Cuma satu orang yang percaya Asher, melamar di tengah malam 🌚
Emma yang baru menangis, terkejut mendengar keributan para pelayan. Bukan suara Theo tentunya. Tak mungkin suara pria itu sampai terdengar di kamar Emma. Alan yang masih berkutat dengan tenggat waktu pekerjaan pun juga mendengar keributan itu. “Ada apa di luar?!” geram Alan murka. Sementara itu, Pamela dan Benjamin yang sedang tanggung bercinta juga terganggu oleh pelayan mereka. “Cepat sedikit, Sayang ...,” desah Pamela menyemangati suaminya yang masih gagah di atas ranjang. Semua anggota Keluarga Ruiz keluar, termasuk Pamela yang masih membetulkan baju, dan Ben yang hanya mengenakan celana pendek. “Ribut-ribut apa kalian?!” bentak Alan. Terlihat wajah-wajah mengantuk para pelayan yang berkerumun di depan kamar Emma. Mereka takut mengganggu majikannya, tetapi juga terganggu oleh pria gila di luar sana. “Tuan Muda, ada yang membuat pesta di luar,” lapor salah satu pelayan. Emma keluar dari kamar paling terakhir karena harus membersihkan wajah dan sedikit merias. Dia tak mau oran
Keesokan harinya, Theo sudah datang lagi di rumah Emma. Dia menanti di ruang tamu dengan wajah tegang lantaran Benjamin ada di sana. Mereka saling diam karena tak tahu harus membahas apa. Benjamin bukan pria yang banyak bicara seperti istrinya, begitu pula dengan Theo. “Kenapa Emma lama sekali?” gumam Ben untuk yang kesekian kali. Jika bukan karena tak sengaja keluar di saat Theo datang, Ben pasti tidak akan menemui Theo sendiri tanpa Pamela. Karena sudah menerima Theo sebagai calon menantu, dia tak bisa mengabaikan kehadirannya. “Kau sudah makan?” tanya Ben. “Sudah ....” Theo pun bingung. Bagaimana dia harus memanggil Ben? Papa? Tapi ... dia belum resmi menjadi menantunya. Atau ‘Tuan Ben’ seperti biasanya? Sepertinya kurang pantas karena dia akan menjadi menantu Benjamin. Theo salah. Seharusnya dia minta saran kepada Asher terlebih dulu sebelum datang lagi di kediaman Ruiz. Dia hanya bisa mengingat-ingat cara Asher memanggil Simon, sebelum mengakui pria itu sebagai ayah mer
Setelah mencuci wajah, Emma kembali segar. Rasa gugupnya pun menghilang. Tergantikan oleh kantuk yang tiba-tiba kembali melanda. Dia segera melepaskan celana dan menyisakan celana pendek ketat di atas lutut agar tidurnya nyaman. Saat dirinya berbalik, Theo sudah berdiri di hadapannya. Emma terkesiap sampai mundur satu langkah. “Kau mengejutkanku!” Theo langsung membelit punggung Emma. Pipinya merona dan wajahnya terlihat lebih seksi oleh hasratnya. “Aku mau-” Theo menyatukan bibir mereka sebelum Emma selesai bicara. Dia membimbing Emma ke ranjang perlahan, lalu membaringkan bersama dirinya. Mereka berciuman cukup lama. Tangan Theo pun mulai menjelajahi tubuh Emma. Namun, gerakan di bibir Emma kian melemah. Hingga akhirnya berhenti membalas ciuman Theo. Theo membuka matanya. Dia menjauhkan bibirnya setelah sadar, Emma ternyata sudah terlelap. “Kau pasti sangat mengantuk,” gumam Theo, lalu mengecup kening Emma dengan lembut. Dia merapikan baju Emma dan memeluknya. Mengangkat kep
Pria yang dulu berwajah garang, temperamental, serta berpostur tinggi dan besar, kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Pria itulah yang pernah membuat Theo melalui hari-harinya seakan berada di neraka. Tangan yang dulu digunakan untuk memukul dan mencambuknya, kini hanya tersisa kulit dan tulang. Kurus dan rapuh. Manik di balik kelopak mata Bill Robinson bergerak-gerak, namun tak terbuka. Tangannya sesekali berkedut, tetapi tak bergerak. Apakah pria itu masih hidup? Atau hampir meninggalkan kehidupan? “Theo, perlukah memindahkannya ke kota kita? Supaya kita bisa merawatnya dari dekat,” tanya Emma lirih. Emma dapat memahami jika Theo membenci ayahnya. Akan tetapi, Emma merasa sangat iba melihat kondisinya. Biar bagaimanapun, pria itu adalah orang tua Theo. Seperti Simon, Emma yakin, pria itu masih menyisakan rasa sayang kepada putranya. Apalagi, dengan keadaan Bill yang sekarang. Siapa lagi kalau bukan Theo yang merawatnya? “Dia mungkin sudah menikah lagi.” Saat Th
