Aku menggandeng tangan putraku memasuki kantor tempat Raefal bekerja yang akan menjadi tempat awalku melakukan penyelidikan. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami di lantai dasar, menyapaku. Wajar mereka mengenalku karena dulu aku cukup sering datang ke kantor ini. Meskipun sejak Raffa mulai sekolah, aku nyaris tak pernah datang lagi ke sini.
Ada pula yang menggoda putraku, mengatakan putraku tampan, pintar, menggemaskan dan berbagai pujian lainnya ketika kami memasuki lift. Tempat tujuan kami tentu saja lantai 5 di mana ruangan General Manager cabang yang ditempati suamiku berada. Raffa dan aku melambaikan tangan bersamaan pada beberapa karyawan yang satu lift dengan kami begitu kami tiba di lantai 5, mengucapkan perpisahan dengan ramah karena mereka pun memperlakukan kami dengan ramah, terlebih pada putraku.
Kami pun tiba tepat di depan ruangan suamiku. Aku tersenyum lebar pada Susi, sekretaris suamiku yang sudah berdiri dari kursinya untuk menyambut kedatanganku dan Raffa.
“Bu Indira, ya ampun ... sudah lama, ya, kita tidak bertemu? Bagaimana kabarnya?” tanyanya heboh, aku dan Susi cukup dekat. Dia lima tahun lebih muda dariku. Aku bersumpah dia wanita yang menyenangkan untuk diajak berbincang.
“Saya baik, kamu gimana?”
“Baik juga, Bu. Waah, Raffa sudah besar, ya, sekarang? Makin tampan, mirip Pak Raefal,” katanya lagi. Aku hanya tersenyum kali ini, kubiarkan Susi melakukan apa pun yang dia inginkan termasuk mengecup lembut pipi Raffa yang menggemaskan.
“Apa suami saya ada di dalam?”
Susi yang sempat berjongkok untuk menyamai tinggi Raffa cepat-cepat berdiri begitu pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Lantas dia mengangguk penuh semangat setelahnya, “Iya. Pak Raefal ada di dalam,” jawabnya.
“Kalau begitu, kami masuk dulu ke dalam.”
“Iya, Bu. Silakan. Daah, Raffa,” katanya sambil melambaikan tangan ke arah Raffa. Aku bersyukur karena memiliki putra yang berkepribadian baik serta menyenangkan. Putraku dengan polosnya ikut melambaikan tangan pada Susi disertai senyuman lebar yang setia terulas di wajah mungilnya.
Aku membuka pintu ruangan tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Di dunia ini mungkin hanya aku yang bisa melakukan tindakan kurang ajar seperti ini, mengingat suamiku pemimpin di cabang ini, tentu seluruh karyawan di sini begitu menghormatinya. Raefal sempat terenyak, kepalanya yang menunduk seketika mendongak ke depan begitu mendengar pintu ruangannya diterobos masuk olehku dan Raffa.
Dia sempat melebarkan mata, mungkin terkejut melihat kedatangan kami karena pada dasarnya aku memang tidak memberitahunya akan datang kemari. Aku anggap kunjungan kami ini sebagai kejutan besar untuknya.
“Daddy!!” teriak Raffa, dengan aktif dia berlari menghampiri ayahnya, lantas mendudukan diri di pangkuan sang ayah. Aku lagi-lagi hanya tersenyum melihat pemandangan itu.
“Jagoan Daddy udah pulang sekolah ternyata. Gimana sekolah kamu hari ini?”
“Seru. Aku banyak menggambar hari ini.”
“Bagus. Jagoan Daddy pasti yang paling pinter ngegambarnya.” Raffa tertawa senang karena pujian itu meluncur mulus dari mulut ayahnya.
“Maaf, ya, kami datang mendadak. Raffa merengek ingin datang ke sini.” Tentu saja yang kukatakan ini hanyalah sebuah alasan karena sebenarnya akulah yang ingin datang ke sini. Sedangkan Raffa, dia hanya akan mengikuti kemana pun aku mengajaknya pergi. Dalam hati aku meminta maaf pada putraku karena menjadikan dirinya sebagai alasan untuk berbohong.
“Nggak apa-apa, justru aku seneng kalian datang. Tempat ini gak sepi kayak kuburan lagi,” katanya terlihat tulus. Aku memiringkan kepala, bibirku menyunggingkan seulas senyum.
