Aku meluncurkan mobil menuju rumah sakit dimana ibu di rawat. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi, ada apa gerangan pihak rumah sakit menelponku untuk segera datang. "Ya Tuhan, tolong ibu saya, berikan kesembuhan padanya." Tidak henti-hentinya doa ku panjatkan di dalam hati. Aku mempercepat laju kendaraan. Sesampainya di rumah sakit, sesegera mungkin aku mempercepat langkah kaki yang mulai terasa berat. Mungkin karena ketakutan jika seandainya harus kehilangan seorang ibu. "Huss... Kamu tidak boleh berpikir seperti itu, Habib. Seharusnya kamu berpikir ke arah positif saja. Siapa tahu dokter ingin menyampaikan bahwa ibumu telah sembuh sepenuhnya" Aku bergumam seperti sedang menasihati diri sendiri. Sebelum memasuki ruangan, aku berdiri sebentar dengan kedua tangan kutempelkan kedada. "Ya Tuhan, semoga ibuku tidak apa-apa. Berikan dia kesembuhan. Semoga berita yang akan di sampaikan kepadaku adalah berita yang tidak mengecewakan." "Anda
Hari ini aku memutuskan untuk memasak sendiri. Kubebaskan Bik Yah dari pekerjaan itu. Aku sedang memasak udang laut dengan caraku sendiri ketika bell rumah berbunyi. Kutinggalkan pekerjaanku untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ayah? Ternyata beliau yang datang. Sudah lama sekali ayah tidak pernah berkunjung ke rumahku. Bahkan sejak awal pernikahanku dan Habib. Baru dua kali ayah datang berkunjung. "Ayaah? Silahkan masuk." "Iya, Aliyah. Apa kabar, Nak?" "Alhamdulillah baik, Yah." "Sebentar, Aliyah buatin minuman buat Ayah." Ayah menganggukkan kepala. Aku kembali ke belakang untuk membuatkannya minuman. Entah, dari gestur mukanya, aku menduga pikiran ayah sedang tidak baik-baik saja. Ada beban tersembunyi. Nanti saja kutanyakan. Untuk sementara biarlah ayah kusuruh beristirahat dulu. Supaya dia bisa lebih tenang. "Sini biar Bibik saja yang buat minumannya." Bik Yah mengambil gelas yang ada di tanganku. Tapi segera kuambil balik.
Tidak terasa hampir dua bulan kepergian ibu. Aku semakin menjadi seperti orang gila. Perusahaan bangkrut total, ibu yang sangat kusayangi juga telah meninggalkanku untuk selamanya. Melihat keadaan yang semakin memburuk, satu persatu asisten rumah tangga mulai melepaskan diri. Mungkin mereka tidak mau jika harus bekerja tanpa dibayar. Sedangkan aku memang sudah tidak memiliki cukup banyak uang untuk membayar para art yang jumlahnya bisa di bilang tidak sedikit. Dari berapa banyak pekerja yang ada di rumahku, hanya tersisa pak Somad saja yang masih mau bertahan. Itupun dari bayang-bayang ucapannya, dia juga mau mengundurkan diri. Keadaan rumah jauh berbeda dengan ketika masih ada ibu. Setiap sudut ruangan, mulai berdebu. Tidak ada lagi makanan yang selalu di siap sediakan oleh para pembantu di tudung saji. Bahkan kadang untuk makan, terpaksa ku beli di luaran saja. Untuk memasak sendiri aku tidak bisa. Karena sejak kecil aku tidak terbiasa berkecimpung di
Aku membuka kedua mata, berat. Aku berada di ruangan berwarna putih. Dengan selang infus terhubung di pergelangan tangan kiriku. Ku usahakan mengangkat kepala, berat. Kutenangkan diri terlebih dahulu. Ku arahkan pandangan ke segala arah. Untuk memastikan di ruangan apa aku berada. Rumah sakit, sedikit demi sedikit Aku mulai bisa mengenali sekeliling. "Syukurlah kalau bapak sudah sadar." Ku lihat ke arah sumber suara. Pak Somad. "Ada apa ini pak Somad? Kenapa saya berada di sini." Pak Somad mendekat. "Dua hari yang lalu, Bapak kecelakaan. Bapak terjatuh bersama mobil yang Bapak kendarai. Mobil itu menerjang pinggiran jembatan dan jatuh ke sungai. Bapak sendiri terlempar keluar, tercebur ke sungai. Menurut dokter, Bapak mengemudi dalam keadaan mabuk." Aku kembali mengingat-ingat. Oh iya pak Somad benar. Malam itu aku pulang dengan keadaan masih mabuk. Inikah bahaya mengemudi dalam keadaan mabuk? Aku berusaha untuk bangkit, tapi nyeri dit
