Nah ... malu 🥹
“Apa yang kau bilang barusan?!” Emma sangat terkejut. Emma tak mengira jika wanita itu bukan kekasih Theo. Dia ingin tahu lebih banyak tentang kejadian di malam yang membuatnya patah hati. “Yang mana? Theo yang mendorong wanita atau aku yang terkejut karena tahu Theo punya kekasih?” Rick terkekeh pelan. Pria itu tak bisa serius jika tak menyangkut pekerjaan. “Kejadian waktu kau dan Theo di bar! Ceritakan lebih banyak lagi,” desak Emma menggebu-gebu. Rick terlihat berpikir keras, seakan-akan sedang mengingat kejadian itu. “Hmm, aku sedikit lupa. Mungkin, kalau kau mau berkencan denganku, aku akan segera mengingatnya.” “Aku serius, Rick! Cepat katakan padaku!” Emma mengguncang lengan Rick, menatapnya penuh permohonan. Rick justru semakin ingin menggoda Emma. Gara-gara Jake yang katanya ingin menikahi Emma, dia harus mundur teratur dari usahanya mendapatkan istri idaman. “Aku benar-benar lupa.” Rick menepuk-nepuk kening menggunakan telunjuk. “Coba cium dulu. Biasanya otakku akan be
“Wanita liar?” Emma ternganga tak percaya. Bisa-bisanya Pamela berkata seperti itu! “Kau marah? Memang itulah yang kau lakukan diam-diam di belakang kami. Entah siapa pun pria itu, dia seharusnya datang baik-baik jika ingin bersamamu, bukan malah memintamu untuk tinggal dengannya,” balas Pamela. Emma menghela napas pelan. Orang tuanya ternyata belum tahu tentang Theo. Dia tak ingin membebani Theo setelah dirinya sendiri melakukan hal yang tercela padanya. “Kasusmu berbeda dengan Laura, Sayang. Kau dan pria itu secara sadar bermalam bersama beberapa kali. Bagaimana jika kau sampai mengandung dan dia malah meninggalkanmu? Tidak semua orang bisa bertanggung jawab seperti Asher. Terlebih lagi, pria itu tidak berani mendatangi kami,” lanjut Pamela. “Mama! Aku tidak pernah melakukan di luar batas dengan pria mana pun! Kenapa Mama tega merendahkanku seperti ini?” Emma berusaha tak meninggikan suara agar tidak menarik perhatian orang lain. Dia tak berbohong. Meskipun kerap berpelukan dan
“A-ada apa?” Emma terkejut, Theo tiba-tiba duduk di sebelahnya dengan tatapan aneh. “Kau ....” Sangat sulit bagi Theo untuk mengatakan maksudnya. Dia tak pandai bicara, apalagi menyangkut cinta. Mereka saling terdiam dalam tatapan yang sulit diartikan. Emma sesekali melirik jam tangan, tak ingin kehilangan kesempatan untuk mengakui kesalahannya. Namun, tak ada yang keluar dari mulut Emma. Dia mengakui bahwa dirinya pengecut. Tak bisa jujur kepada pria di hadapannya. Dan waktu pun terkikis oleh telepon dari Rick tadi. Waktu mereka hanya tersisa kurang dari lima menit. Emma tak bisa menjelaskan rasa bersalahnya secepat itu. “Kapan kau akan menikah dengan Jake? Tuan Asher menyuruhku untuk membantu persiapan pernikahan kalian,” pancing Theo. Pertanyaan Theo seolah memojokkan Emma. Dia harus terus menipunya, atau langsung mengatakan yang sesungguhnya? “Kami menunda rencana pernikahan kami.” Sialnya, Emma terlalu malu untuk mengakuinya sekarang. Apalagi, Theo menatap tajam dirinya. “
Theo meneguk ludah bulat-bulat. “M-Menikah?” Emma menautkan alis. ‘Kenapa Theo sepertinya tidak senang saat aku memintanya menikahiku?’ Apakah perkataan Jake benar jika Theo hanya bermain-main dengannya? Atau dia terkejut karena sangat senang mendengar perintahnya? Apa pun alasan Theo memasang ekspresi yang tak biasa itu, membuat Emma sangat malu. Sebab, Theo tak menanggapi sesuai bayangan Emma. Mereka lama terdiam. Emma masih menduga-duga yang dipikir Theo sekarang, sementara Theo bimbang dengan permintaan Emma yang begitu tiba-tiba. “Kau tidak mau menurutiku?” Emma menatap Theo penuh luka. “Kalau begitu, hari ini mungkin terakhir kali aku akan menemuimu secara pribadi.” Theo masih dalam masa keterkejutan ketika Emma beranjak pergi. “Tunggu!” Dia menarik Emma kembali duduk di sampingnya. “Aku ....” Theo susah payah menelan ludahnya. Dia tak tahu apa yang harus dikatakan. Untuk menikah, Theo belum berani. Bagaimana jika dia tak akan bisa membahagiakan Emma? Bagaimana jika dia m
