Selesai makan, Benni benar-benar mengajak Mila pulang ke rumahnya mengendarai mobil. Saat berpamitan dengan Ibu Mertuanya, Mila tersenyum ramah. Akan tetapi saat berada di mobil, wajahnya masam dan enggan menoleh ke arah Benni. "Ada yang ingin dibeli sebelum sampai rumah?" tanya Benni pada Mila. Mila memutar otaknya, mengingat apa saja yang perlu dia beli. "Mampir saja ke super market," jawab Mila tanpa menoleh ke arah Benni. Benni menuruti permintaan Mila, dia berbelok ke supermarket. Mila langsung turun saat mobil sudah terparkir, membuat Benni menggeleng kesal. Bahkan Mila juga tidak menunggu Benni untuk masuk ke dalam. Dengan mendorong troli, Mila membeli keperluan pribadinya. Lalu berkeliling membeli sayuran dan bahan lauk pauk. Dia begitu leluasa berbelanja seperti orang banyak duit. Benni yang sudah kelelahan berputar-putar mencari Mila, akhirnya menemukan Mila yang sedang memilih buah. "Aku mencarimu ke mana-mana," ujar Benni. "Siapa yang menyuruhmu mencari
Bab 51 Mila meletakkan kedua tangannya di pinggang, memperhatikan rumah yang biasanya dia bersihkan. "Astaga, kenapa kotor sekali!" gerutunya. "Kan pemiliknya kabur," jawab Benni memeluk Mila dari belakang, membuat Mila terlonjak kaget. "Mengagetkan ku saja! Pemiliknya? Sebelum ini, aku pembantunya!" rungut Mila. "Hm, apa kamu butuh pembantu nantinya?" tanya Benni sambil menciumi leher Mila. Mila menarik tubuhnya agar bisa terlepas dari Benni. Dia merasa geli. "Hentikan, jangan seperti ini!" ucap Mila. "Hm, tapi aku suka," jawab Benni. "Tapi kamu harus tahu tempat, bagaimana jika tiba-tiba ada teman-temanmu. Bisa malu aku!" protes Mila. "Kita sudah menikah, rumah ini akan jadi tempat privasi kita berdua. Markas sudah kualihkan ke tempat lain," balas Benni. "Markas lain, berarti di sana akan ada pembantu cantik dan muda juga?" tanya Mila. Benni memutar tubuh Mila, mereka saling menatap. Benni masih melingkarkan kedua tangannya di pinggang Mila. "Tida
Mila memalingkan wajahnya dari menatap Benni, jantungnya berdebar, dia juga merasa malu sendiri. "Kenapa?" tanya Benni meraih pakaiannya di atas kasur. Dia merasa heran melihat Mila yang seperti cacing kepanasan. "Hm, tidak apa-apa," jawab Mila menoleh ke arah Benni dengan menampakkan senyuman, dia berusaha untuk menyembunyikan rasa gugupnya. "Aakh, Astaga!!" pekik Mila terperanjat dan melompat naik ke atas kasur, dia terkejut saat melihat Benni, yang tanpa rasa malu membuka handuk. Sekilas, Mila bisa melihat milik Benni. Tapi dia langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Hei, kamu ini kenapa?!" pekik Benni ikut terkejut. "Kenapa telanjang bulat di depanku, kamu itu membuat mataku ternoda!" protes Mila. "Aku ini suamimu, wajarlah!!'' gerutu Benni memakai pakaiannya dengan santai. "Tapi aku belum terbiasa melihat yang seperti itu!" protes Mila lagi. "Halah, nanti juga terbiasa. Sehari tidak melihat, bisa pusing kepalamu!" Benni justru meledek M
