Di bulan puasa ini, apa sebaiknya puasa nulis juga? 🤭
‘Hanya peduli? Bukankah dia bilang menyayangiku? Orang sayang juga peduli, bukan? Tapi, bukankah orang peduli belum tentu sayang?’ batin Hillary bingung. Dia berguling-guling di kasur kamarnya untuk menyingkirkan pikiran tentang Alan Palsu. Hillary merasa ada yang janggal dari kata-kata Dion. Pria itu mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh. Namun, terasa ada yang kurang di hatinya. Entah itu apa, dia pun tak mengerti ... “Apa benar-benar dia yang selama ini bertukar pesan denganku? Ah, terserahlah!” Baru saja memejamkan mata, Hillary mendengar nada pesan masuk di ponselnya. Dia gegas membaca pesan itu. [Selamat tidur.] Hillary melempar ponsel di dekat kaki. Lalu duduk sambil menunjuk-nunjuk ke arah layar ponsel yang masih menyala. “Lihat! Ketikannya juga berbeda!” serunya entah pada siapa. Tak elak, Dion terlihat perhatian padanya. Sikap Dion benar-benar dewasa, tutur katanya halus, dan selalu memuji Hillary atas semua yang dikatakannya. Sosok Dion yang tadi bersamanya, sang
Melihat manik biru yang berkilauan penuh harapan itu, Hillary tak enak hati menolak. Tetapi, dia belum siap menjadi istri siapa pun. Apalagi, menikah dengan Matt yang baru bertemu beberapa kali dengannya. “Ah ....” Matt mengurai tangannya, kemudian mengacak-acak rambut belakangnya dengan canggung. “Maaf, Hill, saya tidak mau membebanimu. Saya hanya ... sangat menyukaimu dan ingin memilikimu secepatnya. Kau tidak perlu menjawab sekarang.” Cara bicara Matt kembali seperti sedia kala. Hillary menjadi semakin tak tega menolak secara langsung. Matt adalah pria yang baik dan menarik. Mungkin, Hillary juga akan bahagia ketika menjadi istrinya, tetapi ... “Seperti katamu, kita baru saja berkenalan, Matt. Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkan tawaranmu ini?” Selain itu, Hillary ingin memastikan sesuatu. “Aku ... juga menyukaimu, Matt. Tetapi, belum pada tahap cinta. Bisakah aku mengenalmu lebih dekat dulu sebelum memberikan jawaban?” Wajah Matt sontak berseri-seri. Tanpa sadar, pri
Firasat Hillary benar. Alan Palsu bukan Dion, melainkan Nevan. Salah satu alasan yang membuat Hillary memikirkan akan menerima lamaran Matt adalah ketakutan akan fakta itu. Nevan masih terlalu muda baginya. Perangainya pun menyebalkan ketika mereka berjumpa. Namun, jantung Hillary justru berdebar-debar kencang oleh pelukan dan bisikan mesra pria itu. “A-apa … y-yang kau katakan?” Hillary tak tahu harus berkata apa hingga tergagap-gagap. Nevan menghela napas panjang. Tak menyangka dirinya akan bicara seperti itu. Padahal, dia sudah merangkai kata-kata lain untuk mencegah Hillary menikah dengan Mat. Selama bertahun-tahun, Nevan berulang kali mendengar cerita Emma tentang cara Theo mendekatinya. ‘Dia berkata seperti itu dulu! Ya ampun, hatiku sampai meleleh dibuatnya. Theo benar-benar pria yang sangat seksi.’ Emma mengatakan itu hampir ratusan kali selama empat tahun terakhir. Kata-kata Emma tersebut bagaikan sihir. Sehingga Nevan mengucap kalimat yang hampir sama dengan Theo. Namun
“Hill, apa yang kau lakukan di sana? Kau tidak sedang mencabuti rumput, bukan?” Teressa baru saja keluar dan melihat anak gadisnya berjongkok di halaman depan sambil menunduk. Hillary memang sedang mencabuti rumput agar pikirannya tenang. Dia perlu mengalihkan perhatian dari kejadian tak terduga yang baru saja dia alami. Namun, begitu mendengar suara Teressa memanggil, Hillary langsung sadar dan ingat Nevan lagi. “Aku mau ke kantor papamu. Kau mau ikut?” Hillary gegas berdiri sambil menepuk-nepuk tangan untuk menghilangkan potongan rumput. “Mama! Kenapa tidak ada pengawal atau pelayan di depan?” “Papa baru menyuruh mereka untuk melakukan sesuatu. Kenapa? Di dalam ada banyak pelayan, kau tinggal memanggil, bukan?” Teressa menggelengkan kepala, lalu masuk ke mobil yang telah disiapkan sopir. “Kalau mereka ada di depan, Nevan tidak mungkin berani menggangguku!” gerutu Hillary selagi masuk rumah, dan terpikirkan lagi wajah pria itu. Hillary menepuk pipi berulang-ulang ketika menginga
