Bab 45Pagi datang dengan pasti tanpa diminta, kicau burung di pepohonan begitu ramai terdengar. Benni tersenyum melihat Mila yang masih meringkuk di aras kasur. Istrinya itu pasti merasa kedinginan, karena belum terbiasa tidur dalam ruangan ber-AC. Benni membenarkan posisi selimut di badan Mila. Lalu mencium pelan kening Mila, agar istri kecilnya itu tidak terbangun. Benni mengambil dompet dari saku celananya, mengambil beberapa lembar uang dan satu Atm meletakkannya di meja. Dia juga meletakkan Hp baru untuk Mila, sebagai ganti Hp yang pernah dia rusak. Lalu dia pergi meninggalkan kamar tanpa membangunkan Mila.Suasana di ruang makan begitu hening, hanya ada Bu Rani, Pak Broto dan Shasa. Benni duduk di dekat Ibunya. "Selamat pagi semua," sapa Benni. "Mana Mila?" tanya Bu Rani. "Masih tidur, mungkin dia kecapekan. Biarkan dia tidur dulu, Bu." jawab Benni sambil mengambil nasi goreng dari bakul ke piringnya. Tak ada suara lagi selain denting sendok yang beradu dengan piring. "
Bab 46Bella tampak kecewa, saat mendengar tak ada kelapa muda. Mila bersaha mengingat sesuatu, dia pun teringat jika di dekat rumah Mak Romlah, ada kios yang menjual sayur mayur dan bahan pangan mentah sampai malam hari. Mila mengambil ponsel, di saku daster selututnya. Dia mencari nomer Benni dan menghubungi suaminya itu. "Apa, Mil?" tanya Benni tanpa basi-basi. "Mas, mau minta tolong," ucap Mila. (Senyap ...) Tak ada jawaban dari Benni. "Mas ... Mas Benni," panggil Mila membuat Bella cekikikan. Mila menatap heran ke arah Bella. "Dia pasti terkejut kamu panggil, Mas," bisik Bella membuat Mila mengerti mengapa Benni terdiam dan ikut tersipu malu."Minta tolong apa?" tanya Benni setelah cukup lama diam. "Mas, di dekat danau itu ada kios sayur- mayur. Bisa gak, kalau kamu ke sana beli kelapa muda terus di parut sekalian. Soalnya, ini mau masak pepes udang tapi cuma ada udang." "Cuma ada udang, terus kenapa gak besok aja masak pepesnya?" Protes Benni. "Bella ingin makan itu sek
Benni memparkir motornya di garasi. Dari garasi dia masuk ke dalam lewat pintu yang terhubung langsung ke dapur. "Mas Benni sudah pulang," ucap Bik Nana membuat Mila yang sedang serius mengupas bawang menoleh. Benni mendekati Mila, mengulurkan kresek yang dia bawa. Mila merasa heran melihat kresek yang dibawa Benni. Dia merasa hanya memesan kelapa muda parut, kenapa terlihat banyak sekali yang Benni beli. Untuk menjawab rasa penasarannya, Mila membuka kresek itu untuk memeriksa isinya. Benni langsung pergi meninggalkan dapur. Mila langsung paham saat melihat apa yang Benni beli. Mila lekas mengeluarkan semua isi di dalam kresek. Dia menuang beras barlie di baskom kecil dan mencucinya. "Kalau itu mau di masak apa, Mbak?" tanya Bik Nana tampak heran melihat apa yang sedang dicuci Mila. "Ini, mau dimasak jadi sup manis. Ini namanya beras barlie, nanti direbus sama gula batu kalau sudah matang baru kembang tahunya dimasukan," Mila menjelaskan. "Oh, begitu. Baru lihat Bibik so