Salah satu dari para pengintai yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka merasa terpanggil untuk menunjukkan keberadaannya, siapakah dia? "Oh ternyata ini yang kalian lakukan, memeras dan menipu orang." Sebuah suara berat seorang laki-laki mengganggu kebahagiaan mereka. Dua perempuan licik itu menoleh. Bilna seperti mengingat-ingat sesuatu. "Anda siapa ya? seperti saya pernah melihat tapi di mana ya?" Bilna bertanya dengan gugup. Laki-laki tadi mendekat. Dari nada bicaranya bisa ditebak laki-laki tersebut sedang menahan amarah. "Tentu saja kamu pernah melihatku aku pernah datang ke acara pernikahanmu dan Habib." Kedua mata pria itu menatap tajam kearah Bilna dan ibunya secara bergantian. namun Bu Naura juga menatap tidak kalah tajam. "lalu Apa tujuanmu kemari masuk ke rumahku tanpa permisi kamu pikir rumah siapa ini sehingga membuatmu merasa bebas memasukinya tanpa pamit padaku sang tuan rumah." Bu Naura mendekati lelaki yang datang
"Bilna anak saya tidak bersalah, Pak. Semuanya saya yang melakukannya sendiri." Setelah semua bukti di sodorkan, akhirnya Terpaksa aku menyerah juga. "Berhubung dengan hal ini, rekening ibu terpaksa kami sita. Untuk mengganti kerugian korban yang telah Anda tipu." Seorang kepala kepolisian berkata tegas. Aku harus berpikir lebih keras, sebelum pengadilan diadakan. Sebuah inisiatif muncul di kepala. Sebaiknya aku suapi saja mereka dengan uang. Uang hasil menjual rumah Ibu Eri dulu masih tersisa banyak. Dan juga dengan tujuan lain untuk menutup mulut mereka, karena aku tidak menginginkan kasusku menjual rumah orang tua Habib itu dibongkar. Sedangkan Rama, dia ikut campur masalah ini hanya karena ingin membantu calon mertuanya. baiklah akan ku berikan sejumlah uang untuk mengganti rugi kepada ayahnya Aliyah. sekaligus calon mertuanya. Seandainya saja rumah itu bukan atas nama Ibunya Aliyah, mungkin masalahnya tidak akan serumit ini.*** Berkat i
Dengan langkah lemas, aku meninggalkan kediaman lelaki yang telah menanamkan benih di perutku. Padahal aku tidak meminta untuk dinikahi, cuma ingin agar dia bisa menerima anak ini sebagai anaknya. Jadi setelah anak ini lahir, aku bisa meninggalkan anak ini padanya. Namun jangankan menerima, bersimpati saja tidak. Pria jahat. Tapi apa daya, memang dulu sudah keinginanku agar bisa hamil, buat memanfaatkan Habib yang mandul. Tapi kenyataannya, baru sebentar saja aku dan ibu menikmati keberhasilan, ada yang ikut campur masalah kami. Rama. Rama, lelaki yang begitu berkharisma, tega-teganya membuat kami menderita. Apa Aliyah yang telah membujuknya? Dia kan mengaku calon suaminya Aliyah. Pas sekali. dugaanku sudah pasti tepat. Ku pinggirkan mobil di bawah sebuah pohon di pinggir jalanan. Disini air mataku mengalir deras. Mungkin Aliyah ingin membuatku iri melihat calon suami barunya. Meski memang dalam hati rasa iri itu ada. Mengapa justru Aliyah berna
