Waktu menunjukan tepat pukul 20.00 saat ini, seperti biasa pada jam segini suamiku sudah berada di rumah. Setiap hari dia pulang pukul 5 sore dari kantor, karena jarak antara kantor dan rumah kami yang terbilang cukup dekat, pukul 6 sore biasanya dia sudah tiba di rumah. Itu pun jika dia tidak ada meeting atau pekerjaan tambahan lain di luar kantor yang membuat dia pulang terlambat.
Bisa dikatakan cukup jarang dia terlambat pulang. Sekali pun harus pulang telat, dia pasti akan mengabariku lebih dulu. Mungkin karena alasan dirinya begitu terbuka yang membuatku tak pernah meragukan kejujurannya selama sepuluh tahun pernikahan kami.
Kutemukan suami dan putra semata wayang kami, Raffa ... tengah asyik duduk di depan televisi seraya tangan mereka sibuk memegang stick game. Mereka sedang memainkan playstation, game Ninja Ultimate jika kulihat dari layar televisi di mana di sana memperlihatkan dua tokoh ninja sedang bertarung sengit.
“Yeee, aku menang. Daddy kalah!” pekik girang Raffa karena berhasil memenangkan permainan. Raefal, suamiku ... berpura-pura memasang wajah ingin menangis, sontak membuat Raffa tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, terlihat begitu senang.
Kugelengkan kepala sejenak melihat tingkahlaku kedua orang itu, sebelum kuputuskan untuk ikut bergabung bersama mereka. Aku duduk di sofa tepat di belakang mereka yang memang duduk di atas karpet.
“Mommy, aku menang. Daddy kalah. Daddy payah ya?” ujar putraku disertai senyuman polosnya yang tak pudar. Aku tersenyum kecil menanggapinya.
“Siapa bilang Daddy payah?” sahut suamiku, berpura-pura tersinggung.
“Iya, Daddy payah soalnya Daddy kalah terus maen game-nya.” Dengan pintarnya putraku menyahut.
“Itu karena kamunya aja yang jago maen game, bukan karena Daddy yang payah.”
Raffa tertawa geli saat Raefal tiba-tiba menggendongnya, lalu dia memeluk erat Raffa. Sesekali dia menggelitik tubuh Raffa, sukses membuat putra kesayangan kami itu menggelinjang kegelian dengan tawa kencangnya yang membahana di seisi rumah.
“Sayang, udah. Kasihan Raffa.” Aku yang mengatakan ini, saat kulihat Raffa tertawa berlebihan seraya memegangi perutnya yang mungkin mulai kesakitan karena terlalu banyak tertawa, aku pun tak tega melihatnya.
Raefal tak mengatakan apa pun, dia memilih menuruti ucapanku tanpa bantahan apa pun, terlihat dari dia yang berhenti menggelitik Raffa dan melepaskan pelukannya.
“Ayo, Daddy, main lagi.”
“OK, Daddy pasti nggak akan kalah. Kali ini pasti Daddy yang menang,” ujar suamiku penuh semangat. Setelah itu permainan mereka kembali dimulai.
Sedangkan aku masih tetap setia duduk di belakang mereka. Sesekali kupandangi putraku yang tampak bersemangat memegang stick di tangannya, terkadang suara teriakan meluncur dari mulut mungilnya, mengundang kekehan untukku dan tawa untuk Raefal.
Sesekali pula aku memandangi punggung tegap suamiku, bagaimana dia tampak menikmati permainan game-nya bersama Raffa. Senyuman tak pernah luntur dari bibirku saat melihat pemandangan di depanku ini, tidak pernah ... sampai ingatan tentang kalung itu kembali menari-nari di kepalaku.
Kalung dengan liontin berinitial ZK yang telah kupastikan menghilang dari tas kerja Raefal. Mungkinkah sudah dia berikan kalung itu pada pemilik initial ZK itu? Aku tak tahu jawabannya karena aku sendiri tak berani untuk menanyakannya pada Raefal. Aku terlalu takut, takut jawaban yang kudengar nanti akan menghancurkan hatiku. Suara jeritan Raffa yang kembali memenangkan permainan kembali menyapa gendang telingaku, membuat semua lamunanku buyar seketika.
“Tuh, kan, Daddy emang payah. Lihat, aku menang lagi. Iya, kan, Mommy? Daddy memang payah?” Aku tersenyum lebar menanggapinya, lalu kuberikan anggukan sebagai bentuk persetujuanku. “Iya, Daddy emang payah ya. Kamu yang terbaik,” jawabku.
Raffa bangkit berdiri dari duduknya, dia melompat-lompat riang seraya tiada henti mulut mungilnya berteriak kegirangan. “Daddy payah, Daddy payah.” Begitu katanya berulang-ulang.