Benni menggandeng tangan Mila menuju kafe, mereka duduk di depan kedai yang menjual nasi kari ayam. "Kamu mau pesan apa?" tanya Benni pada Mila. Mila membaca satu persatu buku menu yang berada di meja. "Mie udon kari ayam katsu," Mila menunjuk ke daftar menu. "Ok, minum?" balas Benni. "Milktea ice." "Aku pesan dulu, ya ..." Benni berdiri menuju kasir untuk memesan makanan. Kedai itu memakai sistem pesan dan bayar dahulu. Benni mendekati Mila yang sedang menatap ke arah danau. "Sayang," panggil Benni membuat Mila menoleh ke arahnya. "Sedang melihat apa?" "Danau itu," jawab Mila. "Mau kebab?" Benni menawarkan. "Aku sih mau-mau saja. Tapi, aku tidak mau ketemu dengan Andi. Aku kesal sekali padanya," kata Mila dengan wajah masam. "Kenapa kesal? Kita harus berterima kasih padanya, kalau bukan karena ibunya mengirimmu pada Bapak. Tidak mungkin kita bisa jadi suami istri sekarang." "Itu karena kebetulan juga, coba kalau Bang Harsa tidak melihatku. Sud
Bab 54 Jenny sedikit gemetar mendengar pertanyaan Benni, karena tebakan Ben i memang tidak meleset. "A, bu-bukan ... tapi aku hanya kangen saja dengan Mila!" bantah Jenny. "Sudahlah, berapa uang yang kamu inginkan?!" tanya Benni kesal. Mila terkejut dengan penawaran Benni, apalagi melihat Jenny yang langsung bisa berdiri tegak. Mila berdecak kesal dan langsung menarik tangan Benni. Benni mengelus lembut tangan Mila, memberi kode agar tidak khawatir. "Lima juta saja, buat biaya hidup Ibu. Beberapa hari ini, Ibu tidak bekerja karena sakit," jawab Jenny memasang wajah sedih. "Banyak sekali, kamu pikir kita ATM-mu?!" gerutu Mila. Benni mengambil uang dari dompetnya lalu mengulurkan pada Jenny. Senyuman Jenny mengembang, dia langsung menerima uang dari Benni. "Itu hanya tiga juta," Benni memberitahu hingga membuat Jenny yang hendak menghitung mengurungkan niatnya. "Eh, kok ..." protes Jenny lirih. "Terima saja, jangan banyak protes! Pergi ... jangan pernah kemba
Bab 55Setelah Benni dan kedua anak buahnya pergi, Mila menyibukkan diri dengan mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Dia juga berpikir ingin memasak apa untuk makan siang nanti. Mila menoleh ke arah meja makan saat mendengar ponselnya berbunyi. Dia mengambil ponsel, Mila tersenyum saat melihat siapa yang menghubunginya. "Hallo, Bel," sapa Mila. "Hallo, Mil. Kamu sedang apa?" tanya Bella. "Bersih-bersih," jawab Mila singkat. "Hah, serius? Memangnya Kak Benni gak melarang kamu?" "Ya melarang sih, cuma mau gimana lagi. Sudah jadi kebiasaanku, badanku bisa sakit semua kalau tidak ngapa-ngapain Bel," jawab Mila. "Gak ada rencana mau ngambil pembantu?" "Kakakmu sih nganjurin, cuma aku yang mau. Oh iya, kamu nelepon ada yang penting kah?" "Hm, gak juga. Cuma aku boring di rumah. Aku mau ke sana boleh? Atau nanti kita pergi keluar jalan-jalan," bakas Bella. "Boleh, aku tunggu. Sekalian aku mau siap-siap, mau ijin sama kakakmu juga," jawab Mila semangat. "Cie ...." goda Bella.