Bilna kelewatan sekali, setelah dia dan ibunya menjual rumah ibuku, sekarang kembali menghubungi Ayah dengan dalih sedang butuh. Rama sudah mengabari, bahwa Bilna dan ibunya sudah berhasil di temukan. Ibunya adalah dalang di balik penggadaian rumah ibu. Bilna pasti sedang dalam kesulitan. Makanya butuh ayahku. Tidak akan kubiarkan mereka memanfaatkan Ayah lagi. Terdengan klakson kendaraan mobil di luar berulangkali. Siapa gerangan kurang kerjaan seperti ini. Aku meinggalkan meja kerja, melihat siapa gerangan yang datang. Uufh... Bilna? Ternyata dia nekat untuk benar-benar datang kemari.Sesak nafasku melihat kedatangannya bersama perut yang membesar dengan dresh pendek. Dengan sombong Bilna berjalan mendekatiku. "Bagus, rupanya kau sedang ada di rumah." Ungkapnya angkuh. "Apa maksudmu datang ke rumah ku Bilna?" "Aku datang kemari untuk menemui papaku. Bukan untuk menemuimu." "Untuk apa kamu ingin menemuinya?" "Aku datang
Bab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini
Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok
Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A
Siang ini serasa aku tidak berselera untuk menyelesaikan semrawut agenda pekerjaan di perusahaan. Batinku masih terbayang-bayang dengan sikap Aliyah yang sedang menaruh curiga padaku. Aku memilih untuk duduk di restoran seorang diri. Biasanya aku sangat bersemangat untuk pulang dan menemui Aliyah dan juga Bian. Tapi kali ini aku merasa pasti akan sia-sia bila aku pulang. Sebab Aliyah pasti akan kembali mengabaikan aku. Sesuatu yang cukup membuatku tersiksa."Hai...!" aku di kejutkan dengan suara yang tidak terlalu asing di telingaku.Aku menoleh."Jhoni? Kamu lagi?" Jhoni terlihat tersenyum menanggapi respon dariku. "Sendirian ajah?" tanyanya."Iya nih." jawabku."Kenapa nggak bareng temen?" tanyanya."Ah sesekali menyendiri, Jhon." jawabku datar."Kenapa malah terlihat sendu, Bro? kamu punya masalah apa? Hayoo ngaku,! Iya, kan? Sini ..! Cerita sama aku ajah!" Jhoni duduk di depanku setelah memesan santap siangnya."Ah enggak, aku nggak punya masalah apa-apa kok." jawabku menyembu
Bab 68Hari ini aku berniat menyibukkan diri dengan kegiatan bersama beberapa teman kantor. Kebetulan ada sebuah kegiatan yang diadakan hari ini.Biasanya di hari libur seperti ini, aku akan senantiasa berlibur bersama Rama dan Bian, putraku. Kalaupun ada kegiatan, aku biasa memilih untuk tidak ikut, sebab waktu bersama keluarga lebih penting bagiku.Tapi tidak dengan hari libur kali ini. Aku seperti tidak berselera untuk menghabiskan waktu bersama Rama. Laki-laki yang baru saja membuat hatiku terluka.Sederetan pesan yang sedemikian gamblang menunjukkan siapa si pengirim pesan, membuatku sulit untuk mempercayai kata-kata ramah. Untuk saat ini, aku merasa tak bersimpati sedikitpun dengan segenap alasan yang ia utarakan. Bisa saja itu hanyalah salah satu cara yang Rama tempuh untuk mengambil kepercayaanku kembali. Tidak Rama! Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan kepercayaan ini.Memang ini pertama kalinya seumur-umur pernikahan kami aku mendapati ujian seperti ini. Dan ini merup
Bab 67"Siapa yang mengirimkan pesan seperti ini? Siapa?"[Rama, aku tunggu kamu di depan Mutiara Hotel ya. Sesuai sama janji kamu kemarin. Masih ingat kan kamu bilang apa. Oke deh ditunggu malam ini. Seperti biasa, jam 08.00 malam jangan lupa. Hmm... Jangan sampe ketahuan Aliyah ya, Sayang.]Degh!Jantungku berdegup, apa maksudnya coba.[Oh ya, Rama, jangan lupa katanya kamu pengen beliin aku cincin buat hadiah ulang tahunku besok? Makanya sebaiknya kamu nginep aja malam ini di Mutiara hotel, biar pagi besok kita langsung ke toko perhiasan buat memenuhi janji kamu. Aku pengen kamu beliin aku liontin yang berwarna biru. Hehee]Aku semakin tidak mengerti dengan pesan itu. Aneh benar-benar aneh.Sementara aku melihat jekas ekspresi marah pada wajah istriku.Aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun aku bisa memposisikan diri sebagai dirinya yang merupakan istriku. Jujur saja jika seandainya aku yang berada pada posisinya saat ini tak urung aku juga pasti akan termakan emosi. Siapa ya