“Kamu kok bilang gitu sih, bukannya belain aku,” rajuk Raefal seraya menoleh padaku. Aku tak tahu harus bereaksi apa selain tertawa mengikuti tawa putraku yang belum reda.
“Ayo, maen sekali lagi. Kali ini Daddy pasti menang,” ajak suamiku yang langsung diangguki penuh semangat oleh Raffa.
Saat itulah aku melirik ke arah jam yang terpajang apik di dinding ruangan, membulatkan mata saat menyadari waktu sudah menunjukan pukul 9 malam sekarang. “Udah cukup mainnya ya. Waktunya Raffa tidur.” Aku yang mengatakan ini, aku beranjak bangun dari posisi duduk. Kuambil stick yang sedang dipegang Raffa.
“Yaah, Mommy, aku masih mau maen game sama Daddy,” rajuk Raffa, menolak saat aku merebut stick itu darinya.
“Besok lagi maen game-nya. Udah jam sembilan, waktunya kamu tidur. Ayo, cepat. Kita ke kamar kamu.” Raffa menoleh ke arah Raefal seolah meminta bantuan pada ayahnya untuk membujukku. Kupelototi Raefal ketika dia menatapku, membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Dia pun meringis begitu menyadari penolakanku melalui sorot mataku ini.
“Mommy ngambek tuh. Kamu tidur aja ya, besok kita maen game lagi,” ucap Raefal, akhirnya memilih membantuku membujuk Raffa.
“Yaah, tapi aku masih mau maen game.”
“Besok kita lanjutin ya, Daddy janji.”
“Harus ditepatin ya Daddy janjinya,” ucap Raffa sembari mengulurkan jari kelingkingnya pada Raefal. Raefal terkekeh melihat tingkah laku putra kami yang sangat menggemaskan ini, lantas tanpa ragu dia pun mengulurkan kelingkingnya. Jari kelingking mereka pun bertautan setelahnya. Aku hanya tersenyum kecil melihat pemandangan itu.
“Aku ke kamar Raffa dulu ya, nemenin dia tidur,” pamitku, yang langsung diangguki oleh Raefal.
Aku dan Raffa berjalan santai menuju kamar Raffa, tangan kami saling bergandengan disertai mulut kecil Raffa yang tak hentinya mengoceh. Raffa memang sumber kebahagiaan dan keceriaan dalam hidupku. Tanpa dia, entahlah ... aku tak tahu sanggupkah aku setegar ini saat hatiku tengah gundah karena kepercayaan pada suamiku yang mulai goyah.
Setibanya di kamar Raffa. Aku membantunya berganti pakaian dengan piyama tidur. Kuselimuti dia begitu tubuh kecilnya sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur. Menepuk-nepuk pahanya pelan, suatu kebiasaan yang kulakukan setiap malam agar dia cepat tertidur.
Setelah 30 menit berlalu, dan setelah kuyakini Raffa sudah tertidur pulas. Aku pun keluar dari kamar putraku. Aku mengernyitkan dahi ketika mendapati suamiku masih duduk di depan televisi. Layar televisi tampak menayangkan sebuah film action hollywood, entah apa judulnya karena aku lebih tertarik untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan suamiku. Kepalanya tertunduk, terlihat jelas tidak tertuju pada layar televisi, melainkan tertuju pada layar ponsel dalam genggaman tangannya. Dari belakang, kulihat jemarinya begitu lihai menari-nari di atas keypad ponsel, bukti nyata bahwa dia sedang mengetik pesan yang akan dia kirimkan pada seseorang. Aku berdeham cukup kencang, tentu dia mendengarnya karena kini dia refleks menoleh ke arahku.
“Raffa sudah tidur?” tanyanya.
Kujawab dengan anggukan kecil, “Kamu lagi apa?”
“Nonton film. Sini, nonton bareng,” katanya sambil menepuk-nepuk karpet kosong di sebelahnya. Aku menggeleng, tak berminat untuk menonton film saat ini.
“Aku ngantuk. Mau tidur aja. Ini udah malam, mendingan kamu juga tidur. Besok pagi kamu harus kerja lagi lho.”
Dia tersenyum kecil mendengar jawabanku, “Belum ngantuk, filmnya seru. Ya udah, kamu tidur duluan. Bentar lagi aku nyusul.” Mendengar dia menjawab seperti itu, tak ada alasan lagi bagiku untuk tetap berada di sini, lantas aku pun melanjutkan langkah menuju kamar kami.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk tertidur lelap, banyaknya kegiatan hari ini cukup menguras tenaga. Aku benar-benar butuh istirahat.