Bab 48Benni menggandeng tangan Mila menuju ruang makan. Semua orang menatap ke arah mereka berdua, seakan kedatangan mereka begitu ditunggu. Benni menarik kursi untuk Mila, Mila duduk sambil menoleh ke arah Benni sambil tersenyum. Membuat Shasa menatap sinis ke arah mereka berdua. Mereka memulai makan alam mereka, Bella yang terihat sangat bersemangat untuk makan. Dia begitu lahap memakan pepes udang buatan Mila. "Kamu kelaparan, Bel? Gak bisa makan pelan-pelan?" tanya Shasa sinis, dia merasa jijik melihat tingkah Bella yang menurutnya aneh. "Begitulah kalau orang ngidam, Sha. Apalagi kepengen makan sesuatu yang susah didapat. Jika sudah bisa makan apa yang diinginkan, uh ... serasa dapat durian runtuh," sela Bu Sari. "Tapi itu cuma pepes udang, siapapun bisa buat!" sahut Shasa heran. "Aku tuh kepengen makan pepes udang yang rasanya itu enak, kayak buatan almarhum nenekku. Emang kamu bisa bikin? Masak mie instan aja gosong!" jawab Bella. Bu Rani tersenyum, dia juga merasa jika
Mata Mila terbuka, dia menoleh ke sampingnya. Dia tak mendapati Benni di sampingnya, dia pun duduk dan bersandar di sandaran tempat tidur. Menghirup napas dalam-dalam dan menghelanya panjang. Dia merasa kehidupannya yang buruk semakin memburuk dengan terjebak pernikahan degan Benni. Meski sebenarnya, dia lebih bersyukur karena tak menjadi istri keempat Pak Broto. Mila beranjak dari tempat tidur, membuka lemari dan memilih pakaian ganti. Setelah itu, dia segera pergi mandi karena hari ini Benni akan mengajaknya untuk pulang ke rumahnya. Dia takut jika tidak segera bersiap, akan dituduh memperlambat waktu tidak ingin segera pergi di rumah ini karena ada Dirga. Mira bernyanyi kecil saat mandi, dia merasa senang karena akan segera bebas dari tatapan tak menyenangkan dari Shasa. Saat keluar dari kamar mandi, dia mendapati Benni sedang rebahan di sofa menikmati acara tv. Benni sekilas menoleh ke arah Mila yang sedang menggosok rambutnya dengan handuk. "Kita jadi pulang sekarang, kan?"
Selesai makan, Benni benar-benar mengajak Mila pulang ke rumahnya mengendarai mobil. Saat berpamitan dengan Ibu Mertuanya, Mila tersenyum ramah. Akan tetapi saat berada di mobil, wajahnya masam dan enggan menoleh ke arah Benni. "Ada yang ingin dibeli sebelum sampai rumah?" tanya Benni pada Mila. Mila memutar otaknya, mengingat apa saja yang perlu dia beli. "Mampir saja ke super market," jawab Mila tanpa menoleh ke arah Benni. Benni menuruti permintaan Mila, dia berbelok ke supermarket. Mila langsung turun saat mobil sudah terparkir, membuat Benni menggeleng kesal. Bahkan Mila juga tidak menunggu Benni untuk masuk ke dalam. Dengan mendorong troli, Mila membeli keperluan pribadinya. Lalu berkeliling membeli sayuran dan bahan lauk pauk. Dia begitu leluasa berbelanja seperti orang banyak duit. Benni yang sudah kelelahan berputar-putar mencari Mila, akhirnya menemukan Mila yang sedang memilih buah. "Aku mencarimu ke mana-mana," ujar Benni. "Siapa yang menyuruhmu mencari
Bab 51 Mila meletakkan kedua tangannya di pinggang, memperhatikan rumah yang biasanya dia bersihkan. "Astaga, kenapa kotor sekali!" gerutunya. "Kan pemiliknya kabur," jawab Benni memeluk Mila dari belakang, membuat Mila terlonjak kaget. "Mengagetkan ku saja! Pemiliknya? Sebelum ini, aku pembantunya!" rungut Mila. "Hm, apa kamu butuh pembantu nantinya?" tanya Benni sambil menciumi leher Mila. Mila menarik tubuhnya agar bisa terlepas dari Benni. Dia merasa geli. "Hentikan, jangan seperti ini!" ucap Mila. "Hm, tapi aku suka," jawab Benni. "Tapi kamu harus tahu tempat, bagaimana jika tiba-tiba ada teman-temanmu. Bisa malu aku!" protes Mila. "Kita sudah menikah, rumah ini akan jadi tempat privasi kita berdua. Markas sudah kualihkan ke tempat lain," balas Benni. "Markas lain, berarti di sana akan ada pembantu cantik dan muda juga?" tanya Mila. Benni memutar tubuh Mila, mereka saling menatap. Benni masih melingkarkan kedua tangannya di pinggang Mila. "Tida
Mila memalingkan wajahnya dari menatap Benni, jantungnya berdebar, dia juga merasa malu sendiri. "Kenapa?" tanya Benni meraih pakaiannya di atas kasur. Dia merasa heran melihat Mila yang seperti cacing kepanasan. "Hm, tidak apa-apa," jawab Mila menoleh ke arah Benni dengan menampakkan senyuman, dia berusaha untuk menyembunyikan rasa gugupnya. "Aakh, Astaga!!" pekik Mila terperanjat dan melompat naik ke atas kasur, dia terkejut saat melihat Benni, yang tanpa rasa malu membuka handuk. Sekilas, Mila bisa melihat milik Benni. Tapi dia langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Hei, kamu ini kenapa?!" pekik Benni ikut terkejut. "Kenapa telanjang bulat di depanku, kamu itu membuat mataku ternoda!" protes Mila. "Aku ini suamimu, wajarlah!!'' gerutu Benni memakai pakaiannya dengan santai. "Tapi aku belum terbiasa melihat yang seperti itu!" protes Mila lagi. "Halah, nanti juga terbiasa. Sehari tidak melihat, bisa pusing kepalamu!" Benni justru meledek M
Intan yang semula ingin masuk kios, memilih diam dan menguping di sisi pintu. Dia bisa mengerti dan memahami isi percakapan Mila dan Mbok Denok yang terdengar dari ponsel Mila. Baru setelah Mila selesai mengobrol, Intan memunculkan diri. "Kak," sapa Intan mendekati Mila. "Ya Sayang," jawab Mila tersenyum pada Intan. "Kak mila sudah makan siang?" tanya Intan. "Sudah tadi, sebelum Mbak Retno pergi. Adik Kak Mila ini sudah makan?" "Sudah. Kak, boleh gak Intan minta sesuatu sama Kak Mila?" tanya Intan. "Boleh, mau minta apa? Kalau Kak Mila bisa turutin pasti langsung diturutin." "Intan mau tinggal sama Kak Mila selamanya, boleh?" Bibir Mila terkunci, matanya menatap lekat wajah Intan. Dia curiga, jika Intan pasti sudah mendengar pembicaraannya dengan Mbok Denok. "Pasti, Kak Mila tidak pernah keberatan jika Intan tinggal sama Kakak. Karena kan, Kak Mila gak punya keluarga. Jadi, pas ada Intan jadi berasa punya keluarga. Intan itu satu-satunya adik yang Kak Mila punya. Kena
Sesuai janjinya, Bu Fitri benar-benar membantu Mila mengadakan syukuran di rumah barunya. Bahkan Bu Fitri juga lah yang merekomendasikan catering untuk konsumsi para tamu. Mila cukup senang karena para tetangganya ramah-ramah. Pak Rt juga membantu Mila mendaftarkan Intan di sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Pak Rt dan istrinya tak mau menerima imbalan dari Mila, sehingga Mila memutuskan membeli sesuatu saja untuk mereka. Mila memutuskan pergi ke pasar dengan memesan ojek online. Selain tak ada motor juga Mila tak tahu lokasi pasar terdekat. Sesampainya di pasar, Mila langsung menuju ke kios buah. Membeli apel merah, jeruk, pir dan buah naga. Lalu melanjutkan membeli bahan makanan dan bumbu dapur. Setelah selesai, Mila langsung mencari becak motor untuk mengantarnya pulang. Baru saja Mila sampai rumah dan baru turun dari becak. Intan juga baru sampai pulang dari sekolah. "Adik kak Mila sudah pulang," ucap Mila menyambut kedatangan Intan.Inta tersenyum mendekati Mila l