Bab 66"Gimana, Mas, apa Rama mau kamu ajak ke puncak?" Intan, wanita penghibur langganan ku bertanya.Aku menghela nafas,"Belum bisa katanya, Tan." jawabku pendek."Lhoo, kenapa? Apa dia nggak tertarik sama fotoku?"Yaaah, aku lagi-lagi menarik nafas panjang. Memang kemarin itu Intan memintaku untuk memperlihatkan potretnya pada Rama, dengan harapan Rama mau kuajak ke puncak. Tentu saja Intan menunggu kami di sana. Rencanaku, aku berharap Rama mau menuruti kemauanku, dan secara tidak langsung dia bakalan kujadikan alat untuk tidur bareng Intan di puncak. Tapi nyatanya laki-laki:takut istri itu menolak."Kenapa malah diam, Mas Jhon? Apa kamu sengaja ya nggak pamerin fotoku sama dia? Kalau begitu mah mana mau dia ke puncak. Coba kalau Mas memperlihatkan potretku itu padanya, dijamin deh dia bakalan mau turut serta."Aduh, kamu salah besar, Intan. Rama tidak semudah itu.Meski tidak kupungkiri aku belum menyodorkan foto Intan padanya. Tapi sebelum aku melakukan itu, aku sudah dikecew
Bab 65Rama memang keterlaluan. Terlalu b*doh dia di mataku untuk sok menasehati. Pake menyarankan aku untuk menghargai Nayla segala.Nayla mah tetaplah Nayla, gemuk, pendek, dan nggak menarik sama sekali. Meski di modalin berapa saja, dia tetep ajah gendut dan jelek. Yang ada nanti cuma buang-buang duit ajah. Kan tambah rugi akunya. Bener-bener nggak deh kalo harus modalin Nayla ***"Nayla! Kamu dari mana ajah, ini kok meja makan kosong gini. Kamu tahu nggak kalo suami pulang di jam segini? Kenapa nggak nyiapin makan siang?" aku bicara membentak pada wanita yang telah aku nikahi sejak lima belas tahun yang lalu.Kulihat tubuh bongsornya bergerak-gerak ketika ia berjalan, membuatku bergidik jijik. Uuuh, rasanya aku menyesal telah menikahi wanita segemuk dia. Bener-bener istri yang nggak bisa menjaga dan mengurus tubuhnya agar tetap ideal."Jawab aku Nayla, kenapa kamu nggak nyiapin makan siang buat aku?" dekali lagi aku menekankan pertanyaan padanya karena dia belum juga menjawab p
Bab 64 Aku tertegun dengan cara berpikirnya Rama. Cara berpikirnya sungguh berbeda dengan cara berpikirku. Tidak, aku tidak setuju dengan cara pandangnya dia. Aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menyadarkannya. Aku tak sampai hati jika melihatnya selalu dalam penguasaan istrinya. Istrinya memang cantik sih, tapi sebagai lelaki seharusnya dia tidak boleh hanyut dalam pesona kecantikan perempuan. Akhirnya aku mendapatkan ide bagus."Ram, gimana kalo kita jalan bareng hari ini? Kita ke puncak. Besok kan masih hari libur, jadi kita bisa bermalam di sana. Itung-itung refreshing otak. Gimana? Kamu mau, kan?"Aku harap-harap cemas menanti jawaban dari Rama. "Aduh, aku hari ini udah terly buat janji sama Bian, dia pasti nagih janji sama Papa dan Mamanya." Aku melengos."Bian anakmu?" keningku terasa berkerut."Iya, memang siapa lagi."Rasanya kalau lama-lama berada di dekat Rama Aku bisa gila rasanya. Entahlah aku menilai Rama seperti sudah tidak punya ruang lingkup sendiri, di