Benni menyugar kasar rambutnya, sebisa mungkin dia menahan rasa emosinya. Dia tidak ingin jika Bella mendengar pertengkaran antara dirinya dan Mila. "Aku tidak pernah memintamu untuk menikahiku, aku juga tidak ingin terjebak dalam kehidupan kalian. Aku pernah memintamu untuk mengirimku jauh dari sini. Kamu sendiri yang menyembunyikan aku di sini. Sampai aku mengenal kalian semua termasuk Dirga. Aku memang tertarik dengannya, karena cuma dia yang dari awal sangat baik padaku. Tapi bukan berarti , sekarang aku bisa selalu dituduh ingin menggoda dia. Dia sudah jadi suami orang, aku tahu diri. Aku juga sudah menjadi istrimu, suka tidak suka aku tetap harus bersikap seperti wanita yang bersuami pada umumnya. Jadi berhenti menuduhku!" Mila mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. Mila meninggalkan Benni yang masih berdiri terpaku, dia masuk ke dalam kamar mandi. Mila menutup mulutnya lalu menangis sejadi-jadinya dalam keadaan shower yang sengaja dia hidupkan. Saat Mila keluar dari ka
Bab 57. Benni menatap tajam ke arah Harsa yang melongo melihat Franda yang begitu erat memeluk dirinya. Benni melepas paksa pelukan Franda. "Eh, maaf ya ... hehe sangking rindunya sama kamu," ucap Franda tersenyum canggung. Benni hanya membalas dengan senyuman dingin, Benni meninggalkan franda lalu ikut duduk bersama dengan yang lain. Demikian pula dengan Franda, dia duduk di samping Harsa. Harsa memasang wajah masam pada keponakannya itu. "Ben, di mana istrimu?" tanya Franda melihat ke sekeliling. "Dia sedang istirahat, sedang gak enak badan," jawab Benni. "Kenapa, hamil? Tapi kalian ka baru saja menikah," sahut Franda dengan entengnya. Harsa berdehem, memperingatkan agar Franda menjaga ucapannya. Bella yang hendak menyendok nasi untuk Dirga, langsung merasa tersindir. "Bukan, Fran. Tadi dia jalan-jalan sama Bella, mungkin mabuk perjalanan." Wawan menimpali. "Ish, mungkin karena tidak pernah naik mobil kali ya. Kismin ...," balas Franda tergelak kecil. Semua terdiam, meliri
Intan yang semula ingin masuk kios, memilih diam dan menguping di sisi pintu. Dia bisa mengerti dan memahami isi percakapan Mila dan Mbok Denok yang terdengar dari ponsel Mila. Baru setelah Mila selesai mengobrol, Intan memunculkan diri. "Kak," sapa Intan mendekati Mila. "Ya Sayang," jawab Mila tersenyum pada Intan. "Kak mila sudah makan siang?" tanya Intan. "Sudah tadi, sebelum Mbak Retno pergi. Adik Kak Mila ini sudah makan?" "Sudah. Kak, boleh gak Intan minta sesuatu sama Kak Mila?" tanya Intan. "Boleh, mau minta apa? Kalau Kak Mila bisa turutin pasti langsung diturutin." "Intan mau tinggal sama Kak Mila selamanya, boleh?" Bibir Mila terkunci, matanya menatap lekat wajah Intan. Dia curiga, jika Intan pasti sudah mendengar pembicaraannya dengan Mbok Denok. "Pasti, Kak Mila tidak pernah keberatan jika Intan tinggal sama Kakak. Karena kan, Kak Mila gak punya keluarga. Jadi, pas ada Intan jadi berasa punya keluarga. Intan itu satu-satunya adik yang Kak Mila punya. Kena
Sesuai janjinya, Bu Fitri benar-benar membantu Mila mengadakan syukuran di rumah barunya. Bahkan Bu Fitri juga lah yang merekomendasikan catering untuk konsumsi para tamu. Mila cukup senang karena para tetangganya ramah-ramah. Pak Rt juga membantu Mila mendaftarkan Intan di sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Pak Rt dan istrinya tak mau menerima imbalan dari Mila, sehingga Mila memutuskan membeli sesuatu saja untuk mereka. Mila memutuskan pergi ke pasar dengan memesan ojek online. Selain tak ada motor juga Mila tak tahu lokasi pasar terdekat. Sesampainya di pasar, Mila langsung menuju ke kios buah. Membeli apel merah, jeruk, pir dan buah naga. Lalu melanjutkan membeli bahan makanan dan bumbu dapur. Setelah selesai, Mila langsung mencari becak motor untuk mengantarnya pulang. Baru saja Mila sampai rumah dan baru turun dari becak. Intan juga baru sampai pulang dari sekolah. "Adik kak Mila sudah pulang," ucap Mila menyambut kedatangan Intan.Inta tersenyum mendekati Mila l