Emma yang baru menangis, terkejut mendengar keributan para pelayan. Bukan suara Theo tentunya. Tak mungkin suara pria itu sampai terdengar di kamar Emma. Alan yang masih berkutat dengan tenggat waktu pekerjaan pun juga mendengar keributan itu. “Ada apa di luar?!” geram Alan murka. Sementara itu, Pamela dan Benjamin yang sedang tanggung bercinta juga terganggu oleh pelayan mereka. “Cepat sedikit, Sayang ...,” desah Pamela menyemangati suaminya yang masih gagah di atas ranjang. Semua anggota Keluarga Ruiz keluar, termasuk Pamela yang masih membetulkan baju, dan Ben yang hanya mengenakan celana pendek. “Ribut-ribut apa kalian?!” bentak Alan. Terlihat wajah-wajah mengantuk para pelayan yang berkerumun di depan kamar Emma. Mereka takut mengganggu majikannya, tetapi juga terganggu oleh pria gila di luar sana. “Tuan Muda, ada yang membuat pesta di luar,” lapor salah satu pelayan. Emma keluar dari kamar paling terakhir karena harus membersihkan wajah dan sedikit merias. Dia tak mau oran
Keesokan harinya, Theo sudah datang lagi di rumah Emma. Dia menanti di ruang tamu dengan wajah tegang lantaran Benjamin ada di sana. Mereka saling diam karena tak tahu harus membahas apa. Benjamin bukan pria yang banyak bicara seperti istrinya, begitu pula dengan Theo. “Kenapa Emma lama sekali?” gumam Ben untuk yang kesekian kali. Jika bukan karena tak sengaja keluar di saat Theo datang, Ben pasti tidak akan menemui Theo sendiri tanpa Pamela. Karena sudah menerima Theo sebagai calon menantu, dia tak bisa mengabaikan kehadirannya. “Kau sudah makan?” tanya Ben. “Sudah ....” Theo pun bingung. Bagaimana dia harus memanggil Ben? Papa? Tapi ... dia belum resmi menjadi menantunya. Atau ‘Tuan Ben’ seperti biasanya? Sepertinya kurang pantas karena dia akan menjadi menantu Benjamin. Theo salah. Seharusnya dia minta saran kepada Asher terlebih dulu sebelum datang lagi di kediaman Ruiz. Dia hanya bisa mengingat-ingat cara Asher memanggil Simon, sebelum mengakui pria itu sebagai ayah mer
Setelah mencuci wajah, Emma kembali segar. Rasa gugupnya pun menghilang. Tergantikan oleh kantuk yang tiba-tiba kembali melanda. Dia segera melepaskan celana dan menyisakan celana pendek ketat di atas lutut agar tidurnya nyaman. Saat dirinya berbalik, Theo sudah berdiri di hadapannya. Emma terkesiap sampai mundur satu langkah. “Kau mengejutkanku!” Theo langsung membelit punggung Emma. Pipinya merona dan wajahnya terlihat lebih seksi oleh hasratnya. “Aku mau-” Theo menyatukan bibir mereka sebelum Emma selesai bicara. Dia membimbing Emma ke ranjang perlahan, lalu membaringkan bersama dirinya. Mereka berciuman cukup lama. Tangan Theo pun mulai menjelajahi tubuh Emma. Namun, gerakan di bibir Emma kian melemah. Hingga akhirnya berhenti membalas ciuman Theo. Theo membuka matanya. Dia menjauhkan bibirnya setelah sadar, Emma ternyata sudah terlelap. “Kau pasti sangat mengantuk,” gumam Theo, lalu mengecup kening Emma dengan lembut. Dia merapikan baju Emma dan memeluknya. Mengangkat kep
Pria yang dulu berwajah garang, temperamental, serta berpostur tinggi dan besar, kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Pria itulah yang pernah membuat Theo melalui hari-harinya seakan berada di neraka. Tangan yang dulu digunakan untuk memukul dan mencambuknya, kini hanya tersisa kulit dan tulang. Kurus dan rapuh. Manik di balik kelopak mata Bill Robinson bergerak-gerak, namun tak terbuka. Tangannya sesekali berkedut, tetapi tak bergerak. Apakah pria itu masih hidup? Atau hampir meninggalkan kehidupan? “Theo, perlukah memindahkannya ke kota kita? Supaya kita bisa merawatnya dari dekat,” tanya Emma lirih. Emma dapat memahami jika Theo membenci ayahnya. Akan tetapi, Emma merasa sangat iba melihat kondisinya. Biar bagaimanapun, pria itu adalah orang tua Theo. Seperti Simon, Emma yakin, pria itu masih menyisakan rasa sayang kepada putranya. Apalagi, dengan keadaan Bill yang sekarang. Siapa lagi kalau bukan Theo yang merawatnya? “Dia mungkin sudah menikah lagi.” Saat Th