Kembali ke restoran Asher … Hillary tampaknya senang bisa bicara dengan seseorang setelah sekian lama. Matt pun terlihat sangat baik dan dewasa. Membuat Hillary nyaman bicara dengannya. Cara bicara Matt yang kaku dan sedikit formal itu pun mampu membuat Hillary tersenyum setiap saat. Suasana di meja itu juga sangat menyenangkan untuk dipandang. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Hillary sebal. Sejak tadi, Nevan juga masih berada di sana sambil menyibukkan diri bermain ponsel. ‘Mungkinkah orang itu yang mengaku sebagai Alan? Ah, tidak! Lupakan! Jangan memikirkan masalah itu lagi!’ batin Hillary mencoba mengenyahkan pikiran tentang si palsu yang masih selalu mengganggu. “Apa kau punya kegiatan lain setelah ini?” “Um, tidak ada. Aku bekerja di kota lain, dan datang ke sini karena ….” Lidah Hillary mendadak terasa kelu. ‘Karena ingin memastikan kebenaran pertunangan Alan dan Rachel,’ lanjutnya dalam hati. “Karena …?” Matt menunggu Hillary melanjutkan kata-katanya.“Paman Asher
‘Apa dia bisa mendengar suara jantungku?’ Hillary dapat mendengar detak jantungnya sendiri berpacu cepat. ‘Ah!! Kenapa jadi begini? Aku seharusnya tidak perlu pura-pura pingsan!!’Hillary saat ini sedang berada di ruang perawatan rumah sakit. Dia sengaja tak membuka mata sampai hampir satu jam, tak seperti orang pingsan pada umumnya.Bagaimana dia bisa membuka mata jika pria yang membawanya ke sana merupakan orang yang tak pernah disangkanya? Apalagi, setelah perkataan pria itu tadi, Hillary jadi yakin jika dia merupakan Alan Palsu.Hillary malu karena mudah dibodohi, serta marah karena tak berani membalas. Namun, dia hanya bisa diam untuk sekarang.Masih ingat dalam ingatannya, kejadian empat tahun lalu ketika orang itu mengancam dirinya. Sorot mata yang begitu tajam dan kemarahan luar biasa yang terpancar dari sosok seorang yang lebih muda darinya, membuat nyali Hillary menciut.“Van, lihat hasil pemeriksaan ini. Tidak ada yang salah dengan kondisi tubuhnya,” ujar seorang dokte
“Apa? Kau bicara denganku?” Hillary terbengong-bengong melihat Nevan karena sejak tadi hanya fokus dengan ponsel baru. “Tidak.” Ekor mata Nevan menangkap sosok Dion di seberang restoran. Kedua alisnya terangkat karena terkejut melihat Dion juga sedang menatap dirinya. Nevan gegas menyambar tangan Hillary. Kemudian menggenggamnya dengan erat. Dia menarik paksa Hillary yang kesulitan berjalan keluar dari restoran itu. “Mau ke mana? Ada apa? Kakiku masih sedikit nyeri! Hati-hati jalannya!” pekik Hillary menahan ngilu di pergelangan kakinya. “Diam saja dan ikuti aku, Hillary Smith!” Hillary menyentak tangannya dengan kasar agar terlepas dari genggaman Nevan. Dia menatap tajam Nevan tanpa menunjukkan ketakutan lagi. “Jangan seenaknya menyeret orang semaumu! Dan bersikap sopanlah dengan orang yang lebih tua darimu!” bentak Hillary. Nevan mengacak-acak rambut saat melihat Dion berjalan cepat ke arahnya. Tak menghiraukan orang di sekitar mereka, Nevan langsung membopong Hillary ala pen
Dion Erlangga cukup dikenal masyarakat setelah mengelola anak perusahaan RnR Cakrawala Group di kota itu. Tentu saja Hillary juga sering berjumpa dengannya di beberapa acara. Namun, dia tak pernah duduk hanya berdua dengan Dion di satu tempat. Jarak lokasi mobil itu sekarang sangat dekat dengan rumah orang tuanya, tetapi terasa bermil-mil jauhnya. ‘Apa dia sengaja mengendarai mobil pelan-pelan?’ batin Hillary. Kedua kaki Hillary bergerak naik-turun dengan resah. Seakan ingin berlari saja sampai ke rumah agar lebih cepat sampai. Pada kenyataannya, kecanggungan di antara mereka yang membuat perjalanan itu lebih lama. Apalagi, Dion sejak tadi diam, tak mengatakan sepatah kata pun, setelah hanya bilang, ‘Jangan lupa pakai sabuk pengaman.’ Hillary mengipasi lehernya menggunakan tangan meski penyejuk udara menyala dan terasa dingin. Dion yang sejak tadi hanya menghadap ke depan itu, menurunkan suhu dalam mobil begitu melihat gerakan kecil Hillary. ‘Rasanya panas, tetapi kulitku dingin.