Di tengah-tengah tidur lelapku, aku terperanjat kaget saat merasakan benda kenyal, basah dan hangat menyentuh bibirku. Cepat-cepat kubuka kedua mata, mengernyit bingung tatkala wajah Raefal sudah berada tepat di depan wajahku. Barusan dia menciumku.
“Happy birthday, Sayang,” katanya seraya menarik tanganku agar bangun dari posisi berbaring. Jujur kesadaranku belum terkumpul, aku juga masih terkejut dengan tindakannya yang membangunkan tidur lelapku.
Tanpa kata kuikuti dia yang masih menarik tanganku agar mengikutinya keluar kamar. Dia memapahku perlahan menuruni tangga rumah kami. Aku masih terdiam, membiarkan dia mengajakku kemana pun dia pergi. Hingga saat kami sudah berada di ruang makan, aku terbelalak, terkejut luar biasa.
Di atas meja makan tersaji sebuah kue black forest berukuran sedang dengan lilin yang membentuk angka 36 tertancap di permukaan kue itu, lilinnya dalam keadaan menyala. Ada juga beberapa makanan seafood favoritku seperti cumi goreng dan udang pedas, sudah terhidang di atas meja. Terlihat begitu menggiurkan hingga tanpa sadar aku menelan saliva.
“Selamat ulang tahun yang ke-36, Sayang. Wish you all the best,” katanya sembari mengecup lembut bibirku.
Kesadaranku pun tertarik ke alam nyata sepenuhnya. Bagaimana mungkin aku melupakan hari penting ini? Benar, hari ini merupakan hari ulang tahunku. Kini usiaku tepat menginjak 36 tahun sama seperti Raefal yang berulang tahun lima bulan yang lalu.
Saat aku melirik ke arah jam dinding, waktu menunjukan pukul 00.12, tepat tengah malam. Aku terharu, tak menyangka sedikit pun Raefal menyiapkan kejutan seindah ini untukku.
“Ayo, tiup lilinnya,” pintanya, aku tak menolak. Bergegas kutiup lilin itu.
Aku pun memotong kue, lalu kuberikan suapan pertama untuk suamiku tentunya. Kami tertawa bersama saat potongan kue yang kusuapkan padanya tidak sengaja terjatuh hingga mengotori kaos putih yang dikenakan Raefal. Dia tidak marah karena kecerobohanku ini. Dia juga menahan tanganku saat aku berniat menghapus noda kotor di kaosnya itu dengan tissue. Dia menggenggam tanganku yang tengah memegang tissue, lalu dia mengecup lembut punggung tanganku. Sudahkah aku mengatakan bahwa suamiku ini memang sangat romantis?
Tindakan mesra seperti mengecup punggung tanganku dengan lembut memang sudah sering dia lakukan. Aku tak terkejut melihatnya meskipun rona merah selalu muncul di pipiku setiap kali dia memperlakukan aku semanis ini.
“Ayo, kita makan,” ajaknya. Dia pun menarik kursi yang akan kududuki.
“Kamu yang masak?” tanyaku penasaran. Raefal mengangguk, aku percaya dengan pengakuannya ini. Aku tahu betul sepintar apa suamiku dalam hal masak memasak.
“Kalau kue ini?” tanyaku lagi.
“Aku pesen tadi pake gojek online,” jawabnya.
Aku mencoba berpikir positif, mungkin inilah yang sedang dilakukan Raefal ketika kudapati dia sedang sibuk memainkan ponselnya tadi, dia sedang memesan kue ini menggunakan jasa gojek online. Semoga saja memang inilah yang terjadi, alasan dia mengabaikan film yang diputar di depannya dan lebih memilih fokus pada layar ponsel.
Setelah itu, kami pun menyantap makanan dengan lahapnya. Kami memang memiliki banyak kesamaan, termasuk jenis makanan favorit kami, makanan apa pun selama itu berbahan seafood.
“Aku gak nyangka kamu inget hari ulang tahun aku?” Kutanyakan ini di sela-sela aktivitas makan kami.
“Memangnya pernah aku lupa hari ulang tahun kamu?” katanya balas bertanya.
Aku mencoba mengingat-ingat, lalu kugelengkan kepala saat menyadari dia memang tak pernah melupakan hari ulang tahunku. Setelah aku pikir-pikir lagi, justru akulah yang sering nyaris melupakan hari ulang tahunnya.
“Makasih kejutannya.”
“Kamu suka?”
“Sangat,” jawabku jujur. Kami pun kembali menyantap makanan dengan tenang.
“Sayang, aku boleh gak nanya sesuatu?” Kembali kukatakan ini, ada sesuatu yang mengganjal hatiku, begitu ingin kutanyakan padanya saat ini juga.
“Apa?” Dia sedang menatapku sekarang.
“Selain aku, ada nggak wanita lain yang kamu suka?”
