Malam aja, biar kepalanya nggak kepanasan baca siang-siang 🤐
Asher melepas kalung di lehernya, kemudian memakaikan kalung peninggalan Callista di leher Laura. “Hadiahku yang terakhir.” “Ini … milikku.” Kenapa Asher memberikan sebagai hadiah? Entahlah … yang pasti, Laura bahagia telah mendapatkan kalungnya lagi. Dia mengusap liontin itu penuh kasih sayang, seakan-akan jejak ibunya masih tertinggal di sana. Asher baru menyadari, betapa berharga kalung itu bagi Laura. Dia sudah tahu tentang ibu Laura, pemilik pertama memiliki kalung itu. Namun, Asher tak menyelidiki kehidupan Callista lebih jauh lagi.“Sampai kapan kita di sini? Aku ingin pulang.” Laura menatap langit-langit yang sekarang menjadi terang karena hari telah beranjak siang. Tak ada bedanya menginap di hotel atau tinggal di rumah. Asher hanya mencumbu Laura sepanjang waktu, seperti tak ada hari esok. “Mau bagaimana lagi? Kita tidak membawa pakaian. Kau mau keluar menggunakan gaunmu yang sudah terkena keringat?” Asher sebenarnya bisa menyuruh orang untuk membawakan pakaian untuk me
“Apa maksud Paman Jake berkata seperti itu? Papaku … dia ….” Laura tiba-tiba teringat ketika dirinya masih delapan tahun, Simon terlihat sangat mencintai ibunya. Semua perhatian Simon curahkan pada Callista dan Laura. Hingga suatu hari, Simon berubah. Simon sering pulang larut malam. Dia juga tak pernah mengajak istri dan anaknya hanya sekedar jalan-jalan. Sedangkan sebelumnya, Simon selalu meluangkan waktu bersama mereka. Entah hanya berkeliling kota atau mengunjungi tempat wisata. Laura selalu berpikir jika perubahan Simon tersebut karena pekerjaannya. Namun, apa yang dikatakan Jake? Ayah dan ibu tirinya berhubungan dengan kematian ibu kandungnya? Sejak menikah dengan Gilda, Simon memang banyak berubah. Tetapi, apakah benar Simon sanggup menyingkirkan istrinya semudah itu? Kenapa ...?Laura tak dapat memercayainya. Lebih tepatnya, Laura tak mau memercayai jika ayah kandungnya dapat berbuat setega itu pada ibunya. Walaupun dia dapat melihat keyakinan yang begitu besar dari wajah
Kamar milik pengantin baru yang sebenarnya sudah menikah lebih dulu itu jarang sekali terbuka. Hanya ketika pelayan mengantar makanan atau membersihkan kamar, Laura dapat melihat orang lain, selain Asher. “Biarkan aku keluar untuk bertemu dengan Mama,” pinta Laura. Hampir dua hari, Laura tak diizinkan keluar dari kamar. Asher bersikeras ingin pergi bulan madu, tetapi Laura selalu menolak. Alhasil, Asher mengurung Laura, dengan alasan ingin mendapatkan suasana bulan madu yang sebenarnya, tanpa gangguan keluarga mereka. “Mau ke pantai, puncak, atau hutan belantara?” Asher kembali menanyakan pilihan lokasi bulan madu mereka. “Aku menyarankan kita bulan madu di rumah kayu yang berada di tengah hutan. Tidak akan ada yang bisa mendengar suara desahanmu.”Laura tak menjawab, kemudian masuk ke kamar mandi sambil diam-diam menyambar ponselnya. Tak ada pilihan lain, kecuali minta tolong kepada pamannya. Jemari Laura yang lentik mengetikkan sebuah pesan ajakan jalan-jalan pada pamannya. Laura
“Sedang apa kau di sini?” Suara Asher terdengar berat dan menekan. Agaknya, pria itu tak senang melihat keponakannya dekat-dekat dengan mendiang Callista yang baru sekali ini dikunjunginya. “P-Paman ….” Noah sontak berdiri dan memandangi tiga orang di hadapannya. Wajah Noah terlihat kusut dengan mata sembab. ‘Apa yang dilakukan Noah di sini?’ Laura masih ingat jika Noah dulu dekat dengan Callista. Tetapi, Laura baru tahu jika Noah sering pergi ke pusara ibunya. Percikan hangat menggelenyar di hati Laura. Kenangan masa kecil bersama Noah dan Callista hadir dalam benaknya. Mereka bertiga, dulu sering menghabiskan waktu bersama. Noah Kecil pernah berjanji akan selalu melindungi Laura. Namun, janji masa lalu tak lantas dapat membawa masa depan sesuai dengan harapan. Laura dan Noah telah memilih jalan mereka masing-masing. Meskipun demikian, Laura masih menganggap Noah berarti baginya. Terbukti dari getaran dalam dada Laura yang kembali terasa ketika teman masa kecilnya masih menginga