Mila sudah berada di dapur sejak subuh, membantu Mbok Denok memasak di dapur. Mak Leha, sudah sibuk mencuci pakaian kotor penghuni panti dengan mesin cuci. Mbok Denok beberapa kali terdengar membuang napas berat. Mila sesekali memperhatikan wanita yang sudah sangat baik padanya itu."Mil, kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" Mbok Denok pada akhirnya membuka suara. "Ya, Mbok. Mila sudah yakin ..." "Mbok merasa khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa," ucap Mbok Denok sedih."Gak pa pa, Mbok. Mila sudah biasa menjalani kehidupan yang keras," jawab Mila mencoba menenangkan perasaan Mbok Denok."Semoga saja semua baik-baik saja ya, Mil." "Aamiin, Mbok." "Kamu jaga diri baik-baik, jaga kandungan kamu. Simbok sudah menganggap calon anakmu ini seperti cucu Simbok sendiri," kata Simbok berpesan, Mila mengangguk. "Mil," Simbok dan Mila langsung terdiam saat Yuza tiba-tiba datang ke dapur."Ya, Kak?" jawab Mila mendekati Yuza."Aku sama Mama mau berangkat sekarang. Kamu baik-baik d
Berat bagi Mila menjalani hari-hari yang selalu dalam pantauan Bu Sania dan juga Moza. Gadis kota itu terlihat ramah saat ada Bu Sania dan Yuza, selebihnya dia seperti manusua angku yang minta di keroyok dan dipukuli ramai-ramai. Sore itu, dia merasa begitu lelah setelah seharian berkerja. Intan membantu memijat kaki Mila meski Mila sudah melarangnya. "Tan, jangan lupa untuk siap-siap ya. Kita bisa aja disuruh pergi dari sini kapan saja. Jadi kita harus sudah siap," Kata Mila. "Iya, Kak. Barang-barang Intan kan cuma sedikit," balas Intan. "Iya, semoga mereka mencarikan rumah yang sesuai dan nyaman. Jadi kita bisa usaha cari uang meski tanpa keluar jauh dari rumah." "Maksudnya, kita jualan gitu ya kak?" tanya Intan."Ya gitu juga, boleh." Intan mengangguk seolah benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan. Tiga hari kemudian, Saat Mila sedang membantu Mbok Denok dan Mak Leha di dapur. Bu Sania datang menemui Mila. "Mila," panggil Bu Sania. "Ya, Bu. Bagaimana?" jawab Mila sa
"Kenapa memangnya? anda hanya ingin menerima bayi ini tapi tidak dengan saya?" tanya Mila dengan wajah yang dibuat-buat sedih."Tidak dua-duanya!" tegas Bu Sania.Mila terbelalak pura-pura terkejut mendengar perkataan Bu Sania. "Tega sekali anda, Nyonya. Aku mungkin memang tak pantas menjadi bagian dari kalian. Tapi, bayi ini ... dia ini ... " jawab Mila dengan nada yang terdengar pilu.Di luar dapur, Mak Leha dan Mbok Denok menggaruk kepala mereka karena bingung. Karena tadi Mila bilang punya suami dan sekarang lain pengakuannya."Aku tidak peduli, bawa saja anak itu pergi denganmu!" jawab Bu Sania sinis."Ya Tuhan, tak kusangka dan tak kuduga. Orang yang kelihatannya baik, dermawan suka menolong orang. Tapi tega pada pada darah dagingnya sendiri," ucap Mila."Ck, tidak perlu banyak bicara! Pergi saja ... berapa yang kamu mau agar kamu mau pergi jauh dari kehidupan kami?" tanya Bu Sania. Mila tersenyum miring, ini yang dia tunggu dari tadi. "Aku ... hanya mau Mas Yuza. Dia bisa
Yuza tergelak mendengar penuturan Mila. Dia mengira jika Mila cemburu pada Moza. "Sebenarnya, aku juga tidak suka pada Moza. Dia itu pilihan mamaku, dia putri sahabat baik Mama," ucap Yuza berharap agar Mila mengerti arti ucapannya."Maksudmu, kamu menyukai wanita lain?" tanya Mila. Yuza tersenyum lalu mengangguk."Lalu kenapa bilang padaku, kenapa tidak bilang saja pada orang tuamu," balas Mila membuat Yuza menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, gimana ya?" gumam Yuza."Apanya yang gimana?" tanya Mila bingung meligat tingkah Yuza."Sku bingung aja bilang ke mereka, gak punya alasan yang tepat. Ya ... alasan yang mungkin bisa diterima, misal aku bilang sudah punya tambatan hati. Sayangnya, aku gak punya." "Oh begitu ... ya sudah. Terima nasib, mungkin memang dia jodohmu," jawab Mila santai.Yuza tersenyum, jawaban Mila tak sesuai yang dia harapkan. Padahal dia mengira, jika Mila bakal mengatakan, mau di jadikan alasan untuk menolak Moza."Kembalilah ke aula!" usir Mila. Akhirny