Raefal mengernyitkan dahi beberapa detik, sebelum dia kembali menormalkan ekspresi wajahnya. “Nggak ada, cuma kamu aja,” jawabnya. Kedua matanya masih fokus menatap wajahku.
“Masa sih? Nggak pernah gitu kamu ngelihat wanita cantik, terus kamu tertarik sama dia?”
“Nggak pernah tuh.”
“Hm, gitu ya ....” gumamku. Dia menunduk, kembali melanjutkan aktivitas makannya.
“Kamu gak bosen sama aku? Kita kan udah lama sama-sama terus?”
Dia pun kembali mendongak begitu pertanyaan itu meluncur dari mulutku. “Bosen? Nggak mungkinlah. Aku tuh sayang banget sama kamu.”
“Cuma sayang? Kamu udah gak cinta sama aku?” Aku berani bersumpah, dia sempat terenyak kaget mendengar pertanyaanku itu.
“Cinta dong pastinya.”
“Beneran kamu cinta aku?” tanyaku, sekali lagi memastikan.
“Iyalah, cinta banget.”
“Sampai kapan kamu bakalan cinta sama aku?” Kudengar Raefal mendengus mendengar pertanyaanku kali ini. Sebelum dia terkekeh dan menggelengkan kepalanya pelan.
“Sampai kapan pun. Selama-lamanya.” Itulah jawabannya tak lama berselang.
“Kalau aku pergi. Kalau aku udah gak ada di samping kamu. Kira-kira kamu sedih nggak?” Pertanyaan kesekian kalinya yang kuajukan padanya.
“Pastinya sedih banget. Kamu kok nanya kayak gitu?” Kali ini dia balik bertanya, satu alisnya terangkat naik mungkin heran karena tak biasanya aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini padanya.
“Cuma iseng aja kok,” jawabku, tentu aku berbohong. Nyatanya aku serius menanyakan ini semua padanya.
“Udah, jangan nanya yang aneh-aneh terus. Oh, iya. Aku ada hadiah buat kamu.”
Setelah mengatakan itu, kulihat dia mengeluarkan sesuatu dari bawah meja. Sebuah paperbag berhiaskan pita di bagian depannya. Dia berikan paperbag itu padaku, yang tentu saja langsung aku terima tanpa ragu.
Aku membuka paperbag, tak sabar ingin segera melihat isinya. Jauh di lubuk hati, aku sangat berharap paperbag itu berisi kalung yang kutemukan di dalam tas kerjanya. Meskipun harapan itu rasanya mustahil bisa terjadi. Dan benar saja harapanku memang tak terkabul ketika kudapati isi di dalam paperbag merupakan sebuah ponsel mewah keluaran terbaru yang harganya pasti sangat fantastis.
“Gimana? Kamu suka?” tanyanya antusias.
Aku tertegun sejenak memandangi ponsel itu, sebelum akhirnya aku mengangguk penuh semangat seraya tersenyum lebar padanya. Terlihat seperti aku benar-benar bahagia padahal nyatanya hatiku sangat kecewa.
“Makasih ya, Sayang.” Aku tulus mengatakan ini. Dia menyeringai mendengarnya, mengundang kernyitan heran di dahiku. Ketika dia tiba-tiba meraih tanganku, lalu menariknya paksa hingga aku berdiri dan berakhir terjatuh di atas pangkuannya, aku tahu ada niat terselubung di balik seringaian menyebalkannya tadi.
“Cuma itu ucapan makasih dari kamu?” tanyanya seraya mengedipkan sebelah mata, menggodaku.
“Memangnya kamu maunya aku ngucapin makasih pake cara apa?”
“Serius kamu nanya?” Aku mengangguk, walaupun sebenarnya aku bisa menebak apa yang sedang berputar-putar di dalam otaknya.
“Baiklah, aku kasih tahu kalau gitu.”
Begitu selesai berucap, dia mendaratkan ciuman penuh hasrat tepat di bibirku. Lalu berdiri, memangku tubuhku seolah baginya tubuhku seringan kapas. Dia tampak tak kesulitan ketika berjalan menaiki tangga menuju kamar kami padahal aku berada dalam pangkuannya. Bibir kami masih saling memagut, baik aku maupun dia, tak ada yang berniat melepaskannya.
Kepercayaan pada suamiku memang mulai menghilang secara perlahan. Sepertinya tak ada jalan lain bagiku selain menyelidiki sendiri pemilik kalung itu. Karena bertanya langsung pada Raefal sepertinya mustahil dia akan mengatakannya dengan jujur jika kulihat dari jawaban-jawabannya tadi. Seolah tak ada wanita lain dalam hidupnya selain aku. Aku pasti akan menyelidikinya sampai aku tahu siapa wanita yang memiliki nama initial ZK itu.