“Bagaimana bisa tempat ini jadi milikmu?” Laura membuka mata lebar ketika menyadari sesuatu. “Kau ... membeli tempat ini?” Asher menegakkan badan dan sedikit membusungkan dada ketika ditatap Laura penuh kekaguman. “Tidak ada yang tidak bisa aku lakukan,” ujar Asher datar, seolah-olah hal tersebut sangat wajar baginya. Laura menangkup mulut dengan kedua telapak tangannya. Dia lalu berjalan cepat ke arah Asher. Asher membentangkan kedua lengannya untuk menerima pelukan dan ucapan terima kasih dari sang istri. Salah satu sudut mulutnya terangkat, lalu tiba-tiba berkedut-kedut. Laura ternyata hanya berjalan melewati Asher untuk masuk ke dalam rumah kenangan itu. “Pft ….” Jake menggigit bibir bawahnya agar tak dikira sedang mentertawakan tingkah konyol Asher. Dia pun mengikuti keponakannya untuk melihat tempat yang disukai kakak kandungnya. Jake berbalik ke arah Asher yang masih mematung di tempat, lalu menepuk bahu pria itu dari belakang. “Terima kasih. Kau benar-benar hebat,” puji Ja
“Ah … aku tidak sengaja ….” Asher yang melihat pantulan bayangan Laura dari kaca langsung berbalik dan memasang badan seolah tak sengaja memecahkan tembikar itu. Laura berjalan cepat ke arah Asher. Mulutnya terbuka lebar dan matanya terus menatap pecahan tembikar. Asher tak suka melihatnya. Kenapa Laura memedulikan benda berwujud buruk itu?!Apakah karena bayangannya tentang kemesraan Laura dan Noah benar? Tembikar itu menyimpan kenangan indah antara mereka?Laura berjongkok untuk memunguti pecahan pot, lalu menyingkirkan di sudut ruangan. Dia segera memeriksa kedua tangan Asher dengan wajah khawatir. “Kau tidak apa-apa? Ada yang terluka?” Asher balas bertanya, “Haruskah aku memanggil keponakanku untuk membuat benda yang sama seperti itu bersamamu? Pot itu pasti sangat berharga untukmu,” pancing Asher yang ingin tahu seberapa berharganya benda itu bagi sang istri. “Itu bukan pot, tetapi vas bunga!” Asher mengangkat kedua alisnya. “Oh … itu tidak mirip seperti vas bunga.” Dia lalu
"Laura ...." Suara tamu tak diundang itu terdengar familiar di telinga Laura.Pria itu mendorong lengan Theo yang menghalangi jalannya. Namun, Theo tetap tak mengizinkannya mendekati Laura.Laura gegas bersembunyi di belakang punggung Theo. Dia secara terang-terangan menolak Simon sebelumnya dan tak ingin sang ayah melakukan sesuatu yang buruk padanya.Simon pernah menampar dirinya. Laura tak ingin dekat-dekat dengan Simon.Theo segera paham jika Laura tak ingin bertemu dengan Simon. "Anda harus minta izin Tuan Asher jika ingin bertemu dengan Nyonya Laura," tegasnya."Kau tidak berhak mencampuri urusan keluargaku. Minggir dari hadapanku!" bentak Simon sambil menyentak lengan kekar Theo, tetapi tak berhasil.Suara keras Simon saat berbicara, terdengar oleh Asher dan Jake yang baru saja membuka pintu rumah. Asher gegas melangkah lebar dan cepat menghampiri sang istri begitu mencium tanda-tanda bahaya."Ada apa ini?!" Asher baru bisa melihat wajah Simon ketika dia sudah berada di dekatnya
Laura memejamkan mata tatkala Simon merentangkan dan memajukan tangan. Apakah dia akan mendapat pukulan lain dari ayahnya? Tidak! Semua orang terdiam begitu Simon memeluk Laura secara tiba-tiba. Laura pun terkejut bukan main.Sejak kapan Laura terakhir dipeluk sang ayah? Dia sampai tak bisa mengingatnya. “Maaf ….” Setelah mengucap satu kata itu, Simon melepaskan Laura, lalu menuju ke arah parkiran dengan menundukkan kepala.Laura merasa seperti sedang bermimpi. Benarkah Simon memeluknya? Dia masih tak dapat memercayainya.Selama ini, Simon hanya mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada Nora. Kenapa Simon tiba-tiba bersikap layaknya ayah hanya ketika Laura menyandang nama belakang Smith? Laura mengepalkan kedua tangan dengan mata memerah. Perasaan haru karena pelukan singkat itu, dengan cepat berganti dengan amarah. Asher yang menangkap gelagat aneh istrinya, menggenggam dan mengurai kepalan tangan Laura. Kemudian dia menyelipkan jemarinya di jari-jari Laura. “Sekarang sud