Aku menggulirkan bola mata menatap sekeliling ruangan ini. Sofa hitam yang dulu aku pilihkan ternyata masih ada di sini. Beberapa lukisan yang sengaja kupajang di dinding sebagai hiasan di ruangan ini pun terlihat masih bertengger manis di dinding. Masih sama persis seperti di mana aku memasang lukisan-lukisan itu. Pigura kecil berisi foto kami bertiga yang kuletakan di meja kerja Raefal pun, masih ada di sana, di posisi yang sama. Intinya tak ada yang berubah dengan ruangan ini sejak terakhir kali aku mengunjunginya, hampir satu tahun yang lalu.
Aku mendudukan diri di sofa hitam, memfokuskan tatapan pada Raefal yang kembali fokus pada laptopnya serta Raffa yang masih setia duduk di pangkuan ayahnya. Anak itu tidak nakal, dia hanya memperhatikan bagaimana ayahnya bekerja. Sangat manis melihat pemandangan itu. Tak hentinya bersyukur karena hubungan mereka berdua sangat dekat.
Untuk menghilangkan kejenuhan, aku mengambil sebuah majalah yang tergeletak kesepian di atas meja. Lalu membukanya, membaca isinya yang ternyata semua membahas tentang dunia bisnis yang membosankan bagiku.
“Mom, aku ingin ke toilet.”
Atensiku dari majalah di tangan teralihkan begitu suara putraku merasuki gendang telinga. Aku melihat Raffa meringis, aku baru ingat sejak di taksi tadi dia memang sudah merengek ingin buang air kecil. Bagaimana bisa aku melupakan ini?
“Ya udah, Sayang, kamu ke toilet aja. Kamu tahu, kan, toiletnya? Dekat kok dari sini.” Raefal mendelik padaku begitu mendengar kata-kataku ini, kentara dia tak suka mendengarnya.
“Sayang, kamu serius nyuruh Raffa ke toilet sendirian?” tanyanya, sebelah alisnya terangkat tinggi. Aku mengangguk karena memang begitulah kenyataannya. Aku mengajarkan putraku untuk hidup mandiri, aku tahu dia bisa sendiri pergi ke toilet.
“Iya. Aku mana mungkin, kan, masuk ke toilet laki-laki?”
“Tapi, kan, bisa kalian ke toilet perempuan aja,” balasnya, masih tak terima.
“Seperti anakmu mau saja buang air kecil di toilet perempuan.”
“Aku gak mau pipis di toilet perempuan. Aku, kan, laki-laki bukan perempuan.” Raffa menjawab dengan pintar, diam-diam aku tersenyum penuh kemenangan.
Dari sofa ini, aku bisa mendengar dengan jelas suara Raefal yang mengembuskan napas kasar. “Biar Daddy yang nganter kamu ke toilet. Ayo, bangun!” Akhirnya dia yang mengalah. Raffa bergegas turun dari pangkuannya, diikuti oleh Raefal yang juga bangkit berdiri dari duduknya. “Aku anterin dulu dia ke toilet,” pamitnya, yang hanya kubalas dengan anggukan.
Saat kulihat Raefal dan Raffa menghilang di balik pintu, saat itulah aku memulai aksi penyelidikanku. Ini kesempatan emas yang tidak boleh aku sia-siakan.
Aku bergegas menghampiri meja kerja Raefal. Kuperiksa dokuman-dokumen yang berserakan di atas meja. Memeriksa dokumen apa pun yang menurutku mencurigakan. Serta berharap dari salah satu dokumen aku bisa menemukan seseorang berinisial ZK yang sedang ingin sekali kuketahui identitas aslinya.
Aku beranjak menuju laci begitu tak kutemukan keanehan apa pun dalam dokumen-dokumen itu. Satu demi satu lacinya aku buka, aku mengumpat kesal detik itu juga begitu mendapati semua laci dalam keadaan terkunci. OK, seperti biasa Raefal memang selalu teliti.
Beranjak dari laci, kini tujuanku adalah brankas besi yang diletakan tepat di sudut kiri ruangan. Meskipun aku sudah mengira brankas itu pasti dalam keadaan terkunci, aku tetap mencoba peruntungan dengan membukanya. “Sial, tentu saja dia pasti menguncinya,” umpatku kesal meski aku tahu pasti seperti ini akhirnya.
17 tahun hidup di sekeliling seorang Raefal Syahreza, aku tahu persis bagaimana kebiasaannya. Dia yang selalu menyimpan barang-barang pentingnya di dalam laci atau brankas. Jadi, saat laci dan brankas dalam keadaan terkunci meskipun dirinya sedang berada di ruangan ini, bisa kupastikan sesuatu yang Raefal simpan di laci dan brankas itu pastilah sangat penting, mungkin juga rahasia hingga dia menyembunyikannya dariku juga.
