Bilang aja pengen 🥹
Kamar milik pengantin baru yang sebenarnya sudah menikah lebih dulu itu jarang sekali terbuka. Hanya ketika pelayan mengantar makanan atau membersihkan kamar, Laura dapat melihat orang lain, selain Asher. “Biarkan aku keluar untuk bertemu dengan Mama,” pinta Laura. Hampir dua hari, Laura tak diizinkan keluar dari kamar. Asher bersikeras ingin pergi bulan madu, tetapi Laura selalu menolak. Alhasil, Asher mengurung Laura, dengan alasan ingin mendapatkan suasana bulan madu yang sebenarnya, tanpa gangguan keluarga mereka. “Mau ke pantai, puncak, atau hutan belantara?” Asher kembali menanyakan pilihan lokasi bulan madu mereka. “Aku menyarankan kita bulan madu di rumah kayu yang berada di tengah hutan. Tidak akan ada yang bisa mendengar suara desahanmu.”Laura tak menjawab, kemudian masuk ke kamar mandi sambil diam-diam menyambar ponselnya. Tak ada pilihan lain, kecuali minta tolong kepada pamannya. Jemari Laura yang lentik mengetikkan sebuah pesan ajakan jalan-jalan pada pamannya. Laura
“Sedang apa kau di sini?” Suara Asher terdengar berat dan menekan. Agaknya, pria itu tak senang melihat keponakannya dekat-dekat dengan mendiang Callista yang baru sekali ini dikunjunginya. “P-Paman ….” Noah sontak berdiri dan memandangi tiga orang di hadapannya. Wajah Noah terlihat kusut dengan mata sembab. ‘Apa yang dilakukan Noah di sini?’ Laura masih ingat jika Noah dulu dekat dengan Callista. Tetapi, Laura baru tahu jika Noah sering pergi ke pusara ibunya. Percikan hangat menggelenyar di hati Laura. Kenangan masa kecil bersama Noah dan Callista hadir dalam benaknya. Mereka bertiga, dulu sering menghabiskan waktu bersama. Noah Kecil pernah berjanji akan selalu melindungi Laura. Namun, janji masa lalu tak lantas dapat membawa masa depan sesuai dengan harapan. Laura dan Noah telah memilih jalan mereka masing-masing. Meskipun demikian, Laura masih menganggap Noah berarti baginya. Terbukti dari getaran dalam dada Laura yang kembali terasa ketika teman masa kecilnya masih menginga
“Bagaimana bisa tempat ini jadi milikmu?” Laura membuka mata lebar ketika menyadari sesuatu. “Kau ... membeli tempat ini?” Asher menegakkan badan dan sedikit membusungkan dada ketika ditatap Laura penuh kekaguman. “Tidak ada yang tidak bisa aku lakukan,” ujar Asher datar, seolah-olah hal tersebut sangat wajar baginya. Laura menangkup mulut dengan kedua telapak tangannya. Dia lalu berjalan cepat ke arah Asher. Asher membentangkan kedua lengannya untuk menerima pelukan dan ucapan terima kasih dari sang istri. Salah satu sudut mulutnya terangkat, lalu tiba-tiba berkedut-kedut. Laura ternyata hanya berjalan melewati Asher untuk masuk ke dalam rumah kenangan itu. “Pft ….” Jake menggigit bibir bawahnya agar tak dikira sedang mentertawakan tingkah konyol Asher. Dia pun mengikuti keponakannya untuk melihat tempat yang disukai kakak kandungnya. Jake berbalik ke arah Asher yang masih mematung di tempat, lalu menepuk bahu pria itu dari belakang. “Terima kasih. Kau benar-benar hebat,” puji Ja
“Ah … aku tidak sengaja ….” Asher yang melihat pantulan bayangan Laura dari kaca langsung berbalik dan memasang badan seolah tak sengaja memecahkan tembikar itu. Laura berjalan cepat ke arah Asher. Mulutnya terbuka lebar dan matanya terus menatap pecahan tembikar. Asher tak suka melihatnya. Kenapa Laura memedulikan benda berwujud buruk itu?!Apakah karena bayangannya tentang kemesraan Laura dan Noah benar? Tembikar itu menyimpan kenangan indah antara mereka?Laura berjongkok untuk memunguti pecahan pot, lalu menyingkirkan di sudut ruangan. Dia segera memeriksa kedua tangan Asher dengan wajah khawatir. “Kau tidak apa-apa? Ada yang terluka?” Asher balas bertanya, “Haruskah aku memanggil keponakanku untuk membuat benda yang sama seperti itu bersamamu? Pot itu pasti sangat berharga untukmu,” pancing Asher yang ingin tahu seberapa berharganya benda itu bagi sang istri. “Itu bukan pot, tetapi vas bunga!” Asher mengangkat kedua alisnya. “Oh … itu tidak mirip seperti vas bunga.” Dia lalu