Tapi untuk saat ini, tak ada pilihan bagiku selain menjalankan tugas sebagai seorang istri yang harus melayani kebutuhan biologis suamiku. Seandainya suamiku benar berselingkuh di belakangku, biarkan dia yang menanggung dosanya. Jangan aku. Karena aku akan tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri meskipun saat mengingat kemungkinan dia berselingkuh, membuatku kehilangan minat untuk bercinta dengannya.
“Baru pulang, ya? Gimana kegiatan kamu hari ini?”Suaranya mengalun dari balik ponsel yang sedang aku tempelkan di telinga, suara kekasihku ... Raefal yang sudah dua minggu lamanya tidak kutemui. Dia pergi ke Tianjin, China, untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja menerima penghargaan.Lagi-lagi membuatku bangga padanya. Bisa dibayangkan dari sekian banyak karyawan yang bekerja di perusahaan itu, Raefal-lah yang terpilih untuk terbang ke China menerima penghargaan. Padahal jika kuingat-ingat kembali, baru sekitar satu setengah tahun dia bekerja di perusahaan itu. Ternyata talenta dan kecerdasan tak akan menipu hasil. Meskipun terhitung sebagai pekerja baru tapi jika kemampuannya bisa diandalkan oleh perusahaan, tentu bukan sesuatu yang mustahil para pekerja senior pun bisa dikalahkan olehnya.“Indira,” panggilnya, aku terseny
Aku menggandeng tangan putraku memasuki kantor tempat Raefal bekerja yang akan menjadi tempat awalku melakukan penyelidikan. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami di lantai dasar, menyapaku. Wajar mereka mengenalku karena dulu aku cukup sering datang ke kantor ini. Meskipun sejak Raffa mulai sekolah, aku nyaris tak pernah datang lagi ke sini.Ada pula yang menggoda putraku, mengatakan putraku tampan, pintar, menggemaskan dan berbagai pujian lainnya ketika kami memasuki lift. Tempat tujuan kami tentu saja lantai 5 di mana ruangan General Manager cabang yang ditempati suamiku berada. Raffa dan aku melambaikan tangan bersamaan pada beberapa karyawan yang satu lift dengan kami begitu kami tiba di lantai 5, mengucapkan perpisahan dengan ramah karena mereka pun memperlakukan kami dengan ramah, terlebih pada putraku.Kami pun tiba tepat di depan ruangan suamiku. Aku tersenyum lebar pada Susi, sekretaris suamiku yang sudah berdiri dari kursinya untuk menyambut ke
Raefal kembali ke kantor begitu makan siang kami selesai, sedangkan aku dan Raffa memilih untuk pulang ke rumah. Aku tak tega melihat putraku yang kelelahan. Meski masih ingin menyelidiki sesuatu di kantor Raefal, akhirnya aku memutuskan membawa Raffa pulang.Setibanya di rumah, kutemani Raffa tidur di kamarnya. Dia memang terbiasa tidur siang. Tak perlu menunggu lama, dia pun tertidur dengan nyenyak. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengecek email, berharap pesan dari Susi sudah masuk.Aku mengurung diri di kamar ketika kubuka email. Saat kulihat pesan yang kutunggu dari Susi ternyata sudah masuk, aku tersenyum lebar detik itu juga. Lega karena Susi benar-benar bersedia mengabulkan permintaanku untuk mengirimkan data seluruh karyawan yang bekerja di kantor suamiku.Kubuka pesan itu dengan jantung berdetak tak karuan. Aku takut sebenarnya, takut kecurigaanku tentang Raefal yang berselingkuh terbukti benar. Meski lebih dari apa pun aku ingin segera mengungkap ident
Ketika hari minggu akhirnya tiba, di pagi buta saat aku dan Raefal masih bergelung manja di dalam selimut hangat kami. Kami dikejutkan oleh sosok Raffa yang melompat ke atas ranjang, menggunjang tubuh kami disertai suara jeritannya yang nyaring di telinga kami. Seketika kami terpaksa membuka mata.Aku masih berada dalam kondisi setengah sadar saat Raffa tanpa henti merengek meminta agar Raefal memenuhi janjinya untuk mengajak kami bermain di Trans Studio. Aku hanya mampu terkikik geli saat melihat betapa tersiksanya Raefal yang masih mengantuk harus terpaksa bangun karena Raffa terus menarik tangannya, memaksa ayahnya untuk beranjak dari kasur empuk kami.“Ini masih pagi. Trans Studio-nya buka jam 10 lho.”“Aku gak peduli. Ayo siap-siap, Dad. Kita berangkat sekarang,” kata Raffa, keras kepala seperti biasanya.“Kamu aja belum mandi.”“Ya udah. Ayo kita mandi bareng,” ajak Raffa sembari menarik tangan ayahnya agar ikut bersamanya ke kamar mandi.Raefal menoleh ke arahku, seolah memberi
Raefal pulang ke rumah tepat pukul sebelas malam. Entah apa yang sudah dia lakukan, tapi dari penampilannya yang kusut dan tampak kelelahan, berbagai pikiran negatif mulai berkeliaran di kepalaku.Dia menjelaskan padaku bahwa dia pergi terburu-buru karena mendapat kabar bahwa salah satu rekan bisnis perusahaannya datang berkunjung secara mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, membuatnya kelimpungan karena harus menyambut langsung sang rekan bisnis. Dia bilang jika dia tidak datang dan mengadakan pertemuan dadakan dengannya bisa memungkinkan kerja sama mereka dibatalkan. Sebuah kerja sama yang sangat penting hingga akan menyebabkan kerugian besar untuk perusahaannya jika sampai dibatalkan.Ketika aku bertanya siapa nama rekan bisnisnya tersebut, dengan lugas dan lantang dia menyebutkannya. Bahkan nama perusahaannya pun ikut dia beritahukan padaku.Jika aku yang dulu, tanpa berpikir panjang lagi pasti aku akan mempercayai ucapannya. Tapi untuk sekarang ... entahlah ... meski otakku
Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus ku tahan keinginan ini mati-matian.Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah.Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku.Sesuai yang ku harapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya.Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dal
Aku berpikir sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah karena beban yang tengah kutanggung sekarang, jujur saja mulai sulit untuk kutanggung sendirian. Mbak Alya, tetangga sekaligus seseorang yang menjadi sahabat baikku semenjak kami menetap di komplek perumahan ini, menjadi orang yang kupilih untuk menjadi teman curhatku.Aku datang ke rumahnya bersama putraku, sepulang sekolah. Awalnya, beralasan mengantar Raffa yang ingin bermain dengan Sandy, putra bungsu Mbak Alya. Hingga akhirnya kuceritakan juga masalahku pada Mbak Alya karena dia sendiri yang memintanya. Mungkin gerak-gerikku yang terlihat gelisah dan tak nyaman yang membuatnya sadar bahwa aku sedang memendam sebuah masalah berat.Mbak Alya tak terlihat terlalu terkejut begitu kuceritakan tentang kecurigaanku pada Raefal. Sebenarnya Mbak Alya inilah yang dulu pernah memberitahuku bahwa dia memergoki Raefal sedang bersama wanita lain. Saat itu aku menolak mempercayainya, meyakini bahwa kesetiaan Raefal adalah satu-satunya
Aku masih bertahan di dalam mobilku, tak beranjak selangkah pun meski dengan mata kepalaku sendiri ku lihat wanita itu masih berdiri di halaman rumahnya. Sepuluh menit berlalu sejak kepergian Raefal, wanita itu masih betah berdiri memperhatikan taman bunganya yang indah.Dia berjalan menghampiri pria paruh baya yang sepertinya bertugas berjaga di depan gerbang. Terlihat dia tersenyum ramah pada pegawainya, membuatku menerka-nerka sepertinya dia memiliki kepribadian yang menyenangkan dan ramah.Masih tetap ku perhatikan gerak-geriknya termasuk saat dia berjalan mendekati taman bunganya. Taman bunga yang berjarak cukup dekat dengan tempatku memarkirkan mobil pinjaman ini.Melihat dari dekat wajah wanita itu, tak ku pungkiri dia memang cantik jelita. Memiliki hidung mancung dengan bibir merekah yang tampak ranum. Kulit wajahnya mulus tanpa cela dengan kedua mata bulat besar yang ditumbuhi bulu mata yang lentik. Alisnya tampak tebal. Dan ketika dia tersenyum, harus ku akui kecantikannya s
RAEFAL POV Sesuai rencana, tepat pukul 11 siang, aku pergi ke rumah Indira.Begitu tiba di depan rumahnya, rasa gugup tiba-tiba melanda. Jantungku berdetak cepat bagaikan roller coaster, ini perasaan yang untuk pertama kalinya kurasakan. Dulu ... aku sering mendatangi rumah ini. Entah kenapa sekarang aku merasa gugup sekedar menginjakan kaki memasukinya.Mengembuskan napas panjang berulang kali, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya.Dalam ketukan keempat, akhirnya seseorang membukakan pintu.Kupikir sosok Indira yang akan kulihat, ternyata perkiraanku salah ketika sosok wanita paruh baya yang terbelalak saat melihatku, yang kutemui. Tante Mia namanya, dia adik mendiang ibu Indira. Aku cukup dekat dengannya.“Raefal ... Ya ampunnn!” pekiknya histeris. Dia memelukku layaknya seorang ibu yang girang melihat anaknya lagi. Aku mencium punggung tangannya, hal yang biasa kulakukan sejak dulu jika bertemu dengan wanita yang satu ini.“Ayo, masuk, masuk,” ajaknya semba