“Tuan Asher yang membiayai pengobatan orang itu?” Theo setengah tak percaya oleh penuturan Emma. Sebab, Theo tak pernah membicarakan masalah pribadinya kepada Asher. “Asher mungkin hanya sok tahu seperti dugaanmu.” Emma berkata seperti itu karena dia tahu betul, Theo tak akan pernah meragukan Asher. “Sejak beberapa bulan lalu, dia memberikan banyak bantuan pada papamu. Dia juga mengutus bawahannya untuk menjenguk ke rumah sakit seminggu sekali,” lanjut Emma. “Itu ... benarkah?” Emma mengangguk. “Asher juga mengirim foto-fotomu atas permintaan papamu. Katanya, papamu pernah beberapa kali mengobrol dengan Asher di telepon.” Theo mendekap kepala Emma ke dadanya supaya tak melihat ekspresi wajahnya sekarang. “Kita harus segera pulang. Aku ingin bertanya langsung kepada Tuan Asher.” Emma mendengar degup jantung Theo meningkat. Mungkin, Theo tergerak oleh perbuatan baik Asher pada ayahnya. “Asher mengira jika kau akan mengajak papamu berobat di kota kita supaya bisa menghadiri pernika
Sampai di kediaman Ruiz, Emma dan Theo segera menyampaikan keinginan mereka. Tentu saja, keluarga Emma tak lantas setuju dengan acara pernikahan dadakan itu. “Apa?! Dua minggu lagi?!” seru Pamela. “Tidak bisa! Pernikahanmu harus dipersiapkan sebaik mungkin!” “Tapi-” Pamela menyela Emma, “Kami merestuimu, bukan berarti kau akan menikah secepat ini! Enam bulan atau setahun kemudian, setelah Alan menikah, Sayang ....” Emma melirik sinis ke arah kakaknya. Alan tidak benar-benar ingin menikah dengan Hillary. Hillary pun juga tak tertarik dengan Alan. Mereka masih berhubungan hanya karena kerja sama perusahaan semata. Tak ada pembicaraan tentang pertunangan atau pernikahan lagi walaupun mereka selalu tampil berdua di setiap acara. “Kau tidak hamil, bukan?” geram Benjamin. “Tidak, Papa! Kami belum pernah melakukan itu!” sanggah Emma dengan meninggikan suara. “Aku bahkan belum jadi menikah dan kau ingin melangkahiku?” Alan juga tak setuju adiknya menikah cepat. Emma tampak sangat muru
“Kupikir, kau akan patah hati,” ujar Ariana di dekat Jake. Jake memutar kepala ke arah datangnya suara. “Maksudmu? Kenapa aku harus patah hati?” “Bukankah kau juga melamar Emma?” Meskipun tersenyum, hati Ariana terasa pedih. Jake tiba-tiba hadir untuk menunjukkan wajah asli Vincent. Dalam prosesnya, Ariana mendapatkan rayuan dari pria itu. Setelah Vincent di penjara, Jake tak pernah lagi menghubungi dirinya. Ariana memiliki firasat bahwa Jake hanya memanfaatkan dirinya. Akan tetapi, dia membantah kata hatinya. Ariana mencoba berpikir positif. Jake benar-benar sibuk waktu itu. Ditambah lagi, Jake memindahkan kantor pusat di kotanya. Dia tak berani mengganggunya. Namun ternyata, dia mendengar jika Jake melamar Emma dari Asher beberapa hari lalu. Betapa memalukan ... Dia bahkan telah memberi kode kepada Joanna bahwa dirinya menyukai Jake. “Oh, itu ... aku tiba-tiba ingin memiliki istri saat itu,” dusta Jake, yang sebenarnya hanya ingin menjaga Emma untuk Laura. Entah mengapa, Jak
“Shhh ... sebentar lagi.” Theo kesulitan menembus mahkota istrinya. Dia mencoba berulang-ulang, tetapi selalu gagal. Emma sampai menangis karena merasakan sakit yang sangat luar biasa. Dia ingin menolak, tetapi tak tega karena Theo sudah menunggu dan menahan diri cukup lama. “Kau baik-baik saja?” Theo mengusap rambut Emma yang basah karena keringat. Emma mengangguk sambil mengusap air mata. “Tidak apa-apa, lanjutkan saja.” “Tidak. Kau kesakitan seperti ini. Maafkan aku.” Theo lantas melanjutkan aktivitas panas mereka dengan cara seperti sebelumnya, tanpa melakukan penyatuan. Meskipun Emma mengatakan baik-baik saja. Namun, dari raut mukanya, Theo tahu jika Emma kesulitan. “Maaf, Theo, aku tidak becus menjadi istrimu,” bisik Emma penuh penyesalan. “Kau sudah menyiapkan tempat yang indah, tetapi aku tidak bisa memuaskanmu.” “Kenapa kau harus minta maaf? Waktu kita masih panjang. Aku sudah puas dengan pelayananmu tanpa harus menyakitimu.” “Tidurlah. Besok siang, kita harus segera