"Laura ...." Suara tamu tak diundang itu terdengar familiar di telinga Laura.Pria itu mendorong lengan Theo yang menghalangi jalannya. Namun, Theo tetap tak mengizinkannya mendekati Laura.Laura gegas bersembunyi di belakang punggung Theo. Dia secara terang-terangan menolak Simon sebelumnya dan tak ingin sang ayah melakukan sesuatu yang buruk padanya.Simon pernah menampar dirinya. Laura tak ingin dekat-dekat dengan Simon.Theo segera paham jika Laura tak ingin bertemu dengan Simon. "Anda harus minta izin Tuan Asher jika ingin bertemu dengan Nyonya Laura," tegasnya."Kau tidak berhak mencampuri urusan keluargaku. Minggir dari hadapanku!" bentak Simon sambil menyentak lengan kekar Theo, tetapi tak berhasil.Suara keras Simon saat berbicara, terdengar oleh Asher dan Jake yang baru saja membuka pintu rumah. Asher gegas melangkah lebar dan cepat menghampiri sang istri begitu mencium tanda-tanda bahaya."Ada apa ini?!" Asher baru bisa melihat wajah Simon ketika dia sudah berada di dekatnya
Laura memejamkan mata tatkala Simon merentangkan dan memajukan tangan. Apakah dia akan mendapat pukulan lain dari ayahnya? Tidak! Semua orang terdiam begitu Simon memeluk Laura secara tiba-tiba. Laura pun terkejut bukan main.Sejak kapan Laura terakhir dipeluk sang ayah? Dia sampai tak bisa mengingatnya. “Maaf ….” Setelah mengucap satu kata itu, Simon melepaskan Laura, lalu menuju ke arah parkiran dengan menundukkan kepala.Laura merasa seperti sedang bermimpi. Benarkah Simon memeluknya? Dia masih tak dapat memercayainya.Selama ini, Simon hanya mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada Nora. Kenapa Simon tiba-tiba bersikap layaknya ayah hanya ketika Laura menyandang nama belakang Smith? Laura mengepalkan kedua tangan dengan mata memerah. Perasaan haru karena pelukan singkat itu, dengan cepat berganti dengan amarah. Asher yang menangkap gelagat aneh istrinya, menggenggam dan mengurai kepalan tangan Laura. Kemudian dia menyelipkan jemarinya di jari-jari Laura. “Sekarang sud
Asher melihat gurat kekecewaan dari air muka Laura. Sel-sel di otak pria itu sedang mencari sebuah alasan masuk akal dengan cepat. “Ugh … pinggangku ….” Asher memutar badan memunggungi Laura seraya menaikkan celana, lalu memegang pinggangnya. “Sepertinya pinggangku terkilir.” Laura menarik-narik lengan Asher agar menghadap ke arahnya. Namun, Asher tak mau berbalik karena tak ingin melihat kekecewaan yang Laura tunjukkan. “Kenapa tiba-tiba sakit? Coba lihat dulu … tadi kau baik-baik saja, bukan?” “Aku sudah menahannya sejak tadi, tapi tidak ingin membuatmu khawatir. Sudahlah … kita istirahat saja dulu. Kau pasti juga lelah.” “Tidak, aku tidak lelah.” Laura buru-buru menyanggahnya. “Aku sangat baik-baik saja.” Laura baru merasakan sendiri, betapa menyebalkan ketika dia sedang menginginkan pergumulan panas dengan Asher, tetapi Asher tak bisa melakukan itu dengannya. Meskipun tahu jika Asher sedang sakit, Laura tak bisa menahan rasa kecewa. Tak lama kemudian, Laura sudah mendengar A
Laura memercikkan air ke wajah Asher agar tak meminta sesuatu yang konyol padanya. Mana mungkin Laura mau melakukan itu di alam terbuka dan sedang diamati orang lain!Asher lalu membalas perbuatan Laura. Mereka tertawa dan bersenang-senang, seakan tak melihat dua pria lain di atas kapal yang sebelumnya mencemaskan mereka. “Naiklah! Kalian bisa terkena flu!” seru Jake menghentikan perbuatan Asher dan Laura yang menurutnya kekanak-kanakan.Asher lantas memeluk Laura dan menyeretnya berenang menuju perahu. “Aku bisa berenang sendiri.” “Tidak. Aku harus membawamu naik sampai atas perahu.” Pria yang berkata sedang sakit pinggang itu, dengan mudahnya mengangkat tubuh Laura hingga mencapai perahu. Dia ikut naik setelahnya. “Anda baik-baik saja, Tuan?” Theo tampak begitu cemas. Dia bergegas memberikan handuk kering untuk atasannya. Di sisi lain, ada Jake yang mengurusi Laura. Jake membantu mengeringkan rambut panjang Laura dengan handuk lainnya. Melihat perhatian yang seharusnya dia laku