Kenapa aku berpikir seperti ini? Jawabannya mudah, dia membawa kunci semua laci karena ada aku di ruangan ini. Aku sering mengunjungi kantor ini dulu dan biasanya dia akan meletakan kunci semua lacinya di kotak kecil yang dia letakan di dekat laptop. Lihat, kotak itu kosong sekarang, tak ada satu pun kunci di sana.
“Jadi, kamu beneran nyembunyiin sesuatu dari aku. Dasar brengsek.” Aku mengumpat lagi, dan aku benar-benar tidak peduli meskipun ada orang yang mungkin mendengarnya.
Aku tidak kehilangan akal meskipun Raefal sudah menutup rapat-rapat akses yang bisa kugunakan untuk menemukan semua kebohongannya. Aku cepat-cepat keluar dari ruangan selagi Raefal dan Raffa belum kembali. Susi adalah tujuan utamaku sekarang. Aku mendekatinya tanpa kata, membuat Susi tersentak kaget karena keberadaanku yang begitu mendadak di hadapannya.
“Oh, Ibu. Ada apa, Bu?” tanyanya, masih terlihat terkejut. Aku hanya tersenyum, sedikit merasa bersalah padanya.
“Sus, saya boleh minta tolong nggak?”
“Tentu boleh, Bu. Apa yang bisa saya bantu?” sahutnya penuh semangat, aku kembali tersenyum padanya.
“Kamu bisa gak tolong kirimkan daftar seluruh pegawai di kantor ini ke alamat email saya?” Susi mengernyitkan dahi, mungkin heran dengan permintaanku ini. Tapi, sungguh hal ini sangat penting bagiku. Aku curiga pemilik inisial ZK itu bekerja di kantor ini.
“Cukup kirim daftar nama aja, nggak perlu identitas lengkap,” tambahku.
“Kalau boleh tahu ... untuk apa, ya, Bu?” tanyanya, terlihat mulai curiga.
“Ada urusan penting. Bisa kan kamu bantu saya?” Susi terdiam sejenak, keraguan terlihat sangat jelas di wajahnya.
“Ayolah, Sus. Kan, cuma daftar nama aja bukan identitas lengkap mereka yang saya minta. Bisa, ya, kamu bantu saya? Please,” ucapku mencoba memasang wajah sememelas mungkin. Mungkin karena dia tidak enak menolak permintaan istri atasannya, akhirnya dia mengangguk setuju, membuatku tersenyum lebar detik itu juga.
“Kamu ngapain di sini?”
Aku tersentak, luar biasa kaget. Begitu kuputar leher dan menemukan Raefal sedang berdiri tak jauh dariku sembari memangku Raffa, sukses membuat mataku terbelalak lebar. Aku menghela napas, mencoba berekspresi setenang mungkin, aku yakin dia tak mungkin mendengar pembicaraan kami tadi karena aku bicara sepelan mungkin.
“Mengobrol dengan Susi. Udah lama banget kita gak ketemu. Iya, kan, Sus?”
“Iya, Bu,” jawab Susi. Diam-diam aku bersyukur karena sekretaris suamiku ini benar-benar bisa diajak kerja sama.
“Kalian udah selesai ke toiletnya?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya, udah. Ayo, masuk ke dalam lagi!” ajaknya, kubiarkan Raefal melangkah masuk lebih dulu.
“Sus, tolong rahasiakan permintaan saya ini dari suami saya ya. Saya percaya sama kamu. Saya tunggu kirimannya.”
“Baik, Bu.”
Aku menepuk bahu Susi pelan, sebelum menyusul suamiku masuk ke dalam ruangannya.
***
Tepat pukul 12 siang, Raefal mengajak kami makan siang di salah satu restauran cepat saji yang terletak tak jauh dari kantornya. Raffa girang bukan main, sudah lama memang dia tak kami ajak makan di luar seperti ini. Dia memesan burger, french fries, es krim dengan semangat, suaranya begitu nyaring saat dia meminta ayahnya untuk membelikan semua makanan pesanannya. Aku hanya meringis mendengarnya, sepertinya lain kali aku harus lebih sering mengajak putraku makan di luar jika melihat dia begitu bahagia seperti sekarang ini.
