Akhir-akhir ini V agak sibuk, jadinya sering update kemalaman. Semoga Hari Senin sudah bisa update banyak lagi ya...
“Terima kasih, tapi tidak perlu. Silakan kembali ke tempat Anda.” Teman kencan Hillary itu tampak terganggu oleh Dion.Akan tetapi, Dion masih berdiri di sana. Mereka saling bertatapan, entah sedang memikirkan apa.“Dion.” Panggilan Rangga langsung membuat Dion berpaling.Dalam empat tahun terakhir, tak pernah sekali pun Dion menunjukkan senyuman. Namun, sekarang dia tersenyum ramah selagi undur diri di hadapan pria itu dan Hillary.“Ah, baiklah. Selamat bersenang-senang.” Dion kemudian kembali ke tempat duduknya.Hillary pun segera duduk sambil menunduk saat merasakan dadanya berdebar-debar. Bukan karena senyuman Dion, melainkan karena tebakannya mengenai Alan Palsu mungkin benar.‘Mustahil ... Aku dengar, Tuan Dion sangat mencintai mendiang istrinya. Tapi, bisa saja dia hanya mengerjaiku? Ah ... itu makin tidak mungkin! Tuan Dion orang yang sangat serius dan sepertinya tidak bisa diajak bercanda.’“Hillary ....” suara pria itu membuyarkan lamunan Hillary. “Kau baik-baik saja?
Kembali ke restoran Asher … Hillary tampaknya senang bisa bicara dengan seseorang setelah sekian lama. Matt pun terlihat sangat baik dan dewasa. Membuat Hillary nyaman bicara dengannya. Cara bicara Matt yang kaku dan sedikit formal itu pun mampu membuat Hillary tersenyum setiap saat. Suasana di meja itu juga sangat menyenangkan untuk dipandang. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Hillary sebal. Sejak tadi, Nevan juga masih berada di sana sambil menyibukkan diri bermain ponsel. ‘Mungkinkah orang itu yang mengaku sebagai Alan? Ah, tidak! Lupakan! Jangan memikirkan masalah itu lagi!’ batin Hillary mencoba mengenyahkan pikiran tentang si palsu yang masih selalu mengganggu. “Apa kau punya kegiatan lain setelah ini?” “Um, tidak ada. Aku bekerja di kota lain, dan datang ke sini karena ….” Lidah Hillary mendadak terasa kelu. ‘Karena ingin memastikan kebenaran pertunangan Alan dan Rachel,’ lanjutnya dalam hati. “Karena …?” Matt menunggu Hillary melanjutkan kata-katanya.“Paman Asher
‘Apa dia bisa mendengar suara jantungku?’ Hillary dapat mendengar detak jantungnya sendiri berpacu cepat. ‘Ah!! Kenapa jadi begini? Aku seharusnya tidak perlu pura-pura pingsan!!’Hillary saat ini sedang berada di ruang perawatan rumah sakit. Dia sengaja tak membuka mata sampai hampir satu jam, tak seperti orang pingsan pada umumnya.Bagaimana dia bisa membuka mata jika pria yang membawanya ke sana merupakan orang yang tak pernah disangkanya? Apalagi, setelah perkataan pria itu tadi, Hillary jadi yakin jika dia merupakan Alan Palsu.Hillary malu karena mudah dibodohi, serta marah karena tak berani membalas. Namun, dia hanya bisa diam untuk sekarang.Masih ingat dalam ingatannya, kejadian empat tahun lalu ketika orang itu mengancam dirinya. Sorot mata yang begitu tajam dan kemarahan luar biasa yang terpancar dari sosok seorang yang lebih muda darinya, membuat nyali Hillary menciut.“Van, lihat hasil pemeriksaan ini. Tidak ada yang salah dengan kondisi tubuhnya,” ujar seorang dokte
“Apa? Kau bicara denganku?” Hillary terbengong-bengong melihat Nevan karena sejak tadi hanya fokus dengan ponsel baru. “Tidak.” Ekor mata Nevan menangkap sosok Dion di seberang restoran. Kedua alisnya terangkat karena terkejut melihat Dion juga sedang menatap dirinya. Nevan gegas menyambar tangan Hillary. Kemudian menggenggamnya dengan erat. Dia menarik paksa Hillary yang kesulitan berjalan keluar dari restoran itu. “Mau ke mana? Ada apa? Kakiku masih sedikit nyeri! Hati-hati jalannya!” pekik Hillary menahan ngilu di pergelangan kakinya. “Diam saja dan ikuti aku, Hillary Smith!” Hillary menyentak tangannya dengan kasar agar terlepas dari genggaman Nevan. Dia menatap tajam Nevan tanpa menunjukkan ketakutan lagi. “Jangan seenaknya menyeret orang semaumu! Dan bersikap sopanlah dengan orang yang lebih tua darimu!” bentak Hillary. Nevan mengacak-acak rambut saat melihat Dion berjalan cepat ke arahnya. Tak menghiraukan orang di sekitar mereka, Nevan langsung membopong Hillary ala pen
Dion Erlangga cukup dikenal masyarakat setelah mengelola anak perusahaan RnR Cakrawala Group di kota itu. Tentu saja Hillary juga sering berjumpa dengannya di beberapa acara. Namun, dia tak pernah duduk hanya berdua dengan Dion di satu tempat. Jarak lokasi mobil itu sekarang sangat dekat dengan rumah orang tuanya, tetapi terasa bermil-mil jauhnya. ‘Apa dia sengaja mengendarai mobil pelan-pelan?’ batin Hillary. Kedua kaki Hillary bergerak naik-turun dengan resah. Seakan ingin berlari saja sampai ke rumah agar lebih cepat sampai. Pada kenyataannya, kecanggungan di antara mereka yang membuat perjalanan itu lebih lama. Apalagi, Dion sejak tadi diam, tak mengatakan sepatah kata pun, setelah hanya bilang, ‘Jangan lupa pakai sabuk pengaman.’ Hillary mengipasi lehernya menggunakan tangan meski penyejuk udara menyala dan terasa dingin. Dion yang sejak tadi hanya menghadap ke depan itu, menurunkan suhu dalam mobil begitu melihat gerakan kecil Hillary. ‘Rasanya panas, tetapi kulitku dingin.
‘Hanya peduli? Bukankah dia bilang menyayangiku? Orang sayang juga peduli, bukan? Tapi, bukankah orang peduli belum tentu sayang?’ batin Hillary bingung. Dia berguling-guling di kasur kamarnya untuk menyingkirkan pikiran tentang Alan Palsu. Hillary merasa ada yang janggal dari kata-kata Dion. Pria itu mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh. Namun, terasa ada yang kurang di hatinya. Entah itu apa, dia pun tak mengerti ... “Apa benar-benar dia yang selama ini bertukar pesan denganku? Ah, terserahlah!” Baru saja memejamkan mata, Hillary mendengar nada pesan masuk di ponselnya. Dia gegas membaca pesan itu. [Selamat tidur.] Hillary melempar ponsel di dekat kaki. Lalu duduk sambil menunjuk-nunjuk ke arah layar ponsel yang masih menyala. “Lihat! Ketikannya juga berbeda!” serunya entah pada siapa. Tak elak, Dion terlihat perhatian padanya. Sikap Dion benar-benar dewasa, tutur katanya halus, dan selalu memuji Hillary atas semua yang dikatakannya. Sosok Dion yang tadi bersamanya, sang
Melihat manik biru yang berkilauan penuh harapan itu, Hillary tak enak hati menolak. Tetapi, dia belum siap menjadi istri siapa pun. Apalagi, menikah dengan Matt yang baru bertemu beberapa kali dengannya. “Ah ....” Matt mengurai tangannya, kemudian mengacak-acak rambut belakangnya dengan canggung. “Maaf, Hill, saya tidak mau membebanimu. Saya hanya ... sangat menyukaimu dan ingin memilikimu secepatnya. Kau tidak perlu menjawab sekarang.” Cara bicara Matt kembali seperti sedia kala. Hillary menjadi semakin tak tega menolak secara langsung. Matt adalah pria yang baik dan menarik. Mungkin, Hillary juga akan bahagia ketika menjadi istrinya, tetapi ... “Seperti katamu, kita baru saja berkenalan, Matt. Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkan tawaranmu ini?” Selain itu, Hillary ingin memastikan sesuatu. “Aku ... juga menyukaimu, Matt. Tetapi, belum pada tahap cinta. Bisakah aku mengenalmu lebih dekat dulu sebelum memberikan jawaban?” Wajah Matt sontak berseri-seri. Tanpa sadar, pri
Firasat Hillary benar. Alan Palsu bukan Dion, melainkan Nevan. Salah satu alasan yang membuat Hillary memikirkan akan menerima lamaran Matt adalah ketakutan akan fakta itu. Nevan masih terlalu muda baginya. Perangainya pun menyebalkan ketika mereka berjumpa. Namun, jantung Hillary justru berdebar-debar kencang oleh pelukan dan bisikan mesra pria itu. “A-apa … y-yang kau katakan?” Hillary tak tahu harus berkata apa hingga tergagap-gagap. Nevan menghela napas panjang. Tak menyangka dirinya akan bicara seperti itu. Padahal, dia sudah merangkai kata-kata lain untuk mencegah Hillary menikah dengan Mat. Selama bertahun-tahun, Nevan berulang kali mendengar cerita Emma tentang cara Theo mendekatinya. ‘Dia berkata seperti itu dulu! Ya ampun, hatiku sampai meleleh dibuatnya. Theo benar-benar pria yang sangat seksi.’ Emma mengatakan itu hampir ratusan kali selama empat tahun terakhir. Kata-kata Emma tersebut bagaikan sihir. Sehingga Nevan mengucap kalimat yang hampir sama dengan Theo. Namun