FRANCESCA
OPERA HOUSE
La Fenice Opera House. Gedung pertunjukan mewah itu terisi penuh. Para pengunjung datang dengan menggunakan pakaian indah dan mewah. Mereka bersikap sangat anggun dan tampak berkelas.
Disalah satu balkoni yang paling besar di lantai atas, tempat dimana dua orang pria bernama Enrico dan Leonardo sedang menikmati acara, pria gagah nan rupawan yang ditemani empat orang wanita cantik dengan penampilan yang memukau. Kedua orang pria itu tampak sangat menyukai pertunjukan hari ini, menikmati simfoni musik dengan sepenuh hati.
Wajah kedua pria itu sanggup membuat setiap wanita yang melihatnya tak mampu memalingkan wajah, meskipun demikian mereka berbeda karakter. Seorang yang berperawakan lebih tinggi memiliki wajah dan sorot mata sangat dingin. Berbeda dengan pria di sebelahnya, yang selalu tersenyum sambil memeluk wanita-wanita di sisinya
"Gadis itu! Dia mirip seseorang!"
Tepat saat pertunjukan tunggal dari seorang gadis pemain biola dimulai. Pria berwajah dingin dengan garis rahang persegi yang sangat kokoh, membuat gerakan tiba-tiba. Dia duduk dengan tegak, mendorong kasar wanita yang menempel pada dirinya. Pria itu mengambil kacamata teropong untuk melihat dengan lebih jelas.
"Ada apa Enrico, apa kau tertarik dengan pemain biola itu?" tanya pria di sampingnya dengan menyeringai lebar.
Pria bernama Enrico, memberikan kacamata teropong kepada pria di sampingnya. Pria itu mengambilnya dengan antusias sambil tersenyum lebar. Dia memperhatikan Francesca yang sedang menggesek biola dengan sangat lincah.
"Gadis yang sangat cantik dan masih tampak polos," jawab pemuda itu setelah memandang Francesca lewat kacamata teropong.
"Leonardo! Perhatikan baik-baik, apakah kau sudah lupa dengan wajah itu?" tanya Enrico dengan suara dingin dan mata tajam menusuk.
Leonardo terdiam. Sekali lagi dia memastikan penglihatannya. Dia memperhatikan Francesca dengan sungguh-sungguh. Diperhatikannya gadis itu dengan lebih teliti.
Leonardo berusaha memasangkan gambaran wajah Francesca dengan memori dalam otaknya. Ingatan masa kecil untuk rupa wanita yang sama
"Apakah dia ...." Leonardo meletakan kacamata teropongnya dan menatap ke arah Enrico dengan mata penuh tanda tanya.
"Iya. Dia sangat mirip dengan wanita itu."
Suara Enrico ditekan sedemikian rupa. Dia berusaha mengendalikan emosi yang menyambar dalam dirinya. Berusaha mengendalikan keinginan untuk menghampiri gadis itu. Enrico mencengkeram bahu sofa dengan keras.
"Signor ...." Suara lembut seorang wanita memanggilnya dan menepuk telapak tangan Enrico. Sedangkan gadis satunya segera memijat bahu Enrico, ketika melihat wajah tampan dingin itu berubah menjadi sangat tegang.
Pandangan mata biru yang dingin dan tajam itu tak dapat beralih dari gadis pemain biola tersebut. Gerakan tubuhnya yang berayun lembut, senyuman indah dari wajah yang cantik, mengingatkan Enrico akan wanita di masa lalu.
Pertunjukan mewah itu dipenuhi oleh Signore dan Signorita yang mengenakan gaun luar biasa mahal, karya perancang ternama. Mereka seakan berlomba-lomba memamerkan kecantikan yang dibalut dengan kemewahan.
Acara ini memang sangat tepat untuk ajang memamerkan kekayaan dan kemakmuran dari pasangan mereka, juga tingkat status sosial keterpandangan keluarga.
Ruangan itu di dominasi warna senada di dinding dan lantai yaitu warna kuning keemasan. Kursi-kursi yang berjajar rapi berwarna merah darah. Sungguh nampak sangat indah bagaikan gambaran burung Phoenix. Burung legendaris yang terkenal dengan kecantikannya.
Balkoni mewah, tempat para bangsawan menonton pun terisi penuh. Balkoni-balkoni yang digunakan oleh kaum elit ini, adalah ruangan khusus, agar mereka bisa menikmati pertunjukan dengan lebih privasi.
Ketika tirai pertunjukan terbuka, Francesca memandang kagum pada gedung opera mewah itu. Lampu-lampu yang menyala dengan terang, membuat suasana menjadi lebih mewah. Jantungnya berdegup kencang. Dia merasa sangat bahagia sekali, berada di gedung opera ternama ini. Impian masa kecilnya terkabul.
Saat ini, ditengah rombongan Orkestra kelas dunia, dengan memegang biola, Francesca akan memeriahkan gedung pertunjukan ini melalui lantunan musik indah, gesekan nada pada biola kesayangannya.
Ini pertama kali bagi dirinya, bisa bermain musik dalam salah satu gedung opera terkenal di dunia. Berada di tengah-tengah grup pemain musik dunia. Suatu kebanggaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kebahagiaan itu terpancar jelas melalui expressi dan hembusan nafasnya.
Gadis itu sangat bersyukur mendapatkan kesempatan luar biasa ini, meskipun tidak satupun dari keluarganya yang bisa hadir berbagi kebahagiaan dengan dirinya. Ini memang keinginannya sendiri untuk mengikuti rangkaian pertunjukan musik bersama group orkestra tersebut.
Konduktor musik mulai memberikan intro. Francesca dengan tersenyum bahagia memainkan bagiannya. Dia mencintai biola sejak kecil. Beruntung sekali seluruh anggota keluarga sangat mendukung dirinya. Tak satupun yang memaksa dirinya untuk terjun dalam dunia bisnis.
Hari ini lebih istimewa lagi, karena ada beberapa kesempatan di mana Francesca akan bermain biola secara tunggal, tampil di tengah panggung. Ini artinya pimpinan musik sangat menghargai talenta yang dia miliki.
Lampu sorot yang mengarah pada Francesca, sempat membuat gadis itu gugup, namun dalam sekali hembusan nafas, kegugupan itu berubah menjadi senyuman dan permainan lincahnya
Kembali Enrico menyambar kacamata teropong dari tangan Leonardo. Memastikan sekali lagi penglihatannya. Dia harus benar-benar yakin, jika gadis pemain biola itu adalah wanita yang dia maksud. Dia tidak boleh salah langkah.
"Aku yakin sekali dia adalah wanita itu," desis Enrico.
"Tapi ... gadis itu tampak lebih muda," bantah Leonardo ragu.
"Kau tahu bagaimana wanita itu menyukai uang. Dia pasti sudah melakukan operasi wajah," balas Enrico dengan yakin.
Leonardo memandang Enrico ragu. Tampak sekali jika saudaranya ini, benar-benar dibutakan oleh perasaan terhadap wanita itu. Wanita yang berperan sangat besar dalam perubahan hidup meŕeka.
Bagaimana mungkin dia yakin gadis pemain biola itu, adalah wanita yang sama dengan wanita di masa lalunya. Mereka tampak sekali beda generasi.
"Aku akan memerintahkan Devonte untuk mencari tahu tentang gadis itu, sebelum kau mendekatinya."
Leonardo melambaikan jari telunjuk dan tengah pada seorang pengawal di belakangnya. Dengan sigap pengawal itu mendekati Leonardo.
Pria muda itu kemudian membisikan sesuatu sambil menyerahkan kacamata teropong, agar Devonte dapat melihat dengan jelas, gadis yang dimaksudkan.
"Si, Signore," angguk Devonte memahami tugasnya.
"Ingat! Sebelum pertunjukan ini berakhir kau harus menemukan semua info detail tentang gadis itu. Jangan sampai terlewatkan!" perintah Leonardo dengan tegas.
Devonte mengangguk, dia meninggalkan ruangan setelah sebelumnya memberi tanda pada anak buahnya untuk menggantikan posisinya. Devonte kemudian turun ke bagian belakang panggung, dia harus tahu paling tidak nama gadis itu, sebelum meretas riwayat hidup gadis itu dengan detail.
"Tenangkan dirimu, Kakak. Dalam satu jam, kita akan tahu siapa gadis itu," kata Leonardo.