RAEFAL POV Kehidupan yang kujalani setelah perpisahanku dan Indira bisa dikatakan sangat kacau. Aku merasa ada lubang besar yang menganga di dalam hatiku. Terasa hambar, hampa dan membosankan. Aku sudah terbiasa ada Indira di sampingku, dan sekarang ... di saat dia tak ada, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Suara tawa Raffa yang biasanya kudengar setiap hari pun, kini tak ada lagi. Aku merasa ... sepi.Untuk menghilangkan rasa sepi itu aku menenggelamkan diri dalam pelatihan yang kuikuti selama satu tahun di New York. Tak ada yang kupikirkan menyangkut masalah pribadi, hanya menuntut ilmu yang kujadikan prioritas utama.Kendati demikian, di saat aku tak kuasa menahan rindu, aku pasti meluangkan waktu untuk menelepon Raffa. Berbicara banyak hal dengannya di telepon. Tak jarang aku menanyakan kabar Indira padanya.Satu tahun yang kujalani di New York, tanpa ragu kukatakan sangat membosankan. Aku memiliki banyak kenalan di sini, pria dewasa seusiaku yang biasa menghabis
Sosok Indira muncul setelah aku menunggunya sekitar 20 menit lamanya. Dia berjalan sendirian dengan kepala tertunduk. Meski dia berusaha tegar, raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Aku sangat mengenal Indira, dia bisa berpura-pura tegar di depan orang lain tapi tidak di depanku.“Indira.”Indira yang tampaknya sedang melamun seketika tersentak kaget, wajahnya yang sejak tadi tertunduk akhirnya mendongak. Dia menatapku bingung. Kuabaikan reaksinya itu, aku berjalan menghampirinya tanpa ragu.“A-Ada apa, ya?” tanyanya canggung.Aku menghela napas panjang, ada keinginan untuk memeluknya, tapi tak bisa lagi karena dia tidak lagi berstatus sebagai istriku. Dia orang asing sekarang, seseorang yang jika ingin kusentuh tentu saja harus atas izin darinya.“Ada beberapa hal yang harus kita bahas,” sahutku. Indira mengangguk, aku senang dia tak menolak.“Oh, iya, boleh. Kamu mau bilang apa?”Aku benci situasi ini, kami terlihat canggung seolah kebersamaan kami selama 17 tahun lamanya tak
RAEFAL POV Memiliki istri seperti Indira adalah sebuah keberuntungan untukku. Sepanjang aku mengenal dan bersamanya, ada begitu banyak sifat baik yang dia miliki selalu sukses membuatku kagum sekaligus terpesona.Dia wanita yang baik hati, tak akan segan menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya. Dia bukan tipe pemilih dalam hal bergaul. Aku ingat dia memiliki banyak teman saat masih sekolah dulu. Beberapa temannya pernah dia kenalkan padaku. Berbeda denganku yang nyaris tak pernah memperkenalkan teman-temanku padanya. Bukan karena aku sengaja melakukannya, hanya saja aku memang tak memiliki banyak teman.Karakterku sangat serius, tak suka bercanda kecuali di depan Indira. Orang lain mengatakan aku ini tipe pekerja keras, ulet dan mandiri. Entahlah ... aku hanya selalu berjuang demi meraih impianku.Berbeda dengan Indira yang berasal dari keluarga mapan, aku berasal dari keluarga biasa. Aku harus berjuang dengan usahaku sendiri agar tak merepotkan orang tuaku dalam hal membiay
Setelah mengetuk pintu, kudengar suara Aradi dari dalam ruangan yang mempersilakanku untuk masuk. Tanpa ragu aku membuka pintu, menemukan Aradi yang sedang fokus menunduk, menatap sebuah dokumen di atas meja. Dia mendongak, terenyak melihat akulah yang datang.“Indi, ada apa? Terjadi sesuatu sama Raffa?” tanyanya, terlihat panik karena dia bergegas bangkit dari duduknya.“Nggak, Kak. Raffa masih tidur. Dia baik-baik aja. Aku datang ke sini karena ada yang mau aku omongin sama Kakak.”Gestur tubuh Aradi kembali rileks, dia memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakanku duduk di kursi yang bersebrangan dengannya. Aku pun duduk di sana, hanya meja kerjanya yang memisahkan kami kini.Kesepuluh jemariku saling meremas, entah kenapa aku merasa gugup sekarang. Khawatir kata-kataku akan menyakiti hatinya, tapi tetap harus kusampaikan alasanku mendatangi ruangannya.“Kenapa, Indi? Bilang aja, jangan ragu,” katanya seolah memahami kondisiku yang tengah dilanda kegugupan sekaligus kebingungan