Desas-desus Mila hamil semakin ramai diperbincangkan di panti. Semua penghuni menduga jika Mila hamil dengan Yuza, tapi mereka sengaja merahasiakan hubungan mereka karena memiliki alasan tersendiri. Dugaan itu semakin kuat, karena Yuza sangat perhatian pada Mila. "Mila, kamu kalau sudah lelah istirahat saja. Biar Mbok sama Mak Leha yang menyelesaikan semua ini," ucap Mbok Denok yang merasa khawatir karena wajah Mila terlihat pucat. Mereka sedang membuat kue dan makanan untuk menyambut kedatangan orang tua Yuza. "Mungkin Mila semangat untuk menyambut kedatangan mertuanya," celetuk Mak Leha, spontan Mbok Denok menyenggol Mak Leha. Mila cukup terkejut mendengar perkataan Mak Leha. Sejak kapan dia digosipkan jadi istri Yuza. Mila menunduk, sebenarnya dia memang sedang tidak enak badan. Dia merasa pusing dan badan terasa dingin. "Mbok, Mak, Mila masuk ke kamar dulu ya. Gak enak badan soalnya." Mila pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar saja. Dia tak ingin memaksakan diri u
Seminggu kemudian ... Mila merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dia bahkan tak bisa bangun walau sekadar ingin ke kamar mandi. Intan begitu perhatian pada Mila, untung saja hari ini hari minggu sehingga Intan tak perlu sekolah dan bisa menjaga Mila. Tok~tok Intan membuka pintu kamar, Yuza berdiri di depan pintu. "Mana Kak Mila?" tanya Yuza. "Tuh, kepalanya sakit katanya." Intan menunjuk ke arah Mila yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup. Yuza masuk ke dalam dan langsung menyentuh dahi Mila kemudian kaki Mila yang terasa dingin. Yuza mengukur tensi Mila. "Astaga, tensinya rendah sekali," gumam Yuza. "Kak," Intan menyerahkan sesuatu pada Yuza. Yuza tertegun melihat benda yang baru saja Intan berikan padanya. Intan mendekati Yuza lalu berbisik di telingan Yuza. "Intan menemukan itu di kamar mandi sekitar satu minggu yang lalu," bisik Intan. Yuza mengingat-ingat kembali percakapan saat pertama bertemu dengan Mila. "Jangan-jangan ..." ucapan Yuza meng
Subuh buta, Mila sudah terbangun karena alarm yang dia pasang. Dia mengikuti intruksi yang tertera di bungkus testpack. Urine yang paling akurat adalah yang saat bangun tidur. Dia membawa kotak susu uht kosong yang sudah dia potong ke dalam kamar mandi lalu mencucinya untuk dia gunakan sebagai penampung urine nya. Mila menghela napas panjang, lalu mencelupkan stik testpack, beberapa detik saja alat itu sudah menunjukkan dua garis yang bermakna jika dia positif hamil. Mulut Mila terganga, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ih, nanti aku ken cing lagi lah. Aku tes lagi ..." gumamnya. Mila lekas membersihkan kamar mandi dan keluar dari kamar mandi. Intan sudah terbangun dan menunggu di depan kamar mandi. 'Wah, bocil itu bangunnya pagi sekali,' batin Mila. Mila duduk di kursi belajar milik Intan, dia membuka satu botol air mineral yang semalam dia beli. Meneguknya dengan perlahan sambil memikirkan bagaimana menjelaskan pada Yuza jika memang dirinya hamil. Dia han