Mila sudah berada di dapur sejak subuh, membantu Mbok Denok memasak di dapur. Mak Leha, sudah sibuk mencuci pakaian kotor penghuni panti dengan mesin cuci. Mbok Denok beberapa kali terdengar membuang napas berat. Mila sesekali memperhatikan wanita yang sudah sangat baik padanya itu."Mil, kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" Mbok Denok pada akhirnya membuka suara. "Ya, Mbok. Mila sudah yakin ..." "Mbok merasa khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa," ucap Mbok Denok sedih."Gak pa pa, Mbok. Mila sudah biasa menjalani kehidupan yang keras," jawab Mila mencoba menenangkan perasaan Mbok Denok."Semoga saja semua baik-baik saja ya, Mil." "Aamiin, Mbok." "Kamu jaga diri baik-baik, jaga kandungan kamu. Simbok sudah menganggap calon anakmu ini seperti cucu Simbok sendiri," kata Simbok berpesan, Mila mengangguk. "Mil," Simbok dan Mila langsung terdiam saat Yuza tiba-tiba datang ke dapur."Ya, Kak?" jawab Mila mendekati Yuza."Aku sama Mama mau berangkat sekarang. Kamu baik-baik d
Berat bagi Mila menjalani hari-hari yang selalu dalam pantauan Bu Sania dan juga Moza. Gadis kota itu terlihat ramah saat ada Bu Sania dan Yuza, selebihnya dia seperti manusua angku yang minta di keroyok dan dipukuli ramai-ramai. Sore itu, dia merasa begitu lelah setelah seharian berkerja. Intan membantu memijat kaki Mila meski Mila sudah melarangnya. "Tan, jangan lupa untuk siap-siap ya. Kita bisa aja disuruh pergi dari sini kapan saja. Jadi kita harus sudah siap," Kata Mila. "Iya, Kak. Barang-barang Intan kan cuma sedikit," balas Intan. "Iya, semoga mereka mencarikan rumah yang sesuai dan nyaman. Jadi kita bisa usaha cari uang meski tanpa keluar jauh dari rumah." "Maksudnya, kita jualan gitu ya kak?" tanya Intan."Ya gitu juga, boleh." Intan mengangguk seolah benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan. Tiga hari kemudian, Saat Mila sedang membantu Mbok Denok dan Mak Leha di dapur. Bu Sania datang menemui Mila. "Mila," panggil Bu Sania. "Ya, Bu. Bagaimana?" jawab Mila sa
"Kenapa memangnya? anda hanya ingin menerima bayi ini tapi tidak dengan saya?" tanya Mila dengan wajah yang dibuat-buat sedih."Tidak dua-duanya!" tegas Bu Sania.Mila terbelalak pura-pura terkejut mendengar perkataan Bu Sania. "Tega sekali anda, Nyonya. Aku mungkin memang tak pantas menjadi bagian dari kalian. Tapi, bayi ini ... dia ini ... " jawab Mila dengan nada yang terdengar pilu.Di luar dapur, Mak Leha dan Mbok Denok menggaruk kepala mereka karena bingung. Karena tadi Mila bilang punya suami dan sekarang lain pengakuannya."Aku tidak peduli, bawa saja anak itu pergi denganmu!" jawab Bu Sania sinis."Ya Tuhan, tak kusangka dan tak kuduga. Orang yang kelihatannya baik, dermawan suka menolong orang. Tapi tega pada pada darah dagingnya sendiri," ucap Mila."Ck, tidak perlu banyak bicara! Pergi saja ... berapa yang kamu mau agar kamu mau pergi jauh dari kehidupan kami?" tanya Bu Sania. Mila tersenyum miring, ini yang dia tunggu dari tadi. "Aku ... hanya mau Mas Yuza. Dia bisa
