Adakah yang pernah jatuh cinta sampai lupa segalanya?
“Sebelum minta tolong pada orang yang tidak mengenalmu, bukankah kau harus memperkenalkan diri lebih dulu?” “Aku Cindy, kekasih mantan tunanganmu. Sebaiknya kita bicara secara langsung saja. Aku mohon ....” Cindy menangkup tangan di depan dada penuh permohonan. “Tidak kita bicara dari sini saja.” Alan kembali duduk di kursi balkon yang dekat dari penyekat. Alan selalu merasa dirinya memiliki masalah besar dengan kepribadiannya. Bukan hal yang buruk, tetapi cukup merepotkan. Dia tak bisa mengabaikan orang yang terlihat menyedihkan dan patut dikasihani. Cindy mengeluarkan air mata tanpa suara dan tiada henti. Dengan terpaksa, Alan mau mendengar wanita itu meski enggan. Namun, mereka hanya bicara dari balkon masing-masing. Alan juga ingin tahu, bagaimana bisa wanita itu mengenal dirinya? Sementara Alan baru saja pindah di apartemen itu. Dia pun tidak setiap waktu pulang ke sana. “Kau tiba-tiba memanggil namaku, sedangkan aku masih baru di sini. Dari mana kau tahu tentangku?” selidi
Rachel tercenung sambil menatap kosong Emma yang sedang menata bekal makan siang untuknya. Selama tinggal bersama Emma dan Theo dulu, dia selalu dibuatkan bekal makan siang dan uang saku meskipun selalu menolak. Emma sepertinya sedang belajar mengasuh anak dengan Rachel. Sama seperti Theo, yang meskipun sering membuat Rachel kesal, dia tetap memperlakukan Rachel seperti anaknya walau gadis itu sudah belasan tahun. Namun, bukan itu yang menjadikan gadis itu termenung sambil menghela napas berulang-ulang. Bayangkan saja jika pria yang dia sukai, ternyata memiliki sisi yang agak ... memalukan. Bagaimana mungkin pria dewasa seperti Alan masih mengompol? ‘Apa Kak Alan sakit?’ “Rachel, kau melamunkan apa dari tadi?” Emma membuyarkan lamunan Rachel. “Aku tidak melamun ....” Tak mungkin Rachel bertanya kepada Emma. Bisa-bisa Alan membenci dirinya karena menyebarkan aibnya. “Kalau ada masalah, ceritakan padaku. Apa kau gugup menanti nilai ujianmu?” Rachel tersenyum tanggung. “Tidak, Ka
Bola mata Dave bergetar saat membaca namanya yang biasa ada di daftar urutan teratas, kini bergeser di bawah nama Rachel. Dia membuka sedikit mulut hingga lupa menangkupkannya lagi. Rachel menatap iba teman sekaligus saingannya. “Maafkan aku, Dave. Kau sudah belajar keras, tetapi aku merebut posisimu.” Bukan itu masalah Dave saat ini. Tak masalah dia meraih peringkat kedua. Dia tak akan rugi apa pun, selama masih bisa diterima di universitas yang diinginkannya. Akan tetapi, rencana Dave menjerat Rachel akhirnya gagal. Mereka mungkin tak akan pernah bertemu lagi. Rachel mungkin akan kembali ke negaranya untuk melanjutkan kuliah. Dan yang lebih parah, Rachel bisa menikah dengan Alan, bahkan sebelum dirinya menunjukkan kesuksesan. Meski hari ini sangat cerah dengan langit biru di luar sana, tampaknya Dave tetap sedang mengalami mimpi buruk. Dia sangat kecewa dan merasa tak berdaya. “Dave, jangan menangis ....” Rachel menunjukkan ekspresi prihatin meski batinnya tertawa jahat. ‘Akhir
Menggantikan sang atasan yang masih di luar kota, Alan pergi ke perusahaan Hartley untuk mengurus kerja sama yang terjalin sejak lama. Alan biasanya menemui karyawan yang bertanggung jawab pada kerja sama perusahaan mereka. Namun, hari ini dia diundang langsung untuk menemui presiden direktur. Dia pun tak menyangka jika Laura yang duduk di kursi kebesaran, bukan Simon maupun Jake. “Asher mengizinkanmu bekerja? Lalu bagaimana dengan Claus dan Collin?” tanya Alan setelah menyesap kopi. Sejak lima tahun bekerja sama, baru pertama ini Alan disambut hangat hingga dijamu makanan dan minuman saat datang ke perusahaan Hartley. “Aku akan pulang sebelum makan siang dan Papa yang akan menggantikanku. Akhir-akhir ini, Papa sering sakit-sakitan.” “Paman Simon sakit apa?” Laura menghela napas. “Tidak tahu. Dadanya sering sakit. Waktu itu, aku sudah menemani Papa periksa lengkap di rumah sakit, tetapi tidak ada masalah kesehatan tertentu. Walaupun Papa pikir dia mengidap penyakit jantung, tapi