‘Aku ... bolehkah aku memikirkannya lebih dulu?’ Hillary menendang selimut, guling, dan bantal yang ada di ranjang ketika kata-katanya menggema dalam benak. Sudah dua kali dia berkata akan memikirkan ‘tawaran’ pria. Yang satu belum dijawab, satu lagi muncul secara tak terduga. Sialnya, hati Hillary juga berdebar-debar saat mengingat kata-kata Dion. Atau mungkin, efek dari mendengar kisah sedih pria itu?‘Baiklah. Aku tahu kalau kau masih harus memikirkan dengan matang sebelum memutuskan masa depanmu. Tapi, aku serius dengan ucapanku. Lalu, panggil aku dengan sebutan yang kukatakan tadi kalau kau siap menerimaku.’ Sejak mengenal cinta, tepatnya mengenal Richard yang pandai merayu, perasaan Hillary tak lagi kaku. Karena kegagalan cinta pertamanya, Hillary menginginkan sebuah cinta sejati dari lubuk hati yang terdalam. Kehadiran para pria yang akhir-akhir ini mendekati, dan bahkan menyatakan bahwa mereka ingin memiliki dirinya, membuat perasaan Hillary terombang-ambing. Tak elak, dia
Bibir Nevan semakin maju dan matanya terpejam. Menanti bibir kekasihnya datang menyambut. Bukankah biasanya seorang pria langsung mencium untuk mengejutkan kekasihnya? Akan tetapi, pria di depan Hillary itu justru menyodorkan bibir agar si wanita menciumnya lebih dulu! Rasa bersalah di hati Hillary pun langsung menguap. Dia mendorong kasar pundak Nevan yang terus mendekat padanya. “Kau benar-benar gila!” jerit Hillary seraya membuka mobil. Hillary menggebrak pintu mobil, lalu melangkah terburu-buru masuk ke halaman rumah. Nevan pun gegas mengejarnya. “Hillary Smith!” Nevan dengan mudah mengejar dan menangkap pergelangan tangan Hillary hingga tubuhnya memutar, lalu menabrak badan Nevan. “Argh!” pekik Hillary kaget. “Ya sudah kalau kau masih malu-malu menciumku. Sebagai gantinya ….” Untuk kedua kalinya, Nevan mengecup kening Hillary sebelum wanita itu bisa bereaksi. “Selamat malam, Sayang … semoga mimpi indah.” Nevan melepaskan tangan Hillary seraya berjalan mundur dan melambai
Matthew tersenyum miring dari dalam mobil. Tanpa menjawab Nevan, dia menjalankan mobil selagi menutup kaca. “Itu peringatan untukmu,” gumam Matt. Dari spion, dia bisa melihat Nevan berteriak memaki dirinya. Matthew sudah dua kali melihat perbuatan Nevan yang membuat darahnya mendidih. Setelah pulang dari kediaman orang tua Hillary kemarin, dia berputar balik untuk mengajak Hillary ke pesta yang diselenggarakan Asher secara langsung. Akan tetapi, dia justru melihat Nevan memeluk paksa dan mencium Hillary. Dari sudut pandangnya, Hillary terlihat seperti wanita yang teraniaya. Saat itu, Matt ingin keluar dan menghajar Nevan. Namun, dia mendapat panggilan telepon tak terduga dari ibunya yang masuk rumah sakit akibat darah tinggi. Matt terpaksa meninggalkan Hillary dan akan menghiburnya setelah ibunya membaik. Namun, saat dia datang di malam harinya, Matt lagi-lagi melihat kejadian yang hampir serupa. Nevan mencium kening Hillary untuk yang kedua kali!Dia marah besar oleh tindakan la
Nevan dan Matt hampir berkelahi lagi jika Asher tak menghampiri. Dari tempat duduk Asher, masih jelas terlihat jika mereka habis berkelahi. “Apa-apaan wajahmu itu, Matt?” tegur Asher. Asher tak mengkhawatirkan kondisi Matt maupun Nevan. Mereka berdua sudah dewasa. Kalau mereka masih ingin berkelahi, Asher justru akan menyediakan arena bertanding jika diperlukan. Tapi tidak sekarang. Tidak di saat Asher sedang merayakan kebahagiaan setelah melihat calon anak perempuannya di rahim Laura. “Saya terjatuh sebelum ke sini.” Matt gegas mengubah kata-katanya. Tak mungkin dia bicara seperti tadi di depan Asher. “Kau pikir aku bodoh? Kau berkelahi dengan Nevan?” Asher berdecak sebal. “Teruskan nanti setelah acaraku selesai. Jangan membuat keributan di sini,” tegasnya. Matt menunduk sopan. “Baik, Tuan Asher. Maafkan ketidaksopanan saya.” Kemudian dia melirik Nevan. ‘Lihatlah, hanya saya yang ditegur Tuan Asher. Artinya, dia hanya memperhatikanku,’ lanjut Matt dalam hati. “Kau juga, Nevan!