Yuza tergelak mendengar penuturan Mila. Dia mengira jika Mila cemburu pada Moza. "Sebenarnya, aku juga tidak suka pada Moza. Dia itu pilihan mamaku, dia putri sahabat baik Mama," ucap Yuza berharap agar Mila mengerti arti ucapannya."Maksudmu, kamu menyukai wanita lain?" tanya Mila. Yuza tersenyum lalu mengangguk."Lalu kenapa bilang padaku, kenapa tidak bilang saja pada orang tuamu," balas Mila membuat Yuza menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, gimana ya?" gumam Yuza."Apanya yang gimana?" tanya Mila bingung meligat tingkah Yuza."Sku bingung aja bilang ke mereka, gak punya alasan yang tepat. Ya ... alasan yang mungkin bisa diterima, misal aku bilang sudah punya tambatan hati. Sayangnya, aku gak punya." "Oh begitu ... ya sudah. Terima nasib, mungkin memang dia jodohmu," jawab Mila santai.Yuza tersenyum, jawaban Mila tak sesuai yang dia harapkan. Padahal dia mengira, jika Mila bakal mengatakan, mau di jadikan alasan untuk menolak Moza."Kembalilah ke aula!" usir Mila. Akhirny
Desas-desus Mila hamil semakin ramai diperbincangkan di panti. Semua penghuni menduga jika Mila hamil dengan Yuza, tapi mereka sengaja merahasiakan hubungan mereka karena memiliki alasan tersendiri. Dugaan itu semakin kuat, karena Yuza sangat perhatian pada Mila. "Mila, kamu kalau sudah lelah istirahat saja. Biar Mbok sama Mak Leha yang menyelesaikan semua ini," ucap Mbok Denok yang merasa khawatir karena wajah Mila terlihat pucat. Mereka sedang membuat kue dan makanan untuk menyambut kedatangan orang tua Yuza. "Mungkin Mila semangat untuk menyambut kedatangan mertuanya," celetuk Mak Leha, spontan Mbok Denok menyenggol Mak Leha. Mila cukup terkejut mendengar perkataan Mak Leha. Sejak kapan dia digosipkan jadi istri Yuza. Mila menunduk, sebenarnya dia memang sedang tidak enak badan. Dia merasa pusing dan badan terasa dingin. "Mbok, Mak, Mila masuk ke kamar dulu ya. Gak enak badan soalnya." Mila pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar saja. Dia tak ingin memaksakan diri u
Seminggu kemudian ... Mila merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dia bahkan tak bisa bangun walau sekadar ingin ke kamar mandi. Intan begitu perhatian pada Mila, untung saja hari ini hari minggu sehingga Intan tak perlu sekolah dan bisa menjaga Mila. Tok~tok Intan membuka pintu kamar, Yuza berdiri di depan pintu. "Mana Kak Mila?" tanya Yuza. "Tuh, kepalanya sakit katanya." Intan menunjuk ke arah Mila yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup. Yuza masuk ke dalam dan langsung menyentuh dahi Mila kemudian kaki Mila yang terasa dingin. Yuza mengukur tensi Mila. "Astaga, tensinya rendah sekali," gumam Yuza. "Kak," Intan menyerahkan sesuatu pada Yuza. Yuza tertegun melihat benda yang baru saja Intan berikan padanya. Intan mendekati Yuza lalu berbisik di telingan Yuza. "Intan menemukan itu di kamar mandi sekitar satu minggu yang lalu," bisik Intan. Yuza mengingat-ingat kembali percakapan saat pertama bertemu dengan Mila. "Jangan-jangan ..." ucapan Yuza meng
Subuh buta, Mila sudah terbangun karena alarm yang dia pasang. Dia mengikuti intruksi yang tertera di bungkus testpack. Urine yang paling akurat adalah yang saat bangun tidur. Dia membawa kotak susu uht kosong yang sudah dia potong ke dalam kamar mandi lalu mencucinya untuk dia gunakan sebagai penampung urine nya. Mila menghela napas panjang, lalu mencelupkan stik testpack, beberapa detik saja alat itu sudah menunjukkan dua garis yang bermakna jika dia positif hamil. Mulut Mila terganga, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ih, nanti aku ken cing lagi lah. Aku tes lagi ..." gumamnya. Mila lekas membersihkan kamar mandi dan keluar dari kamar mandi. Intan sudah terbangun dan menunggu di depan kamar mandi. 'Wah, bocil itu bangunnya pagi sekali,' batin Mila. Mila duduk di kursi belajar milik Intan, dia membuka satu botol air mineral yang semalam dia beli. Meneguknya dengan perlahan sambil memikirkan bagaimana menjelaskan pada Yuza jika memang dirinya hamil. Dia han