolak.“Oh, iya, boleh. Kamu mau bilang apa?”Aku benci situasi ini, kami terlihat canggung seolah kebersamaan kami selama 17 tahun lamanya tak
RAEFAL POV Memiliki istri seperti Indira adalah sebuah keberuntungan untukku. Sepanjang aku mengenal dan bersamanya, ada begitu banyak sifat baik yang dia miliki selalu sukses membuatku kagum sekaligus terpesona.Dia wanita yang baik hati, tak akan segan menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya. Dia bukan tipe pemilih dalam hal bergaul. Aku ingat dia memiliki banyak teman saat masih sekolah dulu. Beberapa temannya pernah dia kenalkan padaku. Berbeda denganku yang nyaris tak pernah memperkenalkan teman-temanku padanya. Bukan karena aku sengaja melakukannya, hanya saja aku memang tak memiliki banyak teman.Karakterku sangat serius, tak suka bercanda kecuali di depan Indira. Orang lain mengatakan aku ini tipe pekerja keras, ulet dan mandiri. Entahlah ... aku hanya selalu berjuang demi meraih impianku.Berbeda dengan Indira yang berasal dari keluarga mapan, aku berasal dari keluarga biasa. Aku harus berjuang dengan usahaku sendiri agar tak merepotkan orang tuaku dalam hal membiay
Setelah mengetuk pintu, kudengar suara Aradi dari dalam ruangan yang mempersilakanku untuk masuk. Tanpa ragu aku membuka pintu, menemukan Aradi yang sedang fokus menunduk, menatap sebuah dokumen di atas meja. Dia mendongak, terenyak melihat akulah yang datang.“Indi, ada apa? Terjadi sesuatu sama Raffa?” tanyanya, terlihat panik karena dia bergegas bangkit dari duduknya.“Nggak, Kak. Raffa masih tidur. Dia baik-baik aja. Aku datang ke sini karena ada yang mau aku omongin sama Kakak.”Gestur tubuh Aradi kembali rileks, dia memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakanku duduk di kursi yang bersebrangan dengannya. Aku pun duduk di sana, hanya meja kerjanya yang memisahkan kami kini.Kesepuluh jemariku saling meremas, entah kenapa aku merasa gugup sekarang. Khawatir kata-kataku akan menyakiti hatinya, tapi tetap harus kusampaikan alasanku mendatangi ruangannya.“Kenapa, Indi? Bilang aja, jangan ragu,” katanya seolah memahami kondisiku yang tengah dilanda kegugupan sekaligus kebingungan
Surat panggilan dari pengadilan agama untuk persidangan perceraian kami, sudah aku terima. Aku yakin Raefal pun sudah menerimanya. Terhitung satu minggu lagi sidang itu akan dilaksanakan. Karena Raefal sudah menyetujui perceraian ini maka seharusnya proses persidangan nanti tidak akan rumit. Ya, semoga semuanya berjalan lancar karena sungguh aku ingin segara bebas dari semua rasa sakit ini. Aku ingin suasana baru dan mungkin meninggalkan kota yang penuh kenangan manis sekaligus menyakitkan ini merupakan tindakan pertama yang akan kulakukan nanti.Semenjak perbincanganku dengan Raefal malam itu, dia tidak pernah lagi menginap di rumah. Sepulang kerja dia akan pulang ke rumah untuk menemui Raffa, menemaninya sampai anak itu tertidur dan akhirnya dia akan kembali ke apartemennya. Aku tidak pernah mengusir ataupun melarangnya untuk menginap, sepertinya pembicaraan kami malam itu sangat berpengaruh juga untuk Raefal. Mungkin memilih tidak lagi serumah denganku adalah usahanya untuk menerim
“K-Kamu pulang? Kirain gak pulang ke rumah malam ini,” ucapku. Raefal tak mengatakan apa pun, fokusnya tertuju pada layar televisi.“Aku Cuma nyari angin segar aja tadi. Kamu udah buka kadonya?” Aku mengangguk seraya melambaikan tangan, memberinya isyarat agar mendekat padaku.Raefal tak menolak, dia melangkah mendekat dan mendudukan diri tepat di sampingku.“Maaf, ya, aku lupa hari ini ulangtahun pernikahan kita yang kesebelas,” ucapku. Dia menggeleng.“Aku juga minta maaf untuk kata-kata kasarku tadi. Kesel aja, aku udah nyiapin kejutan buat kamu ternyata kamu malah pulang sama pria laen. Tapi, aku banyak mikir tadi. Rasa sakit yang aku rasain gak sebanding sama rasa sakit kamu, kan?”Aku tersenyum sinis, tak perlu menjawabnya, dia pasti tahu persis memang seperti itulah adanya. Luka di hatiku tak sebanding dengan lukanya.“Makanan sama kuenya enak. Aku sama Raffa suka banget. Makasih, ya.”“Bagus kalau kalian suka, berarti usahaku ampe izin pulang cepet gak sia-sia,” jawabnya.“Had
Raffa tertidur dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Aku menemaninya sampai jarum jam menunjukan pukul 10 malam. Melihat putraku sudah terlelap dalam tidur, aku pun memutuskan keluar dari kamarnya.Aku belum mengantuk dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah, aku akan membereskan bekas makan kami.Setibanya di ruang makan, aku melakukan niatku untuk membereskan sisa makanan dan juga piring-piring kotor. Namun, kegiatanku terhenti tatkala menyadari ada sebuah kado yang diletakan di atas nakas. Tadi aku tidak menyadarinya karena tak melihat sekeliling. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan melangkah untuk mengambil kado itu.Kado berbentuk kotak persegi empat di mana kertas kado berwarna merah muda dengan motif hati membungkusnya rapi, ada pita yang senada dengan warna kertas kado menghiasi kotak ini sehingga terlihat manis.Aku membuka kertas kado itu, menemukan ada sebuah kaset DVD di dalamnya. Entah film apa yang tersimpan dalam kepingan kaset ini, aku sungguh penas
Raffa terbangun dari tidurnya tepat pukul 8 malam. Dia merengek lapar. Karena kebetulan banyak makanan yang sudah disiapkan Raefal di meja makan, aku mengajak Raffa untuk menyantapnya. Sayang bukan, makanan sebanyak dan selezat ini jika dibuang? Aku dan Raffa akan memakannya dengan senang hati.“Ayam ini enak.”Raffa berujar dengan girang, sembari mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng crispy. Sepertinya Raefal memang berencana mengadakan pesta makan besar untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami, sayang sekali dia tidak ada di sini. Padahal aku tahu dia sudah susah payah menyiapkan semua ini, tapi akhirnya hanya aku dan Raffa yang memakannya. Sedangkan Raefal, entah ke mana dia pergi? Aku juga tak ingin menghubunginya, aku tahu hatinya sedang panas karena amarah dan mungkin cemburu. Jadi, kubiarkan dia menenangkan diri sejenak.“Mommy, Daddy mana?”Aku yang sedang menikmati sup kerang seketika tertegun, dengan wajah polos Raffa menanyakan ayahnya. Aku tersenyum seramah mungkin, lanta