Surat panggilan dari pengadilan agama untuk persidangan perceraian kami, sudah aku terima. Aku yakin Raefal pun sudah menerimanya. Terhitung satu minggu lagi sidang itu akan dilaksanakan. Karena Raefal sudah menyetujui perceraian ini maka seharusnya proses persidangan nanti tidak akan rumit. Ya, semoga semuanya berjalan lancar karena sungguh aku ingin segara bebas dari semua rasa sakit ini. Aku ingin suasana baru dan mungkin meninggalkan kota yang penuh kenangan manis sekaligus menyakitkan ini merupakan tindakan pertama yang akan kulakukan nanti.Semenjak perbincanganku dengan Raefal malam itu, dia tidak pernah lagi menginap di rumah. Sepulang kerja dia akan pulang ke rumah untuk menemui Raffa, menemaninya sampai anak itu tertidur dan akhirnya dia akan kembali ke apartemennya. Aku tidak pernah mengusir ataupun melarangnya untuk menginap, sepertinya pembicaraan kami malam itu sangat berpengaruh juga untuk Raefal. Mungkin memilih tidak lagi serumah denganku adalah usahanya untuk menerim
“K-Kamu pulang? Kirain gak pulang ke rumah malam ini,” ucapku. Raefal tak mengatakan apa pun, fokusnya tertuju pada layar televisi.“Aku Cuma nyari angin segar aja tadi. Kamu udah buka kadonya?” Aku mengangguk seraya melambaikan tangan, memberinya isyarat agar mendekat padaku.Raefal tak menolak, dia melangkah mendekat dan mendudukan diri tepat di sampingku.“Maaf, ya, aku lupa hari ini ulangtahun pernikahan kita yang kesebelas,” ucapku. Dia menggeleng.“Aku juga minta maaf untuk kata-kata kasarku tadi. Kesel aja, aku udah nyiapin kejutan buat kamu ternyata kamu malah pulang sama pria laen. Tapi, aku banyak mikir tadi. Rasa sakit yang aku rasain gak sebanding sama rasa sakit kamu, kan?”Aku tersenyum sinis, tak perlu menjawabnya, dia pasti tahu persis memang seperti itulah adanya. Luka di hatiku tak sebanding dengan lukanya.“Makanan sama kuenya enak. Aku sama Raffa suka banget. Makasih, ya.”“Bagus kalau kalian suka, berarti usahaku ampe izin pulang cepet gak sia-sia,” jawabnya.“Had
Raffa tertidur dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Aku menemaninya sampai jarum jam menunjukan pukul 10 malam. Melihat putraku sudah terlelap dalam tidur, aku pun memutuskan keluar dari kamarnya.Aku belum mengantuk dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah, aku akan membereskan bekas makan kami.Setibanya di ruang makan, aku melakukan niatku untuk membereskan sisa makanan dan juga piring-piring kotor. Namun, kegiatanku terhenti tatkala menyadari ada sebuah kado yang diletakan di atas nakas. Tadi aku tidak menyadarinya karena tak melihat sekeliling. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan melangkah untuk mengambil kado itu.Kado berbentuk kotak persegi empat di mana kertas kado berwarna merah muda dengan motif hati membungkusnya rapi, ada pita yang senada dengan warna kertas kado menghiasi kotak ini sehingga terlihat manis.Aku membuka kertas kado itu, menemukan ada sebuah kaset DVD di dalamnya. Entah film apa yang tersimpan dalam kepingan kaset ini, aku sungguh penas
Raffa terbangun dari tidurnya tepat pukul 8 malam. Dia merengek lapar. Karena kebetulan banyak makanan yang sudah disiapkan Raefal di meja makan, aku mengajak Raffa untuk menyantapnya. Sayang bukan, makanan sebanyak dan selezat ini jika dibuang? Aku dan Raffa akan memakannya dengan senang hati.“Ayam ini enak.”Raffa berujar dengan girang, sembari mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng crispy. Sepertinya Raefal memang berencana mengadakan pesta makan besar untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami, sayang sekali dia tidak ada di sini. Padahal aku tahu dia sudah susah payah menyiapkan semua ini, tapi akhirnya hanya aku dan Raffa yang memakannya. Sedangkan Raefal, entah ke mana dia pergi? Aku juga tak ingin menghubunginya, aku tahu hatinya sedang panas karena amarah dan mungkin cemburu. Jadi, kubiarkan dia menenangkan diri sejenak.“Mommy, Daddy mana?”Aku yang sedang menikmati sup kerang seketika tertegun, dengan wajah polos Raffa menanyakan ayahnya. Aku tersenyum seramah mungkin, lanta