“Bukankah masa ujian sudah berakhir? Kau pasti punya banyak waktu luang.” Julian menatap Rachel prihatin. Rachel ingin sekali membungkam mulut pamannya. Tuduhan itu begitu jauh dari kenyataan. Dia hanya menyuruh orang mengamati Alan dan siapa saja wanita yang berhubungan dengannya. Tanpa sengaja, salah satu anak buah Rachel mengambil gambar Alan dan wanita bernama Cindy saat mereka berdiri di balkon. Rachel hanya menganalisa dari foto, di mana Cindy tampak menangis sambil bertatapan dengan Alan. Sejak mengetahui pertengkaran Alan dengan Hillary, Rachel dengan mudah menghubungkan situasi dan hubungan mereka. Namun, apa kata pamannya barusan? Berkunjung di apartemen Alan? Rachel juga mau, tetapi dia tidak akan pernah melakukannya sekarang. Meski tahu bahwa Alan pria lurus, Rachel tetap perlu waspada kepada pria dewasa. Kecuali saat di kediaman Ruiz, Pamela sungguh menyuruh Rachel membangunkan Alan. Ketertarikan Rachel kepada Alan belum dapat membuat Rachel seratus persen yakin bahwa
‘Kenapa situasinya jadi kacau seperti ini?’ batin Alan gugup hingga badannya keringat dingin. Alan Ruiz adalah pria yang pernah akan menghajar Asher Smith dan menantangnya demi Laura. Dia sudah terbiasa menghadapi Asher dan tak merasa gentar sedikit pun. Akan tetapi, pria yang kini duduk sambil menyesap kopi hitam dari cangkir mahal milik Pamela agak berbeda. Alan tak pernah sekali pun berurusan dengan Rangga Cakrawala dan tak begitu mengenalnya secara pribadi. Dia hanya pernah mendengar sosok Rangga dari beberapa orang di sekitarnya. Termasuk dari Pamela dan Emma yang selalu memuji Rangga. Namun, Alan mengesampingkan dua wanita yang hanya senang melihat wajah tampan itu. Konon, kata para pebisnis yang mengenal Rangga, pria itu sangat bengis dalam melawan para musuhnya. Dengan perangai yang tampak seperti air tenang, Rangga dapat menjadi ombak besar yang dapat menghanyutkan seluruh daratan ketika keluarganya terusik. Bahkan, Alan pernah mendengar dari temannya yang suka bergunjing
Di luar ruangan itu, Emma dan kedua orang tuanya turut mendengar pernyataan Alan yang mengguncang jiwa. Mereka terkejut bukan main. Tak ada yang pernah menyangka atau menduga bahwa Alan akan seberani itu. Bukan hanya itu saja. Kaki Pamela sampai lemas dan gemetaran hingga hampir jatuh jika Benjamin tak menangkap tubuhnya. “Jadi, kekasih yang Alan maksud adalah Rachel? Sejak kapan?” Pamela masih belum pulih dari keterkejutan. “Dasar, anak nakal itu! Bagaimana bisa dia ingin menjadikan Rachel sebagai istrinya? Apa dia tidak pernah bercermin!?” “Sabar, Mama ....” Benjamin pun tak dapat menanggapi sang istri dengan benar, kecuali menenangkannya. Tak ada yang tak terkejut oleh pengakuan Alan.“Aku ... tidak keberatan jika Rachel jadi adik iparku,” gumam Emma. Pamela menampar punggung Emma. “Apa kau juga kehilangan akalmu? Ibaratnya, Rachel masih bayi dan Alan sudah seperti kakek-kakek! Malangnya nasib Rachel kalau menjadi istri Alan!” Jadi, yang dikhawatirkan Pamela bukanlah putranya,
“Apa kau tahu yang Alan Ruiz katakan tadi? Dia dengan berani mengungkap perasaan cintanya, dan berniat menunggu Rachel hingga dewasa agar bisa menikahinya! Dia bahkan memanggilku ayah mertua! Kurang ajar sekali!” Rangga masih mengepalkan tangan dengan erat. Mengingat wajah Alan membuat dirinya ingin memukul sesuatu. “Wah ... aku tidak menyangka Alan orang yang sangat kotor pikirannya!” geram Asher. Asher membayangkan jika Alan sedang berencana menodai gadis suci. Pikiran buruknya tak terkendali setelah mendengar cerita Rangga. Kedua pria penguasa itu pun, akhirnya berangkat ke bandara sambil memaki Alan bersahut-sahutan. Baik Laura, Julian, dan Rachel hanya bisa saling memandang sarat makna. Asher maupun Rangga bukan pria yang banyak bicara, kecuali dengan istri mereka. Namun, saat menemukan teman sejenis dan sepemikiran, mereka bisa mengoceh panjang lebar, yang isinya hanya kemarahan pada Alan Ruiz. ‘Diam itu emas. Jangan melawan dua singa yang sedang mengamuk, apalagi mereka pu