Tak lama kemudian, Raefal kembali dengan membawa nampan penuh makanan yang akan menjadi menu makan siang kami kali ini. Aku tersenyum lebar melihat spaghetty kesukaanku sudah terhidang menggiurkan di depan mata. Tanpa perlu repot-repot menyebutkan makanan apa yang ingin aku pesan, Raefal selalu tahu persis makanan favoritku.
“Es krimnya enak, Daddy. Nanti pesenin aku satu lagi, ya,” pinta Raffa dengan manja. Aku dan Raefal saling berpandangan, gemas sendiri melihat tingkah laku putra semata wayang kami.
“Jangan banyak-banyak makan es krim, nanti kamu sakit gigi.”
Aku yang melarangnya, seketika Raffa memberengut tak suka. Dia merajuk dan merengek meminta pembelaan dari ayahnya yang memang selalu memanjakan dirinya.
“OK, nanti Daddy belikan satu lagi. Tapi, cuma satu, ya. Jangan banyak-banyak.” Raffa bersorak girang mendapati keinginannya dikabulkan oleh ayahnya. Berbanding terbalik dengan reaksiku yang memelototi Raefal saat ini.
“Nggak apa-apa, Sayang. Cuma dua, kok. Aku janji gak bakalan beliin dia terlalu banyak es krim,” katanya, menyadari kekesalanku.
Aku pun mendengus, memilih menyibukan diri dengan spaghetty-ku dari pada meladeni dua orang keras kepala itu, tetap saja aku akan kalah jika sepasang ayah dan anak itu sudah kompak seperti ini.
“Daddy, Daddy, aku pengen maen ke Trans Studio udah ini. Boleh, ya?” rajuk Raffa meminta hal yang lain. Raefal menoleh padaku seolah sorot matanya menunjukan bahwa dia sedang meminta bantuanku untuk membujuk Raffa.
Aku memutar bola mata, bosan. Kubiarkan dia sendiri yang meyakinkan Raffa. Raffa yang sedang merajuk memang akan sangat keras kepala. Sekali-sekali biar Raefal yang merasakan betapa keras kepala putranya itu, karena biasanya akulah yang menghadapinya. Jadi, aku hanya diam, pura-pura sibuk dengan makananku serta pura-pura tak mendengar obrolan mereka.
“Udah ini, kan, Daddy masih kerja, Sayang,” sahut Raefal, berusaha membujuk.
“Pulang kerja aja.” Seperti dugaanku, Raffa anak yang cerdas, selalu tahu cara membuat orang tuanya kebingungan dengan semua keinginannya.
“Daddy, kan, pulangnya malam. Nanti Trans Studio-nya keburu tutup.”
“Kata siapa? Temen aku ada kok yang ke sana malam-malam, katanya belum tutup.”
Aku terkekeh mendengar jawaban cerdas putraku. Jadi, apa yang akan dikatakan Raefal untuk membujuk anaknya? Aku mulai penasaran sekarang.
“Tapi nggak enak kalau malam-malam kita ke sananya, kamu jadi gak bebas main soalnya nggak lama kita masuk, Trans Studio-nya udah mau tutup.”
“Tapi, aku pengin main ke sana. Temen aku bilang seru.”
“Ya udah. Hari minggu nanti, kita ke sana, ya.”
Raffa tersenyum semringah hingga deretan giginya terlihat jelas. “Janji, ya, Dad? Jangan bohong,” ujarnya. Dia mengulurkan jari kelingking yang langsung dibalas oleh Raefal. Kelingking mereka pun saling terpaut, aku mendengus lagi melihat pemandangan itu.
“Mommy juga harus ikut,” pinta Raffa padaku.
“Tentu aja, Sayang. Nanti Mommy juga pasti ikut.”
“Horeee!” katanya girang, luar biasa. Aku dan Raefal menggeleng serempak melihatnya.
“Kamu udah janji lho sama Raffa. Awas aja kamu bohong.” Aku menunjuk Raefal dengan garpu yang sedang kugenggam.
“Emangnya kapan aku pernah bohong? Nggak pernah, kan? Tenang aja, aku pasti tepatin janji. Udah lama juga kita bertiga gak jalan-jalan, kan?” Aku memutar bola mata, malas. Tak yakin dengan ucapannya ini. Tak pernah berbohong katanya, benarkah? Entah kenapa aku sangat, sangat tidak percaya.
Tak lama berselang, kulihat ponsel Raefal bergetar dan layarnya menyala terang. Ada panggilan masuk, entah dari siapa. Hanya saja satu hal yang kusadari, Raefal tampak terkejut saat melihat nomor yang tertera pada layar ponsel itu. Ponsel yang tergeletak di atas meja itu, cepat-cepat dia ambil. “Aku angkat teleponnya dulu, ya.” Dia pergi begitu saja bahkan sebelum aku bersuara untuk memberikan respons.
Begitu melangkah pergi dari meja kami, kulihat dia bergegas mengangkat telepon itu. Aku bersumpah, wajahnya terlihat semringah saat berbicara di telepon dengan seseorang yang entah siapa, bahkan dari kejauhan aku bisa melihatnya dengan jelas, ekspresi bahagianya.
Raefal kembali ke kantor begitu makan siang kami selesai, sedangkan aku dan Raffa memilih untuk pulang ke rumah. Aku tak tega melihat putraku yang kelelahan. Meski masih ingin menyelidiki sesuatu di kantor Raefal, akhirnya aku memutuskan membawa Raffa pulang.Setibanya di rumah, kutemani Raffa tidur di kamarnya. Dia memang terbiasa tidur siang. Tak perlu menunggu lama, dia pun tertidur dengan nyenyak. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengecek email, berharap pesan dari Susi sudah masuk.Aku mengurung diri di kamar ketika kubuka email. Saat kulihat pesan yang kutunggu dari Susi ternyata sudah masuk, aku tersenyum lebar detik itu juga. Lega karena Susi benar-benar bersedia mengabulkan permintaanku untuk mengirimkan data seluruh karyawan yang bekerja di kantor suamiku.Kubuka pesan itu dengan jantung berdetak tak karuan. Aku takut sebenarnya, takut kecurigaanku tentang Raefal yang berselingkuh terbukti benar. Meski lebih dari apa pun aku ingin segera mengungkap ident
Ketika hari minggu akhirnya tiba, di pagi buta saat aku dan Raefal masih bergelung manja di dalam selimut hangat kami. Kami dikejutkan oleh sosok Raffa yang melompat ke atas ranjang, menggunjang tubuh kami disertai suara jeritannya yang nyaring di telinga kami. Seketika kami terpaksa membuka mata.Aku masih berada dalam kondisi setengah sadar saat Raffa tanpa henti merengek meminta agar Raefal memenuhi janjinya untuk mengajak kami bermain di Trans Studio. Aku hanya mampu terkikik geli saat melihat betapa tersiksanya Raefal yang masih mengantuk harus terpaksa bangun karena Raffa terus menarik tangannya, memaksa ayahnya untuk beranjak dari kasur empuk kami.“Ini masih pagi. Trans Studio-nya buka jam 10 lho.”“Aku gak peduli. Ayo siap-siap, Dad. Kita berangkat sekarang,” kata Raffa, keras kepala seperti biasanya.“Kamu aja belum mandi.”“Ya udah. Ayo kita mandi bareng,” ajak Raffa sembari menarik tangan ayahnya agar ikut bersamanya ke kamar mandi.Raefal menoleh ke arahku, seolah memberi
Raefal pulang ke rumah tepat pukul sebelas malam. Entah apa yang sudah dia lakukan, tapi dari penampilannya yang kusut dan tampak kelelahan, berbagai pikiran negatif mulai berkeliaran di kepalaku.Dia menjelaskan padaku bahwa dia pergi terburu-buru karena mendapat kabar bahwa salah satu rekan bisnis perusahaannya datang berkunjung secara mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, membuatnya kelimpungan karena harus menyambut langsung sang rekan bisnis. Dia bilang jika dia tidak datang dan mengadakan pertemuan dadakan dengannya bisa memungkinkan kerja sama mereka dibatalkan. Sebuah kerja sama yang sangat penting hingga akan menyebabkan kerugian besar untuk perusahaannya jika sampai dibatalkan.Ketika aku bertanya siapa nama rekan bisnisnya tersebut, dengan lugas dan lantang dia menyebutkannya. Bahkan nama perusahaannya pun ikut dia beritahukan padaku.Jika aku yang dulu, tanpa berpikir panjang lagi pasti aku akan mempercayai ucapannya. Tapi untuk sekarang ... entahlah ... meski otakku
Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus ku tahan keinginan ini mati-matian.Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah.Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku.Sesuai yang ku harapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya.Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dal
Aku berpikir sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah karena beban yang tengah kutanggung sekarang, jujur saja mulai sulit untuk kutanggung sendirian. Mbak Alya, tetangga sekaligus seseorang yang menjadi sahabat baikku semenjak kami menetap di komplek perumahan ini, menjadi orang yang kupilih untuk menjadi teman curhatku.Aku datang ke rumahnya bersama putraku, sepulang sekolah. Awalnya, beralasan mengantar Raffa yang ingin bermain dengan Sandy, putra bungsu Mbak Alya. Hingga akhirnya kuceritakan juga masalahku pada Mbak Alya karena dia sendiri yang memintanya. Mungkin gerak-gerikku yang terlihat gelisah dan tak nyaman yang membuatnya sadar bahwa aku sedang memendam sebuah masalah berat.Mbak Alya tak terlihat terlalu terkejut begitu kuceritakan tentang kecurigaanku pada Raefal. Sebenarnya Mbak Alya inilah yang dulu pernah memberitahuku bahwa dia memergoki Raefal sedang bersama wanita lain. Saat itu aku menolak mempercayainya, meyakini bahwa kesetiaan Raefal adalah satu-satunya
Aku masih bertahan di dalam mobilku, tak beranjak selangkah pun meski dengan mata kepalaku sendiri ku lihat wanita itu masih berdiri di halaman rumahnya. Sepuluh menit berlalu sejak kepergian Raefal, wanita itu masih betah berdiri memperhatikan taman bunganya yang indah.Dia berjalan menghampiri pria paruh baya yang sepertinya bertugas berjaga di depan gerbang. Terlihat dia tersenyum ramah pada pegawainya, membuatku menerka-nerka sepertinya dia memiliki kepribadian yang menyenangkan dan ramah.Masih tetap ku perhatikan gerak-geriknya termasuk saat dia berjalan mendekati taman bunganya. Taman bunga yang berjarak cukup dekat dengan tempatku memarkirkan mobil pinjaman ini.Melihat dari dekat wajah wanita itu, tak ku pungkiri dia memang cantik jelita. Memiliki hidung mancung dengan bibir merekah yang tampak ranum. Kulit wajahnya mulus tanpa cela dengan kedua mata bulat besar yang ditumbuhi bulu mata yang lentik. Alisnya tampak tebal. Dan ketika dia tersenyum, harus ku akui kecantikannya s
Hal yang pertama kali kulakukan setelah berpisah dengan Susi adalah pergi untuk menjemput Raffa di sekolahnya. Mbak Alya meneleponku, memberitahu bahwa Raffa menolak pulang bersamanya. Padahal anak itu bersedia berangkat sekolah bersama Mbak Alya dan putranya, Sandy. Aku berpikir mungkin karena Raffa sudah terbiasa dijemput olehku, dia tak bersedia ikut saat ada orang lain yang menjemputnya.Begitu turun dari dalam mobil setibanya aku di depan sekolah Raffa, kulihat putra semata wayangku itu berlari menghampiriku. Aku berjongkok sembari merentangkan kedua tangan untuk menyambutnya dalam pelukanku.Aku menciumi wajahnya begitu tubuh mungilnya berada dalam dekapanku. Di dunia ini tak ada lagi yang kusayangi sebesar aku menyayangi Raffa. Bahkan demi kebahagiaan anak ini, aku rela mengorbankan apa pun. Melihatnya terluka atau tersakiti merupakan satu-satunya hal yang paling tak kuinginkan di dunia ini.“Kamu nungguin Mommy lama, ya?”Anak itu menggeleng dalam pelukanku. Dia biasanya ceria
Jika ada yang berpikir aku ketakutan karena tindakanku yang menerobos masuk ruangan ini tanpa permisi dipergoki oleh sang pemilik ruangan, maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Sebaliknya, aku senang dan puas karena sepertinya inilah saat yang tepat untuk membongkar semua kebohongannya.“Hai, Sayang. Kebetulan kamu dateng. Ini ada telepon buat kamu.”Aku berjalan menghampiri Raefal yang masih berdiri di depan pintu yang terbuka. Berpura-pura tersenyum manis di depannya, nyatanya hatiku sedang bersorak senang saat ini. Bisa kubayangkan bagaimana reaksi terkejut dan panik wanita penggoda itu di seberang sana. Huuh, sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya secara langsung saat menyadari dia sedang berbicara dengan orang yang salah.Raefal mengambil ponselnya dari tanganku dengan pandangan mata yang tertuju lurus padaku. Sekilas dia melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan deretan angka yang merupakan nomor si penelepon, sebelum akhirnya dia tempelkan ponsel itu di teling