Enrico tidak menjawab. Dia kembali diam membisu. Pandangannya lurus menatap pada panggung opera. Francesca kini sudah duduk kembali bergabung dengan pemusik lainnya, berganti dengan penyanyi seriosa yang sangat populer.
Enrico bahkan tidak menghiraukan kedua wanita cantik yang melayani dirinya. Wanita itu tersenyum lembut sambil menempelkan tubuh mereka pada Enrico. Aroma harum dan belahan dada yang sangat rendah, tidak memikat Enrico untuk menyentuh atau sekedar meliriknya.
Matanya tetap menyorot dingin pada gadis yang memegang biola itu. Dia yakin sekali jika saja wanita itu bukanlah wanita yang sama yang dia cari dan dikabarkan telah meninggal, maka gadis itu pasti salah satu relatif atau keturunannya. Dan Enrico tidak akan membiarkan gadis itu lolos begitu saja.
Dalam waktu kurang dari satu jam, Devonte sudah kembali, dengan membawa berkas laporan. Melihat kedatangan Devonte, Enrico memerintahkan keempat wanita dalam ruangan untuk keluar.
Informasi yang dibawakan oleh Devonte dia anggap sangat penting dan rahasia. Terlalu banyak orang tak berguna yang tahu, akan menimbulkan kecurigaan. Meskipun mulut wanita-wanita tadi bisa disumpal dengan uang.
"Katakan!" perintah Enrico pada Devonte tidak sabar.
"Namanya Francesca Knight. Gadis muda berusia dua puluh tahun. Anak dari pasangan Andrew Knight dan Diana Stevani. Andrew adalah seorang pengusaha kapal pesiar di Miami sedangkan Diana adalah wanita keturunan Asia. Francesca adalah anak kedua dari enam bersaudara." Davonte membacakan laporannya.
"Sudah aku duga dia bukan wanita yang sama," ujar Leonardo dengan yakin.
"Tidak mungkin! Aku masih mengingat jelas wanita itu. Dan dia sangat mirip," bantah Enrico.
"Kau terlalu terobsesi pada wanita itu, Kakak. Dia sudah meninggal."
Enrico mendengus tidak percaya jika perasaannya salah.
"Tuan ... ada lagi," Davonte menyela perdebatan di antara Enrico dan Leonardo.
Pandangan mata dingin dan menusuk Enrico membuat Davonte segera melanjutkan keterangannya yang terputus.
"Saya rasa, gadis itu bukan anak kandung dari pasangan Andrew dan Diana."
"Bagaimana kau yakin?"
"Usia anak kedua dan ketiga terlalu dekat, mereka hanya selisih delapan bulan." Devonte menjelaskan.
"Bisa saja kan anak ketiga lahir prematur?" Kata Leonardo dengan ringan.
"Itu ...."
"Lanjutkan Devonte!" perintah Enrico.
"Ini Tuan," Devonte menyerahkan beberapa lembar kertas yang berada di bawah laporannya pada Enrico. Dengan sigap Enrico melihat kertas itu. Disana adalah foto-foto keluarga Andrew Knight bersama dengan keenam anak-anaknya.
"Maksudmu dengan foto ini?" Leonardo tidak mengerti dengan apa yang dia lihat.
"Francesca tidak mirip salah satu dari mereka," ujar Enrico tegas sambil menyeringai dingin.
"Coba lihat." Leonardo mengambil foto yang dicetak di beberapa lembar kertas. Dia memperhatikan dengan seksama. Keluarga itu memang pernikahan antara Amerika dan Asia. Tapi meskipun dicocokan dengan Andrew Knight sang kepala keluarga, Francesca tidak mirip.
"Ini ...." Leonardo tidak bisa berkata-kata lagi.
"Ini artinya dugaanku ada kemungkinan sembilan puluh sembilan persen benar."
"Bisa saja dia mirip dengan keluarga lainnya."
"Mungkin. Tapi aku lebih yakin jika perasaanku mengatakan kebenaran."
"Apa yang akan kau lakukan pada gadis itu?" kening Leonardo berkerut.
"Tentu saja aku akan membawanya kembali denganku. Dia harus menerima hukuman yang selama ini aku rencanakan."