‘Hanya peduli? Bukankah dia bilang menyayangiku? Orang sayang juga peduli, bukan? Tapi, bukankah orang peduli belum tentu sayang?’ batin Hillary bingung. Dia berguling-guling di kasur kamarnya untuk menyingkirkan pikiran tentang Alan Palsu. Hillary merasa ada yang janggal dari kata-kata Dion. Pria itu mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh. Namun, terasa ada yang kurang di hatinya. Entah itu apa, dia pun tak mengerti ... “Apa benar-benar dia yang selama ini bertukar pesan denganku? Ah, terserahlah!” Baru saja memejamkan mata, Hillary mendengar nada pesan masuk di ponselnya. Dia gegas membaca pesan itu. [Selamat tidur.] Hillary melempar ponsel di dekat kaki. Lalu duduk sambil menunjuk-nunjuk ke arah layar ponsel yang masih menyala. “Lihat! Ketikannya juga berbeda!” serunya entah pada siapa. Tak elak, Dion terlihat perhatian padanya. Sikap Dion benar-benar dewasa, tutur katanya halus, dan selalu memuji Hillary atas semua yang dikatakannya. Sosok Dion yang tadi bersamanya, sang
Melihat manik biru yang berkilauan penuh harapan itu, Hillary tak enak hati menolak. Tetapi, dia belum siap menjadi istri siapa pun. Apalagi, menikah dengan Matt yang baru bertemu beberapa kali dengannya. “Ah ....” Matt mengurai tangannya, kemudian mengacak-acak rambut belakangnya dengan canggung. “Maaf, Hill, saya tidak mau membebanimu. Saya hanya ... sangat menyukaimu dan ingin memilikimu secepatnya. Kau tidak perlu menjawab sekarang.” Cara bicara Matt kembali seperti sedia kala. Hillary menjadi semakin tak tega menolak secara langsung. Matt adalah pria yang baik dan menarik. Mungkin, Hillary juga akan bahagia ketika menjadi istrinya, tetapi ... “Seperti katamu, kita baru saja berkenalan, Matt. Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkan tawaranmu ini?” Selain itu, Hillary ingin memastikan sesuatu. “Aku ... juga menyukaimu, Matt. Tetapi, belum pada tahap cinta. Bisakah aku mengenalmu lebih dekat dulu sebelum memberikan jawaban?” Wajah Matt sontak berseri-seri. Tanpa sadar, pri
Firasat Hillary benar. Alan Palsu bukan Dion, melainkan Nevan. Salah satu alasan yang membuat Hillary memikirkan akan menerima lamaran Matt adalah ketakutan akan fakta itu. Nevan masih terlalu muda baginya. Perangainya pun menyebalkan ketika mereka berjumpa. Namun, jantung Hillary justru berdebar-debar kencang oleh pelukan dan bisikan mesra pria itu. “A-apa … y-yang kau katakan?” Hillary tak tahu harus berkata apa hingga tergagap-gagap. Nevan menghela napas panjang. Tak menyangka dirinya akan bicara seperti itu. Padahal, dia sudah merangkai kata-kata lain untuk mencegah Hillary menikah dengan Mat. Selama bertahun-tahun, Nevan berulang kali mendengar cerita Emma tentang cara Theo mendekatinya. ‘Dia berkata seperti itu dulu! Ya ampun, hatiku sampai meleleh dibuatnya. Theo benar-benar pria yang sangat seksi.’ Emma mengatakan itu hampir ratusan kali selama empat tahun terakhir. Kata-kata Emma tersebut bagaikan sihir. Sehingga Nevan mengucap kalimat yang hampir sama dengan Theo. Namun
“Hill, apa yang kau lakukan di sana? Kau tidak sedang mencabuti rumput, bukan?” Teressa baru saja keluar dan melihat anak gadisnya berjongkok di halaman depan sambil menunduk. Hillary memang sedang mencabuti rumput agar pikirannya tenang. Dia perlu mengalihkan perhatian dari kejadian tak terduga yang baru saja dia alami. Namun, begitu mendengar suara Teressa memanggil, Hillary langsung sadar dan ingat Nevan lagi. “Aku mau ke kantor papamu. Kau mau ikut?” Hillary gegas berdiri sambil menepuk-nepuk tangan untuk menghilangkan potongan rumput. “Mama! Kenapa tidak ada pengawal atau pelayan di depan?” “Papa baru menyuruh mereka untuk melakukan sesuatu. Kenapa? Di dalam ada banyak pelayan, kau tinggal memanggil, bukan?” Teressa menggelengkan kepala, lalu masuk ke mobil yang telah disiapkan sopir. “Kalau mereka ada di depan, Nevan tidak mungkin berani menggangguku!” gerutu Hillary selagi masuk rumah, dan terpikirkan lagi wajah pria itu. Hillary menepuk pipi berulang-ulang ketika menginga
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang