Mata Mila terbuka, dia menoleh ke sampingnya. Dia tak mendapati Benni di sampingnya, dia pun duduk dan bersandar di sandaran tempat tidur. Menghirup napas dalam-dalam dan menghelanya panjang. Dia merasa kehidupannya yang buruk semakin memburuk dengan terjebak pernikahan degan Benni. Meski sebenarnya, dia lebih bersyukur karena tak menjadi istri keempat Pak Broto. Mila beranjak dari tempat tidur, membuka lemari dan memilih pakaian ganti. Setelah itu, dia segera pergi mandi karena hari ini Benni akan mengajaknya untuk pulang ke rumahnya. Dia takut jika tidak segera bersiap, akan dituduh memperlambat waktu tidak ingin segera pergi di rumah ini karena ada Dirga. Mira bernyanyi kecil saat mandi, dia merasa senang karena akan segera bebas dari tatapan tak menyenangkan dari Shasa. Saat keluar dari kamar mandi, dia mendapati Benni sedang rebahan di sofa menikmati acara tv. Benni sekilas menoleh ke arah Mila yang sedang menggosok rambutnya dengan handuk. "Kita jadi pulang sekarang, kan?"
Selesai makan, Benni benar-benar mengajak Mila pulang ke rumahnya mengendarai mobil. Saat berpamitan dengan Ibu Mertuanya, Mila tersenyum ramah. Akan tetapi saat berada di mobil, wajahnya masam dan enggan menoleh ke arah Benni. "Ada yang ingin dibeli sebelum sampai rumah?" tanya Benni pada Mila. Mila memutar otaknya, mengingat apa saja yang perlu dia beli. "Mampir saja ke super market," jawab Mila tanpa menoleh ke arah Benni. Benni menuruti permintaan Mila, dia berbelok ke supermarket. Mila langsung turun saat mobil sudah terparkir, membuat Benni menggeleng kesal. Bahkan Mila juga tidak menunggu Benni untuk masuk ke dalam. Dengan mendorong troli, Mila membeli keperluan pribadinya. Lalu berkeliling membeli sayuran dan bahan lauk pauk. Dia begitu leluasa berbelanja seperti orang banyak duit. Benni yang sudah kelelahan berputar-putar mencari Mila, akhirnya menemukan Mila yang sedang memilih buah. "Aku mencarimu ke mana-mana," ujar Benni. "Siapa yang menyuruhmu mencari
Bab 51 Mila meletakkan kedua tangannya di pinggang, memperhatikan rumah yang biasanya dia bersihkan. "Astaga, kenapa kotor sekali!" gerutunya. "Kan pemiliknya kabur," jawab Benni memeluk Mila dari belakang, membuat Mila terlonjak kaget. "Mengagetkan ku saja! Pemiliknya? Sebelum ini, aku pembantunya!" rungut Mila. "Hm, apa kamu butuh pembantu nantinya?" tanya Benni sambil menciumi leher Mila. Mila menarik tubuhnya agar bisa terlepas dari Benni. Dia merasa geli. "Hentikan, jangan seperti ini!" ucap Mila. "Hm, tapi aku suka," jawab Benni. "Tapi kamu harus tahu tempat, bagaimana jika tiba-tiba ada teman-temanmu. Bisa malu aku!" protes Mila. "Kita sudah menikah, rumah ini akan jadi tempat privasi kita berdua. Markas sudah kualihkan ke tempat lain," balas Benni. "Markas lain, berarti di sana akan ada pembantu cantik dan muda juga?" tanya Mila. Benni memutar tubuh Mila, mereka saling menatap. Benni masih melingkarkan kedua tangannya di pinggang Mila. "Tida
Mila memalingkan wajahnya dari menatap Benni, jantungnya berdebar, dia juga merasa malu sendiri. "Kenapa?" tanya Benni meraih pakaiannya di atas kasur. Dia merasa heran melihat Mila yang seperti cacing kepanasan. "Hm, tidak apa-apa," jawab Mila menoleh ke arah Benni dengan menampakkan senyuman, dia berusaha untuk menyembunyikan rasa gugupnya. "Aakh, Astaga!!" pekik Mila terperanjat dan melompat naik ke atas kasur, dia terkejut saat melihat Benni, yang tanpa rasa malu membuka handuk. Sekilas, Mila bisa melihat milik Benni. Tapi dia langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Hei, kamu ini kenapa?!" pekik Benni ikut terkejut. "Kenapa telanjang bulat di depanku, kamu itu membuat mataku ternoda!" protes Mila. "Aku ini suamimu, wajarlah!!'' gerutu Benni memakai pakaiannya dengan santai. "Tapi aku belum terbiasa melihat yang seperti itu!" protes Mila lagi. "Halah, nanti juga terbiasa. Sehari tidak melihat, bisa pusing kepalamu!" Benni justru meledek M
Benni menggandeng tangan Mila menuju kafe, mereka duduk di depan kedai yang menjual nasi kari ayam. "Kamu mau pesan apa?" tanya Benni pada Mila. Mila membaca satu persatu buku menu yang berada di meja. "Mie udon kari ayam katsu," Mila menunjuk ke daftar menu. "Ok, minum?" balas Benni. "Milktea ice." "Aku pesan dulu, ya ..." Benni berdiri menuju kasir untuk memesan makanan. Kedai itu memakai sistem pesan dan bayar dahulu. Benni mendekati Mila yang sedang menatap ke arah danau. "Sayang," panggil Benni membuat Mila menoleh ke arahnya. "Sedang melihat apa?" "Danau itu," jawab Mila. "Mau kebab?" Benni menawarkan. "Aku sih mau-mau saja. Tapi, aku tidak mau ketemu dengan Andi. Aku kesal sekali padanya," kata Mila dengan wajah masam. "Kenapa kesal? Kita harus berterima kasih padanya, kalau bukan karena ibunya mengirimmu pada Bapak. Tidak mungkin kita bisa jadi suami istri sekarang." "Itu karena kebetulan juga, coba kalau Bang Harsa tidak melihatku. Sud
Bab 54 Jenny sedikit gemetar mendengar pertanyaan Benni, karena tebakan Ben i memang tidak meleset. "A, bu-bukan ... tapi aku hanya kangen saja dengan Mila!" bantah Jenny. "Sudahlah, berapa uang yang kamu inginkan?!" tanya Benni kesal. Mila terkejut dengan penawaran Benni, apalagi melihat Jenny yang langsung bisa berdiri tegak. Mila berdecak kesal dan langsung menarik tangan Benni. Benni mengelus lembut tangan Mila, memberi kode agar tidak khawatir. "Lima juta saja, buat biaya hidup Ibu. Beberapa hari ini, Ibu tidak bekerja karena sakit," jawab Jenny memasang wajah sedih. "Banyak sekali, kamu pikir kita ATM-mu?!" gerutu Mila. Benni mengambil uang dari dompetnya lalu mengulurkan pada Jenny. Senyuman Jenny mengembang, dia langsung menerima uang dari Benni. "Itu hanya tiga juta," Benni memberitahu hingga membuat Jenny yang hendak menghitung mengurungkan niatnya. "Eh, kok ..." protes Jenny lirih. "Terima saja, jangan banyak protes! Pergi ... jangan pernah kemba
Bab 55Setelah Benni dan kedua anak buahnya pergi, Mila menyibukkan diri dengan mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Dia juga berpikir ingin memasak apa untuk makan siang nanti. Mila menoleh ke arah meja makan saat mendengar ponselnya berbunyi. Dia mengambil ponsel, Mila tersenyum saat melihat siapa yang menghubunginya. "Hallo, Bel," sapa Mila. "Hallo, Mil. Kamu sedang apa?" tanya Bella. "Bersih-bersih," jawab Mila singkat. "Hah, serius? Memangnya Kak Benni gak melarang kamu?" "Ya melarang sih, cuma mau gimana lagi. Sudah jadi kebiasaanku, badanku bisa sakit semua kalau tidak ngapa-ngapain Bel," jawab Mila. "Gak ada rencana mau ngambil pembantu?" "Kakakmu sih nganjurin, cuma aku yang mau. Oh iya, kamu nelepon ada yang penting kah?" "Hm, gak juga. Cuma aku boring di rumah. Aku mau ke sana boleh? Atau nanti kita pergi keluar jalan-jalan," bakas Bella. "Boleh, aku tunggu. Sekalian aku mau siap-siap, mau ijin sama kakakmu juga," jawab Mila semangat. "Cie ...." goda Bella.
Benni menyugar kasar rambutnya, sebisa mungkin dia menahan rasa emosinya. Dia tidak ingin jika Bella mendengar pertengkaran antara dirinya dan Mila. "Aku tidak pernah memintamu untuk menikahiku, aku juga tidak ingin terjebak dalam kehidupan kalian. Aku pernah memintamu untuk mengirimku jauh dari sini. Kamu sendiri yang menyembunyikan aku di sini. Sampai aku mengenal kalian semua termasuk Dirga. Aku memang tertarik dengannya, karena cuma dia yang dari awal sangat baik padaku. Tapi bukan berarti , sekarang aku bisa selalu dituduh ingin menggoda dia. Dia sudah jadi suami orang, aku tahu diri. Aku juga sudah menjadi istrimu, suka tidak suka aku tetap harus bersikap seperti wanita yang bersuami pada umumnya. Jadi berhenti menuduhku!" Mila mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. Mila meninggalkan Benni yang masih berdiri terpaku, dia masuk ke dalam kamar mandi. Mila menutup mulutnya lalu menangis sejadi-jadinya dalam keadaan shower yang sengaja dia hidupkan. Saat Mila keluar dari ka