"Bagaimana caranya? Bagaimana jika dugaanmu salah? Bagaimana jika gadis itu tidak ada sangkut pautnya dengan wanita itu?"
"Devonte! Kau masih punya waktu dua puluh empat jam untuk mencari informasi tambahan, sebelum mereka semua berangkat ke negara lain," ujar Enrico dengan tegas.
"Setelah pertunjukan ini selesai, bawa gadis itu kemari! Aku ingin melihatnya dengan jelas," perintah Enrico lagi.
"Kau benar-benar terobsesi dengan wanita itu." Leonardo menggelengkan kepalanya.
Mereka kembali menatap ke arah panggung pertunjukan. Dan tampaknya pertunjukan sudah selesai. Saat yang dinantikan Enrico sudah tiba.
Meskipun dia yakin sekali, jika Francesca adalah wanita yang sama yang dia cari selama ini, tetapi menatapnya lebih dekat akan membantu Leonardo yakin, jika dugaannya benar.
Enrico mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompet. Memandang dengan mata dingin dan menyeringai menakutkan, ke arah foto yang ada dalam genggaman tangannya.
Ia kemudian memberikan foto itu kepada Leonardo, membuat pria yang lebih muda darinya melihat dengan dahi berkerut.
"Mereka memang mirip."
*******
Kisah ini adalah sequel dari kisah Novel Hidupku Bersama CEO.
Cek i* taurusdi_author untuk karya lainnya
FRANCESCA EPISODE 2 "Hmm ... ehh ... mommy ... dingin mom ...." gadis cantik itu meringkuk dalam tidurnya. Dia menekuk kedua kaki hingga ke perut dan mendekap erat dengan kedua tangan mungilnya, bagaikan posisi janin dalam kandungan. Namun sayang sekali hal tersebut tidak mengurangi rasa dingin yang dia rasakan. Tidak ada angin yang berhembus, namun udara terasa dingin menusuk tulang. Gadis itu semakin mempererat pelukannya. Matanya masih terpejam dengan erat. Rasa dingin yang menusuk tulang, tak mampu menggugah rasa kantuk yang begitu kuat dia rasakan. Matanya terpejam dengan rapat sementara bibirnya tak berhenti mengigau, memanggil ibunya. Bibirnya mulai membiru, giginya bergemala
EPISODE 2 KABUR ❤❤❤ Francesca menengadahkan wajahnya, ketika mendengar suara kunci membuka pintu. Tampaknya dia tidak sendirian di tempat ini. Di balik pintu itu, ada seseorang yang mungkin mengetahui bagaimana dia berada di tempat ini. Sorot mata gadis itu penuh harap memandang pintu yang mulai terbuka perlahan. Dengan secepat kilat, Francesca turun dari tempat tidurnya berlari mendekati pintu. Hatinya sudah dipenuhi dengan rencana. Dia akan menerobos keluar dari ruangan pengap ini, begitu pintu terbuka.
Gadis itu berlari menuruni tangga yang melingkar dengan cepat. Dia tidak memperhatikan jika selain kamar pengap yang dia tempati sebelumnya, ruangan di luar sangat mewah.Tangga batu yang dia turuni dari atas menara berubah menjadi marmer indah di lantai selanjutnya. Anak tangga yang saat ini dia turuni dengan cepat tersebut terbuat dari marmer Italily kualitas nomor satu. Pikirannya hanya tertuju pada akhir dari anak tangga, yang ingin segera dicapainya, agar dapat menemukan jalan keluar. Pergi jauh dari rumah dan pria sakit jiwa itu. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, khawatir jiia pria itu menyusul sebelum dirinya sempat menyentuh anak tangga. Suara teriakan marah dari Enrico membuat Francesca gugup. Gadis itu terkejut mendengar langkah kaki yang cepat menuruni tangga, hingga disaat anak tangga terakhir dia capai
Gadis itu masih terdiam kaku untuk sesaat. Kakinya terasa tak bertenaga dan sukar digerakan. Apalagi hawa dingin yang teramat sangat, membuat aliran darah menjadi sedikit lambat mengaliri kakinya. Sesaat kemudian ... dia merasakan otot-otot tubuhnya sudah mulai melemas dan bisa bergerak. Francesca berusaha menopang tubuhnya yang gemetaran oleh rasa dingin dan takut. Dia adalah gadis yang tumbuh di daerah panas. Hawa dingin 5°C ini terasa sangat membekukan bagi tubuh mungilnya. Francesca dengan sisa kekuatan melihat ke sisi tempat tidur, mencari kain tipis yang sebelumnya menutupi tubuh. Rasa lapar dan haus mengalahkan rasa lelah dan dingin yang dia rasakan. Kain tipis itu tak mampu membantu mengusir hawa dingin yang dia rasakan. Apalagi dinding-dinding batu
Malam sudah bergulir diterpa oleh cahaya mentari pagi. Kegelapan sirna digantikan dengan terang. Udara dingin sedikit demi sedikit mulai menghangat akibat sinar matahari yang muncul di ufuk timur. Suara deburan air laut terdengar samar-samar. Alam semesta tampak begitu indah. Enrico terbangun dengan tubuh segar dan perasaan bahagia. Dia membuka jendela dan memandang deburan air laut sambil tersenyum lebar. Hembusan angin laut yang dingin dan kering, dia terima dengan sukacita. Hari ini, dia akan melemparkan sebuah kenyataan kepada Fransisca. Enrico tertawa membayangkan raut wajah gadis cantik itu jika membaca berkas yang dia terima. Tentu saja dia pasti akan shock. Semua ini bermula dengan pertemuan pertamanya dengan Francesca di gedung Opera. Pertemuan itu menguak luka masa lalu dan membuat bara dendam muncul kembali. Enrico mul
Francesca meringkuk menahan lapar dan dingin yang semakin menusuk. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan hawa yang dingin. Udara dingin menusuk meskipun tidak ada salju. Francesca yang dibesarkan di udara pantai yang tropis, membuatnya kesulitan beradaptasi dengan dingin. Sudah tiga hari dia kelaparan. Hanya air payau dan segelas teh hangat di pagi hari yang membuat gadis itu bertahan. Matanya lapar tertuju pada seonggok roti yang ada dilantai. Roti yang sudah mulai berjamur dan kotor. Dia sengaja membiarkan roti itu tetap di lantai. Supaya Enrico tidak menghina dirinya dengan menuduh menikmati makanan sampah. Dalam keadaan kelaparan pun, harga diri tetap di junjung tinggi. Sepanjang hari yang dapat dia lakukan hanyalah menggesek biola dan memanjatkan doa. Francesca yakin Tuhan itu ada. Seperti
Gadis malang itu terbaring lemah diatas tempat tidur. Wajahnya sudah mulai berwarna, tidak sepucat seperti beberapa hari sebelumnya. Cairan infus itu tampaknya berhasil memberikan asupan makanan dalam tubuhnya. Sudah dua hari Francesca tidak sadarkan diri. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Setiap hari seorang pelayan membersihkan tubuh gadis itu dan mengoleskan air madu di bibir Francesca yang pecah-pecah. Kini bibirnya merona alami kembali. Tuhan itu memang ada. Dia mendengarkan jeritan hati dan doa Francesca, dengan mengirimkan Leonardo untuk menyelamatkan gadis itu. Setidaknya saat ini gadis malang yang masih terbaring lemah, sudah berada di ruangan yang lebih baik dan mendapatkan perawatan. Hampir setiap saat setelah kembali dari lada
Gemercik suara air dari pancuran, mengguyur tubuh Francesca. Ini air hangat pertama yang dia rasakan mengaliri kulitnya, setelah tujuh hari terkurung di kediaman Enrico. Francesca menikmati aliran air yang membasuh tubuhnya dengan penuh syukur. Sudah tujuh hari, gadis cantik itu tidak mandi. Tubuhnya yang berangsur membaik, membuat dia memaksakan diri untuk mandi. Francesca menggosok seluruh tubuh, membuang kulit kering yang sudah mulai mengelupas. Hawa dingin di pulau ini membuat kulitnya menjadi kering.Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dibawah aliran air hangat, Francesca mengeringkan tubuhnya. Dia mengenakan bathrobe sebelum keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih menggulung di atas kepala. Francesca duduk di depan meja rias, mematut dirinya. Mata dan pipinya tampak mulai cekung. Tapi it
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert