Siapa kira-kira yang datang tanpa diundang?
"Laura ...." Suara tamu tak diundang itu terdengar familiar di telinga Laura.Pria itu mendorong lengan Theo yang menghalangi jalannya. Namun, Theo tetap tak mengizinkannya mendekati Laura.Laura gegas bersembunyi di belakang punggung Theo. Dia secara terang-terangan menolak Simon sebelumnya dan tak ingin sang ayah melakukan sesuatu yang buruk padanya.Simon pernah menampar dirinya. Laura tak ingin dekat-dekat dengan Simon.Theo segera paham jika Laura tak ingin bertemu dengan Simon. "Anda harus minta izin Tuan Asher jika ingin bertemu dengan Nyonya Laura," tegasnya."Kau tidak berhak mencampuri urusan keluargaku. Minggir dari hadapanku!" bentak Simon sambil menyentak lengan kekar Theo, tetapi tak berhasil.Suara keras Simon saat berbicara, terdengar oleh Asher dan Jake yang baru saja membuka pintu rumah. Asher gegas melangkah lebar dan cepat menghampiri sang istri begitu mencium tanda-tanda bahaya."Ada apa ini?!" Asher baru bisa melihat wajah Simon ketika dia sudah berada di dekatnya
Laura memejamkan mata tatkala Simon merentangkan dan memajukan tangan. Apakah dia akan mendapat pukulan lain dari ayahnya? Tidak! Semua orang terdiam begitu Simon memeluk Laura secara tiba-tiba. Laura pun terkejut bukan main.Sejak kapan Laura terakhir dipeluk sang ayah? Dia sampai tak bisa mengingatnya. “Maaf ….” Setelah mengucap satu kata itu, Simon melepaskan Laura, lalu menuju ke arah parkiran dengan menundukkan kepala.Laura merasa seperti sedang bermimpi. Benarkah Simon memeluknya? Dia masih tak dapat memercayainya.Selama ini, Simon hanya mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada Nora. Kenapa Simon tiba-tiba bersikap layaknya ayah hanya ketika Laura menyandang nama belakang Smith? Laura mengepalkan kedua tangan dengan mata memerah. Perasaan haru karena pelukan singkat itu, dengan cepat berganti dengan amarah. Asher yang menangkap gelagat aneh istrinya, menggenggam dan mengurai kepalan tangan Laura. Kemudian dia menyelipkan jemarinya di jari-jari Laura. “Sekarang sud
Asher melihat gurat kekecewaan dari air muka Laura. Sel-sel di otak pria itu sedang mencari sebuah alasan masuk akal dengan cepat. “Ugh … pinggangku ….” Asher memutar badan memunggungi Laura seraya menaikkan celana, lalu memegang pinggangnya. “Sepertinya pinggangku terkilir.” Laura menarik-narik lengan Asher agar menghadap ke arahnya. Namun, Asher tak mau berbalik karena tak ingin melihat kekecewaan yang Laura tunjukkan. “Kenapa tiba-tiba sakit? Coba lihat dulu … tadi kau baik-baik saja, bukan?” “Aku sudah menahannya sejak tadi, tapi tidak ingin membuatmu khawatir. Sudahlah … kita istirahat saja dulu. Kau pasti juga lelah.” “Tidak, aku tidak lelah.” Laura buru-buru menyanggahnya. “Aku sangat baik-baik saja.” Laura baru merasakan sendiri, betapa menyebalkan ketika dia sedang menginginkan pergumulan panas dengan Asher, tetapi Asher tak bisa melakukan itu dengannya. Meskipun tahu jika Asher sedang sakit, Laura tak bisa menahan rasa kecewa. Tak lama kemudian, Laura sudah mendengar A
Laura memercikkan air ke wajah Asher agar tak meminta sesuatu yang konyol padanya. Mana mungkin Laura mau melakukan itu di alam terbuka dan sedang diamati orang lain!Asher lalu membalas perbuatan Laura. Mereka tertawa dan bersenang-senang, seakan tak melihat dua pria lain di atas kapal yang sebelumnya mencemaskan mereka. “Naiklah! Kalian bisa terkena flu!” seru Jake menghentikan perbuatan Asher dan Laura yang menurutnya kekanak-kanakan.Asher lantas memeluk Laura dan menyeretnya berenang menuju perahu. “Aku bisa berenang sendiri.” “Tidak. Aku harus membawamu naik sampai atas perahu.” Pria yang berkata sedang sakit pinggang itu, dengan mudahnya mengangkat tubuh Laura hingga mencapai perahu. Dia ikut naik setelahnya. “Anda baik-baik saja, Tuan?” Theo tampak begitu cemas. Dia bergegas memberikan handuk kering untuk atasannya. Di sisi lain, ada Jake yang mengurusi Laura. Jake membantu mengeringkan rambut panjang Laura dengan handuk lainnya. Melihat perhatian yang seharusnya dia laku
