Raefal kembali ke kantor begitu makan siang kami selesai, sedangkan aku dan Raffa memilih untuk pulang ke rumah. Aku tak tega melihat putraku yang kelelahan. Meski masih ingin menyelidiki sesuatu di kantor Raefal, akhirnya aku memutuskan membawa Raffa pulang.
Setibanya di rumah, kutemani Raffa tidur di kamarnya. Dia memang terbiasa tidur siang. Tak perlu menunggu lama, dia pun tertidur dengan nyenyak. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengecek email, berharap pesan dari Susi sudah masuk.
Aku mengurung diri di kamar ketika kubuka email. Saat kulihat pesan yang kutunggu dari Susi ternyata sudah masuk, aku tersenyum lebar detik itu juga. Lega karena Susi benar-benar bersedia mengabulkan permintaanku untuk mengirimkan data seluruh karyawan yang bekerja di kantor suamiku.
Kubuka pesan itu dengan jantung berdetak tak karuan. Aku takut sebenarnya, takut kecurigaanku tentang Raefal yang berselingkuh terbukti benar. Meski lebih dari apa pun aku ingin segera mengungkap ident
Ketika hari minggu akhirnya tiba, di pagi buta saat aku dan Raefal masih bergelung manja di dalam selimut hangat kami. Kami dikejutkan oleh sosok Raffa yang melompat ke atas ranjang, menggunjang tubuh kami disertai suara jeritannya yang nyaring di telinga kami. Seketika kami terpaksa membuka mata.Aku masih berada dalam kondisi setengah sadar saat Raffa tanpa henti merengek meminta agar Raefal memenuhi janjinya untuk mengajak kami bermain di Trans Studio. Aku hanya mampu terkikik geli saat melihat betapa tersiksanya Raefal yang masih mengantuk harus terpaksa bangun karena Raffa terus menarik tangannya, memaksa ayahnya untuk beranjak dari kasur empuk kami.“Ini masih pagi. Trans Studio-nya buka jam 10 lho.”“Aku gak peduli. Ayo siap-siap, Dad. Kita berangkat sekarang,” kata Raffa, keras kepala seperti biasanya.“Kamu aja belum mandi.”“Ya udah. Ayo kita mandi bareng,” ajak Raffa sembari menarik tangan ayahnya agar ikut bersamanya ke kamar mandi.Raefal menoleh ke arahku, seolah memberi
Raefal pulang ke rumah tepat pukul sebelas malam. Entah apa yang sudah dia lakukan, tapi dari penampilannya yang kusut dan tampak kelelahan, berbagai pikiran negatif mulai berkeliaran di kepalaku.Dia menjelaskan padaku bahwa dia pergi terburu-buru karena mendapat kabar bahwa salah satu rekan bisnis perusahaannya datang berkunjung secara mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, membuatnya kelimpungan karena harus menyambut langsung sang rekan bisnis. Dia bilang jika dia tidak datang dan mengadakan pertemuan dadakan dengannya bisa memungkinkan kerja sama mereka dibatalkan. Sebuah kerja sama yang sangat penting hingga akan menyebabkan kerugian besar untuk perusahaannya jika sampai dibatalkan.Ketika aku bertanya siapa nama rekan bisnisnya tersebut, dengan lugas dan lantang dia menyebutkannya. Bahkan nama perusahaannya pun ikut dia beritahukan padaku.Jika aku yang dulu, tanpa berpikir panjang lagi pasti aku akan mempercayai ucapannya. Tapi untuk sekarang ... entahlah ... meski otakku
Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus ku tahan keinginan ini mati-matian.Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah.Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku.Sesuai yang ku harapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya.Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dal
Aku berpikir sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah karena beban yang tengah kutanggung sekarang, jujur saja mulai sulit untuk kutanggung sendirian. Mbak Alya, tetangga sekaligus seseorang yang menjadi sahabat baikku semenjak kami menetap di komplek perumahan ini, menjadi orang yang kupilih untuk menjadi teman curhatku.Aku datang ke rumahnya bersama putraku, sepulang sekolah. Awalnya, beralasan mengantar Raffa yang ingin bermain dengan Sandy, putra bungsu Mbak Alya. Hingga akhirnya kuceritakan juga masalahku pada Mbak Alya karena dia sendiri yang memintanya. Mungkin gerak-gerikku yang terlihat gelisah dan tak nyaman yang membuatnya sadar bahwa aku sedang memendam sebuah masalah berat.Mbak Alya tak terlihat terlalu terkejut begitu kuceritakan tentang kecurigaanku pada Raefal. Sebenarnya Mbak Alya inilah yang dulu pernah memberitahuku bahwa dia memergoki Raefal sedang bersama wanita lain. Saat itu aku menolak mempercayainya, meyakini bahwa kesetiaan Raefal adalah satu-satunya
Aku masih bertahan di dalam mobilku, tak beranjak selangkah pun meski dengan mata kepalaku sendiri ku lihat wanita itu masih berdiri di halaman rumahnya. Sepuluh menit berlalu sejak kepergian Raefal, wanita itu masih betah berdiri memperhatikan taman bunganya yang indah.Dia berjalan menghampiri pria paruh baya yang sepertinya bertugas berjaga di depan gerbang. Terlihat dia tersenyum ramah pada pegawainya, membuatku menerka-nerka sepertinya dia memiliki kepribadian yang menyenangkan dan ramah.Masih tetap ku perhatikan gerak-geriknya termasuk saat dia berjalan mendekati taman bunganya. Taman bunga yang berjarak cukup dekat dengan tempatku memarkirkan mobil pinjaman ini.Melihat dari dekat wajah wanita itu, tak ku pungkiri dia memang cantik jelita. Memiliki hidung mancung dengan bibir merekah yang tampak ranum. Kulit wajahnya mulus tanpa cela dengan kedua mata bulat besar yang ditumbuhi bulu mata yang lentik. Alisnya tampak tebal. Dan ketika dia tersenyum, harus ku akui kecantikannya s
Hal yang pertama kali kulakukan setelah berpisah dengan Susi adalah pergi untuk menjemput Raffa di sekolahnya. Mbak Alya meneleponku, memberitahu bahwa Raffa menolak pulang bersamanya. Padahal anak itu bersedia berangkat sekolah bersama Mbak Alya dan putranya, Sandy. Aku berpikir mungkin karena Raffa sudah terbiasa dijemput olehku, dia tak bersedia ikut saat ada orang lain yang menjemputnya.Begitu turun dari dalam mobil setibanya aku di depan sekolah Raffa, kulihat putra semata wayangku itu berlari menghampiriku. Aku berjongkok sembari merentangkan kedua tangan untuk menyambutnya dalam pelukanku.Aku menciumi wajahnya begitu tubuh mungilnya berada dalam dekapanku. Di dunia ini tak ada lagi yang kusayangi sebesar aku menyayangi Raffa. Bahkan demi kebahagiaan anak ini, aku rela mengorbankan apa pun. Melihatnya terluka atau tersakiti merupakan satu-satunya hal yang paling tak kuinginkan di dunia ini.“Kamu nungguin Mommy lama, ya?”Anak itu menggeleng dalam pelukanku. Dia biasanya ceria
Jika ada yang berpikir aku ketakutan karena tindakanku yang menerobos masuk ruangan ini tanpa permisi dipergoki oleh sang pemilik ruangan, maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Sebaliknya, aku senang dan puas karena sepertinya inilah saat yang tepat untuk membongkar semua kebohongannya.“Hai, Sayang. Kebetulan kamu dateng. Ini ada telepon buat kamu.”Aku berjalan menghampiri Raefal yang masih berdiri di depan pintu yang terbuka. Berpura-pura tersenyum manis di depannya, nyatanya hatiku sedang bersorak senang saat ini. Bisa kubayangkan bagaimana reaksi terkejut dan panik wanita penggoda itu di seberang sana. Huuh, sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya secara langsung saat menyadari dia sedang berbicara dengan orang yang salah.Raefal mengambil ponselnya dari tanganku dengan pandangan mata yang tertuju lurus padaku. Sekilas dia melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan deretan angka yang merupakan nomor si penelepon, sebelum akhirnya dia tempelkan ponsel itu di teling
“Ini kan wanita yang aku lihat keluar sama kamu di restoran, tempo hari?” kataku setelah sejak lama terdiam.“Iya, emang dia,” jawab Raefal dengan santai.“Kamu bilang kalian temenan, tapi kok bisa ampe manggil sayang segala? Sedeket-deketnya hubungan kalian, rasanya gak wajar lawan jenis manggil sayang? Apalagi kalian cuma temenan, lain ceritanya kalau kalian pacaran baru panggilan sayang terdengar wajar.”Raefal menatap lurus kedua mataku, tapi raut wajahnya tetap sedatar tadi. Tak terlihat panik atau gugup meskipun pertanyaanku ini seharusnya mampu mengintimidasinya.“Dia itu sahabat deket aku. Deket banget ampe panggilan sayang udah gak dianggap serius lagi. Itu cuma candaan antar sahabat. Hal yang biasa.”Aku sudah membuka mulut siap menyudutkannya lagi dengan kata-kataku, tapi harus urung karena dia lebih cepat berbicara. Mengatakan kata-kata yang sukses membuatku tak berkutik.“Bukannya hal kayak gini juga pernah kejadian sama kamu?” katanya. “Waktu kita masih kuliah, ada cowok