"Laura!" seru Emma seraya memeluk sahabatnya. Emma tampak begitu senang karena Laura datang mengunjunginya. Namun, senyuman Emma pudar setelah melihat sosok dua pria yang berjalan mendekat ke arahnya. "Maaf aku datang mendadak." Laura baru menghubungi Emma beberapa menit yang lalu saat di perjalanan. Beruntung, Emma sedang tak memiliki kesibukan. "Kita berangkat sekarang? Apa mereka juga ikut?" Emma menatap tak suka pada Asher dan Theo. Emma ingin menghabiskan waktu berdua bersama sang sahabat. Tetapi, ada dua orang yang tampaknya akan menjadi pengganggu acara mereka. Laura mengangguk sebagai jawaban. "Aku harus menyapa orang tuamu lebih dulu." "Tidak perlu. Semua orang sedang bekerja. Aku juga sudah bersiap. Kita berangkat saja sekarang." Sampailah mereka di pusat perbelanjaan beberapa menit kemudian. Emma selalu memeluk lengan Laura dan tak membiarkan Asher berjalan di sampingnya. "Di mana paman yang mendampingimu saat di acara pernikahanmu waktu itu, Lau?" tanya Emma dengan
“Asher.” Laura memanggil lirih dari seberang pintu. Asher tersentak dari lamunannya. Kemudian, dia masuk ke dalam mobil. Laura mengamati wanita itu melihat Asher dengan mata berkaca-kaca. “Lau, aku ingin makan malam di kafe yang biasanya kita kunjungi.” Emma dan Theo baru saja sampai. Theo pun terkejut setelah melihat ada sosok wanita yang familiar baginya. Dia langsung melirik Laura yang ternyata juga sedang menatap dirinya. ‘Benar-benar mencurigakan. Siapa wanita itu? Theo juga seperti mengenalnya. Baru kali ini, aku melihat Theo begitu gugup dan menjadi salah tingkah,’ batin Laura kian tak nyaman. “Lau? Kenapa kau melamun?” Emma mengikuti arah tatapan Laura yang kembali pada wanita itu. “Siapa dia?” bisiknya. “Entahlah. Aku juga tidak tahu.” Laura pun masuk ke dalam mobil. Saat mobil mereka meninggalkan parkiran, Laura sempat melihat wanita itu sesekali mencuri pandang ke arah mobil Asher. Sementara suaminya terlihat duduk gelisah di saat Laura terus menatapnya dengan sorot m
Laura menggeleng-geleng pelan ketika melihat Asher keluar dari kamar. Hati Laura semakin sakit karena Asher tak mau memahami dirinya. Laura sudah bertanya tentang wanita itu, tetapi Asher tak mau menjawab dengan jujur. Belum lega hati dan pikiran Laura, Asher justru menginginkan tubuhnya, tanpa mau tahu apa yang sedang Laura rasakan. Egois … begitu Laura menilai suaminya. Laura tak mencegah kepergian Asher sehingga membuat pria itu kesal. Laura seharusnya menahannya karena dia adalah suaminya. Lagi pula, Asher merasa sudah mengalah karena dia rela tak diberi jatah. Asher pun sengaja tidur di sofa depan kamar. Dia juga tak menutup pintu agar Laura melihatnya tidur tak nyaman. Mungkin, Laura akan segera menyuruhnya masuk ke dalam dan mereka bisa langsung berbaikan.Namun, harapan Asher hanya tinggal angan-angan. Laura malah tidur meringkuk meskipun matanya belum terpejam. “Ough … punggungku ….” Asher mengerang dengan suara keras ketika dia memutar badan. Laura mendengar itu, namun
Asher sangat yakin jika benda itulah yang Laura inginkan. Kartu hitam tanpa batas yang dapat Laura gunakan sesuka hati. Laura pasti terpengaruh ucapan Emma sehingga membuatnya marah karena tak diperlakukan seperti istri pada umumnya. Asher memilih untuk melanggar prinsip dan kekhawatirannya demi mendapatkan senyum Laura kembali. Lagi pula, Laura akan menjadi ibu dari anaknya. Asher tak perlu takut oleh masa lalu yang sesekali masih menghantui dirinya. Asher juga sedikit tahu jika Laura bukan orang yang akan mengkhianati dirinya setelah diberikan harta yang sebenarnya tak seberapa bagi Asher. Akan tetapi, dugaan Asher keliru. Laura tak menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan dan tak tersenyum sama sekali. Sang istri justru tercenung dengan kening berkerut. “Apa kau tidak suka?” Asher benar-benar tak tahu lagi apa yang Laura inginkan jika kartu hitam itu tak berhasil meluluhkan hatinya. “Untuk apa ini?” Laura balas bertanya. “Tentu saja untuk membuatmu bahagia. Bukankah ini yang kau in
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang